• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP AL-QUR AN TENTANG BIRRUL WAALIDAIN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KONSEP AL-QUR AN TENTANG BIRRUL WAALIDAIN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Pada Program Studi Pendidikan Agama Islam

Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar

SUCIANI HUSNI NIM : 105 19 1886 13

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAAR 1438 H/ 2017 M

(2)

i

Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Maryam dan M.

Ilham Muchtar.

Penelitian ini bertujuan 1). Untuk mengetahui konsep Al qur’an tentang Birrul Waalidain 2). Untuk mengetahui implikasi Birrul Waalidain terhadap pendidikan anak dalam keluarga

Jenis Penelitian ini adalah penelitian Kajian Pustaka dengan teknik pengumpulan data melalui literatur-literatur seperti kitab-kitab tafsir, buku- buku, dan artikel dalam jurnal yang terkait dengan subyek penelitian, menganalisa buku-buku bacaan tentang tahapan-tahapan pendidikan, mengorganisir data-data untuk kemudian disusun secara sistematis sesuai dengan sistematika penulisan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1). Analisis pendidikan Birrul Waalidain yang terdapat dalam QS. Al-Isra’ (17) : 23-24, QS. Al- Ankabut (29) : 8, utamanya pada QS. Luqman (31) : 13-19 adalah berbakti kepada kedua orangtua, patuh kepada kedua orangtua, berterimah kasih atau bersyukur kepada kedua orang tua atas jasa yang diberikan kepada kedua orang tua, mendoakan kedua orang tua baik ketika mereka masih hidup maupun ketika sudah meninggal dunia. 2) Dalam Al-Qur’an memang tidak dijelaskan kualifikasi birrul waalidain secara langsung akan tetapi hanya dijelaskan jasa-jasa ibu mulai dari mengandung, melahirkan, merawat, dan menjaga anak sehingga secara tersirat peranan ibu lebih tinggi di atas peranan ayah dikarenakan jasa-jasanya tersebut.

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN SKRIPSI ……….. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ………. iv

BERITA MUNAQASYAH ……….. v

MOTTO ……… vi

PRAKATA ……… vii

ABSTRAK ………... viii

DAFTAR ISI………. ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Konsep Birrul Walidain ... 6

B. Pendidikan Anak dalam Keluarga ... 11

BAB III METODELOGI PENELITIAN ... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Fokus Penelitian ... 35

C. Data dan Sumber Data ... 36

D. Teknik Pngumpulan Data ... 36

E. Analisis Data ... 37

F. Sistematika Pembahasan ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 39

A. Analisis Pendidikan Birrul Walidain dalam Al-Qur’an ... 39

B. Analisis Bentuk-bentuk Birrul Walidain dalam Keluarga ... 63

BAB V PENUTUP ... 66

ix

(4)

A. Kesimpulan ... 66 B. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA ... 71 RIWAYAT HIDUP

(5)

A. Latar Belakang

Pembentukan identitas anak dalam Islam dimulai jauh sebelum anak itu diciptakan. Islam memberikan berbagai syarat dan ketentuan pembentukan keluarga sebagai tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak sampai umur tertentu yang disebut baligh.

Anak adalah amanah Allah SWT yang harus di jaga dan di pelihara kelangsungan hidupnya dengan sebaik-baiknya agar tumbuh menjadi manusia yang bermoral dan berakhlakul karimah. Anak bukanlah hasil rekayasa manusia yang bersifat biologis semata, maka pemahaman bahwa anak adalah amanah seharusnya melahirkan pemahaman sikap dan rasa tanggung jawab yang sungguh-sungguh pada diri setiap orang tua.1

Seorang anak bukanlah hanya sebagai perhiasan rumah dan patri pergaulan orang tua. Lebih dari itu, orang tua wajib memeliharanya, lahir dan batin.

Secara lahiriah orang tua wajib merawat, memjamin kesehatan,keamanan, dan makan minumnya. Dan secara batiniah mereka

1Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi Perempuan: Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung: Mizan, 2005), h.45

1

(6)

berhak mendapatkan pendidikan yang berfungsi sebagai persiapan di masa depan.2

Tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan secara serampangan, dan tidak dapat pula bereksperimen dalam mendidik anak. kesalahan dalam memberikan pendidikan pada masa awalnya akan menciptakan generasi yang bobrok dikemudian hari.

Berbagai fenomena munculnya penyimpangan dan pertikaian dalam keluarga tidak lepas dari lemahnya pijakan yang dijadikan landasan dalam kehidupan. Dalam kaitan ini, berbagai fenomena tersebut merupakan implikasi dari lemahnya penghayatan agama di masyarakat. Agama merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari bagian-bagian lain dari kehidupan manusia. Ia merupakan reaksi terhadap keseluruhan wujud manusia terhadap objek loyalitasnya yang tertinggi.

Agama harus dirasakan dan difikirkan, dihayati, dan dimanifestasikan dalam perbuatan. Agama bukanlah suatu segi dari kehidupan, sehingga ia tidak hanya dihubungkan dengan suatu waktu atau tempat.3 Untuk menanamkan agama kepada anak harus dilakukan melalui proses pendidikan. Dalam proses pendidikan, sebelum anak mengenal masyarakat dan sekolah,

2 Abdul Malik Karim Amrullah, Lembaga Hidup, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1991), h. 196

3 Fikria Najitama, Signifikasi Agama dalam Kehidupan Keluarga, (Yogyakarta : Akhlak Mulia, 2007)

(7)

terlebih dahulu memperoleh bimbingan dari orang tuanya, termasuk didalamnya pengenalan dan pemahaman terhadap agama. Pendidikan dalam keluarga merupakan peletak fondasi dari watak dan pendidikan anak.

mengingat begitu pentingnya pendidikan terhadap anak dalam keluarga maka al qur’an secara gamplang pun telah memerincikannya.

Al qur’an diyakini oleh umat Islam sebagai firman Allah yang mutlak kebenarannya, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat nanti. Ajaran dan petunjuk al qur’an tersebut berkaitan dengan berbagai konsep yang amat dibutuhkan oleh umat manusia dalam mengarungi kehidupannya di dunia dan di akhirat kelak.4

Al qur’an berbicara tentang pokok-pokok ajaran tentang Tuhan, rasul, kejadian dan sikap manusia, alam jagat raya, akhirat, akal dan nafsu, ilmu pengetahuan, amar ma’ruf nahi munkar, pembinaan generasi muda, kerukunan hidup antar umat beragama, pembinaan masyarakat dan penegakan disiplin. Al qur’an juga memuat banyak sekali kisah-kisah yang berisi pelajaran dan hikmah, seperti: kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s., Nabi Nuh a.s. dan kan’an, Nabi Ya’qub a.s. dan Yusuf a.s., Maryam dan Isa a.s. serta Luqman hakim.5

4 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan “ Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy”, (Cet. I, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 1.

5 Miftahul Huda dan Muhammad Idris, Nalar Pendidikan Anak, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 15.

(8)

Berbagai kisah dalam al-Qur,an diatas, penulis menilai kisah Luqman memiliki konsep pendidikan terhadap anak yang runtut dan terperinci serta patut dijadikan pedoman bagi para pendidik khususnya orang tua dalam mendidik anak dilingkungan keluarga.

Melihat berbagai kenakalan remaja saat ini, penulis menilai bahwa timbulnya keadaan tersebut disebabkan oleh lemahnya pendidikan yang diberikan keluarga terhadap anak. Sementara itu, sesungguhnya al qur’an melalui kisah luqman telah memberikan pedoman bagaimana tahapan pendidikan terhadap anak itu harus diberikan oleh orangtua. Atas alasan inilah penulis tertarik mengungkap tahapan-tahapan pendidikan yang bersumber dari Al-Qur,an, khususnya surat Luqman ayat 13-19.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yaitu :

1. Bagaimana konsep al qur’an tentang Birrul Waalidain dan implikasinya terhadap pendidikan anak?

2. Bagaimana bentuk pendidikan Birrul Waalidain dalam Keluarga ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yaitu :

(9)

1. Untuk mengetahui konsep al qur’an tentang birrul waalidain.

2. Untuk mengetahui implikasi Birrul waalidain dan implikasinya terhadap pendidikan anak dalam keluarga.

D. Kegunaan Penelitian

Dalam kaitannya dengan kegunaan penelitian ini, maka dapat di klasifikasikan dalam dua hal :

1. Kegunaan teoritis

Skripsi ini diharapkan menambah ilmu pengetahuan tentang Konsep Al-Qur’an tentang Birrul Waalidain dan Implikasinya terhadap Pendidikan Anak dalam Keluarga dan sebagai bahan masukan, serta tambahan referensi bagi perpustakaan di Universitas Muhammadiyah Makassar serta dapan menjadi masukan bagi para pendidik

2. Kegunaan praktis

Kajian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pendidik, khususnya orang tua yang memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan pertama bagi anak dalam lingkup keluarga. Kajian ini juga diharapkan pula dapat memberi manfaat bagi para guru agar dapat mengambil pelajaran dari bahasan tafsir analisis yang berupa tahap-tahap pendidikan anak dalam keluarga berdsarkan surat Luqman ayat 13-19.

