• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Islam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Islam

Tindak pidana korupsi merupakan sebuah tindak pidana yang sangat tercela baik dari segi agama maupun sosial. Dalam islam sendiri, korupsi termasuk ke

13 Ibid.

20 dalam perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Perbuatan tersebut sebagaimana firman Allah dalam Q.S An-Nisa’ ayat 29 yang artinya,

“janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”.14

Firman Allah tersebut menjelaskan bahwa korupsi merupakan sebuah perbuatan yang dilarang oleh Allah karena sifatnya yang tercela. Allah hanya mengizinkan bagi hambanya untuk memperoleh harta kekayaan dari hasil yang halal yaitu dengan berdagang dan sebab-sebab yang baik. Selain ayat diatas, larangan tentang berbuat korupsi telah difirman kan oleh Allah juga dalam Q.S Al-Baqarah ayat 188 yang artinya, “janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”.15

Larangan-larangan sebagaimana ayat-ayat diatas telah jelas betapa tercelanya perilaku tersebut sehingga Allah telah melarangnya secara langsung dengan firman nya di dalam Al-Qur’an. Perbuatan korupsi tersebut dapat dicegah dimulai dengan diri sendiri yaitu dengan melatih sikap jujur sejak dini dan senantiasa meningkatkan rasa bersyukur atas segala harta yang telah dimiliki. Dengan begitu maka kita bisa terhindar dari perbuatan tercela tersebut.

14 Q.s An-Nisa’ ayat 29

15 Q.s Al-Baqarah ayat 188

21

B. Tindak Pidana Korupsi Dalam Perkembangannya Hingga Saat Ini (Pasca Revolusi) Korupsi merupakan salah satu permasalahan yang luar biasa yang terjadi bukan hanya di Indonesia, namun juga permasalahan yang terjadi di dunia internasional khusus nya bagi negara yang menganut negara demokrasi. Hal ini disebabkan karena negara demokrasi menjunjung tinggi transparasi, akuntabilitas, dan integritas sehingga nantinya akan dapat mengancam pada stabilitas dan keamanan masyarakat, nilai-nilai etika, dan keadilan serta mengacaukan pembangunan penegakan hukum suatu negara hukum.

Perkembangan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi hingga saat ini telah menghasilkan banyak produk hukum yang telah diperbarui seiring dengan berjalannya waktu. Perkembangan produk hukum tersebut hingga saat ini antara lain:

1. TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Dalam ketetapan ini pertama kali mengatur tentang kewajiban penyelenggara negara mengumumkan dan bersedia untuk diperiksa selama dan setelah mereka menjabat. Dalam ketetapan ini juga mengatur tentang penyelenggara negara baik lembaga eksekutif, yudikatif maupun legislatif harus menjalankan tugas dan fungsinya untuk mengabdikan dan bertanggung jawab

22 kepada masyarakat, bangsa dan negara dengan jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta terbebas dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

2. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Undang-Undang ini merupakan pelaksaan lebih lanjut dari TAP MPR sebelumnya. Undang-Undang ini juga digunakan sebagai dasar dari pembentukan Komisi Periksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), baik dari segi struktur organisasinya maupun tugas dan fungsinya. Dalam undang- undang ini diatur peran serta dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih menjadi tanggung jawab dari masyarakat juga.

3. Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan adanya Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang ini mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang digunakan untuk mengatasi pemberantasan tindak pidana korupsi dengan adanya sanksi pidana. Selain itu, peraturan yang ada juga mengatur tentang pemberian sanksi pidana mengenai siapa saja yang menghalangi upaya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi baik saat penyidikan, penuntutan maupun pada saat sidang di pengadilan. Dalam Undang-Undang ini juga mengatur tentang tindak pidana apa saja yang dari sisi

23 substansi nya bukan termasuk korupsi, namun keuangan atau aliran dana tindak pidana tersebut yang terkait dengan tindak pidana korupsi.16

4. Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang ini merupakan dasar terbentuknya KPK dalam menangani kasus tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia hingga saat ini dengan kewenangan khusus, sebab cara-cara konvensional yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan dianggap kurang efektif dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini juga merupakan bentuk bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang harus ditangani secara khusus karena korupsi sudah menjadi sesuatu pidana yang sangat luar biasa di Indonesia.

