KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP HUKUM PIDANA YANG BARU
Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Hukum
Program Kekhususan Hukum Pidana
Diajukan oleh:
HANIF ULYA HIMMA 30302000508
PROGRAM STUDI (S.1) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA) SEMARANG
2023
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA
KORUPSI TERHADAP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG BARU
by Hanif Ulya Himma
Submission date: 13-Jul-2023 08:22AM (UTC+0700) Submission ID: 2130334565
File name: Hanif_Ulya_Himma_30302000508_Skripsi_Korupsi.docx (326.03K) Word count: 14186
Character count: 89365
i
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP HUKUM PIDANA YANG BARU
Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Hukum
Program Kekhususan Hukum Pidana
Diajukan oleh:
HANIF ULYA HIMMA 30302000508
PROGRAM STUDI (S.1) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA) SEMARANG
2023
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
iv Motto :
Motto hidup saya adalah:
- Q.S Al-Isra’ ayat 7
- Orang yang sukses bukan orang yang banyak bermimpi tapi orang yang bangun untuk mewujudkan mimpi tersebut
- Jangan selalu hidup pada masa lalu, jangan selalu hidup mengkhawatirkan masa depan, hiduplah sekarang untuk mempersiapkan masa depan;
- Life is a game but don’t get played
Skripsi ini aku persembahkan kepada:
- Ayah dan Ibu tercinta
- Almarhum kakak yang saya sayangi - Sahabat-sahabat yang selalu memberikan
semangat
- Seluruh teman-teman Fakultas Hukum UNISSULA 2020
- Almamater Fakultas Hukum UNISSULA 2020
iv
vii
vii
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP HUKUM PIDANA YANG BARU”.
Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang dinantikan syafaatnya nanti di yaumul akhir. Penulisan skripsi ini guna memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum serta merupakan persyaratan akhir penulis untuk menyelesaikan program studi pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik atas bantuan dari banyak pihak, dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati dan penuh rasa hormat saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan secara moril maupun materiil baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung;
Ucapan terima kasih lainnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E., Akt., M.Hum. selaku Rektor Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
2. Bapak Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
3. Ibu Dr. Widayati, S.H., M.H. dan Bapak Arpangi, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan I dan Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
4. Bapak Dr Achmad Arifullah, S.H., M.H. selaku Kaprodi S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
viii
5. Ibu Ida Musofiana, S.H., M.H. dan Ibu Dini Amalia Fitri, S.H., M.H. selaku Sekretaris Kaprodi S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
6. Prof. Dr. Eko Soponyono, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan arahan hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen serta Staff Fakultas Hukum yang sabar dalam menyampaikan ilmu dan membantu penulis selama berkuliah disini.
8. Khususnya kedua orang tua saya tercinta Bapak Moch. Suwandi dan Ibu Isti Faizah yang telah mendoakan, memberi dukungan hingga terselesaikannya penulisan ini.
9. Kepada Almarhum Kakak saya Faizal Miftakhul Husna yang telah menemani dan mengajarkan banyak hal sehingga dapat menginspirasi dan memberikan penulis semangat sampai terselesaikannya penulisan ini.
10. Terima kasih Afifatul Ulya yang selalu memberikan semangat dan do’a untuk penulis dari awal pembuatan skripsi ini hingga sampai akhirnya bisa menyelesaikan dengan tepat waktu. Terima kasih telah selalu sabar, ikhlas dalam meluangkan waktunya, selalu meyakinkan penulis untuk pasti bisa menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman perjuangan penulis dalam berproses di dunia perkuliahan, Ibnu, Putri, Zara, Ulil, Anwar, Wisnu Afri, Wisnu Bayu, Salman.
12. Teman-teman yang selalu penulis cintai pula Ishraul, Rafli, Ridwan, Dimas, Adnan, Januar, Angga, LieAben, Syahrul, Andre, Ayep, Mba Gita, Mas Coach, Mas Jay, Alm. Mas Gilang, Ian, Uus, Senna, Mas Dika, Mas Dult, Mas Sandi.
13. Semua pihak yang telah berperan tidak hanya dalam penulisan skripsi ini melainkan juga dalam perjalanan hidup penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
x
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... v
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
ABSTRAK ... xi
ABSTRACT ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penulisan ... 5
D. Kegunaan Penulisan ... 5
E. Terminologi ... 6
F. Metode Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan umum Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 10
2. Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Islam ... 19
xi
B. Tindak Pidana Korupsi Dalam Perkembangannya Hingga Saat Ini (Pasca Revolusi) ... 21 BAB III PEMBAHASAN
A. Kebijakan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Korupsi Dalam Kebijakan Hukum Pidana yang Lama ... 33 B. Kebijakan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Korupsi Dalam Kebijakan
Hukum Pidana yang Baru ... 48 BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ... 68 B. Saran ... 69 DAFTAR PUSTAKA ... 70
xii ABSTRAK
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan pidana yang sangat mengancam pertumbungan negara sehingga dalam penanganannya membutuhkan hukum yang dapat menimbulkan efek jera. Kemunculan KUHP baru menjadi sebuah permasalahan baru karena aturan di dalamnya memiliki substansi yang dapat memperingan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi dibandingkan dengan peraturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebelumnya. Pembaharuan aturan tersebut seharusnya dapat memperbaiki hukuman yang ada dengan menambahkan skala hukuman yang ada sehingga dapat memberikan efek jera yang lebih besar terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Adanya permasalahan tersebut membuat penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode penelitian berupa pendekatan yuridis normatif yaitu dengan penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah melalui studi kepustakaan/library research yang menelaah (terutama) data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dimana keduanya mengumpulkan data baik dari undang-undang, jurnal, buku, maupun sumber kepustakaan lainnya.
Hasil penelitian yang di dapat adalah perubahan yang terjadi pada Undang- Undang pemberantasan tindak pidana korupsi belum dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Kemunculan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru dirasa menjadi sebuah kemunduran bagi penegakan hukum tindak pidana korupsi karena beberapa pasal mengenai pemidanaannya terhadap pelaku tindak pidana korupsi mempermudah atau memperingan hukuman yang di jatuhkannya. Perubahan tersebut antara lain adanya pengurangan minimal pidana terhadap penjatuhan pidana penjara kepada terdakwa dan pengurangan minimal hukuman pidana denda. Selain itu dalam KUHP baru tersebut menambahkan maksimal hukuman pidana denda namun tidak dengan pidana penjaranya. Perubahan terhadap substansi-substansi lainnya juga dilakukan berupa pengubahan pidana yang bersifat campuran menjadi hanya pidana kumulatif.
Kata Kunci: Kebijakan, Pidana, Korupsi, Keuangan, Negara
xiii ABSTRACT
Corruption is a criminal crime that greatly threatens the growth of the state so that handling it requires laws that can have a deterrent effect. The emergence of the new Criminal Code is a new problem because the rules in it have substance that can ease the punishment for perpetrators of corruption crimes compared to previous regulations on the eradication of corruption crimes. The reform of the regulation should be able to improve existing penalties by adding the scale of existing penalties so that it can have a greater deterrent effect on perpetrators of corruption crimes.