(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Birrul Walidain

Istilah birrul walidain berasal langsung dari Nabi Muhammad SAW.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Abdullah Ibn Mas‟ud – seorang sahabat Nabi yang terkenal, bertanya kepada Rasulullah SAW tentang amalan apa yang paling disukai oleh Allah SWT, beliau menyebutkan; Pertama, shalat tepat pada waktunya; kedua birrul walidain (berbakti kepada kedua orangtua) dan ketiga jihad fi sabilillah.

Ulama menegaskan bahwa sesuatu yang sifatnya mubah (boleh) akan menjadi sunnah (anjuran yang apabila dikerjakan mendapat ganjaran) jika hal itu diperintahkan ibu. Shalat yang masih bisa diulangi pada sisa waktunya dapat dibatalkan demi memenuhi panggilan ibu. Ini jika diduga bahwa panggilan ibu sangat penting.

Diriwayatkan bahwa Juraij seorang yang sangat tekun beribadah di Mushalla-nya. Suatu ketika dipanggil oleh ibunya, tapi ketika itu ia sedang

shalat. Sang ibu berkata : “Hai Juraij ! Aku Ibumu, kemarilah aku ingin berbicara kepadamu”. Juraij yang mendengar panggilan ibunya berucap dalam hatinya “Wahai Tuhan… Ibuku dan shalatku…” Lalu ia memutuskan melanjutkan shalatnya. Sang ibu pun kembali. Tidak lama kemudia ia datang lagi, menyampaikan kepada anaknya kalimat yang sama, tapi Juraij

6

(11)

mengambil sikap yang sama pula, yakni melanjutkan shalatnya. Ibunya kecewa berdoa : “Ya Allah. Itulah Juraij aku telah mengajaknya berbicara, tetapi ia enggan. Wahai Tuhan jangan wafatkan dia, sebelum dia mendapatkan cobaan dengan melihat perempuan-perempuan nakal.

Sementara pakar berkata “seandainya ibunya berdoa dengan yang lain, niscaya doanya pun dikabulkan Allah.”

Pengertian “Birrul walidain” terdiri dari dua kata, yaitu : birru dan al walidain. Birru atau al-birru artinya kebajikan. Al walidain artinya dua orangtua

atau ibu bapak. Jadi birrul walidain adalah berbuat kebajikan kepada kedua orangtua.1

Allah Swt. sangat besar perhatian-Nya terhadap hak kedua orangtua, sehingga Dia mengaitkan bakti dan berbuat baik kepada kduanya dengan ibadah dan tauhid kepada-Nya.

Berbakti dan berbuat baik kepada kedua orangtua, mengasihi, menyayangi, mendoakan, taat dan patuh kepada apa yang mreka perintahkan, melakukan hal-hal yang mereka sukai adalah kewajiban yang harus dilaksanakan anak.2

Birrul walidain adalah hak orangtua yang harus dilaksanakan oleh

anak, sesuai dengan perintah islam, sepanjang kedua orangtua tidak memerintahkan atau menganjurkan pada anak-anaknya untuk melakukan

1 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2002) h. 147

2 Akhlaq Husain, Menjadi Orang Tua Muslim Terhormat, (Cet I Surabaya : Gema Insan, 2000)

(12)

hal-hal yang dibenci oleh Allah Swt. Perintah yang menyimpang dari aturan- Nya, anjuran yang bertentangan dengan syari‟at-Nya, tak patut dipatuhi oleh anak, meski diperintahkan oleh orangtua.

Bersikap lemah lembut dan mendo‟akan adalah kewajiban bagi seorang anak kepada kedua orangtuanya. Hal ini dikarenakan begitu besar jasa dan pengorbanan keduanya. Karena itu menurut Sayyid Quthb :

“Hendaklah sikap seorang anak kepada orangtuanya merendahkan diri ketika melewati mereka bersikap lemah lembut.” Sikap ini bukan hanya sebagai formalitas tetapi harus terbit dari hati den kesungguhan yang benar-benar, maka menurut beliau inilah yang dimaksud dengan “rahmah” yaitu memuliakan dan bersikap lemah lembut, menundukkan pandangan dan tidak memaksakan kehendak dan berusaha untuk terus memuliakan.

Dalam ayat ini Allah menyebut jasa ibu secara terpisah dan lebih khusus, karena didalam kenyataannya seorang ibu mempunyai beban yang jauh lebih berat dari pada seorang ayah. Seorang ibulah yang mengandung, yang kesusahannya digambarkan oleh Alquran dengan “susah di atas susah”

atau keadaan payah yang bertambah-tambah. Kemudian setelah masa mengandung selama sembilan bulan, kurang lebih, tibalah kesusahan yang kedua yaitu, peristiwa melahirkan. Pada masa ini hidup dan mati seorang ibu dipertaruhkan. Tidak hanya sampai disitu, tugas seorang ibu belumlah berakhir, ia dituntut untuk memelihara sang anak, menyusuinya paling sedikit dua tahun lamanya.

(13)

Tiga masyaqqah (kepayahan dan kesusahan) yang dirasakan oleh seorang ibu tanpa dirasakan sepenuhnya oleh seorang ayah. Mulai dari masa mengandung dengan waktu yang tidak cukup pendek, kemudian peristiwa melahirkan, yang hidup dan matinya dipertaruhkan sampai pada menyusui dan memelihara kiranya cukup untuk menjadikan seorang ibu dilebihkan dalam hal penghomatan pemuliaan dari sang anak.

Tiga masa yang dilalui oleh seorang ibu menjadikan Rasul yang amat bijaksana menetapkan tiga tingkatan yang dimiliki oleh seorang ibu diatas seorang ayah dalam hal penghormatan dan pemuliaan.

Kebijaksanaan seorang Rasul itu diabadikan dalam sebuah hadits yang bercerita, ketika datang seorang laki-laki kepada Nabi menanyakan tentang siapakah yang terlebih dahulu untuk dihormati dan ditaati, maka Beliau menjawab ibunyalah yang harus didahulukan.

Kemudian dalam konteks ketaatan atau batas kepatuhan kepada kedua orangtua, Allah berfirman dalam QS. Luqman (31) : 15 :

نوَإِ

ًِِ َ َ َ شۡرِ َ َن ِ َاِ شۡرِ ُ نَ َ َ َا َ ٍَ َ ِفِ َهٍُشۡرِبِح َصَو ۖ َهٍُشۡرِعِطُت َلََف ٞمشۡرِلِع ۦ

َيشۡرِجُّلدٱ َو ۖ فٗفوُ شۡرِعَن شۡرِ ِبتَّتٱ

شۡرِمُتيُك َهِ مُكُئِّبَى ُ

أَف شۡرِمُكُعِجشۡرِ َم تَّ َ

لِإ تَّمُث َّۚتَّ َ

لِإ َب َى َ

أ شۡرِوَن َليِبَس

َنَُلَهشۡرِعَت ١٥

Terjemahnya:

(14)

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.3

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa ketaatan kepada kedua orang tua bukanlah hal yang mutlak. ketika ketaatan itu sudah mengarah kepada hal-hal yang melanggar undang-undang Allah atau maksiat kepada-Nya, maka bentuk ketaatan itu tidaklah pada tempatnya lagi. Ketaatan yang mutlak itu hanya milik Allah, kepada_Nya-lah segala ketaatan mesti harus dipersembahkan.

Ketaatan kepada orangtua dibenarkan, seperti halnya dalam bentuk ketaatan orang kepada siapapun apapun selain Allah. Dibenarkan dilakukan hanya dengan syarat, bahwa ketaatan itu menyangkut kebenaran dan kebaikan bukan kepalsuan dan kejahatan.