5. Undang-Undang No.1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana

Perkembangan zaman yang ada menyebabkan hukum yang ada-pun juga harus mengikuti zaman yang ada. Adanya Undang-Undang ini menyikapi perkembangan tersebut dengan mengatur tentang keterlibatan negara lain, seperti larinya koruptor ke luar negeri serta penyembunyian aset hasil korupsi di luar negeri. Dengan adanya Undang-Undang tersebut yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang keterkaitan dengan luar negeri

16 Bambang Waluyo, 2016, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Strategi dan Optimalisasi), Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm. 15.

24 diharapkan dapat mempersempit ruang gerak serta mempermudah menangani aliran dana hasil dari tindak pidana korupsi serta pelaku.

6. Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang ini mengatur tentang tindak pidana terkait dengan penyamaran dan penyembunyian aset hasil kejahatan.

Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang ini menyebutkan bahwa salah satu tindak pidana pokok penyamaran dan penyembunyian hasil kejahatannya dapat dituntut dengan pasal TPPU adalah tindak pidana korupsi yang dengan itu berarti pelaku tindak pidana korupsi dapat dituntut secara kumulatif dengan pasal-pasal TPPU.

7. Instruksi Presiden RI No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi

Peraturan atau instruksi ini ditujukan kepada pejabat negara dibawah presiden guna mencegah dan memberantas korupsi dengan cepat. Beberapa instruksi tersebut bahwa menteri, gubernur, dan walikota beserta jajarannya untuk menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada KPK untuk memberikan dukungan maksimal terhadap upaya penindakan, meningkatkan pengawasan dan pembinaan aparatur,

25 melaksanakan pengadaan barang serta jasa dengan baik dan masih banyak lagi.17

8. Intruksi Presiden RI No.9 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011

Inpres ini sama dengan Inpres sebelumnya dimana ditujukan kepada pejabat negara dibawah presiden (Menteri, Sekretaris Kabinet, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala UKP4, Kepala Lembaga Non Kementerian, Sekretaris Jendral pada Lembaga Tinggi Negara, para Gubernur, dan para Bupati atau Walikota) untuk mengambil langkah-langkag sesuai dengan tugas dan fungsinya masing- masing untuk mencegah dan memberantas korupsi tahun 2011.

9. Peraturan lainnya sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi hingga saat ini

Beberapa peraturan yang diterapkan antara lain Instruksi Presiden RI No.17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012 dimana Inpres ini merupakan Inpres lanjutan pada tahun 2012 sebagai upaya mewujudkan pembangunan nasional dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Nasional).18

Selanjutnya ada Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang merupakan Inpres lanjutan dari Inpres sebelumnya yanga ada pada tahun 2012. Kemudian ada Peraturan Presiden

17 Ibid. hlm. 16.

18 Ibid. hlm. 17.

26 RI No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012- 2014 yang dimana di dalamnya mengatur tentang visi dan misi, sasaran, strategi dan fokus kegiatan prioritas pencegahan dan pemberantasan korupsi jangka panjang tahun 2012-2025 dan juga untuk jangka menengah 2012-2014, serta sebagai perangkat anti korupsi. Perangkat anti korupsi itu diantara lain berupa profil assessment, citizen’s charter, kode etik, mekanisme kontrol sosial, pakta integritas, mekanisme penanganan pengaduan masyarakat secara transparan, mekanisme pelaksanaan keterbukaan informasi, mobilisasi masyarakat sipil melalui edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat, pengaturan konflik kepentingan, penguatan lembaga yudisial, perlindungan whistleblower dan justice collaborator, proses pelayanan publik, dan lain sebagainya.19 Peraturan terakhir adalah Instruksi Presiden RI No.7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015.

Peraturan-peraturan yang berlaku tersebut merupakan upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi yang telah memodifikasi peraturan- peraturan tersebut dari tahun ke tahun untuk menciptakan sebuah hukum yang efektif sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Namun tidak hanya itu, pemerintah telah melakukan ratifikasi terhadap instrumen internasional agar pelaku maupun aset pelaku tindak pidana korupsi dapat terlacak dan ditarik

19 Ibid. hlm. 18.

27 kembali ke Indonesia. Beberapa instrumen tersebut adalah United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada tahun 2003, yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000 yang diratifikasi melalui Undang- Undang RI No.5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).20 Organized Crime adalah kejahatan yang terorganisir untuk mendapatkan keuntungan dengan cara melanggar hukum. Hal ini dikarenakan tindak pidana korupsi terjadi bukan hanya melibatkan satu pihak saja melainkan merupakan kejahatan yang telah terorganisir sehingga dapat masuk dan mengambil keungan negara yang ada.21

