• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of INDIKATOR TANGGUNG JAWAB SOSIAL DALAM AL-QUR'AN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of INDIKATOR TANGGUNG JAWAB SOSIAL DALAM AL-QUR'AN"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

INDIKATOR TANGGUNG JAWAB SOSIAL DALAM AL-QUR’AN Ahmad Ari Masyhuri1, Muhammad Aminullah2, Chairunnisa3. Universitas Pamulang1, IAI Muhammadiyah Bima2, STKIP Kusuma Negara3 Corresponding Author: Muhammad Aminullah, E-mail: amienmuhammad.ma@gmail.com

ARTICLE INFO Article history:

Received 23, Agustus, 2023

Revised 27, Agustus, 2023

Accepted 20, September, 2023

ABSTRAK

Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk hidup bersosial. Oleh karena itu, di samping manusia memiliki nilai otonomi, manusia tidak akan sempurna jika tidak berhubungan dengan sesuatu yang lain diluar dirinya.

Sebagai makhluk sosial maka paling tidak akan terjadi dual hal, yaitu interaksi sosial dan komunikasi. Interaksi sosial akan terjadi bila ada suatu tindakan, sedangkan komunikasi terjadi ketika seseorang memberikan penilaian terhadap tindakan orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi tidak berlangsung dengan baik bahkan bisa kemungkinan akan kacau jika para pihak yang terlibat tidak saling mengerti dan tidak paham makna dibalik aktivitas sosial yang dilakukan. Kenyamanan hidup dan tumbuh berkembang adalah mengakui bahwa setiap individu harus memiliki kesadaran sosial dan harus saling mengerti antara satu dengan yang lain agar sekelompok masyarakat bisa hidup harmonis dan teratur.

Kata Kunci: Tanggung Jawab Sosial, Indikator, Kesejahteraan

How to Cite : Ahmad Ari Masyhuri, Muhammad Aminullah, Chairunnisa. Indikator Tanggung Jawab Sosial dalam Al- Qur‟an. TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan, 7 (2), 95-128

DOI : https://doi/org/10.52266/tadjid.v7i1.1618 Journal Homepage : https://ejournal.iainbima.as.id/index.php/tadjid This is an open acc ess article under the CC BY SA license

: https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/

PENDAHULUAN

asulullah SAW adalah sosok yang bergerak cepat dan reaktif dalam menyikapi persoalan umat. Hal ini terbukti, ketika sampai di Madinah, beliau langsung membangun masjid yang dikenal dengan Masjid Quba, yaitu masjid didirikan pertama kali oleh beliau. Dalam proses pembangunannya, seluruh kaum muslimin termasuk Nabi sendiri, kerja bakti dan bergotong royong demi selasainya pembangunan masjid tersebut. Mereka tampak semangat mendirikan rumah Allah Swt. Saat itu tidak sahabat yang malas dan nakal, semunya bersemangat dan antusias. Suatu saat, Rasulullah Saw. mengambil batu yang relatif besar dan berat, sehingga mengakibatkan beliau sedikit sempoyongan dan tergopoh-gopoh. Dalam sebuah riwayat disebutkan,

R

(2)

pada saat proses pembangunan masjid Syamus binti Nu‟man melihat Rasulullah begitu semangat membangun masjid, beliau turun tangan, bekerja bersama para sahabat. Suatu ketika beliau mengambil batu dengan membungkuk dan membawa batu besar, di badan beliau ada tanah melekat, kemudia seorang sahabat menghampirinya sambil berujar:

Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah Saw. sudah, cukup ya rasul.! Nabi Muhammad berkata: tidak, silahkan ambil seperti ini dan mari bersama-sama dirikan masjid ini”.1

Begitu juga para sahabat-sahabatnya. Abu Bakar, Umar Ibn Khttab, Usman Ibn

„Affan, dan Ali Ibn Abi Thalib serta para sahabat lainnya merupakan pribadi-pribadi yang mempunyai jiwa sosial, dedikasi, dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Umar Ibn Khattab, misalnya, memiliki kepedulian dan senantiasa memberikan perhatian penuh terhadap kaum miskin meskipun dari non Muslim. Suatu ketika, beliau pernah memberikan sejumlah santunan kepada orang Yahudi yang miskin dari Baitul Mal kaum Muslimin sehingga orang Yahudi yang miskin itu tidak perlu meminta-minta.

Oleh karena itu, Ibn Khaldun berpendapat bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang setiap individunya memiliki kepedulian yang tinggi dan memiliki spirit tolong-menolong di dalam kehidupan bermasyarakat.2 Dengan demikian, kepentingan tiap orang tidak mungkin bisa terwujud tanpa adanya kebersamaan dan tolong menolong.

Fakta sejarah di atas menunjukkan, bahwa tanggung jawab sosial tidak hanya sekedar sebuah teori atau konsep, tetapi lebih dari itu, ia merupa-kan salah satu bentuk aksi nyata. Kegiatan sosial, seperti menjalin dan mempererat persatuan dan persaudaraan umat, menegakkan keadilan sosial, pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas didup manusia sebagai individu anggota masyarakat, dan lain-lainnya merupakan bentuk nyata dari tanggung jawab sosial.3 „Ukasyah, dalam bukunya „Ilm an-Nafs al-Ijtimâ‟î menyatakan, bahwa tanggungg jawab sosial tidak sekedar sebagai suatu kewajiban moral, tetapi lebih dari itu sebagai respon cepat terhadap persoalan lingkungan masyarakatnya. Kecepatan seseorang di dalam menyikapi dan merespon persoalan masyarakat tergantung pada tinggi rendahnya sikap peduli dan rasa tanggung jawab sosialnya.4 Semakin besar perhatian tersebut, respon yang diberikan juga makin cepat. Sebaliknya, jika perhatiannya kecil, maka respon yang diberikan juga lamban.

PEMBAHASAN

Indikator Tanggung jawab Sosial

Tanggung jawab sosial menjadi tolok ukur tingkat kualitas manusia, karena ia termasuk bagian dari ranah kesalehan sosial. Indikator baik tidaknya kualitas keberagamaan seseorang bisa dilihat dari perilaku sosialnya.5 Umar Shihab menjelaskan, beramal soleh kepada sesama umat manusia dan memiliki rasa tanggung jawab sosial mereka masing-masing berdasarkan kapasitasnya yang mereka miliki

1 Yusuf Muhammad al-Balawi, Kitab Alfu Ba‟, jilid 2, Mesir: al-Wahbiyah, 1387 H, hal. 463.

2 Ibn Khaldun, al-Mukaddimah, hal. 42.

3 Sugeng Santoso, “Konsep Corporate Social Responsibility Dalam Perspektif Konvensional Dan Fiqh Sosial”, dalam Jurnal AHKAM, Vol. 4 No. 1 Juli 2016, hal. 8.

4 „Ukasyah, „Ilm an-Nafs al-Ijtimâ‟î, Iskadâriyah: al-Maktab al-Jami‟î, 3003, hal. 281.

5 Lazhar al-„Abîd, “al-„Alâqah baina al-Mas‟ûliyah wa Tanâfusiyah Iqtishâdiyâh fî dual al‟Âlam al-Islâmî,” dalam Majallah al-„Ûlûm al-Insâniyah, Vol. 43, 2015, hal. 69.

(3)

merupakan bukti nyata tingkat ketakwaan.6 Penjelasan Umar Shihab ini menegaskan bahwa orang yang bertakwa, maka wujud tertinggi-nya bukanlah semata-mata terefleksi pada pelaksanaan ibadah ritual yang bersifat individual (hablum min-Allâh), tetapi juga ibadah ghairu mahdhah yang bersifat sosial (hablum min an-nâs). Islam tidak pernah membedakan seorang hamba dengan tuannya, seorang buruh dengan majikannya, seorang fakir miskin dengan muzakkinya, seorang presiden dengan rakyatnya, seorang guru dengan muridnya, kiai dan rakyatnya. Yang membedakan mereka adalah fungsi dan tanggung jawab mereka masing-masing. Karena itu, setiap individu, justru dibebani tanggung jawab sosial, seperti memerdekakan budak bila dia melakukan suatu pelanggaran hukum, atau bisa juga karena dia memiliki kemampuan material untuk memerdekakan budak.7

Dalam kehidupan sosial, manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebebasan untuk aktif menjalankan perannya di tengah-tengah masyarakat. Namun kebebasan harus memberikan dampak positif, dalam kehidupan masyarakat. Terkait dengan kebebasan paling tidak mengandung tiga arti yang berbeda-beda, tetapi ketiganya tidak terpisahkan satu sama lain. Ketiga arti tersebut adalah pertama, kebebasan sebagai cita- cita kesempurnaan eksistensial untuk menatap kemungkinan-kemungkinan baru untuk meraih masa depan yang lebih cerah dengan membebaskan diri dari berbagai halangan yang ada untuk mewujudkan eksistensi dirinya. Seseorang memiliki kebebasan untuk mencapai semua tujuan dan cita-citanya. Kedua, kebebasan psikologis, yakni kemauan untuk memilih bertin-dak atau tidak, kemampuan untuk berfikir, menilai dan menghendaki sesuatu. Ketiga, kebebasan kemasyarakatan, bentuk-bentuk kebebasan ini menjamin keikutsertaan para anggota dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya sebagai subjek. Tetapi perlu adanya syarat-syarat objektif agar mereka dapat bertindak sebagai subjek politik dan sebagainya. Kebebasan ini juga disebut hak-hak demokratis.8

Ketiga bentuk kebebasan di atas saling berhubungan menurut kerangka logis dan eksistensial. Kebebasan asasi manusia merupakan tujuan serta cita-cita tertinggi.