Dengan demikian, jika ketaatan dengan orangtua tidak sampai menjerumuskan sang anak kepada perbutan yang tidak baik, tidak layak dilakukan atau dilarang agama, maka ketaatan itu menjadi kewajiban kepada anak tehadap orangtuanya. Sebaliknya, ketika ketaatan itu sudah melenceng dari ajaran agama, yaitu; “hal-hal yang kamu tidak ada pengetahuan tentangnya, maka ketaatan itu harus ditanggalkan. Namun walaupun demikian seorang anak tidak boleh menjauh dari orangtuanya atau

3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2010), h. 412.

(15)

memusuhinya, sekalipun kedua orangtuannya itu non Islam. Maka yang terlebih pantas, sejalan dengan pesan ayat diatas adalah mempergauli keduanya di dalam urusan keduniaan dengan pergaulan yang diridhai agama.

Dalam hubungannya dengan anak, maka ada ha-hal yang orang tua antara ibu danayah berbeda pengorbanannya dan perasaan kasih sayangnya. Pada umumny hubungan ibu terhadap anak berbeda dengan hubungan ayah terhadap anaknya.4

B. Tinjauan Tentang Pendidikan Anak dalam Keluarga

Konsep birrul walidain dengan konsep pendidikan anak, yaitu dengan melihat paralel-paralel atau titik temunya. Hal ini juga dimaksudkan untuk membuktikan bagaimana dan di mana posisi orang tua dan anak sehingga tidak terjadi pandangan yang berat sebelah. Untuk itu ada beberapa poin yang ingin penulis kemukakan.

Pemahaman terhadap Karakter Anak. Berbicara masalah pendidikan tidak lepas dari unsur-unsur yang memungkinkan terciptanya pendidikan tersebut, yaitu pendidik, yang dididik, dan materi pendidikan. Dua yang pertama adalah subjek pendidikan dan yang terakhir adalah objek pendidikan. Kesalahan posisi akan berakibat fatal bagi subjek pendidikan,

4 Rahmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Semarang : Rasail, 2009). h.209-210

(16)

terutama yang dididik. Dalam konteks bahasan ini adalah anak, yaitu apakah anak sudah diposisikan sebagai subjek ataukah justru sebagai objek.

Sering yang ditemui justru terbalik, subjek terkadang diposisikan sebagai objek. Ini bukan sekedar salah kaprah, tetapi juga merupakan kesalahan fatal. Orang tua terkadang menginginkan anaknya sesuai dengan keinginannya, sehingga secara psikologis perkembangannya menjadi terhambat. Apa yang dikira baik bagi anak, belum tentu demikian kenyataannya, perlu pertimbangan yang benar-benar tidak berat sebelah dan benar-benar memihak kepentingan anak.

Orang tua berperan sebagai pendidik bukan sebagai seorang dogmatis, yang maunya menang sendiri. Berangkat dari sini perlu pemahaman terhadap perkembangan psikologis dan karakter anak, agar apa yang dilakukan orang tua tidak sia-sia atau bahkan menghambat perkembangan psikologis anak.

Birrul walidain adalah sebuah konsep yang harus dikaji ulang. Dikaji

ulang, dalam arti, meluruskan makna birrul walidain agar tidak digunakan secara semena-mena oleh para orang tua. Hal ini perlu dilakukan mengingat birrul walidain sering disalahpahami sebagai konsep yang berat sebelah.

Banyak orang tua yang melakukan tindakan otoriter atas nama birrul walidain.

Ini bukan hanya berlawanan dengan konsep pendidikan anak, tetapi juga berlawanan dengan makna birrul walidain.

(17)

Sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa birrul walidain dapat diartikan sebagai ketaatan dan berbuat baik kepada orang tua.

Ketaatan dibatasi oleh larangan Tuhan. Maksudnya, anak wajib taat kepada orang tua dengan syarat perintahnya itu untuk kebaikan dan tidak berlawanan dengan ketentuan-ketentuan Tuhan. Sedangkan keharusan berbuat baik kepada orang tua tidak ada batasannya, bahkan ketika orang tua jelas-jelas melawan kebenaran seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim.

Fenomena ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban orang tua dan anak merupakan alasan utamanya, meskipun secara konseptual hal ini sudah banyak dikemukakan berbagai kalangan. Konsep yang dikemukakan oleh beberapa kalangan lebih banyak membicarakan masalah hak orang tua dan kewajiban anak. Akibatnya, dampak yang diberikannya tidak hanya berada dalam tataran teoritis tetapi juga praktis.

Konsep birrul walidain bukanlah sebuah konsep yang terpisah dari konsep pendidikan anak. Sebagaimana dalam mendidik anak, orang tua perlu memahami karakter anak begitupun dalam birrul walidain. Pendidikan anak dan birrul walidain berjalan berkelindan dan saling melengkapi.

Pendidikan orang tua terhadap anaknya sebelum memasuki sekolah tentu sangat membantu semua pihak terlibat dalam pendidikan anak yang bersangkutan. Maka sekali lagi penulis katakan bahwa memahami karakter anak baik dalam rangka mendidik anak ataupun menanamkan nilai-nilai birrul walidain.

(18)

Penanaman nilai-nilai birrul walidain bukan tuntutan sosial semata, lebih dari itu, harus dimaknai secara inhern (dalam kesadaran). Oleh karena itu, konsep birrul walidain harus sejalan dengan pendidikan anak agar anak melaksanakan kewajibannya terhadap orang tuanya didasari kesadaran bukan karena terpaksa. Penulis kira tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya bersifat munafik; alim di hadapan orang tuanya dan bejat di belakang mereka (orang tua).

Ketika birrul walidain dianggap sebagai keharusan semata, tanpa mempertimbangkan kepentingan dan kecenderungan anak, pada saat itulah terciptanya ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan itu juga menciptakan dikotomi antara konsep birrul walidain dengan pendidikan anak. Pemahaman terhadap karakter anak selalu memerankan fungsi yang luar biasa pentingnya bagi orang tua untuk melakukan langkah-langkah selanjutnya.

Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya celaka, tetapi jika kecelakaan itu dimaknai dengan sekehendak hati maka akan terjadilah benturan konsep pendidikan dengan konsep birrul walidain.

Terkadang orang tua mengukur logika atau psikologis anak dengan logika atau psikologisnya sendiri, sehingga sering tidak sejalan dengan kebutuhan anak. Cara-cara yang demikian sungguh otoriter dan secara langsung atau tidak langsung tidak mengakui eksistensi anak sebagai manusia yang mempunyai pilihan dan kehendak bebas. Orang tua seharusnya mampu bersikap lebih bijak dalam memberikan bimbingan

(19)

kepada anaknya. Jangan sampai salah satu pihak ada yang menjadi korban.

Secara logika terbalik (mafhum mukhalafah), makna logika atau psikologis yang benar yang diidentikkan dengan mengikuti orang tua atau menanamkan kondisi kejiwaan orang tua ke dalam jiwa anak, dapat mengakibatkan pemberontakan anak, atau yang lebih parah lagi, adalah kedurhakaan anak, yang sebenarnya berasal dari orang tua itu sendiri.

Meskipun analisa ini tidak sepenuhnya benar, akan tetapi perlu diwaspadai karena lebih banyak benarnya.

Konsep pendidikan semestinya dibangun di atas landasan kemanusiaan. Begitu pula tampaknya yang semestinya terjadi pada konsep birrul walidain. Ajaran untuk taat dan berbuat baik kepada orang tua

hendaknya dibarengi dengan contoh yang baik. Hal ini membuktikan bahwa orang tua tidak hanya pandai dalam menuntut kewajiban anak, tetapi juga memahami apa yang seharusnya dilakukan kepada anaknya.

Dalam tataran ini, memahami karakter anak menjadi dasar bagi birrul walidain. Anak tidak mungkin punya argumentasi untuk membantah orang tuanya, jika memang orang tuanya telah menerapkan sistem yang sesuai dengan karakter anak. Anak akan menerima perintah orang tua dengan lapang dada, jika perintah itu disampaikan dengan cara yang benar. Maka sekali lagi penulis katakan, bahwa memahami karakter anak merupakan landasan bagi terciptanya birrul walidain.

(20)

Di dalam pendidikan anak dalam keluarga perlu diperhatikan dalam memberikan kasih sayang, jangan berlebih-lebihan dan jangan pula kurang.