Lembaga-lembaga negara yang hingga saat ini masih diberi amanah untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah Komisi Pemberantasan Korupsi dimana komisi ini berbeda dari lembaga negara sebelumnya yang hanya bertahan beberapa tahun saja. KPK telah ada sejak tahun 2002 dan masih tetap digunakan hingga sekarang yaitu tahun 2023. KPK yang telah berdiri kurang lebih 21 tahun ini adalah suatu lembaga negara yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun yang dibentuk untuk menjalankan tugas dan fungsi

20 Ibid. hlm. 19.

21 Muhammad Taufiq, 2018, Kejahatan Korporasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.21

28 sesuai dengan tujuannya. Untuk mencapai tujuannya tersebut, maka KPK harus berlandaskan pada UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu memberikan kepastian hukum, akuntabilitas, keterbukaan, kepentingan umum dan proposionalitas.22

Hingga saat ini sudah banyak koruptor yang telah tertangkap dan diadili dengan pidana yang ada, namun masih terdapat beberapa masalah tentang penerapan unsur “merugikan keuangan negara” dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yanga ada yang menyebabkan menghambat proses penanganan perkara tindak pidana korupsi. Permasalahan tersebut yang menjadi penghambat antara lain:

1. Pengertian “merugikan keuangan negara” hanya diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi;

2. Persepsi yang berbeda mengenai apa itu keuangan negara;

3. Beda pemahaman pada Actual Loss dan Potential Loss atas unsur kerugian negara (Delik Materiil);

4. Kesulitan dalam mengeksekusi uang pengganti untuk menutupi kerugian negara;

5. Unsur kerugian (keuangan) pada negara masih sebatas aspek finansial bukan tentang dampak yang ditimbulkannya juga;

22 Hibnu Nugroho, 2013, Efektivitas Fungsi Koordinasi dan Supervisi dala Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13, No.3, hlm. 395.

29 6. Pengembalian kerugian negara dapat menghentikan penanganan perkara

korupsi.23

Penjelasan mengenai poin nomor 3 adalah seperti yang dijelaskan pada Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu berkenaan dengan pemahaman actual loss dan potential loss adalah mengenai pengertian kata “dapat” yang diartikan bahwa pengertian tersebut melakukan sebuah perbuatan yang akan terjadi sedangkan seseorang dijatuhkan pidana berdasarkan suatu perbuatan yang telah jelas diperbuat dan bukan sesuatu yang belum pasti terjadi.24

Permasalahan yang timbul diatas adalah berbagai permasalahan yang di dalam Undang-Undang tidak dijelaskan secara menyeluruh mengenai pengertian keuangan negara sehingga dalam praktik penegakan hukumnya, penegak hukum melakukan penafsiran tersendiri sehingga banyak mengalami permasalahan dalam pemahaman.

Pemberantasan tindak pidana korupsi hingga saat ini, KPK tidak menjalankan tugasnya secara sendiri, namun mereka juga dibantu oleh Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam memeriksa aliran dana dan pengawasan keuangan negara yang dilakukan oleh para koruptor. Lembaga-lembaga tersebut diberikan wewenang untuk

23 Abdul Fatah, Nyoman Serikat Putra Jaya, et al., 2017, Kajian Yuridis Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negaara Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Diponegoro Law Jurnal, Vol. 6, No. 1, hlm. 7.

24 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006

30 menghitung kerugian yang dialami negara telah diatur dalam pasal 10 Undang- Undang No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) yang menyebutkan:25

“BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.

Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa tugas-tugas yang dimiliki oleh komisi pemberantasan korupsi ditunjang oleh BPK dalam proses penyelesaian perkara dalam hal menetapkan berapa jumlah kerugian yang telah dialami negara. Kerja sama antar lembaga seperti ini merupakan salah satu cerminan dari aspek keterbukaan karena adanya kerja sama yang saling terbuka mengenai permasalahan negara yang ada dalam hal ini adalah kerugian keuangan yang dialami oleh negara.

Perjalanan perkembangan peraturan tindak pidana korupsi terus berlanjut hingga pembentukan dari rancangan Undang-Undang KUHP pun selesai dan diundangkan pada akhir tahun 2022 lalu. Keberadaan tindak pidana korupsi pun ikut dimasukkan ke dalamnya karena telah banyaknya peraturan diluar KUHP yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sehingga dalam KUHP baru tersebut disatukan kembali agar menjadi satu.

