BAB II KAJIAN KOMPARATIF DARI PERSPEKTIF
C. Jenis Tindak Pidana dan Sanksinya
3. Tindak Pidana Takzir
Dalam Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab pengertian takzir adalah hukuman yang diwajibkan karena adanya kesalahan, dimana pemberi syari’at tidak menentukan hukumannya secara tertentu.121
Menurut Fathi ad-Duraini takzir adalah hukuman yang diserahkan kepada penguasa untuk menentukan bentuk dan kadarnya sesuai dengan kemaslahatan yang menghendaki dan tujuan syarak dalam menetapkan hukum, yang ditetapkan pada seluruh bentuk maksiat, berupa meninggalkan perbuatan yang wajib atau mengerjakan perbuatan yang dilarang, yang semuanya itu tidak termasuk dalam katagori hudud dan kaffarat, baik yang berhubungan dengan hak Allah SWT berupa gangguan terhadap masyarakat umum, keamanan mereka, serta perundang-undangan yang berlaku, maupun yang terkait dengan hak pribadi.122
121 Dalam Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab, Op-cit., hlm.579.
122 Ibid, hlm.1771.
74 Sedangkan para fukaha mengartikan takzir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh Al-Quran dan Hadis yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah SWT dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa.123
Hukuman takzir harus diterapkan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan, dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan “takzir ini sangat tergantung pada tuntutan kemaslahatan”. Jarimah takzir dalam Ensiklopedia Hukum Islam terbagi atas dua macam:124
1. Jarimah takzir yang ditentukan oleh syarak seperti riba, menggelapkan titipan orang lain, memaki-maki orang lain, suap/sogok, dan pelanggaran lain yang tidak diancam dengan hukuman hudud, kisas dan diat.
2. Jarimah takzir yang hukumannya ditentukan oleh penguasa dengan syarat sesuai dengan kepentingan masyarakat dan tidak berlawanan dengan hukum Islam.
Dalam www.hukumjenayah.com disebutkan bahwa kesalahan- kesalahan yang termasuk dalam takzir adalah:
a. Kesalahan-kesalahan hudud atau kisas yang tidak cukup bukti untuk dikenakan hukuman hudud atau kisas.
b. Kesalahan-kesalahan khalwat.
c. Perbuatan-perbuatan yang mengganggu ketentraman masyarakat seperti mengumpat, menipu, berjudi, dsb.125
Para ulama membagi tindak pidana takzir menjadi 2 bagian, yaitu:
(1) Jarimah yang berkaitan dengan hak Allah SWT (segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum) dan
123 Dalah HA.Djazuli, Op-cit., hlm161.
124 Dalam Ensiklopedia Hukum Islam, Op-cit, hlm 414.
125 Dalam www.hukumjenayah.com , diunduh 2 Juni 2010, 12.29 WIB.
75 (2) Takzir yang berkaitan dengan hak perorangan (segala sesuatu yang
mengancam kemaslahatan bagi seorang manusia/pribadi).126
Pentingnya pembagian jarimah takzir pada jarimah yang berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba adalah karena ada perbedaan antara keduanya yaitu:
a. Permaafan, untuk takzir yang berkaitan dengan hak hamba permaafan diserahkan sepenuhnya kepada korban atau ahli warisnya, sedangkan ulil-Amri tidak dapat memaafkan. Sedangkan takzir yang berkaitan dengan hak Allah atau jamaah ada kemungkinan bagi ulil Amri untuk memberi permaafan bila hal itu membawa kemaslahatan, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Mintalah syafaat kepadaku dan Allah memberi keputusan melalui lidah Nabi-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki” (HR.Muslim dari Abu Musa al-Asy-ary).
b. Concursus (perbarengan tindak pidana). Untuk takzir yang berkaitan dengan hak hamba tidak diberlakukan teori tadakhul. Jadi sanksinya dikomulasikan (dijumlahkan) sesuai dengan banyaknya kejahatan.
Misalnya seorang menghina A,B,C dan D maka hukumannya adalah empat kali. Sedangkan dalam takzir yang berkaitan dengan hak Allah, maka berlaku teori tadakhul (dikenakan sekali saja). Misalnya seseorang melakukan pencurian berkali-kali dan baru yang ketiga tertangkap, maka ia hanya dikenakan satu kali potong tangan.
c. Takzir yang berkaitan dengan hak perorangan dapat diwariskan kepada ahli waris korban. Adapun yang berkaitan dengan hak Allah tidak dapat diwariskan.
Dalam menetapkan berbagai bentuk tindak pidana takzir ini, acuan yang harus dijadikan pedoman oleh pihak penguasa/pemerintah adalah untuk memelihara dan menjamin kemaslahatan serta ketertiban masyarakat, di samping tidak boleh bertentangan dengan nas serta prinsip umum yang berlaku dalam syari’at Islam.
126 Dalam HA.Djazuli, Op-cit., hlm.162.
76 Diserahkannya takzir kepada kebijakan penguasa dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan dan keluwesan bagi perkembangan kejahatan yang ada mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga hukum Islam hanya menentukan jenis kejahatan yang pasti dan tidak bisa berubah hanya sedikit berupa hudud, kisas dan diat, sedangkan takzir menampung semua kejahatan selain itu. Hal demikian disebabkan karena hukum Islam berlaku sampai akhir jaman sehingga terhadap kejahatan-kejahatan baru dapat ditampung dalam tindak pidana takzir yang jenis maupun ancaman hukumannya sepenuhnya diserahkan kepada penguasa dengan mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat.