Oleh karena itu keluarga harus pandai dan tepat dalam memberikan kasih sayang yang dibutuhkan oleh anaknya. Pendidikan keluarga yang baik adalah: pendidikan yang memberikan dorongan kuat kepada anaknya untuk mendapatkan pendidikan-pendidikan agama.

Pendidikan keluarga mempunyai pengaruh yang penting untuk mendidik anak. Hal tersebut mempunyai pengaruh yang positif dimana lingkungan keluarga memberikan dorongan atau memberikan motivasi dan rangsangan untuk menerima, memahami, meyakini, serta mengamalkan ajaran islam. Dalam keluarga hendaknya dapat direalisasikan tujuan pendidikan agama islam. Yang mempunyai tugas untuk merealisasikan itu adalah orangtua. Oleh karena itu ada beberapa aspek pendidikan yang sangat penting untuk diberikan dan diperhatikan orangtua, di antaranya:

1. Pendidikan Ibadah

Aspek pendidikan ibadah ini khususnya pendidikan salat disebutkan dalam firman Allah dalam QS. Luqman (31) : 17 :

ََۖكَباَصَأ ٓاَم َٰىَلَع ۡرِب ۡصٱ َو ِرَكنُمۡلٱ ِنَع َه ۡنٱ َو ِفوُر ۡعَمۡلٱِب ۡرُمۡأ َو َة َٰوَلَّصلٱ ِمِقَأ َّيَنُب ََٰي ِروُمُ ۡٱٱ ِم ۡ َع ۡنِم َكِل ََٰ َّنِ

Terjemahnya:

(21)

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.5

Pendidikan dan pengajaran al-Qur‟an serta pokok-pokok ajaran islam yang lain telah disebutkan dalam Hadis yang artinya: ‟‟sebaik-baik dari kamu sekalian adalah orang yang belajar al-Qur‟an dan kemudian mengajarkannya”.

Penanaman pendidikan ini harus disertai contoh konkret yang masuk pemikiran anak, sehingga penghayatan mereka didasari dengan kesadaran rasional. Dengan demikian anak sedini mungkin sudah harus diajarkan mengenai baca dan tulis kelak menjadi generasi Qur‟ani yang tangguh dalam menghadapi zaman.

2. Pendidikan Akhlakul Kharimah

Orangtua mempunyai kewajiban untuk menanamkan akhlakul karimah pada anak-anaknya, dan pendidikan akhlakul karimah sangat penting untuk diberikan oleh orangtua kepada anak-anknya dalam keluarga, sebagai firman Allah dalam QS. Luqman (31) : 19 :

شۡرِ ِ شۡرِٱٱَو َو َ ِي شۡرِ َم ِفِ

شۡرِ ُ شۡرِٱٱ َ َكى َ

تَّنِإ َّۚ َ ِتشۡرَِ َص وِن ِ َ شۡرِص َ شۡرِ ٱٱ

ُ شۡرَِ َ َ ِ ِهَ شۡرِ

ٱٱ ١٩

Terjemahnya:

5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2010), h. 412.

(22)

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.

Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”.6

Dari ayat ini telah menunjukkan dan menjelaskan bahwa tekanan pendidikan keluarga dalam islam adalah pendidikan akhlak, dengan jalan melatih anak membiasakan hal-hal yang baik, menghormati kedua orangtua, bertingkah laku sopan baik dalam berperilaku keseharian maupun dalam bertutur kata.

3. Pendidikan Akidah

Pendidikan islam dalam keluarga harus memperhatikan pendidikan akidah islamiyah, dimana akidah itu merupakan inti dari dasar keimanan seseorang yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Sejalan dengan firman Allah dalam QS. Luqman (31) : 13

شۡرِ ِ شۡرِٱٱَو َو َ ِي شۡرِ َم ِفِ

شۡرِ ُ شۡرِٱٱ َ َكى َ

تَّنِإ َّۚ َ ِتشۡرَِ َص وِن ِ َ شۡرِص َ شۡرِ ٱٱ

ُ شۡرَِ َ َ ِ ِهَ شۡرِ

ٱٱ

١٩

Terjemahnya:

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.7

6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2010), h. 412.

7 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2010), h. 412.

(23)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa akidah harus ditanamkan kepada anak yang merupakan dasar pedoman hidup seorang muslim.

Selanjutnya,karena anak paling tidak di waktu bayi dan kanak-kanak, lebih banyak dengan ibunya, maka peranan ibu dalam pembentukan kepribadiananak sungguh sangatbesar. Ini menjadi lebih besar lagi karena ibu memiliki potnsi untuk maksud tersebut, jauh melebihi potensi bapak.

ketekunan perempuan dalam hal-hal yang kecil dan limpahan kasih sayangnya merupakan dua hal pokok yang dianugerahkan Allah kepada perempuan atau ibu yang menjadi modal utama dalam fungsi sebagai pendidik. Itulah sebabnya kenyataan menunjukkan bahwa hamper semua, kalau enggan berkata semua, guru taman kanak-kanak adalah perempuan.

Itulah yang menjadi alasan kebenaran ungkapan yang menyatakan :

“Jika Anda menyiapkan calon ibu yang baik, maka Anda telah menyiapkan generasi yang luhur.”

Kalau merujuk sumber-sumber ajaran agama dapat ditemukan sekian banyak tokoh, bahkan Nabi, yang hanya dipelihara oleh ibunya sendiiri.

Keterangan Maryam, Ibu Nabi Isa as., juga merupakan teladan yang luar biasa. Sejak beliau bertemu dengan malaikat yang menyampaikan rencana Allah, sampai dengan saat melahirkan, bahkan saat menghadapi tuduhan masyarakat.

Banyak tokoh yang mengakui dirinya sebagai hasil didikan ibunya.

Napoleon misalnya berkata: “Aku adalah hasil didikan ibuku.” Harus diingat

(24)

bahwa peranan ibu bukan sekedar seperti pelukis yang menggoreskan kata- kata di ataskerta.tetapi ibu dan bapak bertugas menampakkan kuasa Allah, berkat pertolongan-Nya pada ciptaan-Nya yang sempurna, yakni sebagai anak. memang semua anak pasti memperoleh pendidikan dari ibunya, sedikit atau banyak,baik atau buruk. Semua berutang budi kepada ibu, antara lain karena ibu telah mencurahkan kasih sayang,bahkan berkorban demi anak- anak.

Namun demikian,jangan sekali-kali menyampingkan tugas dan peranan ayahdalam mendidik dan menyiapkan lingkungan yang sehat buat anak-anaknya.

Bapak atau suami diibaratkan oleh Al-Qur‟an sebagai petani, sedang ibuatau istri dilukiskan harts lakum (lading tempat bercocol tanam bagi suami.

Hal ini sesuai firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2) : 223 :

شۡرِمُ ُ ٓ َ ِ َ شۡرِمُكتَّ ٞ شۡرِ َح

َو َّۚشۡرِمُكِ ُنى َ

ِٱ ْ َُمِّ َٱَو ۖشۡرِمُتشۡرِ ِ تَّ َأ شۡرِمُكَ شۡرِ َح ْ َُتشۡرِأ ْ َُ تَّتٱ

َ تَّٱٱ

َو ْ َُٓهَلشۡرِعٱ ِ ِّ َبَو ُُۗهَُ َلُّن مُكتَّىَأ

َ ِيِنشۡرِ ُه شۡرِ ٱ ٢٢٣

Terjemahnya

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan

(25)

menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”.8

Ayat di atas menunjukkan pentingnya peranan ayah dalam mendidik anak-anaknya dan bukan sekedar mengandalkan peranan ibu.

Tetapi bagaimanapun, Ibu mempunyai pengaruh penting pada kepribadian anak sehingga merka merasakan kenyamanan, keteduhan,dan kpercayaan diri yang kuat menjalani hidupnya.pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertamakali berada pada buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah besar dalam pembentukan kepribadian sebuah generasi.ini adalah tugas yang besar untuk mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid, menanamkan kecintaan pada Al-Qur‟an

dan sunnah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada al- haq, mengajari bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan, mengajari akhlak-akhlak mulia, mengajari bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari untuk bersyukur, mengajari rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk didalamnya hal menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.

8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2010), h. 35.