25 Ibid.

31 Pada tahun 2023 ini juga ada sebuah rencana tentang akan dikeluarkannya Undang-Undang perampasan aset guna menunjang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun TPPU berjalan dengan baik. Namun pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ada hingga saat ini telah mengatur tentang bagaimana negara dalam melakukan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi tersebut. Maka dari itu, urgensi dari keberadaan UU perampasan aset yang akan dikeluarkan tersebut belum sangat mendesak sehingga mungkin dapat diberlakukan dulu Undang-Undang yang sedang berlaku saja.

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) alat bukti yang sah sehingga menjadikan seseorang menjadi terpidana adalah adanya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Namun dalam tindak pidana korupsi, dikarenakan tindak pidana korupsi merupakan suatu tindak pidana khusus, maka dalam pembuktian terdapat sedikit perbedaan. Peraturan tersebut ada pada UU PTPK yang diperluas menjadi:

1. Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

2. Dokumen yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca atau disimpan secara elektronik, berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Hal tersebut berbeda karena dalam tindak pidana korupsi harus dibuktikan dengan konkret tentang berapa jumlah kerugian yang telah dialami negara, maka dari itu

32 pengusutan kasus tindak pidana korupsi berbeda dengan pengusutan jenis tindak pidana pencurian biasa.

33 BAB III PEMBAHASAN

A. Kebijakan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Korupsi Dalam Kebijakan Hukum Pidana yang Lama

Tindak pidana korupsi telah dikenal di dunia sebagai tindak kejahatan yang sangat merugikan suatu negara sehingga perkembangan suatu negara menjadi sangat terhambat. Tindak kejahatan yang termasuk ke dalam kategori berat tersebut telah ada sejak awal Indonesia merdeka yang dimana hal ini mengikuti dengan semakin berkembangnya perekonomian negara yang ada. Perkembangan ekonomi Indonesia dari masa penjajahan hingga saat ini menjadikan suatu hal yang perlu sangat diperhatikan mengingat Indonesia masih menjadi negara yang berkembang sehingga sektor keuangan negara sangat diperlukan untuk kemajuan negara. Jika keuangan negara masih sering diambil oleh pejabat yang tidak bertanggung jawab, maka negara tidak akan pernah mengalami kemajuan yang berarti.

Peraturan yang mengatur tentang korupsi pertama kali ada pada tahun 1957 dengan dikeluarkannya Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/08/1957 tentang penilikan harta benda agar dalam pembangunan baik dalam infrastruktur, ekonomi maupun militer pada saat itu menjadi kuat karena pada saat itu Indonesia masih dalam keadaan waspada terhadap penjajah yang dapat datang kembali. Selain itu dikeluarkan juga Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957

34 tentang penyitaan dan perampasan barang-barang. Kemudian pada tahun 1958 dibentuklah Badan Koordinasi Penilik Harta Benda (BKPHB) melalui Peraturan Penguasaan Angkatan Perang Angkatan Darat Nomor PRT/Perpu/013/1958 tentang Penyitaan dan Perampasan Harta Benda yang Asal Mulanya diperoleh dengan perbuatan yang Melawan Hukum yang didalam nya sebagian mengatur tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.

Peraturan-peraturan tersebut yang akhirnya berkembang dan lahirlah Undang- Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan yang di dalam nya telah memuat beberapa peraturan yang ada sebelumnya sehingga Undang-Undang No.31 tahun 1999 ini menjadi terfokus dan menjadi dasar hukum negara dalam memberantas pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. Undang-Undang No.31 tahun 1999 yang mengatur tentang tindak pidana korupsi ini merupakan undang-undang diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya akan disebut KUHP) sehingga tindak pidana korupsi ini dikatakan sebagai tindak pidana khusus karena secara formil dan materil diatur lebih khusus yang berguna untuk menangani permasalahan tersebut lebih efektif.

Undang-Undang ini meskipun tidak termuat dalam KUHP, namun undang-undang ini dapat berlaku karena di dalam KUHP telah memuat pasal untuk menjembatani seluruh undang-undang khusus yang di luar KUHP yaitu pada Pasal 103 pada Buku Kesatu KUHP yaitu tentang aturan umum.