Mengenai jenis sanksi dalam jarimah takzir dapat berupa:
a. Nasehat b. Teguran c. Ancaman
d. Pengucilan dalam pergaulan
e. Pengumuman kepada umum (pencemaran nama baik si pelaku) f. Denda dan merampas harta
g. Penjara
h. Sebat (cambuk) i. Bunuh.127
Ukuran dalam menentukan hukuman dalam jarimah takzir, para ahli fiqh berbeda-beda faham, ada yang berpendapat bahwa jenis sanksi pidananya diserahkan sepenuhnya kepada ijtihat penguasa/hakim, dengan memperhatikan semua segi dan kemaslahatannya, sedangkan sebagian lain berpendapat bahwa sanksi pidana takzir tidak boleh melebihi ukurannya dalam tindak pidana hudud.
127 Ibid.
77 Anwar Haryono dalam tulisannya mengatakan: “Para ahli fiqh berbeda-beda faham dalam menentukan ukuran penghukuman dalam takzir, sebagiannya berpendapat, bahwa terserah sepenuhnya kepada ijtihat penguasa/hakim, dengan memperhatikan segala segi keperluannya dan kemaslahatannya; sebagiannya lagi berpendapat, bahwa hukuman takzir dalam maksiat tidak boleh melebihi ukuran dalam hudud, sedang Maliki membolehkannya, tergantung pada macam pelanggarannya”.128
Dengan adanya bentuk tindak pidana takzir dalam hukum Islam merefleksikan adanya peluang baik bagi pembuat undang-undang maupun kepada hakim untuk melakukan pembaharuan atau ijtihat (inovasi) terhadap berbagai ketentuan mengenai tindak pidana, pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaannya.
Jadi ruang lingkup tindak pidana takzir itu sangat luas karena hukum Islam tidak memberi batasan mengenai tindak pidana ini, artinya setiap tindak pidana yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan belum ada contohnya dalam tradisi ketika Nabi Muhammad masih hidup asal bukan tindak pidana hudud dan tindak pidana kisas serta diat dinamakan tindak pidana takzir dan mengenai hal itu sepenuhnya diserahkan kepada penguasa.
Jimly Asshiddiqie129 menyatakan bahwa bentuk pidana takzir merupakan pengembangan lebih lanjut dari gagasan pemidanaan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah, khususnya terhadap bentuk-bentuk delik yang tidak atau belum diatur dalam kedua sumber hukum itu, tetapi kenyataannya memerlukan pengaturan tertentu yang bersifat pidana. Hal ini dimungkinkan karena ketentuan-ketentuan pidana yang secara tegas di atur dalam Al-Quran dan contoh-contoh Nabi, memang sangat terbatas kepada kenyataan empiris di zamannya. Sedangkan kebutuhan masyarakat dari hari ke hari semakin kompleks dan berkembang, karena
128 Anwar Haryono, Hukum Islam Keluasan Dan Keadilannya, Bulan Bintang, Jakarta, 1968, hlm.197.
129 Jimly Asshiddiqie, Op-cit., hlm.144.
78 bentuk-bentuk atau jenis-jenis kejahatannya semakin hari juga semakin menjadi kompleks. Oleh karena itu adanya pidana takzir ini sebagai produk ijtihad para hakim dan para ahli hukum.
Pembagian tindak pidana dalam hukum Islam berbeda dengan pembagian tindak pidana menurut hukum konvensional seperti KUHP. Seperti diketahui bahwa menurut KUHP pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran sebagaimana terdapat dalam Buku II dan Buku III KUHP.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Hans de Doelder130, bahwa di Belanda sebelum tahun 1886 mengenal tiga macam pembagian tindak pidana, yaitu misdaden (kejahatan), van bedrijven (perbuatan salah), dan over tredingen van politie (pelanggaran terhadap polisi).131 Akan tetapi sejak tahun 1886 pembagian tersebut tidak lagi dipertahankan karena dasar-dasar pembagian itu tidak ada. Sehingga sejak tahun 1886 tindak pidana hanya di bagi menjadi dua yaitu misdrijven (kejahatan) dan overtredingen (pelanggaran).
Pembagian menjadi dua golongan tindak pidana juga dipakai dalam KUHP Indonesia, akan tetapi berdasarkan berbagai kajian pembagian kepada dua golongan tersebut saat ini tidak bisa dipertahankan lagi sehingga dalam RUU KUHP tidak lagi dikenal pembagian tersebut, dan hanya dipakai istilah tindak pidana (strafbaar feit).
130Hasil wawancara dan diskusi dengan Hans de Doelder, Erasmus University Rotterdam, Belanda, 8 September 2009.
131 Pembagian menjadi tiga macam tersebut ternyata mengikuti sistem hukum pidana Perancis yang juga membagi tindak pidana menjadi tiga macam yaitu: crimes, delits, dan contraventions. Pembagian tersebut didasarkan atas dua hal: 1) macamnya pengadilan yang mempunyai wewenang untuk memeriksanya: cour de’assises dengan juri untuk crimes, tribunaux correcttionnels untuk delits, dan juge de la paix untuk contraventions. 2) Macamnya hukuman untuk tiap-tiap tindak pidana: hukuman penjara untuk crimes, hukuman penjara yang bersifat koreksi (coorectionelle gevangenisstraf) atau denda untuk delits, dan hukuman kawalan ringan (lichte vrijheidstraf), kurungan polisi, dan denda untuk contraventions. Lihat pula dalam Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Op-cit, hlm.103.
79