The existence of these problems makes the author conduct research using research methods in the form of a normative juridical approach, namely by literature research carried out by examining library materials or secondary data. The steps taken are through library research studies that examine (especially) secondary data in the form of primary legal materials and secondary legal materials where both collect data from laws, journals, books, and other literature sources.
The results of the research obtained are that changes that occur in the Law on the Eradication of Corruption have not been able to fulfill the sense of justice for the community. The emergence of the new Criminal Code is considered a setback for law enforcement of corruption crimes because several articles regarding the punishment of perpetrators of corruption crimes facilitate or lighten the sentences imposed. These changes include a reduction in the minimum sentence of imprisonment for defendants and a reduction in the minimum penalty of fines. In addition, the new Criminal Code adds a maximum penalty of fines but not imprisonment. Changes to other substances were also made in the form of changing mixed crimes to only cumulative crimes.
Keywords: Policy, Criminal, Corruption, Finance, State
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Keuangan negara merupakan salah satu aset yang sangat penting untuk menunjang kemajuan yang ada pada suatu negara. Keuangan negara ini bisa didapatkan dari berbagai hal yaitu salah satunya dapat diperoleh dari penarikan pajak yang dimana setiap negara memberlakukan penarikan pajak terhadap masyarakatnya berbeda-beda dengan melihat kemampuan dan keadaan ekonomi masyarakatnya. Selain itu, pendapatan negara juga dapat diperoleh dari dari denda, bea cukai, kekayaan alam, kontribusi, royalti, retribusi, iuran, sumbangan, laba yang didapat dari Badan Usaha Milik Negara ataupun Daerah dan sumber pemasukkan lainnya yang halal. Pendapatan-pendapatan tersebut yang akhirnya akan digunakan oleh negara untuk pembangunan infrastruktur maupun kesejahteraan sosial untuk masyarakat sehingga angka kemiskinan akan berkurang dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang ada. Semua pembangunan infrastruktur maupun dana yang akan digunakan untuk masyarakat akan sangat berguna bagi kesejahteraan masyarakat apabila uang atau dana tersebut dapat ter- realisasikan dan tersalurkan dengan baik, namun jika uang negara tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi bagi seseorang ataupun golongan, maka pembangunan dan kesejahteraan sosial bagi rakyat tersebut yang seharusnya berjalan lancar akan menjadi terhambat. Praktik pengambilan keuangan negara inilah yang disebut sebagai tindak pidana korupsi.
2 Melihat pada kasus korupsi yang ada di dunia, negara Indonesia masih termasuk ke dalam salah satu negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Tercatat negara Indonesia menduduki peringkat 96 dengan score 34 di dunia pada tahun 2022 dimana angka tersebut masih lebih baik daripada tahun 2021 yang dimana pada tahun tersebut korupsi di Indonesia mendapat score 38.1 Meskipun begitu Indonesia masih menjadi negara dengan tingkat korupsi yang tinggi sehingga hal ini menjadikan tugas komisi pemberantasan korupsi dan penegak hukum lainnya yang di Indonesia untuk menurunkan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia secara signifikan baik dengan menegakkan hukum yang ada secara tegas maupun dengan sosialisasi dan pendidikan anti korupsi kepada masyarakat yang ada.
Penyelesaian korupsi di Indonesia masih-lah dikatakan sangat rendah mengingat kasus korupsi yang ada di Indonesia masih sangat-lah tinggi. Hal yang mempengaruhi tingginya angka korupsi di Indonesia adalah kurangnya rasa bersyukur seseorang terhadap penghasilan yang mereka dapatkan yang tidak mencukupi gaya hidupnya sehingga dorongan untuk menyalahgunakan wewenang untuk mengambil keuangan negarapun timbul. Selain itu, rendahnya atau upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia masihlah sangat rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya peraturan hukum yang tegas dimana hukuman bagi para pelaku tindak pidana korupsi masihlah sangat terbilang ringan, sehingga
1 “2021 Corruption Perceptions Index Reveals a Decade of Stagnating Corruption Levels Amid Human Rights Abuses & Democratic Decline”, 2021 Corruption Perceptions Index - Explore the… - Transparency.org (diakses pada 22-03-2023 17.00)
3 seseorang yang terdorong untuk melakukan tindak pidana tersebut masih merasa aman dan hukum tersebut tidak menimbulkan rasa jera.
Tindak pidana korupsi merupakan sebuah kejahatan yang termasuk ke dalam kategori kejahatan yang berat sehingga dalam penegakannya harus diberikan hukuman yang berat agar kemajuan negara Indonesia tidak terhambat. Seharusnya peran hukum pidana dapat menjadi shock therapy yaitu dapat memberikan efek jera secara menyeluruh bagi masyarakat sehingga masyarakat yang akan melakukan tindak pidana akan menjadi takut akan hukuman yang akan diberikan apabila orang tersebut akan melakukan sebuah tindak pidana khususnya pada tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi di Indonesia telah ada di Indonesia sejak tahun 1957.
Tercatat istilah korupsi sebagai istilah Yuridis dan usaha pemberantasan korupsi mulai ada pada tahun 1957 melalui peraturan penguasaan militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angkatan Darat (Peraturan Militer PRT/PM/06/1957).2 Kemudian pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut terus berkembang hingga adanya Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang No.31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi sampai dengan peraturan tindak pidana korupsi yang baru pada Undang-Undang No.1 Tahun 2023 pada pasal 603 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dengan perkembangan
2 Siska Trisia. 2020, Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Masyarakat Pemantau Peradilan di Indonesia (MaPPI FHUI), Jakarta.
4 tersebut, tentunya ada beberapa perubahan yang terjadi dalam segi materiil maupun formil. Perubahan ini banyak menuai permasalahan diantaranya adalah pengurangan jumlah hukuman yang didapat oleh pelaku tindak pidana korupsi hingga tata cara penyelesaian terpidana karena tindak pidana korupsi bukan lagi menjadi tindak pidana khusus melainkan menjadi tindak pidana umum karena di undang-undang baru sudah masuk ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Namun pada pembahasan kali ini, penulis akan berfokus pada permasalahan materiil yang ada dalam Undang-undang tindak pidana korupsi Belanda (lama) dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (Baru).
Perubahan ini yang tentunya nantinya akan mengubah sikap batin khususnya bagi pejabat negara apakah mereka akan menjadi shock therapy bagi mereka atau mereka akan menjadi lebih leluasa dalam melakukan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian secara mendalam tentang tindak pidana korupsi dengan mengangkat judul “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Terhadap Hukum Pidana Baru”.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana kebijakan hukum pidana tentang Tindak Pidana Korupsi dalam Kebijakan hukum pidana yang lama?
2. Bagaimana kebijakan hukum pidana tentang Tindak Pidana Korupsi dalam kebijakan hukum pidana yang baru?
5 C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perbedaan kebijakan hukum yang ada antara hukum pidana tindak pidana korupsi dalam kebijakan hukum yang lama dengan kebijakan hukum yang baru.