Kebebasan psikologis merupakan jalan subjektif menuju tujuan tersebut. Kebebasan kemasyarakatan merupakan syarat-syarat hidup objektif. Meskipun kebebasan melekat pada diri manusia, namun kebebasan itu ada batasnya pada kebebasan sesama. Jadi penggunaan kebebasan kita tidak boleh sampai membatasi kebebasan orang lain.

Dengan adanya kebebasan ini maka manusia mampu merubah kebudayaan dan kondisi sosial mereka.

Sebagai makhluk sosial manusia tidak hanya didorong untuk berhubungan dengan sesama, tetapi mereka harus memelihara dan menjaga hubungan dengan lingkungannya. Bahkah kehidupan manusia akan lebih berarti apabila ia senantiasa berhubungan dengan alam di sekitarnya, karena lingkungan adalah bagian dari hidup manusia. Untuk itu, manusia didorong untuk membangun, mengembangkan dan

6 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur‟an; Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al- Qur‟an, Jakarta: Penamadani, 2005, hal. 134.

7 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur‟an; Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al- Qur‟an, hal.

8 Alek Lanur, Dimensi Sosial Manusia Dalam Pijar-Pijar Kekayaan Dimensinya, Yogyakarta:

Kanisius, 1993, hal. 44.

(4)

mengolala sumber kekayaan alam untuk kepentingan hidup sosialnya. Maka manusia harus hidup harmonis dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya.

Al-Qur‟an sebagai kitab sempurna yang memuat semua aspek persoalan, tidak ada sesuatu yang tidak dibahas di dalamnya, termasuk masalah yang berkaitan dengan kewajiban dan hak orang lain atau masyarakat. Indikator kesalehan sosial mengandung muatan tanggung jawab sosial, sebagai sebuah konsep yang di dalamnya memuat persoalan yang menyangkut dengan hak orang lain, juga termasuk bagian penting yang dibahas di dalam Al-Qur‟an, baik secara tersurat maupun tersirat.

Term Tanggung jawab Sosial dalam Al-Qur’an

Konsep tanggung jawab sosial, di dalam Al-Qur‟an terdapat beberapa kata kunci atau term-term yang digunakan untuk mengisyaratkan pada makna tanggung jawab sosial. Term-term tersebut antara lain adalah

نواعتلا, فراعتلا, حلاصلإا, ناسحلإا, برلا, ةظعولما

dan

ةركذتلا .

Ketujuh term tersebut,9 mengisyaratkan pada makna tanggung jawab sosial, yaitu tugas-tugas yang menyangkut dengan masyarakat, dimana yang satu dengan yang lain saling berkaitan, melengkapi dan menyempurnakan sehingga jika dielaborasi dengan metodologi tafsir tematik akan mendapatkan makna tanggung jawab sosial yang merupakan ruh dari kewajiban sosial. Berikut ini penulis jelaskan masing-masing term tersebut secara detail.

1. Term tentang Ta’awun

Ayat Al-Qur‟an yang mengisyaratkan pada tanggung jawab sosial adalah at- ta‟âwun (tolong-menolong). Tolong menolong dapat dipahami sebagai bentuk tindakan nyata. Oleh karena itu, Al-Qur‟an selalu menekankan pentingnya tolong- menolong dalam hal yang baik dan positif untuk mengurangi beban orang lain.

Dalam khazanah litaratur fikih, konsep ta‟âwun telah diulas dan dikaji secara ilmiah oleh para ahli fikih.10 Begitu juga dalam ilmu sejarah kebudayaan Islam, seperti sejarah tentang tolong-menolong yang dilakukan sahabat Anshar terhadap kaum muhajirin.

Di dalam Al-Qur‟an banyak ayat yang menjelaskan pentingnya saling membantu, saling menyayangi, dan tolong menolong. Istilah ta‟âwun dengan derivasinya dalam Al-Qur‟an hanya disebutkan tiga kali, yaitu dalam surah al- Maidah/5:2 diulang dua kali, dan al-Kahfi/18:95. Ayat yang terdapat term ta‟âwun dalam surah al-Maidah/5:2 yaitu:

َو َدِئَلاَقْلا َلاَو َىْدَْلْا َلاَو َماَرَْلْا َرْهَّشلا َلاَو ِالله َرِئاَعَش اوُّلُِتَُلا اوُنَماَء َنيِذَّلا اَهُّ يَأَيَ

َينِّمآَءَلآ

َنوُغَ تْ بَ ي َماَرَْلْا َتْيَ بْلا ٍمْوَ ق ُناَئَ نَش ْمُكَّنَمِرَْيَ َلاَو اوُداَطْصاَف ْمُتْلَلَح اَذِإَو ًنًاَوْضِرَو ْمِِّبَّّر نِّم ًلاْضَف

ْا ىَلَع اوُنَواَعَ تَلاَو ىَوْقَّ تلاَو ِِّبرْلا ىَلَع اوُنَواَعَ تَو اوُدَتْعَ ت نَأ ِماَرَْلْا ِدِجْسَمْلا ِنَع ْمُكوُّدَص نَأ ِْثِْلإ

ِناَوْدُعْلاَو ِباَقِعْلا ُديِدَش َالله َّنِإ َالله اوُقَّ تاَو

9 Abd Bakir “Formulasi Tanggung jawab Sosial Prespeftif Al Qur‟an” Pustaka Ilmu, 2021, hal 138.

10 Amir „Abdul Aziz, al-Fiqh al-Jinâî Fî al-Islami, Kairo: Darussalam, 2007, hal. 435.

(5)

Terjemahnya:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan ber-takwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 02)

Tolong menolong sebagaimana anjuran ayat di atas menjadi dasar dalam hidup bermasyarakat. Bila seseorang siap hidup ditengah-tengah masyarakat berarti ia sudah siap untuk memperjungakan kepentingan mereka, yaitu siap membantu dan menolong. Maka dari itu, mengisolasi diri di tengah kehidupan masyarakat merupakan tindakan yang dikecam oleh agama, sebab sikap yang demikian dianggap sebagai sikap acuh tak acuh dan tidak perduli dengan persoalan saudaranya.

Zaid Ibn Aslam, sebagaimana disebutkaan dalam buku Al-Qur‟an Tafsir Per Kata dan Tajwid, mengemukakan konteks turunnya di atas adalah berkenaan dengan Rasulullah dan para sahabatnya yang berangkat ke Mekah untuk menunaikan umrah. Sesampainya di Hudaibiyyah, mereka dihalang-halangi oleh orang-orang musyrik agar tidak pergi ke Baitullah. Hal ini memicu para sahabat daik darah dan marah. Suatu saat, ada beberapa orang musyrik datang dari arah timur hendak melakukan umrah berjalan melewati kaum muslimin. Para sahabat usul kepada Nabi, seandainya kita menghalangi mereka, seperti halnya mereka pernah menghalangi kita.11 Kemudian turunlah ayat tersebut.

Makna konteks ayat di atas memberikan arti penting bahwa orang-orang musyrik menggalang kekuatan dengan cara bahu membahu dan bekerjsama, saling menolong dan berkolaborasi untuk menghadang Rasulullah Saw. dan para sahabatnya sehingga mereka tidak dapat menginjakkan kaki di Mekah dan melakukan umrah. Hikmah dari kasus tersebut adalah, umat Islam harus belajar kepada apa yang dilakukan kaum musyrikin, ternyata mereka sangat kompak, satu sama lain saling membantu dan menolong.

Kata ta‟âwun dalam ayat di atas diulang dua kali, yang pertama dalam konteks perintah, sedang yang kedua dalam konteks larangan. Konteks yang pertama adalah pada tataran al-birr dan at-taqwa. Artinya tolong menolong itu harus dilakukan dalam hal positif. Sedangkan konteks yang kedua merupakan larangan saling tolong-menolong dalam hal kejelekan dan perbuatan dosa.