(26)

Adapun fungsi keluarga terkhusunya yang paling berperan didalamnya adalah seorang ibu, secara ilmu menurut ST. Vembrianto sebagaimana dikutip oleh M. Alisuf Sabri mempunyai 7 (tujuh) yang ada hubungannya dengan si anak, yaitu :

a. Fungsi biologis : keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak secara biologis anak berasal dari orangtuanya.

b. Fungsi afeksi : keluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi penuh kasihsayang dan rasa aman).

c. Fungsi sosial : keluarga merupakan wadah untuk membentuk kepribadian anak melalui interaksi sosial dalam keluarga, mempelajari pola tingkah laku, sikap keyakinan, cita-cita dan nilai- nilai dalam keluarga, masyarakat, dan rangka pengembangan kepribadiannya.

d. Fungsi pendidikan : keluarga merupakan institusi pendidikan dalam keluarga dan merupakan satu-satunya institusi untuk mempersiapkan anak agar dapat hisup secara sosial masyarakat, sekarang pun keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak.

e. Fungsi rekreasi : keluarga merupakan tempat atau wadah rekreasi bagi anggotanya untuk memperoleh afeksi, ketenangan, dan kegembiraan.

f. Fungsi keagamaan : keluarga merupakan pusat pendidikan upacara dan ibadah agama, fungsi ini penting artinya bagi penanaman jiwa agama pada anak.

g. Fungsi perlindungan : keluarga berfungsi memelihara, merawat dan melindungi anak baik fisik maupun sosialnya.9

Di samping itu, tugas orang tua adalah menolong anak-anaknya, menemukan, membuka, dan menumbuhkan kesediaan bakat, minat, dan kemampuan akalnya dan memperoleh kebiasaan-kebiasaan dan sikap

9 Kahar, Mashur. Membina Moral Dan Akhlaq.(Kalam Mulia Jakarta : Radar Jaya Offset Jakarta, 1985)

(27)

intelektual yang sehat dan melatih indera. Adapun cara lain mendidik anak sebagaimana firman Allah dalam QS. Luqman (31) : 13-19 :

شۡرِوَإِوَإِ

ِ ُو َ شۡرِ ُ َا َٱ ۦًِِيشۡرِ

ًُ ُ ِعَ ٌَََُو ِب شۡرِاِ شۡرِ ُ َ تَّ َ ُب َ ۥ

ِۖ تَّٱٱ تَّنِإ َاشۡرِ ِّ ٱ ٞميِ َع ٌمشۡرِلُ َ

١٣ َيشۡرِي تَّصَوَو َو َن ِ شۡرِ

ٱٱ ًُُّن ُ

ًُشۡرِتَلَ َ ًِشۡرِ َ ِلد َ ِ ًُُل َ ِفَو نٖوشۡرٌَِو َ َ نًيشۡرٌَِو ۥ

ِن َ ۥ

ِ شۡرِ َن َعَ ِفِ

شۡرِ ُ شۡرِ ٱ تَّ َ

لِإ َ شۡرِ َ ِلد َ ِ َو ِل ُ ِ َه شۡرِ ٱ

١٤ نوَإِ

َ َ َ شۡرِ َ َن ِ َاِ شۡرِ ُ نَ َ َ َا َ ٍَ َ

ًِِ

ِفِ َهٍُشۡرِبِح َصَو ۖ َهٍُشۡرِعِطُت َلََف ٞمشۡرِلِع ۦ َيشۡرِجُّلدٱ

َو ۖ فٗفوُ شۡرِعَن شۡرِ ِبتَّتٱ

تَّمُث َّۚتَّ َ

لِإ َب َى َ

أ شۡرِوَن َليِبَس

َنَُلَهشۡرِعَت شۡرِمُتيُك َهِ مُكُئِّبَى ُ

أَف شۡرِمُكُعِجشۡرِ َم تَّ َ لِإ ١٥

تَّ َ ُب َ نٖةتَّبَح َا َ شۡرِثِن ُ َت نِإ ٓ ٍَتَّجِإ

ِفِ شۡرِو َ

ٍةَ شۡرِخ َص ِفِ وُكَتَف نٖاَدشۡرِ َخ شۡرِوِّن ِ َ َ تَّ ٱ

ِفِ شۡرِو َ ِرۡ َ شۡرِ

ٍَِ ِ شۡرِ ٱٱ َُّۚتَّٱٱ أَ

تَّنِإ َ تَّٱٱ

ٞ ِبَخ ٌفيِط َ ١٦

تَّ َ ُب َ ِمِٱ َ

َ ََل تَّ ٱ ِب شۡرِ ُم شۡرِ

ِ وُ شۡرِعَه شۡرِ ٱ َو َو

ًَشۡرِىٱ ِوَع ِ َ يُهشۡرِ ٱ شۡرِِ شۡرِصٱ َو

َ َ

ِمشۡرِزَع شۡرِوِن َ ِ َذ تَّنِإ ۖ َ َ َص َ ٓ َن ِوَُم ُ شۡرِ ٱٱ

َ ١٧ ِفِ ِششۡرِهَت َ َو

َو ِس تَّيلِ َاتَّ َخ شۡرِ ِّع َ ُت

ِرۡ َ شۡرِ

تَّنِإ ۖ نًحَ َم ٱٱ َ تَّٱٱ

نٖوَُخ َف نٖا َتشۡرِ ُمُ تَّ ُكُ ُّبِ ُيُ َ شۡرِ ِ شۡرِٱٱَو ١٨

َو َ ِي شۡرِ َم ِفِ

شۡرِ ُ شۡرِٱٱ

َ َكى َ

تَّنِإ َّۚ َ ِتشۡرَِ َص وِن

َ شۡرِ

ِ َ شۡرِص ٱٱ ُ شۡرَِ َ َ

ِ ِهَ شۡرِ

ٱٱ ١٩

Terjemahnya:

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu

(28)

mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar"

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”

“(Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).

Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.

Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”.10

Dalam ayat tersebut terkandung makna cara mendidik sebagai berikut menggunakan kata “wahai anakku” artinya seorang ayah ibu apabila berbicara dengan anak-anaknya, hendaknya menggunakankata-kata lemah lembut. Orangtua memberikan arahan kepada anak-anaknya untuk melakukan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang mungkardan selalu bersabar dalam menjalani apapun yang terjadi dalam kehidupannya.

10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2010), h. 412.

(29)

Dalam memerintah dan melarang anak, disarankan kepada kedua orangtua untuk menggunakan argumentasi yang logis, jangan menakut-nakuti anak.

Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barangsiapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah mlakukan kesalahan besar.

Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orangtua yang tak acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayah dan ibunya.

Kebutuhan spiritual adalah pendidikan yang menjadikan anak mengerti kewajibannya kepada Allah SWT, Rasul-Nya, orangtua dan sesame saudaranya.

Dalam pendidikan spiritual, juga mencakup mendidik anak berakhlak mulia, mengerti agama, bergaul dengan teman-teman dan menyayangi sesame saudara. Tugas ini menjadi tanggungjawab bapak dan ibu, inipun tidak luput dari birrul walidain seorang anak. Karena memberikan pelajaran agama sejak dini merupakan kewajiban orangtua. Maka, jika orangtua tidak menjalankan kewajiban ini, berarti mereka menyia-nyiakan hak anak.

Dalam memenuhi kebutuhan psikis anak, seorang ibu harus mampu menciptakan situasi yang aman bagi anak-anaknya. Ibu diharapkan dapat

(30)

membantu anak apanila mereka menemui kesulitan-kesulitan. Perasaan aman yang dirasakan anak yang diperoleh dari rumah, akan dibawanya keluar rumah. Artinya, anak tak akan mudah cemas menghadapi masalah- masalah yang ia hadapi.11

Islam menunjukkan masalah-masalah yang paling penting dalam memberikan pendidikan kepada anak baik sebagai orang tua atau sebagai pendidik. Karena itu orangtua harus memahami apa sebenarnya yang dibutuhkan seorang anak dari orangtuanya dan apa pula yang diberikan orangtua kepada anaknya.

Pada hakekatnya agama islam mengajarkan kepada pendidik yang harus diberikan kepada anak sebagai berikut.

1. Pendidikan keimanan

a. memberi petunjuk keimanan kepada Allah serta segala ciptaan-Nya.

b. Menumbuhkan didalam jiwanya ketaqwaan dan semangat beriman kepada Allah Swt.

c. Mendidik anak untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt tatkala berfikir.