2. Untuk mengetahui kebijakan hukum mana yang lebih baik sehingga menjadi cara pandang penegakan hukum yang lebih baik ke depannya.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan Penelitian ini dapat dipergunakan baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:
1. Secara Teoritis:
Penilitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan hukum tentang penegakan hukum atau pembuatan kebijakan terkait dengan Tindak Pidana Korupsi yang ada di Indonesia. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pembaca baik bagi mahasiswa fakultas hukum maupun masyarakat umum.
2. Secara Praktis:
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya terhadap korupsi mengingat peraturan perundang-undangan yang ada berkembang mengikuti zaman yang ada.
6 E. Terminologi
1. Tinjauan Kebijakan Hukum Pidana
Secara Etimologi, Kebijakan diartikan sebagai suatu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis pelaksanaan atas suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Sedangkan Hukum Pidana adalah sebuah aturan atau hukum yang dapat mengatur masyarakat dari kejahatan dan pelakunya dapat diancam dengan hukuman berupa siksaan maupun penderitaan.
Kebijakan Hukum Pidana adalah hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik sehingga dapat digunakan dan memberi pedoman bagi pemerintah atau penguasa pembuat undang-undang maupun pelaksana undang-undang.
Dalam pembuatan kebijakan ini haruslah disusun dengan tujuan yang terarah sehingga dalam pelaksanaannya kebijakan tersebut tidak keluar dari tujuan dari hukum pidana tersebut. Kebijakan tersebut berisi tentang perbuatan-perbuatan yang mengatur tentang bagaimana masyarakat menjalani kehidupan masyarakat sehari-hari dan dapat memberi keamanan serta kenyamanan masyarakat dalam kehidupan bernegara. Kebijakan hukum pidana ini berkaitan erat dengan kriminalisasi dimana kebijakan ini bertujuan untuk mencegah dan mengurangi adanya tindak kejahatan yang ada di masyarakat. Dengan pendoman inilah
7 tujuan negara untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera-pun dapat di wujudkan.3
Kebijakan hukum pidana ini bertujuan juga untuk penyusunan peraturan-peraturan yang lainnya dimasa yang akan datang mengingat kehidupan masyarakat akan berubah mengikuti perkembangan zaman, sehingga peraturan sebelumnya dapat digunakan sebagai pedoman perancangan perundang-undangan ataupun peraturan-peraturan lainnya untuk menciptakan produk hukum yang lebih baik.4
2. Tinjauan Tindak Pidana Korupsi
Seperti yang dirumuskan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.5 Tindak pidana korupsi ini sangat menghambat kemajuan negara karena pelaku tindak pidana tersebut mengambil keuangan negara yang dimana seharusnya uang tersebut digunakan untukpembangunan negara baik dari sektor
3 Fai, “Hukum Pidana Adalah”, https://umsu.ac.id/hukum-pidana-adalah/ (diakses pada 13-03-2023 12.00)
4 “Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana”, https://mh.uma.ac.id/pengertian-dan- ruang-lingkup-kebijakan-hukum-pidana/ (diakses pada 13-03-2023 12.00)
5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
8 industrial maupun sektor ekonomi masyarakat. Seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi apabila orang tersebut mengambil keuangan negara untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain maupun korporasi yang telah dirumuskan dalam pasal tersebut sehingga apabila seseorang memperkaya diri sendiri bukan dengan mengambil keuangan negara melainkan swasta, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan yuridis normatif
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian dengan cara pendekatan yuridis normatif yaitu dengan penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder. Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk penulisan penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan/library research yang menelaah (terutama) data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi UUD NRI Tahun 1945, undang- undang yang memuat hukum pidana atau ketentuan pidana baik dalam KUHP maupun undang-undang yang ada di luar KUHP. Sedangkan bahan hukum sekunder dapat diperoleh melalui pengkajian hasil-hasil penelitian, seminar dan/atau lokakarya, buku-buku dan jurnal ilmiah yang memuat doktrin dari para
9 pakar ilmu hukum, serta yurisprudensi dan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai hasil pengujian materiil norma hukum pidana.
2. Spesifikasi Penelitian
Penulis dalam melakukan penelitian menggunakan metode spesifikasi yang bersifat deskriptif yaitu dengan mendeskripsikan peraturan perundang- undangan yang ada terhadap kehidupan masyarakat yang ada saat ini.
3. Jenis dan Sumber Data
Data-data yang penulis kumpulkan untuk penelitian ini menggunakan sumber data primer yaitu dengan meneliti Undang-Undang 1945 dan Undang- Undang yang memuat tentang hukum pidana lainnya baik KUHP maupun Undang-Undang diluar KUHP lainnya dan menggunakan data sekunder yaitu dengan studi pustaka berupa jurnal, buku, seminar dan/atau lokakarya, yurisprudensi dan putusan Mahkamah Konstitusi.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan umum Korupsi
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Sebelum mengetahui perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia kita harus mengetahui apa itu Korupsi. Korupsi itu sendiri berasal dari bahasa latin yaitu corruptio atau corruptus yang selanjutnya disebutkan bahwa coruptio berasal dari kata asal corrumpere yang merupakan suatu bahasa latin yang lebih tua. Dari adanya bahasa latin itulah, maka muncul bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruptie (korruptie), istilah korupsi dapat di duga berasal dari Bahasa Belanda yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, yaitu
“korupsi”.6
Pengertian korupsi jika mengacu pada undang-undang yang ada di Indonesia, seseorang yang dapat dikenakan sanksi pidana ini adalah setiap orang yang secara sadar melawan hukum yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain maupun suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam hal ini, seseorang yang menggunakan jabatannya atau menyalahgunakan wewenangnya untuk
6 Andi Hamzah, 2006, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 4.
11 memperkaya diri sendiri dengan mengambil keuangan negara atau yang dapat memperburuk perekonomian negara, maka dapat dikenakan pasal tentang tindak pidana korupsi. Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara” dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan salah satu delik formil yaitu adanya tindak pidana korupsi tidak perlu menunggu atau melihat hasil apakah perbuatan yang dia lakukan sangat merugikan keuangan negara atau tidak karena tindak pidana korupsi cukup dengan terpenuhinya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan, bukan dengan timbulnya sebuah akibat.7
Pada kata “secara melawan hukum” memiliki arti secara formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan di dalam peraturan perundang-udangan, jika perbuatan tersebut merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan maupun bertentangan dengan norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.8
Kemunculan peraturan tindak pidana korupsi yang ada pada saat ini bukan serta merta menjadi suatu peraturan hukum yang baru, dimana tindak pidana korupsi dalam sejarahnya telah mengalami banyak perkembangan mengikuti
7 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-14/2006, hlm.70
8 Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1991 Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 106.