Menurut ath-Thabari (224-310 H), firman Allah “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” hanya ditunjukkan kepada orang- orang mukmin. Menurutnya orang-orang mukmin memiliki kewajiban untuk menjalankan perintah Allah berupa tolong menolong.12 Penafsiran ath-Thabari ini menyiratkan bahwa umat Islam dilarang melakukan tindakan kazhaliman, yaitu mau menghadang kaum musyirikin atas dasar kebencian karena mereka pernah

11 Departemen agama RI, Al-Qur‟an Tafsir Per Kata dan Tajwid, Banten: Kalim, Pondok Karya Permai, 2016, hal. 111.

12 ath-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an Ta‟wil Âyi Al-Qur‟an, terj. Akhmad Affandi, jilid 8, Jakarta:

Pustaka Azzam, 2008, hal. 289-290.

(6)

melakukan penghadangan kepada umat Islam. Umat Islam harus berpegang teguh pada ketetapan Allah Swt.

Sama dengan penafsiran ath-Thabari, yaitu penafsiran Sayyid Qutb (1906- 1966 M). Namun Sayyid Qutb perintah tolong-menolong dan saling membantu di dalam berbuat kebaikan dan ketakwaan, serta larangan bersepakat untuk melakukan perbuatan dosa ditujukan kepada orang umat Islam karena ini termasuk bagian dari ketetapan Islam. Maka dari itu, tolong-menolong merupakan tindakan luhur.13 Panfsiran Sayyid Qutb memberikan pemaha-man bahwa ayat tersebut di atas, disamping mengajarkan pentingnya toleransi dan menyingkirkan sikap fanatisme golongan, juga menjelaskan tugas dan tanggung jawab orang-orang yang beriman, yaitu mengutamakan kepentingan orang lain, menyingkirkan hajat pribadi dan mengabaikan nasibnya sendiri. Abai dengan nasibnya demi kepetingan orang lain berarti ia memiliki kepedulian yang tinggi. Tentunya, kepentingan orang lain itu dalam hal yang menyangkut dengan kemaslahatan dan kemanfataan, bukan yang manyangkut dengan hal-hal yang terlarang.14

Wahbah az-Zuhaili (1932-2015 M) menjelaskan, ayat di atas merupakan anjuran untuk saling membahu, menolong, dan saling bersinergi dalam menjalankan kebajikan dan ketakwaan, dan juga berisi larangan tolong menolong dalam melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.15 Penjelasan Wabhah Zuhaili itu memberikan arti bahwa menjaga dan memelihara hak-hak orang lain, apapun bentuk dan jenisnya, merupakan hal yang mesti dan itu termasuk anjuran agama.

Manusia sebagai makhluk sosial, maka salah satu wujud sosialitasnya adalah menjaga dan menghargai hak-hak orang lain, yaitu dengan tolong-menolong.

Ibn Katsir (701-774 H) juga mengartikan kata ta‟âwun dalam ayat di atas tolong menolong, bergandengan tangan, dan bersinergi. Hanya saja tolong meno- long itu dapat dilakukan dalam hal-hal tertentu, yaitu yang mengandung kebaikan dan kemaslahatan, tidak dalam hal yang mengandung dosa.16 Makna di atas didukung hadits Nabi yang menganjurkan menolong orang yang berbuat kezhaliman dan orang yang dizhalimi walaupun hanya dengan mencegahnya.

Ibn „Asyur dalam tafsirnya mengemukakan, kata ta‟âwanû dalam ayat di atas berbentuk amar (perintah), hal ini menunjukkan suatu kewajiban. Kata ganti jama‟ dalam kata ta‟awanû merujuk kepada kaum muslimin. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muslimin sebagian dengan sebagian yang lainnya harus saling membatu dalam kebaikan dan ketakwaan.17 Dengan penafsiran ini Ibn „Asyur melihat bahwa tolong menolong dilakukan bukan karena ada rasa iba, peduli dan perhatian, tetapi itu karena sudah ketetapan agama terhadap umat Islam.

13 Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zhilal Al-Qur‟an di Bawah Naungan Al-Qur‟an: Diterjemahkan oleh As‟ad Yasin. Cet. 1. Jilid 3. Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hal. 167.

14 Abu „Abdullah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakar Ibn farh al-Anshari al-Khazraji Syamsyuddin, Al- Jâmi‟ li Ahkâmil-Qur„ân, tahqîq: „Abdur-Razzaq al-Mahdi, Bairut: Dâr Al-Kitab Al-„Arabi, Cetakan 2, Tahun 1421H, Juz 6, hal. 45.

15 Wahbah az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, terj. Abdul Hayyei al-Kattani, dkk, jilid 3, Jakarta: Gema Insani, 2016, hal. 399.

16 Ibn Katsir, Tafsîr Al-Qur‟an al-Azhîm, jilid 5, Kairo: Muassasah Qurthubah, 200, hal. 6.

17 Ibn „Asyur, Tahrîr wa at-Tanwîr, jilid 6, hal. 87.

(7)

Penafsiran di atas sedikit berbeda dengan Imam al-Qurthubi. Menurut-nya perintah tolong menolong satu sama dalam ayat di atas bukan semata-mata hanya ditunjukkan kepada umat Islam atau sesama umat Islam, tetapi juga untuk seluruh manusia. Bergotong royong sepanjang menyangkut dengan hal kebajikan dan takwa berlaku bagi seluruh manusia.18 Jika penafsiran para ulama tafsir di atas bahwa perintah gotong royong hanya diperuntukkan bagi umat Islam, tetapi bagi al- Qurthubi justru untuk semua manusia. Arti bagi al-Qurthubi ayat di atas cukup tegas bahwa bekerjasam, tolong menolong dan saling membantu harus dilakukan tanpa melihat latar belakang agama, budaya, ras, suku dan status kewargaannya.

Sepanjang menyankut dengan kebaikan tolong menolong dapat dilakukan dengan siapapun.

Tolong menolong dapat dilakukan dengan berbagai cara. Ibn Khuwaizim Andad dalam Ahkam-nya, sebagaimana dikutip al-Qurthubi,19 mengemukakan, ada banyak cara yang harus dilakukan untuk membantu dan menolong sesama, yaitu tergantung dari kapasitas yang dimiliki. Bagi orang kaya dapat membantu dan menolong dengan hartanya. Orang yang berani dapat membantu dengan kebaraniannya. Bagi penguasa, ia wajib membantu masyarakatnya melalui kekuasaannya dan begitu juga seterusnya. 20

Dari beberapa beberapa penafsiran diatas, para ulama sepakat bahwa bahwa kata ta‟ûwun perujuk pada perilaku sosial berupa tolong menolong. Bahwa setiap manusia dituntut untuk membangun kebersamaan dan persau-daraan, bergandengan tangan dan saling memperhatikan. Sebab persoalan masyarakat yang kompleks tidak bisa diatasi secara individu. Maka dari itu gotong royong dan saling membantu merupakan cara tepat untuk menyela-saikan persoalan. Seberat dan sebesar apapun suatu permasalahan bila diatasi secara bersama-sama maka akan terasa ringan dan mudah.

Dalam konteks kehidupan sosial masyarakat yang sangat beragam, anjuran saling tolong menolong dalam ayat tersebut juga bisa dilakukan terhadap orang lain meskipun dia sebagai musuh dan orang yang beda agama. Artinya, tolong menolong dapat dilakukan dimasyarakat tanpa melihat latar belakang agama, budaya dan bahasanya. Tujuannya adalah sama-sama untuk meringankan beban orang lain, mewujudkan kemaslahatan bersama, mem-perkokoh persa-tuan dan kesatuan serta solidaritas sosial.21

Oleh karena itu, pada prinsipnya, tolong menolong dalam sistem kehidupan sosial sebagai perekat untuk membangun kebersamaan dan menjalin persaudaraan

18 al-Qurthubi, al-Jâmi‟ Li Ahkâm Al-Qur‟an, terj. Ahmad Rijali Kadir, jilid 6, Jakarta: Pustaka Azzam, 2013, hal. 114.

19 al-Qurthubi, al-Jâmi‟ Li Ahkâm Al-Qur‟an, hal. 115-116.

20 Hadits ini dicantumkan oleh as-Suyuthi dalam al-Kabîr dari riwayat Abu Daud ath-Thayalisi dan al-Baihaqi dari Ibn Amr dengan redaksi: “orang-orang yang beriman itu setara darahnya, dan mereka adalah penolong bagi selain mereka,” dan dengan redaksi: ”orang-orang yang beriman itu setara darhnya, dan orang-oranf yang lemah (di antara) mereka berjalan di bawah perlindungan mereka.” as- Suyuthi menyebutkan hadits itu dari riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunan dari Aisyah.

21 Ibn „Asyur, Tahrîr wa at-Tanwîr, jilid 6, hal. 87-88. Lihat Juga Fakhruddin ar-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 11, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, hal. 133.