Dalam Pasal 103 KUHP berbunyi:

35

“Ketentuan-ketentuan dalam BAB I sampai dengan BAB VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”

Maka dengan adanya pasal tersebut ketentuan yang ada pada BAB I sampai dengan BAB VIII Buku 1 KUHP berlaku untuk seluruh undang-undang di luar KUHP, tetapi pada BAB ke IX tidak tercantum ke dalam pasal tersebut sehingga seluruh rumusan atau aturan pada BAB ke IX tidak berlaku sehingga undang- undang di luar KUHP harus menjelaskan secara terpisah pengertian tentang unsur apa saja yang menjadi tindak pidana di undang-undang tersebut. Seperti contohnya pada undang-undang No.31 tahun 1999 pada BAB I mengenai ketentuan umum yaitu tentang pengertian tentang apa itu korporasi, pegawai negeri dan juga pengertian tentang setiap orang itu siapa saja.

Kemudian pada BAB Kedua diatur mengenai apa saja yang termasuk dalam tindak pidana korupsi itu. Pada BAB kedua Pasal 2 ayat (2) terjadi sedikit perubahan mengenai makna keadaan tertentu. Pasal ini berbunyi:

“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

Pengertian “keadaan tertentu” dalam pasal ini mengalami sedikit perubahan dimana pada Undang-Undang No.31 tahun 1999 menjelaskan keadaann tertentu yaitu pemberatan pidana apabila tindak pidana korupsi dilakukan pada waktu

36 negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu bencana nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Namun pada undang- undang No.20 tahun 2001 penjelasannya menjadi apabila tindak pidana tersebut (korupsi) dilakukan terhadap dana yang akan digunakan untuk penganggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekomomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Dalam hal ini yang menjadi persoalan adalah bagaimana negara dapat dikatakan sebagai dalam keadaan bahaya, terjadinya bencana alam nasional maupun yang lainnya. Negara dapat dikatakan dalam keadaan bahaya maupun terjadi bencana alam nasional hanya ketika presiden menyatakan negara dalam keadaan tersebut. Jika presiden tidak menyatakan negara dalam keadaan bahaya maupun adanya bencana alam nasional meskipun terjadi adanya bencana alam seperti tsunami maupun gunung meletus, maka pelaku tindak pidana korupsi tersebut tidak dapat dijatuhkan pidana mati yang termuat dalam pasal tersebut.

Kemudian pada Pasal 4 diatur yaitu pengembalian kerugian akibat tindak pidana korupsi atau uang hasil korupsi tersebut dikembalikan kepada negara tidak menghilangkan penjatuhan pidana terhadap pelaku namun hal tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat meringankan pelaku. Maka dapat dikatakan pasal ini mengatur bahwa meskipun uang hasil korupsi dikembalikan kepada negara, pelaku juga mendapatkan hukuman penjara dan atau denda yang telah diatur dalam Pasal

37 2 dan 3. Selanjutnya pada undang-undang No.20 tahun 2001 merubah Pasal 5 hingga Pasal 12 yang semula rumusan hukumnya mengacu pada Pasal-Pasal yang berada di dalam KUHP, menjadi menyebutkan langsung unsur-unsur tindak pidana tersebut dan digabung dengan penjatuhan pidananya. Dengan adanya hal ini, maka undang-undang korupsi menjadi undang-undang yang secara khusus pengaturannya tersendiri dengan tidak terlalu mengacu pada KUHP yang ada dan lebih mempermudah sekaligus memperjelas unsur-unsur pidana di dalam tiap pasalnya. Perubahan dengan menjelaskan tersendiri masuk ke dalam undang- undang tersebut merupakan salah satu cara untuk memperkuat hukum yang ada mengingat KUHP merupakan sebuah undang-undang milik belanda yang dimana rumusan di dalamnya sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman saat ini dimana hukuman yang diberikan sebagaimana Pasal 5 undang-undang No.31 tahun 1999 dimana sebelum terbentuknya undang-undang ini, negara dalam memberantas tindak pidana korupsi masih menggunakan Pasal 209 KUHP Belanda (lama) yaitu dengan memberikan denda sebesar 300 rupiah. Hal ini dapat terjadi karena KUHP sendiri telah ada sejak tahun 1915 yang diadopsi dari Wetboek van Strafrecht (WvS) dan dicatatat dalam Staatsblad 1915 No. 732. Sebelumnya WvS berlaku di Belanda sejak 1881, yang kemudian setelah merdeka Indonesia menggunakannya sebagai hukum pidana dengan dikeluarkannya undang-undang No.1 tahun 1946 tentang

Dokumen terkait