12 dengan berkembangnya sistem pemerintahan yang ada di Indonesia. Istilah korupsi baru digunakan pada tahun 1957 yaitu ditandai dengan adanya peraturan penguasaan militer yang berlaku di kawasan kekuasaan angkatan darat (Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tentang pemberantasan korupsi). Peraturan ini dibentuk oleh kepala staf angkatan darat pada saat itu yaitu A.H Nasution yang dalam hal bertujuan untuk mengambil peranan dalam memberantas tindak pidana korupsi. Langkah ini diambil untuk memberantas adanya tindak pidana korupsi yang dilandasi atas hasil rapat pimpinan pada bulan Maret 1957. Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, maka pada saat itu tentara diberi kewenangan untuk menyita aset namun dalam hal ini masih terbatas hanya pada tindak pidana korupsi. Kemudian untuk menunjang agar peraturan tentang tindak pidana korupsi tersebut berjalan lebih efektif memberikan efek jera yang lebih maka dikeluarkanlah peraturan penguasaan militer Nomor PRT/PM/08/1957 tentang penilikan harta benda, agar keuangan negara khususnya terhadap pejabat negara saat itu dapat diawasi guna mencegah dan mendeteksi adanya tindak pidana korupsi yang terjadi.
Selain itu juga dikeluarkan peraturan penguasaan militer Nomor PRT/PM/11/1957 tentang penyitaan dan perampasan barang-barang agar dalam pemberian hukuman atau penjatuhan pidana terhadap pelaku para pelaku tindak pidana korupsi dapat dilakukan perampasan aset lebih leluasa sehingga dapat memberikan efek jera yang lebih tinggi.
13 Selain dibentuknya beberapa regulasi tersebut, penguasa negara pada saat itu juga membentuk sebuah lembaga yang disebut Badan Koordinasi Penilik Harta Benda (yang selanjutnya akan disebut BKPHB). Badan ini dibentuk dengan dikeluarkannya Peraturan Penguasa Angkatan Darat Nomor PRT/PERPU/13/1958 pada tanggal 16 April 1958. Dalam BKPHB terdapat beberapa peraturan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yaitu:
a. Pembentukan BKPHB diletakkan di setiap wilayah pengadilan tinggi yang berarti penempatan koordinasi bagi BKPHB ada di setiap provinsi yang dipimpin oleh kejaksaan tinggi setempat. Petugas BKPHB ini memiliki wewenang memeriksa harta benda setiap orang khususnya bagi pegawai negeri dan badan hukum untuk memastikan dan mengawasi apakah ada tindakan atau ada kah harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi.
b. BKPHB mempunyai wewenang berupa menyita harta benda seseorang yang meliputi:
1) Suatu harta benda milik seorangan ataupun badan yang telah dengan sengaja tidak diterangkan oleh kepemilikannya oleh perseorangan atau suatu badan;
2) Harta benda seseorang yang telah dilakukan penyelidikan ternyata tidak sama atau tidak seimbang dengan nilai pendapatan dari pekerjaannya.
c. Pengadilan Tinggi di setiap provinsi memiliki wewenang untuk memeriksa harta benda seseorang. Hal ini bertujuan untuk upaya pemerintah dalam
14 mengembalikan kerugian keuangan negara yang ada kepada jalur perdata.
Dalam hal ini, pemeriksaan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menilik atau melihat harta seseorang atau badan yang dicurigai sebagai pelaku tindak pidana korupsi oleh BKPHB dan BKPHB juga berhak menyita maupun merampas harta benda seseorang atau badan yang harta benda nya tidak sesuai dengan pendapatan pekerjaannya.
Dalam mencegah adanya tindak pidana korupsi pada tahun 1957-1958, militer Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan yaitu:
a. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi;
b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-08/1957 tentang Penilikan Harta Benda;
c. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Harta Benda yang Asal Mulanya Diperoleh dari Perbuatan yang Melawan Hukum;
d. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Korupsi dan Penilikan Harta Benda.
e. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staff Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor
15 42/58). Peraturan tersebut diberlakukan dalam ruang lingkup wilayah hukum angkatan laut.9
Peraturan tersebut berupa peraturan penguasaan militer karena Indonesia pada saat itu banyak pihak militer yang ikut dalam politik Indonesia sehingga mereka mengintervensi kekuasaan politik pada saat itu untuk menjalankan pemerintahan produk hukum pada saat itu berupa peraturan penguasaan militer hingga tahun 1960 yang tidak sama dengan sekarang yang dipisah kekuasaan militer sudah tidak bisa ikut campur dalam perundang-undangan hukum nasional yang berupa Undang-Undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR).
Perkembangan upaya negara dalam menghadapi tindak pidana korupsi telah dilakukan dengan berbagai cara yaitu mulai dengan dikeluarkannya peraturan- peraturan yang mengatur tentang pengawasan terhadap pendapatan setiap pejabat negara hingga dibentuknya badan-badan khusus yang diberi wewenang untuk melakukan kuasa terhadap pengawasan keuangan pejabat negara tersebut. Pembentukan ini diawal dengan dibentuknya Bapekan yaitu Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara yang diusulkan oleh nasution kepada Ir.Soekarno hingga akhirnya disetujui melalui Peraturan Pemerintah No.48 Tahun 1959. Tujuan dibentuknya badan ini adalah sebagai upaya pencegahan
9 Muhammad Yasin, “Kebijakan Anti Korupsi dari Penguasa Militer”, Kebijakan Antikorupsi dari Penguasa Militer (hukumonline.com) (diakses pada 10-05-2023 13.00)
16 tindak pidana korupsi di lingkungan birokrasi. Namun usia bapekan tidak bertahan lama, pada tahun 1962 presiden Ir.Soekarno membubarkan bapekan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No.3 Tahun 1962 karena saat itu badan ini sedang menyelidiki dugaan korupsi terhadap proyek pembangunan fasilitas olahraga menjelang Asian Games 1962.10
Kemudian dilanjut dengan adanya Paran I yang keberadaan paran I ini setahun setelah bapekan ada di Indonesia. Karena adanya gesekan fungsi kedua badan tersebut maka Soekarno pada saat itu membubarkan Bapekan. Paran I sendiri memiliki ketua yaitu Nasution beserta 2 anggota lainnya yaitu M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Soekarno pada saat itu berharap dengan adanya Paran I dapat berperan sebagai badan yang berfokus pada doktrinasi gegap gempita revolusioner, sedangkan Nasution ingin berfokus kepada reformasi tata pemerintahan terutama reorganisasi, manajemen personel dan pemberantasan korupsi. Namun pada kenyataannya, ketika badan Paran I ini menyuruh para pejabat negara untuk mengisi formulir daftar kekayaan, para pejabat negara sebagian besar menolaknya. Mereka beralasan karena pejabat tinggi negara pada saat itu langsung bertanggung jawab kepada presiden. Meskipun mereka mengisi formulir tersebut, maka formulir itu akan diserahkan kepada presiden bukan kepada badan Paran I. Namun dengana adanya badan hukum ini melahirkan sebuah payung hukum baru yaitu Undang-Undang No.24 Prp