(8)

dengan siapa pun. Tolong menolong selama dalam hal kebajikan dan kemaslahatan bersama maka dapat diterima. Tetapi, sebalik-nya, tolong menolong tidak bisa diterima dan dibenarkan apabila tujuan kerja sama itu untuk perbuatan dosa dan pelanggaran.22 Maka dari itu, Allah Swt. dalam ayat di atas mensejajarkan al-birr dengan at-taqwa dan menghadap-kannya dengan dosa dan permusuhan.23

Dari penjelasan di atas penulis menggarisbawahi bahwa ta‟âwun memiliki makna yang komprehensif dan sistemik. Itu sebabnya, sebagian ulama tafsir menafsirkannya sebagai prinsip dasar dalam kehidupan secara menyeluruh. Hal ini didukung oleh hadits Nabi Saw. yang menganalogikan ta‟âwun sebagai suatu anggota badan. Apabila ada bagian yang sakit, rasa sakit tersebut akan terasa oleh bagian yang lainnya.24

Pesan hadits di atas menunjukkan bahwa konsep ta‟âwun mengakui adanya pluralitas dan perbedaan sekaligus mengakui bahwa setiap individu memiliki potensi dan kekuatan, sekecil apapun adanya. Ta‟âwun meng-hendaki agar perbedaan potensi dan kekuatan berfungi secara positif dalam membangun kehidupan bersama yang harmonis.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahamai bahwa bidang tanggung jawab sosial yang diisyaratkan dalam kata ta'âwun antara lain meliptu:25

a. Bidang penguatan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat b. Bidang persatuan dan kesatuan.

c. Bidang ekonomi

d. Bidang Ilmu pengetahuan

e. Bidang amar Ma‟ruf nahi mungkar

Tolong menolong dalam hal apapun dan apapun bentuk dan jenisnya merupakan suatu yang mesti dan itu termasuk anjuran agama. Manusia sebagai makhluk sosial, maka salah satu wujud sosialitasnya adalah bertanggung jawab untuk membantu, menjaga dan menghargai hak-hak orang lain. Tolong menolong merupakan bentuk nyata dari tanggung jawab sosial.

2. Term tentang Ta’aruf

Komponen penting lainnya dalam kehidupan sosial yang harus dilakukan adalah saling mengenal satu sama lain. Sikap saling mengenal meningisyaratkan pada arti sikap saling terikat dan ketergantungan satu sama yang lain serta sikap keterbukaan.

Dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, kata at-ta‟âruf biasa diterjemahkan saling berkenalan, perkenalan, atau hal saling berkenalan.26 Dari segi

22 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, cet. ke-1, Vol.

1, Jakarta: Lentera Hati, 2000, hal. 529-530.

23 Asep Usman Ismail, Al-Qur‟an Dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Lentera Hati, 2012, hal.

133.

24 Aam Abdussalam, “Teori sosiologi Islam: Kajian Sosiologis Terhadap Konsep-Konsep Sosiologi Dalam Al-Qur‟an al-Karim”, dalam Jurnal Pendidikan Agama Islam-at-Ta‟lim, Vol. 12, No. 1, 2014, hal. 36.

25 Muhsin Hariyanto, Membangun Tradisi Ta‟awun, https:repository.umy.ac.id /bitstream/handle, diakses pada 29 Januari 2019, jam 21.34 .

(9)

bahasa kata at-ta‟âruf berasal dari kata „arafa. Kata فرع yang terdiri dari huruf -ر-ع ف mempunyai dua makna, yaitu: pertama, hubungan yang berkesimbungan, Untuk makna ini muncul kata urf (فرع). Kedua, bermakna diam dan ketenangan. Untuk makna ini terdapat kata ma‟rifah (ةفرعم) dan „ifan (نافرع). Jika ada kalimat نًلاف نلاف فرع ةفرعمو نًافرع (seseorang mengenal seseorang yang lain), ini mengandung arti bahwa dia diam dan tenang terhadap hal tersebut. Sebab apabila mengingkarinya, dia tidak akan diam dan merasa tidak tenang dengannya.

Selain dua makna tersebut, kata ta‟âruf (فراعت) sebagai bentuk derivasi dari kata „arafa (فرع)

,

menyimpan makna adanya timbal bali, yaitu saling mengenal. Hal ini menegaskan makna interaksi pada kata tersebut. Sebab, tanpa derivasi pun makna interaksi telah menjadi bagian daripada makna aslinya.

Jika ditelusuri lebih jauh lagi, term ta‟aruf paling tidak memiliki tiga makna pokok: (1) adanya hubungan timbal balik antara satu pihak dan pihak lain; (2) hubungan tersebut terjadi atas dasar pengenalan atau pengetahuan yang benar; (3) hubungan yang terjadi menimbulkan hubungan dan kebersamaan yang harmoni.

Maka dari itu, dalam konterks relasi sosial, sikap atau tindakan saling mengenal menjadi hal yangg amat penting. Saling mengenal sebagai prinsip dasar untuk mengatur pola relasi sosial lebih humanis dan bijak. Meskipun demikian, saling mengenal satau sama lain tetap memiliki nilai ilahi.27 Yaitu proses untuk mengenal dan munju Allah. Kiranya benar apa yang dikemukakan salah seorang sufi agung, Yahya Ibn Muadz al-Razi:

َفَرَع ْدَقَ ف ُهَسْفَ ن َفَرَع ْنَم ُهَّبَر

28

Terjemahnya:

“Barangsiapa yang mengenal dirinya, akan mengenal tuhannya”.

Salah satu wujud mengenal diri sendiri adalah adanya kesadaran bahwa dirinya termasuk bagian dari masyarakat. Dengan demikian, sikap saling mengenal menyedarkan bahwa ada beban dan kewajiban sosial yang harus dilakukan. Oleh karena itu, tanggung jawab dan kewajiban sosial yang harus dijalan diorientasikan pada pengabdian pada Allah. Saling mengenal merupakan proses awal dalam melakukan intekasi dan konumikasi dengan sesama, dan ia memiliki nilai-nilai ketuhanan yang mengejewantah dalam kehidupan masyarakat. Dengan saling mengenal berarti ia berusaha untuk lebih dekat kepada Allah melalui ibadah sosial.29

26 Atabik Ali dan Ahmad Zudi Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta:

Multi Karya Grafika, 2003, hal. 508.

27 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Araby; Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah Li Nudzûm al-Ma‟rifah fî Thaqâfah al-Islamiyyah, cet.4, Beirut : Markaz Dirosah al-Qihdah al-Arabiyyah, 1992, hal. 8-13.

28 Ahmad Syihabuddin Ibn Hajar al-Haytamy al-Makky, al-Fatâwâ al-Hadîsiyyah,Juz 1, Mesir:

Mustafa al-Halaby, t.th, hal. 677.

29 Chafid Wahyudi, “Perempuan dalam Dunia Imajinasi Sufistik; Merajut Hermeneutika Imajinasi Sufistik ” dalam Pusat Studi Gender IAIN Sunan Ampel, Jurnal Studi Tentang Perempuan Gender Indonesia, Vol.03, No.02 November 2012, hal. 176.

(10)

Saling mengenal dalam hubungan sosial-masyarakat tidak melihat jenis kelamin, ras, agama, bahasa, dan budaya. Saling mengenal dalam hubungan sosial dapat menciptakan pribadi yang baik di sisi Allah. Pribadi yang baik adalah pribadi yang menjalin hubungan baik dengan Allah dan menjalin hubungan baik antara sesama.

Maka dari itu, term at-ta‟âruf mengisyaratkan makna tanggung jawab sosial yang diekspresikan dalam bentuk relasi antar sesama manusia.

Di dalam Al-Qur‟an, kata ta‟âruf termasuk term yang mengisyaratkan pada makna tanggung jawab sosial, sebab istilah ini menyangkut dengan hubungan sosial.

Istilah ini disebutkan dalam Al-Qur‟an pada surah al-Hujurat/49:13, yaitu:

ْمُكِبوُلُ ق ِفِ ُناَيِّلإْا ِلُخْدَي اَّمَلَو اَنْمَلْسَأ اوُلوُق نِكَلَو اوُنِمْؤُ ت َّْلَّ لُق اَّنَماَء ُباَرْعَلأْا ِتَلاَق نِإَو

ُهَلوُسَرَو َالله اوُعيِطُت ٌميِحَّر ٌروُفَغ َالله َّنِإ اًئْ يَش ْمُكِلاَمْعَأ ْنِّم مُكْتِلَيَلا

Terjemahnya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersu-ku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa dian-tara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. AlHujurat 13).

Konteks turunnya ayat di atas menurut Abu Dawud (w 275 H) sebagaimana dikutip Ibn „Asyur berkaitan dengan perintah Nabi Muhammad Saw. kepada Bani Bayadah yang berkulit putih agar menikahkan dengan sosok perempuan berkulit hitam, tetapi mereka menolaknya.30

Terlepas dari makna koteksnya, ayat di atas bisa dipahami bahwa saling mengenal itu memiliki peran yang sangat signifikan dalam proses komunikasi dan interaksi dengan sesama. Interkasi dan komunikasi akan berjalan dengan baik apabila satu sama sudah saling kenal. Begitu juga dalam hal untuk mencari solusi persoalan sosial-masyarakat, saling mengetahui, saling memberikan masukan merupakan hal yang sangat dibutuhkan . Bahkan lebih dari itu, saling mengenal merupakan suatu yang niscaya untuk menjalin kehidupan bermasyarakat yang harmonis.