2. Pendidikan budi pekerti

11 M Thalib. Tanggungjawab Orangtua terhadap Anak. ( Jakarta : Baitus Salam, 1995), h.32

(31)

a. menghindarkan anak dari perkataan dusta walaupun hanya bergurau, karena berkata dusta itu akan membuka jalan untuk berbuat maksiat sebab itu arahkan untuk berkata jujur.

b. Menghindarkan anak dari sifat mencuri dalam artian menipu, pengkhianat, tapi bawalah ia pada sifat amanah dan bertanggungjawab.

c. Sifat kebebasan dalam artian berbuat seenaknya tanpa memperhatikan norma adat dan ajaran terutamabagi anak yang identik dengan kebebasan dan pergaulan.

d. Sifat mencela 3. Pendidikan jasmani

a. Menyajikan makanan, minuman dan tempat yang sehat.

b. Menghindarkan mereka dari segala berbagai pnyakit dan mencari pengobatan.

c. Membiasakan hidup sederhana ataudengan semangat yang tinggi

d. Membiasakan anak dengan olahraga dan permainan yang sehat.

4. Pendidikan Akal a. Kewajiban belajar

b. Mengarahkan daya fikir dengan cara mngajarkan, metode tauladan, metode membaca, nasehat dan menghindarkan

(32)

anak-anak dari pengaruh lingkungan seperti minuman keras, narkoba, dan merokok.

5. Sifat yang harus dijauhkan dari pribadi anak diantaranya : a. Sifat malu dan tersipu-sipu

b. Sifat penakut

c. Sifat minder dan rendah diri d. Sifat pemarah

6. Pendidikan sosial

a. Mengerti hak-hak orang lain

b. Membiasakan sopan santun dalam masyarakat c. Mawas diri dalam masyarakat

d. Persaudaraan, pemaaf, balas kasih, dan e. Berani dalam kebenaran

7. Pendidikan terhadap lawan jenis

a. Sopan santun dalam meminta izin dalam arti jika hendak bertemu

b. Sopan santun dalam pandangan

c. Menjauhkan anak dari efek-efek pergaulan dengan lawan jenis.12

12 Sarupaet. Rahasia Mendidik Anak Indonesia. (Bandung : Publishing house, 2001) h. 54

(33)

Islam dengan kaidah-kaidah hukum yang menyeluruh dan sempurna serta prinsip-prinsip pendidikannya yang langgeng, telah meletakkan solusi dan metode untuk menumbuhkan kepribadian anak dari sisi akidah, fisik, akal, mental, dan sosialnya. Prinsip-prinsip dan metode-metode tersebut adalah prinsip-prinsip yang mudah dilaksanakan. Jika para pendidik dapat menerapkannya dalam membentuk generasi-generasi penerusdan mendidik masyarakat dan bangsa, pastilahsatu bangsa akan tergantikan oleh bangsa yang baik. Mereka berakidah kuat, berakhlak luhur, fisik kuat, akal yang matang, dan beretika yang indah.13

C. Bentuk-bentuk Birrul Walidain

Banyak cara bagi seorang anak untuk dapat mewujudkan Birrul walidain tersebut, antara lain sebagai berikut :

Mengikuti keinginan dan saran orangtua dalam berbagai aspek kehidupan, baik masalah pendidikan, pekerjaan, jodoh maupun masalah lainnya. Tentu dengan catatan penting; selama keinginan dan saran itu sesuai dengan ajaran Islam. Apabila bertentangan atau tidak sejalan dengan ajaran Islam, anak tidaklah punya kewajiban untuk mematuhinya, bahkan harus menolaknya dengan cara yang baik, seraya berusaha meluruskannya.

Menghormati dan memuliakan kedua orangtua dengan penuh rasa terima kasih dan kasih sayang atas jasa-jasa keduanya yang tidak mungkin

13 „Ulwan, Dr. Abdullah Nashih. Pendidikan Anak dalam Islam (Cet I. Jawa Tengah : Penerbit Al-Andalus, 2015)

(34)

bisa dinilai dengan apapun. Ibu yang mengandung dengan susah payah dan penuh penderitaan. Ibu yang melahirkan, menyusui, mengasuh, merawat dan membesarkan. Bapak yang membanting tulang mencari nafkah untuk ibu dan anak-anaknya. Bapak yang menjadi pelindung untuk mendapatkan rasa aman. Allah SWT berwasiat kepada kita untuk berterima kasih kepada ibu bapak sesudah bersyukur kepada-Nya; seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur‟an surat Luqman ayat 14.

Banyak cara untuk menunjukkan rasa hormat kepada orangtua, antara lain memanggilnya dengan panggilan yang menunjukkan hormat, berbicara kepadanya dengan lemah lembut, tidak mengucapkan kata-kata kasar (apalagi kalau mereka berdua sudah lanjut usia), pamit kalau meninggalkan rumah (kalau tinggal serumah), memberi kabar tentang keadaan kita dan menanyakan keadaan keduanya lewat surat atau telepon (bila tidak tinggal serumah). Allah berfirman dalam QS. Al-Isra (17) : 23 :

ٓ تَّ

ِإ ْ ٓوُ ُبشۡرِعَت تَّ َأ َ ُّ َو َ َٱَو ِبَو ُه تَّ ِإ

ِوشۡرِ َ ِلد َ شۡرِ ٱ َاَ يِع تَّوَغُلشۡرِبَح تَّنِإ َّۚ نًي َنشۡرِحِإ

ََ ِ شۡرِ ٱ

فٗهيِ َك فٗ شۡرََِٱ َهٍُتَّ لُٱَو َهٌُشۡرِ ٍَشۡرِيَت َ َو نّٖ ُ ٓ َهٍُتَّ لُ َت َلََف َهٌُ َِكِل شۡرِوَ ٓ َهٌُُ َحَ

٢٣

Terjemahnya:

”Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan

(35)

kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.14

Membantu ibu bapak secara fisik dan materiil. Misalnya sebelum berkeluarga dan mampu berdiri anak-anak membantu orangtua (terutama ibu) mengerjakan pekerjaan rumah, dan setelah berkeluarga atau berdiri sendiri membantu orangtua secara finansial, baik untuk membeli pakaian, makanan minuman, apalagi untuk berobat. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa betapapun banyaknya engkau mengeluarkan uang untuk membantu orangtuamu tidak sebanding dengan jasanya kepadamu.

Mendoakan ibu bapak semoga diberi oleh Allah SWT ampunan, rahmat dan lain-lain sebagainya. Allah SWT menukilkan dalam Al-Qur‟an doa Nabi Nuh memintakan keampunan untuk orangtuanya, dan perintah kepada setiap anak untuk memohonkan rahmat Allah bagi orangtuanya.

Allah Swt. berfirman QS. Al-Isra‟ (17) : 24 :

شۡرِ ِنشۡرِخٱَو َح َيَج َهٍَُ

ِ ّاُّٱٱ َوِن

ِةَ شۡرِ تَّ ٱ ِّبتَّو لُٱَو

َهٍُشۡرِ َ شۡرِوٱ افٗ ِغ َص ِ َيتَّ َو َه َك

٢٤

Terjemahnya:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.15

14 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2010), h. 412.

15 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2010), h. 284.

(36)

Setelah orangtua meninggal dunia, birrul walidain masih bisa diteruskan dengan cara :

1. Menyelenggarakan jenazahnya dengan sebaik-baiknya.

2. Melunasi hutang-hutangnya.

3. Melaksanakan wasiatnya.

4. Meneruskan silaturahmi yang dibinanya di waktu hidup.

5. Memuliakan sahabat-sahabatnya.

6. Mendoakannya.16

Ketika kedua orangtua telah meninggal dunia/wafat status anak tetap berlangsung sampai kapan pun hingga anak itu meninggal dunia. Oleh karena itu anak wajib berbuat baik, hormat dan taat, meskipun orangtua telah meninggal dunia, dengan cara melakukan hubungan silaturrahim dengan orang yang dikenal dan dicintai (sahabat) orangtua semasa hidupnya.

Dengan isyarat hadits tersebut, berarti berbuat baik hormat dan taat kepada orangtua yang telah meninggal dunia tidak harus datang ke kubur, atau ke makamnya, meskipun ziarah kubur itu diperbolehkan manakala membawa manfaat bagi kita untuk senantiasa mengingat mati, ingat kehidupan akhirat, sehingga mendorong seseorang untuk selalu berbuat baik.