10 Ibid.
17 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.11
Setelah dibubarkannya badan Paran I, Nasution pun tidak menghilangkan semangatnya dalam memberantas adanya tindak pidana korupsi di Indonesia, yaitu melalui operasi militer yang bernama Operasi Budhi/Paran II. Adanya operasi militer tersebut berdasarkan Undang-Undang No.24 Prp Tahun 1960, namun payung hukum operasi tersebut tidak hanya itu, ada juga Keputusan Presiden No.277 Tahun 1963 tentang Gugus Tugas Operasi Budhi. Tujuan dari adanya Operasi Budhi ini adalah mencegah dan menindak pelaku tindak pidana korupsi baik dalam perusahaan negara maupun lembaga pemerintahan. Dalam menjalankan tugas-tugasnya, Nasution membentuk beberapa komite ahli untuk membantu tugas dari Operasi Budhi tersebut. Komite ahli ini bertugas untuk menyusun daftar pertanyaan untuk dijawab para direksi perusahaan negara, menanyakan kinerja keuangan perusahaan, dan mewajibkan para direksi melaporkan kekayaannya. Kemudian bersama dengan Prof. Wirjono Prodjodikoro, Nasution dibebani tugas untuk membawa kasus tindak pidana korupsi yang ada di bawa ke pengadilan. Hingga akhirnya tercatat Operasi Budhi telah menyelamatkan keuangan negara senilai 11 miliar rupiah yang
11 Ibid.
18 dimana uang tersebut merupakan terbilang suatu jumlah yang sangat besar pada saat itu. Temuan yang dilakukan oleh Operasi Budhi pada saat itu dibadi menjadi 2 yaitu temuan pidana dan temuan administratif. Temuan pidana yang nantinya harus disampaikan kepada penegak hukum, sedangkan temuan administratif ditindaklanjuti dengan memberikan bukti dan juga saran kepada pemerintah untuk dibenahi. Namun sayangnya pada saat itu kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha meyakinkan presiden untuk membubarkan Operasi Budhi tersebut. Hal ini di perparah dengan lahirnya fraksi di Angkatan Darat sehingga ditakutkan Operasi Budhi nantinya akan sampai kepada para petinggi militer. Hingga akhirnya Operasi Budhi ini atau Paran II dibubarkan pada tahun 1965 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No.117 Tahun 1965 tentang Pembubaran Panitia Retooling Aparatur Negara.12
Sebelum Operasi Budhi atau Paran II resmi dibubarkan, pada tahun 1964 melalui Keputusan Presiden No.98 Tahun 1964 presiden Soekarno membentu Komando Tertinggi Retooling Alat Revolutioner (Kontrar). Lembaga ini bertujuan untuk lembaga anti-korupsi meskipun dalam pembentukannya peran tersebut tidak disebutkan. Hal ini karena sebelum Paran II resmi untuk dibubarkan, Kontrar ikut membantu untuk melaksanakan pemberantasan korupsi tersebut. Hal yang membuat Kontrar ini menjadi menarik adalah presiden Soekarno sendiri lah yang menunjuk dirinya untuk menjadi ketua
12 Ibid.
19 Kontrar itu sendiri. Dalam menjalankan tugas-tugasnya di Kontrar, Soekarno dibantu oleh Soebandrio, Ahmad Yani, dan Wiriadinata. Keberadaan Kontrar ini dalam pemberantasan korupsi tidak berperan aktif karena dalam penjabaran tugas mengenai pemberantasan korupsi masih tidak jelas, namun Kontrar dibentuk sebagai lembaga yang bertujuan untuk menyingkirkan pejabat yang tidak sejalan dengan pemerintahan revolutioner.13
Lembaga-lembaga dalam upaya pemerintah untuk memberantas korupsi telah dibentuk sejak awal kemerdekaan untuk menopang ekonomi bangsa Indonesia agar terlepas dari kemiskinan pasca penjajahan agar Indonesia dapat berkembang menjadi negara yang maju. Namun pada kenyataanya hingga saat ini dalam perkembangannya badan-badan lembaga yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi justru berusaha untuk dihapuskan oleh pemerintahan itu sendiri. Dari perkembangan yang ada hingga saat ini, lembaga negara yang masih berperan aktif dalam memberantas adanya tindak pidana korupsi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
2. Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Islam
Tindak pidana korupsi merupakan sebuah tindak pidana yang sangat tercela baik dari segi agama maupun sosial. Dalam islam sendiri, korupsi termasuk ke
13 Ibid.
20 dalam perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Perbuatan tersebut sebagaimana firman Allah dalam Q.S An-Nisa’ ayat 29 yang artinya,
“janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”.14
Firman Allah tersebut menjelaskan bahwa korupsi merupakan sebuah perbuatan yang dilarang oleh Allah karena sifatnya yang tercela. Allah hanya mengizinkan bagi hambanya untuk memperoleh harta kekayaan dari hasil yang halal yaitu dengan berdagang dan sebab-sebab yang baik. Selain ayat diatas, larangan tentang berbuat korupsi telah difirman kan oleh Allah juga dalam Q.S Al-Baqarah ayat 188 yang artinya, “janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”.15
Larangan-larangan sebagaimana ayat-ayat diatas telah jelas betapa tercelanya perilaku tersebut sehingga Allah telah melarangnya secara langsung dengan firman nya di dalam Al-Qur’an. Perbuatan korupsi tersebut dapat dicegah dimulai dengan diri sendiri yaitu dengan melatih sikap jujur sejak dini dan senantiasa meningkatkan rasa bersyukur atas segala harta yang telah dimiliki. Dengan begitu maka kita bisa terhindar dari perbuatan tercela tersebut.
14 Q.s An-Nisa’ ayat 29
15 Q.s Al-Baqarah ayat 188
21
B. Tindak Pidana Korupsi Dalam Perkembangannya Hingga Saat Ini (Pasca Revolusi) Korupsi merupakan salah satu permasalahan yang luar biasa yang terjadi bukan hanya di Indonesia, namun juga permasalahan yang terjadi di dunia internasional khusus nya bagi negara yang menganut negara demokrasi. Hal ini disebabkan karena negara demokrasi menjunjung tinggi transparasi, akuntabilitas, dan integritas sehingga nantinya akan dapat mengancam pada stabilitas dan keamanan masyarakat, nilai-nilai etika, dan keadilan serta mengacaukan pembangunan penegakan hukum suatu negara hukum.
Perkembangan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi hingga saat ini telah menghasilkan banyak produk hukum yang telah diperbarui seiring dengan berjalannya waktu. Perkembangan produk hukum tersebut hingga saat ini antara lain:
1. TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Dalam ketetapan ini pertama kali mengatur tentang kewajiban penyelenggara negara mengumumkan dan bersedia untuk diperiksa selama dan setelah mereka menjabat. Dalam ketetapan ini juga mengatur tentang penyelenggara negara baik lembaga eksekutif, yudikatif maupun legislatif harus menjalankan tugas dan fungsinya untuk mengabdikan dan bertanggung jawab
22 kepada masyarakat, bangsa dan negara dengan jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta terbebas dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
2. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Undang-Undang ini merupakan pelaksaan lebih lanjut dari TAP MPR sebelumnya. Undang-Undang ini juga digunakan sebagai dasar dari pembentukan Komisi Periksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), baik dari segi struktur organisasinya maupun tugas dan fungsinya. Dalam undang- undang ini diatur peran serta dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih menjadi tanggung jawab dari masyarakat juga.
3. Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan adanya Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang ini mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang digunakan untuk mengatasi pemberantasan tindak pidana korupsi dengan adanya sanksi pidana. Selain itu, peraturan yang ada juga mengatur tentang pemberian sanksi pidana mengenai siapa saja yang menghalangi upaya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi baik saat penyidikan, penuntutan maupun pada saat sidang di pengadilan. Dalam Undang-Undang ini juga mengatur tentang tindak pidana apa saja yang dari sisi
23 substansi nya bukan termasuk korupsi, namun keuangan atau aliran dana tindak pidana tersebut yang terkait dengan tindak pidana korupsi.16
4. Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang ini merupakan dasar terbentuknya KPK dalam menangani kasus tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia hingga saat ini dengan kewenangan khusus, sebab cara-cara konvensional yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan dianggap kurang efektif dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini juga merupakan bentuk bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang harus ditangani secara khusus karena korupsi sudah menjadi sesuatu pidana yang sangat luar biasa di Indonesia.
5. Undang-Undang No.1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
Perkembangan zaman yang ada menyebabkan hukum yang ada-pun juga harus mengikuti zaman yang ada. Adanya Undang-Undang ini menyikapi perkembangan tersebut dengan mengatur tentang keterlibatan negara lain, seperti larinya koruptor ke luar negeri serta penyembunyian aset hasil korupsi di luar negeri. Dengan adanya Undang-Undang tersebut yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang keterkaitan dengan luar negeri
16 Bambang Waluyo, 2016, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Strategi dan Optimalisasi), Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm. 15.
24 diharapkan dapat mempersempit ruang gerak serta mempermudah menangani aliran dana hasil dari tindak pidana korupsi serta pelaku.
6. Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang ini mengatur tentang tindak pidana terkait dengan penyamaran dan penyembunyian aset hasil kejahatan.
Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang ini menyebutkan bahwa salah satu tindak pidana pokok penyamaran dan penyembunyian hasil kejahatannya dapat dituntut dengan pasal TPPU adalah tindak pidana korupsi yang dengan itu berarti pelaku tindak pidana korupsi dapat dituntut secara kumulatif dengan pasal-pasal TPPU.
7. Instruksi Presiden RI No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
Peraturan atau instruksi ini ditujukan kepada pejabat negara dibawah presiden guna mencegah dan memberantas korupsi dengan cepat. Beberapa instruksi tersebut bahwa menteri, gubernur, dan walikota beserta jajarannya untuk menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada KPK untuk memberikan dukungan maksimal terhadap upaya penindakan, meningkatkan pengawasan dan pembinaan aparatur,
25 melaksanakan pengadaan barang serta jasa dengan baik dan masih banyak lagi.17
8. Intruksi Presiden RI No.9 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011
Inpres ini sama dengan Inpres sebelumnya dimana ditujukan kepada pejabat negara dibawah presiden (Menteri, Sekretaris Kabinet, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala UKP4, Kepala Lembaga Non Kementerian, Sekretaris Jendral pada Lembaga Tinggi Negara, para Gubernur, dan para Bupati atau Walikota) untuk mengambil langkah-langkag sesuai dengan tugas dan fungsinya masing- masing untuk mencegah dan memberantas korupsi tahun 2011.
9. Peraturan lainnya sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi hingga saat ini
Beberapa peraturan yang diterapkan antara lain Instruksi Presiden RI No.17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012 dimana Inpres ini merupakan Inpres lanjutan pada tahun 2012 sebagai upaya mewujudkan pembangunan nasional dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Nasional).18
Selanjutnya ada Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang merupakan Inpres lanjutan dari Inpres sebelumnya yanga ada pada tahun 2012. Kemudian ada Peraturan Presiden
17 Ibid. hlm. 16.
18 Ibid. hlm. 17.
26 RI No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012- 2014 yang dimana di dalamnya mengatur tentang visi dan misi, sasaran, strategi dan fokus kegiatan prioritas pencegahan dan pemberantasan korupsi jangka panjang tahun 2012-2025 dan juga untuk jangka menengah 2012-2014, serta sebagai perangkat anti korupsi. Perangkat anti korupsi itu diantara lain berupa profil assessment, citizen’s charter, kode etik, mekanisme kontrol sosial, pakta integritas, mekanisme penanganan pengaduan masyarakat secara transparan, mekanisme pelaksanaan keterbukaan informasi, mobilisasi masyarakat sipil melalui edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat, pengaturan konflik kepentingan, penguatan lembaga yudisial, perlindungan whistleblower dan justice collaborator, proses pelayanan publik, dan lain sebagainya.19 Peraturan terakhir adalah Instruksi Presiden RI No.7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015.
Peraturan-peraturan yang berlaku tersebut merupakan upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi yang telah memodifikasi peraturan- peraturan tersebut dari tahun ke tahun untuk menciptakan sebuah hukum yang efektif sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Namun tidak hanya itu, pemerintah telah melakukan ratifikasi terhadap instrumen internasional agar pelaku maupun aset pelaku tindak pidana korupsi dapat terlacak dan ditarik
19 Ibid. hlm. 18.
27 kembali ke Indonesia. Beberapa instrumen tersebut adalah United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada tahun 2003, yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000 yang diratifikasi melalui Undang- Undang RI No.5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).20 Organized Crime adalah kejahatan yang terorganisir untuk mendapatkan keuntungan dengan cara melanggar hukum. Hal ini dikarenakan tindak pidana korupsi terjadi bukan hanya melibatkan satu pihak saja melainkan merupakan kejahatan yang telah terorganisir sehingga dapat masuk dan mengambil keungan negara yang ada.21
Lembaga-lembaga negara yang hingga saat ini masih diberi amanah untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah Komisi Pemberantasan Korupsi dimana komisi ini berbeda dari lembaga negara sebelumnya yang hanya bertahan beberapa tahun saja. KPK telah ada sejak tahun 2002 dan masih tetap digunakan hingga sekarang yaitu tahun 2023. KPK yang telah berdiri kurang lebih 21 tahun ini adalah suatu lembaga negara yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun yang dibentuk untuk menjalankan tugas dan fungsi
20 Ibid. hlm. 19.
21 Muhammad Taufiq, 2018, Kejahatan Korporasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.21
28 sesuai dengan tujuannya. Untuk mencapai tujuannya tersebut, maka KPK harus berlandaskan pada UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu memberikan kepastian hukum, akuntabilitas, keterbukaan, kepentingan umum dan proposionalitas.22
Hingga saat ini sudah banyak koruptor yang telah tertangkap dan diadili dengan pidana yang ada, namun masih terdapat beberapa masalah tentang penerapan unsur “merugikan keuangan negara” dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yanga ada yang menyebabkan menghambat proses penanganan perkara tindak pidana korupsi. Permasalahan tersebut yang menjadi penghambat antara lain:
1. Pengertian “merugikan keuangan negara” hanya diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi;
2. Persepsi yang berbeda mengenai apa itu keuangan negara;
3. Beda pemahaman pada Actual Loss dan Potential Loss atas unsur kerugian negara (Delik Materiil);
4. Kesulitan dalam mengeksekusi uang pengganti untuk menutupi kerugian negara;
5. Unsur kerugian (keuangan) pada negara masih sebatas aspek finansial bukan tentang dampak yang ditimbulkannya juga;
22 Hibnu Nugroho, 2013, Efektivitas Fungsi Koordinasi dan Supervisi dala Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13, No.3, hlm. 395.