Term ta‟âruf dalam ayat di atas mengisyaratkan pada makna tanggung jawab sosial dalam berbagai aspek, antara lain:

a. Menjalin Komunikasi

Menjalin komunikasi atau hubungan antar sesama merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak boleh melakukan social distancing atau menjaga jarak hubungan dengan orang lain, tidak boleh tinggal dan mengisolasi diri, atau membatasi diri, sebab hal yang demikian dapat dikatakan sebagai sikap memutus mata rantai hubungan sosial.

Dalam kehidupan masyarakat yang serba beragam, Allah sengaja menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu sama lain

30 Ibn„Asyur, Tahrîr wa al-Tanwîr, Jilid VI, hal. 258.

(11)

saling mengenal dan menjalin komunikasi atau interaksi. Dari sini, term at-ta‟âruf mengisyaratkan kewajiban bagi manusia untuk saling mengenal, berkomunikasi dan berinteraksi.

Menurut as-Syanqithi (1905-1974 M), diksi ta‟âruf tidak hanya sekedar diartikan dengan sikap saling mengenal satu sama lain, tetapi secara tidak langsung, term itu mengisyaratkan keharusan menjalin komunikasi, interaksi dan relasi antar sesama yang berbeda-beda.31 Penafsiran as-Syanqithi ini menegaskan bahwa manusia sebagai makhluk sosial hendaknya menjalin komunikasi dan interaksi antar sesama dengan baik. Komunikasi akan berlangsung baik jika satu sama lain saling mengenal. Untuk itu, dalam konteks hubungan antar sesama tidak boleh satu sama lain saling menghina, mencaci maki dan berburuk sangka. Menurut Wahbah az- Zuhaili, diksi li ta‟ârafû dalam ayat di atas menunjukkan bahwa kita sesama umat manusia yang diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bukan untuk mencela dan mencaci maki, melainkan harus saling mengenal satu sama lain dan berkonumikasi dengan baik.32 Pandangan Wahbah az-Zuhaili tersebut menyiratkan pada makna bahwa dalam hidup bermasyarakat, saling mengenal dan saling berkomunikasi merupakan unsur penting dari tanggung jawab sosial.

b. Saling Memberi Manfaat

Dalam Islam, orang yang memberi menfaat kepada orang lain termasuk orang yang terbaik di antara kalian. Menurut Quraish Shihab, diksi ta‟aruf (saling mengenal) dalam surah al-Hujurat/49:13 yang disebutkan di atas ini memberi ruang relasi untuk sama-sama saling menarik manfaat dan pelajaran. Maka dari itu, penekanan dari ayat tersebut adalah supaya antar sesama laing bertukar ilmu, manfaat dan pelajaran serta pengalaman guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah.33 Pandangan Quraish Shihab di atas memberi pengertian bahwa keragaman manusia dengan berbagai macam suku tidak lain kecuali dialamatkan untuk dapat saling mengenal satu sama lain. Salah satu hikmahnya adalah agar manusia dapat saling mengambil manfaat dan pelajaran antara satu sama lain, dan menjadi penegas bahwa bermasyarakat atau bersosial adalah sesuatu yang lahir dari naluri alamiah.

Untuk kiranya benar apa yang dikatakan Ralph Waldo Emerson (1803-1882 M.), penulis Amerika, sebagaimana dikutip oleh Leila Mona Ganiem, dkk, mengatakan bahwa esensi tujuan hidup manusia bukanlah agar senang dan bahagia. Tapi agar bermanfaat, berguna, terhormat, membantu dan mengasihi orang lain.34 Manusia sebagai makhluk sosial memiliki tugas dan beban moral sosial, yaitu memberi manfaat kepada orang lain. Bagi orang-orang yang memiliki kesadaran bahwa dirinya memiliki tanggung jawab sosial maka ia akan melakukan sesuatu untuk kemanfataan dan kebaikan bersama. Artinya, tiap individu dituntut untuk peka sosial, peduli, berempati, bergan-dengan tangan, bersinergi, berdedikasi,

31 Muhammad al-Amin as-Syanqithi, Adhwâ‟ al-Bayân fî Îdhâh Al-Qur‟an bi Al-Qur‟an, jilid 7, Jidah: Dar „ilm al-Fawaid, hal. 672.

32 Wahbah az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid 13, Jakarta:

Gema Insani, 2016, hal. 486-487.

33 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.12 , hal. 618

34 Leila Mona Ganiem, dkk, PSR (Personality Sosial Responsibilty); Aku, Kamu, Kita Bisa, hal.

18.

(12)

berinteraksi dan saling menolong untuk membantu menyelasaikan problem-problem masyarakat dalam hal apa pun, sehingga tercipta yang namanya “kebahagiaan bersama”.

c. Menjalin Kerjasama

Dalam buku Tanggung Jawab Sosial; Tafsir Tematik yang disusun oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, disebutkan bahwa penekanan diksi ta‟âruf dalam ayat di atas diarahkan kepada keharusan saling mengenal, memberikan pemahaman dan bekerjasama.35 Dari sini ta‟âruf memiliki tiga tingkatan makna, yaitu, saling mengenal, saling memahami, dan saling bekerjasama. Bekerjasama merupakan, saling membantu dan bermitra merupakan potret adanya pausaudaraan dan persatuan. Dalam konteks masyarakat yang multi ragam, kerjasama dalam hal apapun merupakan sesuatu yang sangat urgen. Oleh sebab itu, Al-Qur‟an mengajarkan pentingnya hidup bermasyarakat, membentuk kesatuan visi dan memperjuangkan cita-cita sosial sesama anggota masyarakat. Al-Qur‟an juga mengakui perbedaan yang dimiliki oleh manusia, semisal perbedaan kapasitas intelektual, status sosial, tingkat ekonomi, perbedaan kultur, bahasa dan sebagainya. Namun, perbedaan itu bukan untuk saling menjaga jarak dan membatasi hubungan serta lainnya, melainkan agar satu sama lain saling bekerjasama dalam hal apapun.

3. Term tentang Ishlâh

Salah satu kewajiban dan tanggung jawab bagi tiap-tiap individu maupun organisasi adalah melakukan uapaya al-ishlâh. Istilah ini diterjemah-kan dengan rekonsiliasi, perdamaian, perbaikan dan reformasi dalam bentuk nyata. Al-ishlâh mempunyai perspektif internal sekaligus perspektif sosial. Perspektif internalnya adalah setiap orang sealalu dituntut untuk memper-baiki dirinya dan berdamai dengan dirinya, hasrat, aspirasi dan nuraninya. Selain itu, ia juga dituntut untuk berlaku baik dan memperbaiki lingkungan sekitarnya.36 Perspektif yang terkahir ini, kata al-ishlâh yang menyangkut dengan kehidupan masyarakat.

Dari makna di atas bisa dipahami bahwa kata al-ishlâh pada umumnya menyangkut dengan keamanan, kedamaian, dan ketentraman masyarakat dan itu merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh karena, upaya untuk mewujudkan kedamaian, ketentraman dan keamanan di masyarakat merupakan tindakan mulia.

Agama, sangat mengapreasiasi dan mendorong upaya perbaikan dan perdamaian serta lainnya.

Secara bahasa, حلاصلاا adalah kata benda, yang berarti perbaikan, sedangkan kata kerjanya adalah حلصا, mendamaikan, menjadikan baik, melakukan reformasi.37 Dengan demikian, kata حلاصلاا dapat dipahami dengan melakukan sesuatu yang

35 Lajnah Pentashih Mushhaf Al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Tanggung Jawab Sosial; Tafsir Tematik, Jilid 5, hal. 258-259.

36 Wulandari, Usep Dedi Rostandi, Engkos Kosasih, “Penafsiran Sayyid Quthb Tentang Ayat- Ayat Ishlâh (Studi Tafsir Fî Zhilal Al-Qur‟an)” dalam Jurnal Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir, Vol. 2, No.1, Juni 2017, hal. 78

37 Atabik Ali dan Ahmad Zudi Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Multi Karya Grafika, Yograkarta, t.th, hal. 142.

(13)

bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.38 Makna yang sama juga disebutkan dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Kata حلاصإ berarti perbaikan, restorasi, reformasi, mendamaikan, memperbaiki, atau menjadikan baik.39 Intinya adalah bahwa salah satu makna yang tersirat dalam term al-ishlâh itu terkait dengan persoalan kehidupan masyarakat. Pada umumnya diartikan sebagai memperbaiki hubungan antar orang atau golongan.