Perlu diingat, hadits tersebut menyatakan tentang kebolehan ziarah kubur yang bersifat umum, tidak hanya kepada kedua orangtua yang telah wafat, tetapi untuk semua orang yang ada di kuburan siapa saja bagi kaum

16 Achmad Yani Arifin. Berbakti Kepada Orang Tua. (Yogyaakarta : Pustaka Insan Madani, 2008)

(37)

muslim, dan perlu diperhatikan untuk berbuat baik, hormat dan menaati kedua orangtua yang telah meninggal itu bukan harus berarti membangun kuburannya dengan pembangunan yang permanen, yang menelan banyak biaya dan menggunakan tanah lebih luas.

Cara yang selanjutnya untuk menghormati dan berbuat baik terhadap orangtua yang telah wafat adalah dengan doa, agar dikasihi, diampuni segala dosa-dosanya dan ditempatkan di sisi-Nya, karena doa anak yang baik dan saleh akan bermanfaat bagi kedua orangtuanya, dan doa anak itu termasuk amal yang tidak putus dari orangtua yang dilakukan selama hidupnya. Sabda Rasulullah SAW :

: َلاَق . َ . الله لوُس َر َّنأ ) ر ( ة َرْيَرُه ىِبأ ْنَع

ُهُلَمَع َعَطَقْنا ُناَسنلإا َتاَم اَ

ثٍ َ َ ْنِم َّإ ِهِب ُعَ َ ْنُي ثٍمْلِع وَا ثٍ َي ِراَ ثٍ َقَ َص ( :

ُهَلوُع ْ َي ثٍحِلاَص ثٍ َل َووَا , (

هاور وا وبا)

Artinya :

“Jika manusia itu mati, maka putuslah amalnya, kecuali 3 macam. 1.

sedekah jariyah. 2. ilmu yang bermanfaat. 3. anak saleh (baik) yang mendoakan kepada kedua orangtuanya”. (HR. Muslim)17

Menurut Analisa penulis, penanaman nilai birrul walidain adalah berbuat baik kepada orang tua yakni berbakti kepada kedua orang tua.

Allah memerintahkan kepada manusia untuk berbakti kepada orang tua lebih lebih saat mreka sudah usia lanjut. Perintah untuk tetap berbakti kepada

17 Gymnastiar, Membangun Keluarga. (Bandung : MSQ. Pustaka Grafika, 2002)

(38)

kedua orang tua harus dilakukan secara menyeluruh. Menyeluruh artinya dalam seluruh hidup sorang anak. Selagi seorang anak masih hidup di dunia maka seseorang anak wajib berbakti kepada mereka. Menyeluruh juga bisa diartikan berbakti kepada kedua orang tua secara total baik dengan hati, lisan, maupun anggota tubuh. Dengan hati seorang anak dapat dengan baik kepada mereka. Dengan anggota tubuh seorang anak dapat bekerja untuk mmnuhi kebutuhan mereka di saat mereka sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhannya sendiri.

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini penulis lakukan mengingat obyek atau fokus yang diteliti dan dikaji adalah suatu teori. Karena penelitian ini bersifat teoritis konseptual, tentu saja penulis menggunakan penelitian pustaka, yaitu studi literatur dari berbagai rujukan seperti Buku, Kamus, Ensiklopedi dan lain sebagainya.

Jenis studi ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh para ahli terlebih dahulu, mengikuti perkembangan penelitian di bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang dipilih, dengan memanfaatkan data yang sudah tersedia.

B. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini, pnliti mengemukakan focus penelitian sebagai berikut : konsep al-qur’an tentang birrul waalidain (berbuat baik kepada kedua orangtua), dan implikasinya terhadap pendidikan anak dalam keluarga,

35

(40)

bagaimana akhlak sorang anak terhadap orang tua disaat mereka sangat membutuhkan yakni di saat kedua orangtua dalam usia lanjut.

C. Data dan Sumber Data

Dilihat dari kemungkinan pengukurannya, data ini dapat diklasifikasikan sebagai data kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung. Oleh karena itu, penulis akan menilainya dengan analisis yang sesuai dengan data. Sedangkan sumber datanya diambil dari karya-karya yang membicarakan masalah birrul walidain dan pendidikan anak, seperti karya Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi; Al Qur’an dan Terjemahnya; Hery Noer Aly dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam;

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru; Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Mendidik Anak; dan karya-karya lainnya yang membicarakan masalah birrul walidain dan pendidikan anak dalam keluarga.

D. Teknik Pengumpulan Data

Untuk menghasilkan data yang runtut dan sistematis, maka penulis menempuh beberapa langkah sebagai berikut :

a. Koleksi data, yaitu mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan sesuai dengan data penelitian.

37

(41)

b. Seleksi data, yaitu memilih dan mengambil data yang terkait dengan penelitian.

c. Klasifikasi data, yaitu menempatkan data sesuai dengan sub-sub dan aspek aspek bahasan.

d. Interpretasi data, yaitu memahami, untuk kemudian menafsirkan data yang telah dikumpulkan, diseleksi, dan diklasifikasikan.

E. Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya yang dilakukan penulis adalah menganalisis data melalui metode-metode sebagai berikut :

a. Metode Deskriptif Analisis

Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai apa adanya, dengan tujuan menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang diteliti secara tepat. Metode ini dipergunakan untuk mendeskripsikan tentang tafsir ayat birrul walidain relevansinya dengan konsep Pendidikan anak.

b. Metode Content Analysis

Content analysis adalah metode studi dan analisis data secara sistematis dan obyektif. Dengan metode ini diharapkan bisa mengeksplorasi data sebanyak-banyaknya dengan berpijak pada objektivitas yang sistematis.

(42)

F. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan adalah urutan-urutan pembahasan dari bab awal sampai bab terakhir, yang merupakan kesatuan yang utuh dan sistematis. Dalam skripsi ini secara keseluruhan terdiri dari 4 bab yang sangat erat kaitannya dengan bab lainnya, dengan perincian sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Dalam bab ini dipaparkan latar belakang masalah, perumusan masalah, alasan memilih judul, tujuan penelitian, danmanfaat penelitian.

BAB II: Pembahasan tentang konsep birrul walidain yang meliputi konsep birrul walidain, dan hak dan kewajiban orang tua dan anak. Kemudian dilanjutkan dengan konsep pendidikan anak, yang meliputi pengertian pendidikan anak,

BAB III: Metode penelitian

BAB IV: Penutup, dengan memberikan kesimpulan dari hasil penelitian ini dan saran-saran yang mungkin dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi yang membutuhkan.

(43)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Analisis Pendidikan Birrul Waalidain dalam Al-Qur’an

Pendidikan birrul walidain merupakan usaha untuk berbakti dan berbuat baik seorang anak kepada kedua orang tua yang ditunjukkan dengan cara-cara mengasihi dan menyayangi mereka, taat dan patuh kepada mereka, menunaikan kewajiban terhadap mereka, melakukan hal- hal yang membuat mereka ridho dan meninggalkan sesuatu yang membuat mereka murka.

Pendidikan birr al-wālidain merupakan pendidikan yang paling pertama dikarenakan pendidikan tersebut berkaitan langsung dengan orang tua, yaitu orang yang pertama kali mendidik putra putrinya.

Pendidikan birrul walidain merupakan bagian dari pendidikan akhlak yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya setelah sang anak ditanamkan atau diajarkan akidah/ keyakinan. Ditanamkannya pendidikan birrul walidain kepada anak bertujuan agar sang anak nantinya bisa

menghormati orang tuanya.

Di dunia ini, tidak ada seorang pun yang kedudukannya menyamai orang tua dan menandingi jasa mereka terhadap seorang anak. Untuk itu, seorang anak yang dibentuk oleh ajaran Islam harus benar-benar berbuat baik kepada orang tuanya. Seorang anak harus menunjukkan sikap hormat kepada orang tuanya, berdiri untuk menghormati mereka ketika

39

(44)

mereka masuk rumah sementara dia tengah duduk, mencium tangan mereka, rendah hati, berbicara dengan nada yang lemah lembut, tidak pernah memaki dengan kata-kata yang kasar atau melukai, tidak memperlakukan mereka dengan cara-cara yang tidak hormat, apapun keadaannya. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam QS. Al- Isra (17) : 23-24.