29 6. Pengembalian kerugian negara dapat menghentikan penanganan perkara
korupsi.23
Penjelasan mengenai poin nomor 3 adalah seperti yang dijelaskan pada Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu berkenaan dengan pemahaman actual loss dan potential loss adalah mengenai pengertian kata “dapat” yang diartikan bahwa pengertian tersebut melakukan sebuah perbuatan yang akan terjadi sedangkan seseorang dijatuhkan pidana berdasarkan suatu perbuatan yang telah jelas diperbuat dan bukan sesuatu yang belum pasti terjadi.24
Permasalahan yang timbul diatas adalah berbagai permasalahan yang di dalam Undang-Undang tidak dijelaskan secara menyeluruh mengenai pengertian keuangan negara sehingga dalam praktik penegakan hukumnya, penegak hukum melakukan penafsiran tersendiri sehingga banyak mengalami permasalahan dalam pemahaman.
Pemberantasan tindak pidana korupsi hingga saat ini, KPK tidak menjalankan tugasnya secara sendiri, namun mereka juga dibantu oleh Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam memeriksa aliran dana dan pengawasan keuangan negara yang dilakukan oleh para koruptor. Lembaga-lembaga tersebut diberikan wewenang untuk
23 Abdul Fatah, Nyoman Serikat Putra Jaya, et al., 2017, Kajian Yuridis Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negaara Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Diponegoro Law Jurnal, Vol. 6, No. 1, hlm. 7.
24 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006
30 menghitung kerugian yang dialami negara telah diatur dalam pasal 10 Undang- Undang No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) yang menyebutkan:25
“BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.
Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa tugas-tugas yang dimiliki oleh komisi pemberantasan korupsi ditunjang oleh BPK dalam proses penyelesaian perkara dalam hal menetapkan berapa jumlah kerugian yang telah dialami negara. Kerja sama antar lembaga seperti ini merupakan salah satu cerminan dari aspek keterbukaan karena adanya kerja sama yang saling terbuka mengenai permasalahan negara yang ada dalam hal ini adalah kerugian keuangan yang dialami oleh negara.
Perjalanan perkembangan peraturan tindak pidana korupsi terus berlanjut hingga pembentukan dari rancangan Undang-Undang KUHP pun selesai dan diundangkan pada akhir tahun 2022 lalu. Keberadaan tindak pidana korupsi pun ikut dimasukkan ke dalamnya karena telah banyaknya peraturan diluar KUHP yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sehingga dalam KUHP baru tersebut disatukan kembali agar menjadi satu.
25 Ibid.
31 Pada tahun 2023 ini juga ada sebuah rencana tentang akan dikeluarkannya Undang-Undang perampasan aset guna menunjang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun TPPU berjalan dengan baik. Namun pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ada hingga saat ini telah mengatur tentang bagaimana negara dalam melakukan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi tersebut. Maka dari itu, urgensi dari keberadaan UU perampasan aset yang akan dikeluarkan tersebut belum sangat mendesak sehingga mungkin dapat diberlakukan dulu Undang-Undang yang sedang berlaku saja.
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) alat bukti yang sah sehingga menjadikan seseorang menjadi terpidana adalah adanya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Namun dalam tindak pidana korupsi, dikarenakan tindak pidana korupsi merupakan suatu tindak pidana khusus, maka dalam pembuktian terdapat sedikit perbedaan. Peraturan tersebut ada pada UU PTPK yang diperluas menjadi:
1. Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
2. Dokumen yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca atau disimpan secara elektronik, berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Hal tersebut berbeda karena dalam tindak pidana korupsi harus dibuktikan dengan konkret tentang berapa jumlah kerugian yang telah dialami negara, maka dari itu
32 pengusutan kasus tindak pidana korupsi berbeda dengan pengusutan jenis tindak pidana pencurian biasa.
33 BAB III PEMBAHASAN
A. Kebijakan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Korupsi Dalam Kebijakan Hukum Pidana yang Lama
Tindak pidana korupsi telah dikenal di dunia sebagai tindak kejahatan yang sangat merugikan suatu negara sehingga perkembangan suatu negara menjadi sangat terhambat. Tindak kejahatan yang termasuk ke dalam kategori berat tersebut telah ada sejak awal Indonesia merdeka yang dimana hal ini mengikuti dengan semakin berkembangnya perekonomian negara yang ada. Perkembangan ekonomi Indonesia dari masa penjajahan hingga saat ini menjadikan suatu hal yang perlu sangat diperhatikan mengingat Indonesia masih menjadi negara yang berkembang sehingga sektor keuangan negara sangat diperlukan untuk kemajuan negara. Jika keuangan negara masih sering diambil oleh pejabat yang tidak bertanggung jawab, maka negara tidak akan pernah mengalami kemajuan yang berarti.
Peraturan yang mengatur tentang korupsi pertama kali ada pada tahun 1957 dengan dikeluarkannya Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/08/1957 tentang penilikan harta benda agar dalam pembangunan baik dalam infrastruktur, ekonomi maupun militer pada saat itu menjadi kuat karena pada saat itu Indonesia masih dalam keadaan waspada terhadap penjajah yang dapat datang kembali. Selain itu dikeluarkan juga Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957
34 tentang penyitaan dan perampasan barang-barang. Kemudian pada tahun 1958 dibentuklah Badan Koordinasi Penilik Harta Benda (BKPHB) melalui Peraturan Penguasaan Angkatan Perang Angkatan Darat Nomor PRT/Perpu/013/1958 tentang Penyitaan dan Perampasan Harta Benda yang Asal Mulanya diperoleh dengan perbuatan yang Melawan Hukum yang didalam nya sebagian mengatur tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.
Peraturan-peraturan tersebut yang akhirnya berkembang dan lahirlah Undang- Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan yang di dalam nya telah memuat beberapa peraturan yang ada sebelumnya sehingga Undang-Undang No.31 tahun 1999 ini menjadi terfokus dan menjadi dasar hukum negara dalam memberantas pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. Undang-Undang No.31 tahun 1999 yang mengatur tentang tindak pidana korupsi ini merupakan undang-undang diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya akan disebut KUHP) sehingga tindak pidana korupsi ini dikatakan sebagai tindak pidana khusus karena secara formil dan materil diatur lebih khusus yang berguna untuk menangani permasalahan tersebut lebih efektif.
Undang-Undang ini meskipun tidak termuat dalam KUHP, namun undang-undang ini dapat berlaku karena di dalam KUHP telah memuat pasal untuk menjembatani seluruh undang-undang khusus yang di luar KUHP yaitu pada Pasal 103 pada Buku Kesatu KUHP yaitu tentang aturan umum.