Ada yang memahami al-ishlâh sebagai tindakan terpuji yang berkaitan dengaan perilaku manusia.40 Pemahaman ini mengisyaratkan bahwa al-ishlâh merujuk pada suatu aktifitas yang berorientasi pada perbaikan suatu keadaan agar menjadi baik, atau perubahan dari suatu kondisi yangg kurang baik menjadi kondisi yang lebih baik lagi, serta memperbaiki amal perbuatan, baik yang menyangkut dengan diri sendiri mapun dengan sosial-masyarakat.41

Dalam ilmu fiqh, kata al-ishlâh diterjemahkan dengan rekonsiliasi, yaitu suatu upaya yang menyangkut dengan perdamaian atau perjanjian damai yang diambil untuk menghentikan perselisihan atau konflik di antara manusia.42 Sejalan dengan makna di atas, Hasan Sadili menyatakan bahwa al-ishlâh merupakan upaya penyelasaian perselisihan dengan cara baik-baik dan damai.43 Menurut At-Thabari dan az-Zamakhsyari (w. 538 H), kata al-ishlâh memiliki arti meluruskan suatu keadaan agar menjadi baik dan memfungsikannya supaya dapat dimanfatkan.44 Dari pandangan at-Thabari dan az-Zamahksyari sini dapat dipahami bahwa al-ishlâh bisa dipahami sebagai upaya pengembalian dua kelompok yang bertikai pada keadaan semula, yaitu damai dan aman, atau melakukan amal salih baik dalam tataran individu maupun di lingkungan sosial.

Menurut John O. Voll, ishlâh bisa diterjemahkan sebagai perubahan dan pembaharuan.45 Kedua makna tersebut menggambarkan gerak aktif yang berkelanjutan dan upaya yang terus menerus. Manusia dituntut untuk selalu dan terus menerus melakukan perbaikan bagi dirinya dan menciptakan suasana yang tentram, damai dan aman di lingkungannya secara berkelan-jutan. Karena itu, menurut Sayyid Quthb, perbaikan itu pertama-tama harus dimulai dari diri sendiri, anggota keluarga, masyarakat dan seterusnya.46

38 Unais Ibrahim, AI-Mu 'jam al-Wasith, Majma‟ al-Lughah al-Arabiyah, juz I cet. II, hal. 520.

39 Atabik, A.Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, hal. 141

40 E.Van Donzel. B. Lewis, dkk, Encyclopedia Of Islam, jilid. 4, Leiden: E.J. Brill, 1990, hal.

141.

41 Abd Salam, Mu‟jam al-Wasith, jilid. 1, Teheran: Maktabah „Ilmiah t.th, hal. 552.

42 Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidâyah Fi Syarh al-Hidâyah, jilid 9, Beirtu: Dar al-Fikr, t.th, hal. 3.

43 Hasan Sadily dkk, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van-Hoeve 1982, hal. 1496.

44 Abu „Ali al-Fadl Ibn Hasan at-Thabarsi, Majma‟ al-Bayân fi at-Tafsîr Al-Qur‟an, jilid 1, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1986, hal. 137. Lihat Juga az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, jilid 1, Beirut:

Dar al-Kutub al-„Ilmiah 1995, hal. 70.

45 Jhon. O.Voll, Renewal and Reform In Islamic History: Tajdid and Islah, dalam John L Esposito, Voices of Resurgent, hal. 22.

46 Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zhilal Al-Qur‟an di Bawah Naungan Al-Qur‟an: Diterje-mahkan oleh As‟ad Yasin. Cet. 1. Jilid 7. Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hal. 406.

(14)

Dilihat dari sisi fungsinya, melakukan perbaikan dapat mewujudkan tujuan Allah di muka bumi, yaitu antara lain; terciptanya keadilan, keseimbangan, kemerdekaan, dan keamanan bagi semua umat manusia baik individu maupun masyarakat. Ishlâh tidak hanya sekedar mencegah terjadinya peperangan dengan segala resikonya, tetapi menumpas kezdaliman serta distorsi di muka bumi tanpa mengenal batas-batas negara. Di mana pun ada kezhaliman dan ada upaya pengrusakan di muka bumi, maka umat semua pihak berkewajiban mencegahnya.

Kemaslahatan umat manusia sebagai kemaslahatan tertinggi yang harus diutamakan, bukan keselamatan dan kemaslahatan pribadi.

Di dalam Al-Qur‟an, menurut Ali Muhyiddin Daghi47 term al-ishlâh paling tidak disebutkan kurang lebih 180 kali di berbagai ayat.48 Namun hal berikut ini penulis ingin mengulas arti Tanggung jawab sosial yang diisyaratkan dalam term al- ishlâh dalam Al-Qur‟an, yaitu antara berkaitan dengan:

a. Menjaga Lingkungan

Salah satu makna yang terkandung dalam term al-ishlâh yang mengisyaratkan pada arti tanggung jawab sosial adalah menjaga, memelihara dan menjamin laingkungan tetap aman. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah surah al- A‟raf/7:85, bahwa melakukan tindakan yang merusak lingkungan atau mengganggu keamanan masyarakat merupakan tindakan yang dilarang. Untaian ayat di atas menjelaskan keharusan patuh terhadap hukum-hukum Allah dan keharusan meninggalkan tindakan-tindakan yang merusak lingkungan sekitar setelah kondisinya menajadi baik atau diperbaiki. Menurut Sayyid Qutb, ayat di atas melukiskan tentang sikap kaum Nabi Su‟aib yang menyekutukan Allah dan tindakan kejahatan yang dilakukan mereka di bumi (lingkangan), dengan melakukan kerusakan, melakukan perampokan, dan dalam sistem mu‟amalah mereka melakukan kecurangan serta lainnya sehingga kondisi lingkungan menjadi tidak aman.49 Oleh karena, penggunaan al-ishlâh dalam ayat di atas menekankan pada tanggung jawab semua manusia untuk menjaga dan memelihara dan merawat lingkungan dengan baik. Selain itu, penggu-naan al-ishlâh untuk mendorongan manusia melakukan perbaikan pada lingkungan yang rusak baik berkaitan dengan kondisi sosial maupun lingku-ngan sekitar yang menyangkut dengan alam.

Menurut Quraish Shihab, larangan melakukan kerusakan di bumi (lingkungan) dalam bentuk apapun itu setelah dilakukan perbaikan oleh Allah maupun manusia.50Penafsiran kata al-ishlâh bagi Quraish Shihab melibatkan Allah dan manusia. Tugas manusia sebagai wakil Tuhan di bumi tidak hanya berkaitan dengan tindakan melarang dan mencegah orang lain melakukan kerusakan, tetapi lebih dari itu harus melakukan perbaikan terhadap lingku-ngan yang rusak dan juga melakukan pemeliharan dengan berbagai macam cara.

47 Sekretaris Jenderal Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional

48Ali Muhyiddin Daghi, Kalimah al-Ishlah waradat Al-Qur‟an”, dalam https://www.raya.com/home/print/f6451603-4dff-4ca1-9c10-122741d17432/94501f48-5163-4be0-b919- bce65bb08adb diakses pada tanggal 28 Desember, 2022. jam 14.00

49 Sayyid Qutb, Fî Zhilâl Al-Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, Jilid 4, hal. 350.

50 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol 5, hal. 167.

(15)

b. Memelihara Perdamaian

Isyarat lain yang terkandung dalam term al-ishlâh adalah tanggung jawab sosial yang berkaitan dengan aspek perdamian. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah surah al-Hujurat ayat 10. Konteks ayat tersebut berkenaan dengan cekcok Ibn Ubay dengan sahabat. Ibn Ubay meminta Nabi untuk menyingkirkan keledainya yang kencing karena baunya menyengat. Lalu salah sahabat Nabi menilai Ibn Ubay bahwa baumu lebih busuk dari keledai ini. Kemudia, pengikut Ibn Ubay tidak terima dengan penilaiaan itu. Akhirnya terjadi perang mulut dan pertengkaran tanpa senjata. Turunlah ayat agar mereka berdamai seperti sedia kala.51 Konteks turunnya ayat tersebut menunjukkan bahwa perintah mendamaikan atau saling damai dapat dilakukan oleh siapapun, terutama oleh pihak yang memiliki otoritas atau penegak hukum.

Secara tesktual, ayat di atas dengan tegas membicarakan tentang tanggung jawab sosial baik dalam ruang lingkup keluarga maupun masyara-kat bahkan negara. Hal ini ditunjukkan dengan ada upaya melakukan perdamaian di antara umat Islam. Dan bahkan ditegaskan bahwa secara eksplisit, ayat di atas menyebutkan bahwa semua orang mukmin adalah bersaudara, maka dari itu perlunya saling memperhatikan dan saling membantu dalam berbagai hal, termasuk upaya menyelasaikan perselisihan dengan cara yang baik. Suatu komunitas dalam suatu masyarakat jika diibaratkan bangunan maka tiap bagian memerankan tugas sesuai dengan fungsinya masing-masing. Kinerja masyarakat itu sangat ditentukan oleh bagian yang paling lemah. Kinerja komunitas masyarakat mukmin dapat dilihat pada anggota masyarakat yang paling lemah. Disinilah pentingnya seluruh anggota masyarakat senantiasa „menengok‟ mereka yang lemah agar dapat terbebas, paling tidak terkurangi dari beban penderitaan yang mereka alami. Suatu problem, betapa pun sulitnya, jika dipecahkan bersama-sama akan mudah mencari penyelasaiannya.52

Kaitannya dengan ayat tersebut di atas, al-Qurthubi mengartikan ish-lâh itu dalam konteks kasus atau adanya pertikaian yang sebelumnya dalam kondisi aman.