Diwajibkannya seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tua dikarenakan jasa orang tua yang begitu besar terhadap anaknya, lebih-lebih seorang ibu yang telah menanggung derita, sengsara dan susah payah dan sebagainya. Jika orang tua menyimpang dari ajaran Islam yang benar, tugas seorang anak yang muslim adalah mendekati mereka dengan cara yang lemah lembut dan baik agar mereka tidak mengerjakan kesalahan itu. Jangan menyalahkan mereka secara kasar, akan tetapi harus berupaya untuk memberi bukti yang kuat dan kata-kata yang bijak sampai mereka kembali kepada kebenaran yang anak yakini.

Seorang anak dituntun untuk memperlakukan orang tuanya dengan baik sekalipun mereka musyrik. Sementara anak itu sendiri sadar bahwa syirik merupakan dosa besar, akan tetapi dia harus memenuhi tanggung jawabnya kepada kedua orang tua. Hal tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan Allah SWT dalam QS. Luqman (31) : 13-19.

Orang tua adalah kerabat yang paling dekat dan paling dicintai.

Namun, ikatan itu, meski demikian tingginya, berada setelah akidah. Jika orang tua musyrik dan meminta anaknya untuk mengikuti kemusyrikan

(45)

mereka, anak tidak diperbolehkan untuk mengikuti dan bahkan wajib menolak, sebab seorang muslim tidak boleh mengikuti sesama makhluk untuk membangkang kepada Sang Khalik. Namun, seorang anak tetap wajib memperlakukan orang tuanya dengan baik dan hormat serta memelihara mereka, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-„Ankabūt ayat 8.

Dari kelima munasabah ayat di atas, bentuk-bentuk birr al-wālidain yang terdapat dalam kelima ayat tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1. Berbuat Baik kepada Orang Tua

Berbicara masalah berbuat baik kepada kedua orang tua, Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ankabut (29) : 8.

اَنۡي َّصَوَو َ َن ِ ٱ ۡ

ِ ِة َ َ َسۡ َ اَ ِ َاِ ۡ ُ ِ َا َ َ َ ن اۖانٗنۡصُ ِ ۡ َِ َ ِة ۦ

مٞ ۡ ِ َنوُ َمۡعَت ۡ ُخنُك اَمِة ُكُئِّبَن ُ

أَف ۡ ُكُعِجۡرَم َّ َ

لَِإ ٓۚ اَمُ ۡعِطُح َلََف ٨

Terjemahnya :

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

Pengertian berbuat baik kepada orang tua di sini artinya sangat luas. Diantara contoh perilaku berbuat baik kepada orang tua yaitu berkata dan bertutur kata yang sopan, lemah lembut serta menyenangkan

(46)

hati orang tua. Jangan sampai berkata yang keras, kasar, apalagi sampai membentak mereka.

Ayat tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa kata-kata kasar atau yang tidak menyenangkan orang tua, tidak boleh dikeluarkan oleh anak. Sebaliknya, tutur kata yang disampaikan kepada orang tua harus tutur kata yang halus, lembut, penuhhormat dan santun, sekalipun mereka bukan muslim. Menurut ajaran Islam, seorang anak tetap wajib menolong orang tuanya dalam hal keduniaan, meskipun orang tua tersebut memeluk agama lain, sekalipun penyembah berhala. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Luqman (31) : 15.

2. Patuh kepada Orang Tua

Seorang anak diwajibkan untuk patuh kepada kedua orang tua.

Adapun bentuk kepatuhan kepada orang tua dapat dilihat dari:

a. Menuruti semua kehendak orang tua selama kehendak itu baik menurut agama Allah.

b. Segera menjawab dan memenuhi panggilan orang tua, terutama ibu, sekalipun dalam keadaan yang sibuk.

c. Tidak membantah semua perkataan orang tua dengan cara yang kasar dan menyakitkan hati.

Adalah suatu kebenaran, seorang anak harus mematuhi semua perintah orang tua, akan tetapi ada satu perkara yaitu perintah dan kehendak orang tua yang tidak boleh dituruti, bahkan harus ditolak, yakni bila diperintahkan untuk menyekutukan Allah dan perkara maksiat yang

(47)

lainnya. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam menolak perintah orang tua untuk menyekutukan Allah dan perkara maksiat yang lainnya harus dilakukan dengan cara yang halus dan sopan.

Dasar untuk menolak perintah orang tua bahwa segala perintah orang tua, baik orang tua maupun atasan, yang bertentangan dengan ajaran Islam harus bahkan wajib ditolak yaitu sebagai firman Allah dalam QS. Al-Ankabut (20) : 8 dan QS. Luqman (31) : 15.

Begitu besarnya nilai patuh atau berbakti kepada kedua orang tua, sampai-sampai perintahnya disandingkan langsung dengan perintah beribadah kepada Allah dan larangan menyekutukannya, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-Isra‟ (17) : 23. Artinya bahwa hijrah dan jihad harus seizing orang tua dan mendapatkan keridhaannya.

3. Menyayangi Orang Tua

Ibu dan bapak adalah kedua orang tua yang sangat besar jasanya kepada anak-anaknya. Jasa mereka tidak bisa dihitung dan dibandingkan dengan harta, sehingga sering kita mendengar dalam peribahasa bahwa kasih ibu kepada anak sepanjang jalan, akan tetapi kasih anak kepada ibu hanyalah sepanjang galah.

Melihat betapa besar kasih sayang orang tua kepada anak, kiranya sudahlah pantas apabila kemudian sang anak menyayangi kedua orang tuanya, terlebih ibu. Sebenarnya mengasihi dan menyayangi kedua orang tua dapat diwujudkan dengan cara:

(48)

a. Selalu menunjukkan rasa cinta dan sayang kepada kedua orang tua.

b. Merawat ibu atau bapak ketika sakit.

c. Berusaha menyenangkan hati kedua orang tua.

d. Perintah Allah untuk menyayangi kedua orang tuanya Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Isra (17) : 24.

4. Berterima Kasih atau Bersyukur kepada Orang Tua

Dalam proses kejadian manusia melalui ayah dan ibu, mulai terjadi pembuahan dalam rahim ibu. Kemudian ibu yang mengandungnya selama (umumnya) sembilan bulan dengan susah dan payah. Susah memikirkan bagaimana keselamatan anaknya dan keselamatan dirinya. Takut dan khawatir kalau-kalau anaknya tidak normal, apalagi kalau mengandungnya sudah tua. Payah badannya dalam bergerak, berjalan dan segala keadaannya. Semua itu dirasakan oleh ibu bukan dirasakan oleh ayah. Kemudian di waktu melahirkan berhadapan dengan maut, walaupun sudah ditemukan teknologi modern melahirkan dengan mudah tanpa rasa sakit, akan tetapi umumnya melahirkan adalah peristiwa yang gawat bagi ibu. Setelah melahirkan, ibu harus menyusuinya selama dua tahun untuk sempurnanya.1 Sebagaimana firman Allah dalam QS.

Luqman (31) : 14.

Dalam sepatah ayat ini digambarkan bagaimana payah ibu mengandung, payah bertambah payah. Payah sejak dari mengandung

1 Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), h. 210.

Referensi

Dokumen terkait

I: KEPack, Type II: Category Classification, Type III: KE System, Type IV: KE Modelling, Type V: Hybrid KE, Type VI: Virtual KE, Type VII: Collaborative KE, Type

Identifikasi terhadap produk Gd-DTPA-folat dilakukan menggunakan alat Spektrofotometer Fourier Transform- Infra Red (FT-IR) dan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan cara

Menurut Berry (Sobur, 2009) dalam penelitian kepribadian, terdapat berbagai istilah seperti motif, sifat dan temperamen yang menunjukkan kekhasan permanen pada

KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rejeki serta kuasa yang Ia limpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya trailer film 2D yang berjudul Silent Sword

Dalam pengembangan kedepan, perbaikan adalah faktor yang harus dilakukan jika menginginkan sebuah sistem yang baik, karena analisis dan desain website ecommerce

Jadi dapat disimpulkan bahwa, Return On Asset (ROA) adalah salah satu alat pengukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan dan alat untuk

Aberasi Kromosom dan Penurunan Daya Tetas Telur pada Dua Populasi Ayam Petelur.. Ilmu

Dengan adanya pemodelan peramalan dalam penentuan persediaan stok jenis spare part mesin kendaraan, akan menghasilkan sebuah model sistem Peramalan stok jenis spare part