Untuk mengembalikan pada kondisi yang semula maka diper-lukan melakukan ishlâh. Ini bisa dilakukan oleh pihak ketiga sebagai media untuk menyelasaikan suatu permasalahan, seperti kasus pertikaian antara kelompok muslim dengan kelompok muslim lainnya.53 Penafsiran al-Qurthubi ini memberikan pemahaman bahwa tiap-tiap individu maupun kelompok harus berperan aktif dalam menyelasaiakan persoalan masyarakat, terutama yang menyangkut dengan konflik dan pertikaian.

Kemudian, kata innamâ dalam Bahasa Arab, dalam ayat di atas digunakan untuk menguatkan dan menegaskan suatu informasi yang diketahui, bersifat pasti dan nyata yang tidak dapat dibantah. Oleh karena itu, dalam konteks ayat di atas,

51 Muhammad Ali as-Sayis, Tafsir Ayat Ahkâm, Mesir: Muhammad Ali Shubaih wa auladuh, 1953, hal. 87.

52 M. Darwis Hude, Logika Al-Qur‟an, hal. 228

53 al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Qur‟an, jilid 16, Bairut: Dar al-Kutub al-„Ilmiah, 2010, hal.

212.

(16)

relasi persaudaraan di kalangan umat Islam adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri.54 Dengan demikian setiap mukmin akan merasa bahwa mereka yang seakidah dengannya adalah saudara, sehingga masing-masing akan terpanggil untuk memperhatikan, dan menunjukkan kepedulian terhadap apa yang dialami saudaranya.

Meskipun secara kontekstual, makna ayat tersebut sebagai respon terhadap pertikaian dan perselisian dari dua pihak atau kelompok tertentu, tetapi secara substansial, pesan tersirat dari ayat tersebut adalah pentingnya ishlâh, yaitu melakukan upaya perbaikan-perbaikan di masyarakat dari segala sektor demi terciptanya suasana dan keadaan yang harmonis. Setiap mukmin akan merasa bahwa mereka yang seiman dengannya adalah saudara, sehingga masing-masing akan terpanggil untuk memperhatikan dan menunjukkan kepedulian terhadap apa pun yang dialami saudaranya. Ikatan yang dipilih adalah persaudaraan dan bukan peranakan atau kebapaan, sebab dalam persaudaraan terkandung makna kesetaraan, dalam hal ini setara dalam keyakinan, pikiran, dan tindakan.55 Ishlâh, melakukan upaya perbaikan-perbaikan di masyarakat dari semua aspek demi terciptanya suasana dan siatuasi yang harmonis haruslah berpatokan pada hukum dan ketentuan Allah sebagaimana tertuang dalam Al-Qur‟an. Al-Qasyimi (w. 333 H) mengemu- kakan bahwa kata fa ashlihû bainahum berkaitan dengan dimensi sosial, yaitu kasus pertikaian. Ayat itu mengajak kedua belah pihak untuk kembali kepada hukum Allah, yaitu berdamai.56

Menurut Wahbah az-Zuhaili, term ishlâh dalam ayat di atas bermakna, melakukan normalisasi hubungan dengan menghilangkan jejak-jejak pertikaian dengan memberikan ganti rugi atas berbagai kerusakan yang terjadi akibat konflik dengan cara yang adil.57 Selanjutnya, dalam tafsirnya Wahbah az-Zuhaili menyebutkan, diksi“damaikanlah antara kedua saudaramu itu” dalam firman Allah di atas menunjukkan perintah bahwa damaikanlah di antara kedua saudaramu yang sedang berselisih. Di sini secara khusus disebutkan dua orang, karena terjadinya persengketaan adalah minimal antara dua orang.58

Upaya perdamaian atau mendamaikan bisa dengan cara memberikan maaf.

Suatu contoh, terkait dengan pembunuhan, pihak keluarga korban dibolehkan untuk memberi maaf kepada pelaku yang dimuka pengadilan telah terbukti melakukan kejahatan, terlepas dari keluarga korban menuntut denda atau tidak. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah surah al-Baqarah/2:178. Kandungan dalam ayat tersebut adalah di samping menjelaskan syariat qishas, secara bersamaan juga mensyariatkan sikap memaafkan sebagai ajakan untuk berbuat ishlâh dan kebajikan. Bahwa memaafkan adalah lebih baik dan manusiawi dari pada melakukan balas dendam yang destruktif. Dengan demikian, memaafkan adalah

54 Ibn „Âsyûr, Tahrîr wa at-Tanwîr, jilid 4, hal. 20.

55 Lajnah Pentashhih Mushhaf Al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Tanggung Jawab Sosial; Tafsir Tematik, Jilid 5, hal. 358.

56 Muhammad lamaluddin al-Qasyimi, Mahâsin al-Ta 'wil, juz, al-Qahiroh: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.th, hal. 5452.

57 Wahbah az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 13, hal. 465.

58 Wahbah az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 13, hal. 465.

(17)

bagian tak terpisahkan dari proses hukum qishas. Oleh karena itu, qishas adalah bagian integral dari hukum Islam, maka memaafkan juga bagian integral dari hukum pidana Islam dan bagian dari makna yang tersirat dalam term ishlâh.

c. Mengayomi Anak Yatim

Aspek sosial lainnya yang terkandung dalam term al-ishlah adalah menyangkut dengan aspek pendidikan, pembinaan, pengasuhan anak yatim dan lainnya. Aspek ini di isyaratkan dalam firman Allah dalam surah al-Baqarah/2:220.

Konteks ayat ini membicarakan tentang mengayomi dan mengurusi anak yatim dengan cara yang baik. Kata ishlâh dalam potongan ayat di atas, walapun bukan bentuk perintah, tetapi ada isyarat bahwa selayaknya manusia harus mengayomi, mengurusi dan memperlakukan anak yatim dengan baik. Salah satu yang terkandung di dalamnya adalah mendidik mereka dengan baik. Ishlâh juga mengandung makna merawat, menjaga dan memelihara anak yatim. Menjaga dan memilihara tidak hanya berkaitan dengan fisik, tetapi juga berkaitan dengan rohani, misalnya dengan memberikan pendidikan yang baik sehingga mereka tumbuh berkembang dengan baik. Ibn „Asyur (1879-1973 M) mengatakan, kata ishlâh dalam ayat di atas tidak hanya berkaitan dengan hal tertentu, tetapi meliputi semua aspek seperti memelihara mereka dari segala hal yang membahayakan dan merusak, menjaga harta, dan terutama memperbaiki akidah dan akhlak mereka melalui pendidikan yang baik serta menanamkan ilmu pengetahuan.59

Substansi ayat di atas berkanaan dengan perlakukan baik kepada anak yatim dalam semua hal, termasuk yang menyangkut dengan pendidikan. Meski demikian, pesan moral yang dapat diambil dari ayat tersebut adalah keharusan memberikan penedidikan yang baik kepada masyarakat termasuk anak-anak yang tidak mampu dan terlantar. Karena dengan memberikan pendidikan pada hakikatnya kita telah melakukan perbaikan kepada masyarakat. Jadi, makna yang tersirat dalam term ishâh adalah kewajiban sosial yang menyangkut dengan pendidikan bagi masyarakat, terutama bagi anak-anak yang tidak mampu.

d. Mendamaikan Konflik Rumah Tangga

Dalam kehidupan rumah tangga seringkali mengalami gesekan yang mengganggu keharmonisan ruamah tangga, bahkan terkdang berujung pada percekcokan yang dalam penyelasainya membutuhkan pihak ketiga. Seperti sikap nuzuz istri yang berujung pada ketidakharmonisan. Allah berfirman dalam surat an- Nisa‟/4:35 bahwa suatu masalah yang terjadi antara suami istri bila tidak bisa diatasi oleh kedua belah pihak maka dianjurkan untuk mandatangkan piha-pihak yang menjadi mediasi untuk menyelasaikan permasalahan tersebut dalam rumah tangga atau suami istri, seperti percekcokan suami istri yang berkepanjangan.

Sayyid Qutb menjelaskan, substansi ayat di atas adalah menganjurkan agar mendatangkan juru damai dari pihak keluarga wanita dan juru damai dari pihak keluarga laki-laki. Juru damai dari kedua belah pihak berkumpul untuk mencobak mengajak perbaikan dan perdamaian. Jika suami-istri memiliki keinginan untuk damai dan memperbaiki situasi kembali seperti semula, maka Allah akan memberi

59 Ibn „Asyur, Tahrîr wa at-Tanwîr,jilid 2, hal. 356.

(18)

kebaikan dan taufik kepada mereka.60 Dalam pandangan Ibn „Asyur juru damai dari pihak keluarga laki-laki maupun wanita haruslah yang mengetahui duduk persoalan dan bisa memberikan solusi. Jika tidak ada yang demikian, maka hendaklah dianjurkan mendatangkan juru damai dari pihak lain, bila ada dari kalangan kerabat.61

Pemahaman di atas mengisyaratkan bahwa salah satu pihak yang bertanggung jawab untuk menyelasaikan persoalan suami-istri adalah dari anggota keluarga dari kedua belah pihak, itupun jika mereka memenuhi syarat sebagaimana dikemukakan oleh Ibn „Asyur di atas, yaitu, memahami persoalan dan dapat memberikan solusi.

Ayat tersebut memberi pelajaran bahwa Islam sangat memperhatikan pesoalan suami-istri, institusi rumah tangga serta semua hal yang berhubu-ngan dengan urusan sosial kemasyarakatan dalam konteks kehidupan rumah tangga.

Dengan demikian, tanggung jawab pihak keluarga dari pihak suami istri adalah memberikan bimbingan dan tuntunan agar mereka dapat menjalankan roda kehidupannya dengan baik. Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. an-Nisa‟/4:

128.

Dari penjelasan-penjelasan di atas perlu digarisbawahi bahwa term ishâh pada dasarnya berkisar pada anjuran kepada manusia untuk melakukan atau berbuat baik dan menjahui perbuatan jelek baik dalam tataran individu, sosial, dan lingkungan alam. Ishlâh menyiratkan makna akan tanggung jawab sosial dari berbagai aspek. Ishlâh tidak sekedar sebuah konsep, tetapi jauh lebih dari itu ia merupakah langkah nyata.

4. Term tentang Ihsân

Salah satu term yang mengisyaratkan akan tanggung jawab sosial adalah al- ihsân. Al-ihsân termasuk kategori term yang salah satunya berkai-tan dengan hubungan dengan sesama, yaitu tentang bagaimana manusia melakukan relasi dengan manusia lainnya dan berihsan terhadap sesamanya. al-Ihsân merupakan bentuk perbuatan baik yang dilakukan baik kepada Allah,terhadap dirinya dan sesama manusia serta makhluk ciptaan Allah lainnya. Dalam kamus Basaha Indonesia disebutkan, ihsan diterjamahkan baik, bentuk kata bendanya adalah kebajikan.62 Berarti ihsan adalah sikap dan tindakan yang baik.

Pakar bahasa dan tafsir terkemuka al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) mengemukakan, istilah al-ihsân mengandung dua pengertian. Pertama, ihsan adalah memberikan kenikmatan kepada pihak lain. Kedua, ihsan melakukan suatu perbuatan dengan sebaik-baiknya.63 Ber-ihsan bisa dilakukan dengan memiliki perangkat ilmu pengetahuan dan melakukannya dengan sebaik mungkin berdasarkan ilmu pengetahuannya. Asep Usman, dalam bukunya menyebutkan, Ihsan adalah melakukan suatu perbuatan dengan berkualitas dan bermutu tinggi yang didukung

60 Sayyid Qutb, Fî Zhilâl Al-Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, Jilid 2, hal. 361

61 Ibn „Asyur, Tahrîr wa at-Tanwîr,jilid 5, hal. 46.

62 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Basaha Indonesia, Jakarta: Pusat Bahsa, 2008, hal.539.

63 al-Raghib al-Asfahani, Mu‟jam Mufradât al-fâzh Al-Qur‟an,hal. 118.

(19)

dengan keterampilan dan kompetensi, serta dipersembahkan bagi kepentingan dan kebaikan orang banyak dengan seluas-luasnya.64

Jika dilihat dari sabjeknya, ihsan memiliki dua sabjek, yakni ihsan Allah kepada makhluknya dan ihsan manusia kepada sesamanya dan kepada Allah.

Namun, dalam Al-Qur‟an penyebutan ihsan manusia lebih banyak muncul daripada ihsan Allah, sebab manusia memiki tugas dan peran untuk menyampaikan petunjuk Allah Swt. kepada umat manusia. Tugas inilah yang kemudian memotovasi manusia untuk berbuat kebaikan.

Al-Ihsân pada semulanya bermakna memberi nikmat, kesenangan dan kemurahan kepada orang lain, sehingga orang lain merasa senang, namun kemudian berkembang pada makna al-itqân (kerja dengan intensif). Dalam termenologi Islam, kata ihsan mempunyai arti yang cukup luas. Muhammad Tholchah Hasan mengutip pendapat Syekh Afifi A. Thabarah mengatakan, makna ihsan meliputi semua perilaku yang baik, termasuk di dalamnya hubungan baik manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya maupun dengan lingkungannya, upaya mengembangkan kualitas dirinya dan lainnya yang dapat mendekatkan kepada Tuhan.65

Dalam al-Mu‟jam al-Mufahras disebutkan, istilah al-ihsân di dalam Al- Qur‟an dengan semua perubahan bentuk tashrîf (pola kata)-nya diulang diulang berkali-kali yang tersebar pada berbagai surah dan ayat.66 Abu Zaid al-Muqri‟ al- Idrisi menyebutkan, kata al-ihsân dengan berbagai derivasinya paling tidak diulang kurang lebih 165 kali, yang mayoritas berkaitan dengan tanggung jawab sosial, akhlak, dan hukum. Namun, kata al-ihsân di dalam Al-Qur‟an paling tidak disebutkan sebelas kali, yang menunjuk pada makna berbuat baik kepada sesama dengan cara yang lebihh baik. 67

Dalam Al-Qur‟an ihsan dipahami sebagai kewajiban tiap manusia yang alami, sebab Allah yang telah berbuat ihsan kepada manusia dengan segala nikmat- nikmatnya, seharusnya manusia itu juga berbuat yang sama kepada sesama makhluk di dunia ini. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt. dalam surah al- Qashash/28:77, yaitu:

لا ُالله َكَتَاَءآَميِف ِغَتْ باَو َكْيَلِإ ُالله َنَسْحَأآَمَك نِسْحَأَو اَيْ نُّدلا َنِم َكَبيِصَن َسْنَ تَلاو َةَرِخَلأْا َراَّد

َنيِدِسْفُمْلا ُّبُِيَُلا َالله َّنِإ ِضْرَلأْا ِفِ َداَسَفْلا ِغْبَ تَلاَو

64 Asep Usman Ismail, Al-Qur‟an dan Kesejahteraan Sosial, hal. 135.

65 Muhammad Tholchah Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultura, Jakarta: Lantabora Press, 2000, hal. 150.

66 Muhammad Fu‟ad Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-fâzh Al-Qur‟an, cet. Ke-4, Beirut: Dar al-fikr, 1994, hal. 259-261.

67 Abu Zaid al-Muqri‟ al-Idrisi, al-Qirâ‟ah Wa al-Ma‟rifah: Sumuwu Akhlak Wa Fathi Afaqin, dalam https://www.alislah.ma/j/85-1 diakses pada tanggal 5 Februari 2019 jam 21: 19. lihat juga Asep S Muhtadi, Mengedepankan Ihsan, dalam https://www.republika. co.id/ berita/dunia - islam/hikmah/12/05/14/m3zhl2 -mengedepankan-ihsan. Diakses pada tanggal 2 Desember 2022, jam 10:

45

Referensi

Dokumen terkait

Gejala yang akan diteliti yaitu makna berbakti pada orang tua menurut remaja muslim Jawa. Definisi oprasional berbakti kepada orang tua adalah berbuat baik kepada kedua

Allah swt mengutus seorang anak yatim yang mulia sebagai utusan-Nya dalam masyarakat tersebut, maka dari itu redaksi kata anak yatim masa periode Makkah adalah dalam bentuk

berbuat ihsan kepada kedua orangtua, kerabat, anak yatim, yakni yang ayahnya meninggal dan masih belum dewasa, serta orang yang butuh secara umum, ayat ini melanjutkan

Meskipun si anak tersebut telah diasuh oleh orang lain, namun ia tetap memiliki kewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tua kandungnya. Hal itu disebabkan karena nasab si

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat,

Sehubungan dengan hal tersebut di atas yang telah dipaparkan oleh para Mufassir tentang tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan akhlak anak berdasarkan Al-Qur’an

Dari penelitian ini diperoleh beberapa kesimpulan yaitu: 1 Kewajiban yang mulia adalah berbakti kepada orang tua, 2 Berbakti kepada orang tua merupakan Wujud nyata dari penghargaan

Hamka menegaskan ujian iman yaitu menyempurnakan kebajikan melalaui memberikan harta kepada kerabat, anak yatim dan sebagainya sebagaimana pada ayat tersebut, hal ini merupakan