Dalam Pasal 103 KUHP berbunyi:
35
“Ketentuan-ketentuan dalam BAB I sampai dengan BAB VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”
Maka dengan adanya pasal tersebut ketentuan yang ada pada BAB I sampai dengan BAB VIII Buku 1 KUHP berlaku untuk seluruh undang-undang di luar KUHP, tetapi pada BAB ke IX tidak tercantum ke dalam pasal tersebut sehingga seluruh rumusan atau aturan pada BAB ke IX tidak berlaku sehingga undang- undang di luar KUHP harus menjelaskan secara terpisah pengertian tentang unsur apa saja yang menjadi tindak pidana di undang-undang tersebut. Seperti contohnya pada undang-undang No.31 tahun 1999 pada BAB I mengenai ketentuan umum yaitu tentang pengertian tentang apa itu korporasi, pegawai negeri dan juga pengertian tentang setiap orang itu siapa saja.
Kemudian pada BAB Kedua diatur mengenai apa saja yang termasuk dalam tindak pidana korupsi itu. Pada BAB kedua Pasal 2 ayat (2) terjadi sedikit perubahan mengenai makna keadaan tertentu. Pasal ini berbunyi:
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Pengertian “keadaan tertentu” dalam pasal ini mengalami sedikit perubahan dimana pada Undang-Undang No.31 tahun 1999 menjelaskan keadaann tertentu yaitu pemberatan pidana apabila tindak pidana korupsi dilakukan pada waktu
36 negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu bencana nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Namun pada undang- undang No.20 tahun 2001 penjelasannya menjadi apabila tindak pidana tersebut (korupsi) dilakukan terhadap dana yang akan digunakan untuk penganggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekomomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Dalam hal ini yang menjadi persoalan adalah bagaimana negara dapat dikatakan sebagai dalam keadaan bahaya, terjadinya bencana alam nasional maupun yang lainnya. Negara dapat dikatakan dalam keadaan bahaya maupun terjadi bencana alam nasional hanya ketika presiden menyatakan negara dalam keadaan tersebut. Jika presiden tidak menyatakan negara dalam keadaan bahaya maupun adanya bencana alam nasional meskipun terjadi adanya bencana alam seperti tsunami maupun gunung meletus, maka pelaku tindak pidana korupsi tersebut tidak dapat dijatuhkan pidana mati yang termuat dalam pasal tersebut.
Kemudian pada Pasal 4 diatur yaitu pengembalian kerugian akibat tindak pidana korupsi atau uang hasil korupsi tersebut dikembalikan kepada negara tidak menghilangkan penjatuhan pidana terhadap pelaku namun hal tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat meringankan pelaku. Maka dapat dikatakan pasal ini mengatur bahwa meskipun uang hasil korupsi dikembalikan kepada negara, pelaku juga mendapatkan hukuman penjara dan atau denda yang telah diatur dalam Pasal
37 2 dan 3. Selanjutnya pada undang-undang No.20 tahun 2001 merubah Pasal 5 hingga Pasal 12 yang semula rumusan hukumnya mengacu pada Pasal-Pasal yang berada di dalam KUHP, menjadi menyebutkan langsung unsur-unsur tindak pidana tersebut dan digabung dengan penjatuhan pidananya. Dengan adanya hal ini, maka undang-undang korupsi menjadi undang-undang yang secara khusus pengaturannya tersendiri dengan tidak terlalu mengacu pada KUHP yang ada dan lebih mempermudah sekaligus memperjelas unsur-unsur pidana di dalam tiap pasalnya. Perubahan dengan menjelaskan tersendiri masuk ke dalam undang- undang tersebut merupakan salah satu cara untuk memperkuat hukum yang ada mengingat KUHP merupakan sebuah undang-undang milik belanda yang dimana rumusan di dalamnya sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman saat ini dimana hukuman yang diberikan sebagaimana Pasal 5 undang-undang No.31 tahun 1999 dimana sebelum terbentuknya undang-undang ini, negara dalam memberantas tindak pidana korupsi masih menggunakan Pasal 209 KUHP Belanda (lama) yaitu dengan memberikan denda sebesar 300 rupiah. Hal ini dapat terjadi karena KUHP sendiri telah ada sejak tahun 1915 yang diadopsi dari Wetboek van Strafrecht (WvS) dan dicatatat dalam Staatsblad 1915 No. 732. Sebelumnya WvS berlaku di Belanda sejak 1881, yang kemudian setelah merdeka Indonesia menggunakannya sebagai hukum pidana dengan dikeluarkannya undang-undang No.1 tahun 1946 tentang
38 peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah republik.26 Dengan kehidupan ekonomi negara sekarang yang tidak relevan dengan keadaan pada masa dahulu terlebih Indonesia telah melewati krisis moneter pada tahun 1997 menyebabkan mata uang Indonesia menjadi melemah sehingga peraturan yang ada pada Pasal 5 tersebut yang mengacu pada Pasal 209 KUHP Belanda (lama) yang awalnya seharusnya 300 rupiah harus di kali kan dengan 1000 agar dapat memenuhi keadilan yang ada pada masa sekarang.
Namun dalam kasus tindak pidana korupsi ini, 300 rupiah yang di kali kan 1000 kali yaitu menjadi Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) itu di rasa tidak dapat memberikan efek jera mengingat pelaku tindak pidana korupsi dapat mengambil keuangan negara dengan skala nominal miliaran bahkan triliunan rupiah sehingga hukuman denda tersebut tidak dapat memberikan efek jera. Maka dari itu dalam rumusan terbaru dalam Pasal 5 undang-undang No.31 tahun 1999 telah merubah hukuman yang diberikan terhadap undang-undang sebelumnya yang tertera dalam Pasal 209 KUHP Belanda (lama) menjadi hukuman denda paling sedikit sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Namun tidak hanya itu, hukuman penjara juga berubah yang semula pada Pasal 209 KUHP dengan ancaman hanya hukuman paling lama 2 tahun 8 bulan yang dimana hal tersebut tidak memberikan kepastian
26Alvi Syahrin, et al., 2023, Dasar-Dasar Hukum Pidana Suatu Pengantar (Buku Kesatu Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Merdeka Kreasi, Medan, hlm. 3.
39 hukum mengenai paling singkatnya sehingga diubah menjadi paling singkat satu tahun dan paling lama 5 tahun penjara pada UU No.31 tahun 1999 ini.
Selanjutnya pada Pasal 6 UU No.31 tahun 1999, disebutkan bahwa untuk unsur-unsur yang masuk dalam sanksi yang terdapat dalam pasal tersebut mengacu pada Pasal 210 yang akhirnya pada UU No.20 tahun 2001 unsur-unsur tersebut dimasukkan ke dalam undang-undang tersebut lebih jelas. Pada Pasal 210 yang menjadi sumber unsur tersebut, tidak dijelaskan mengenai denda yang di bebankan seperti pada Pasal 209 sehingga dalam UU No.31 tahun 1999 ini memuat tentang denda yaitu sebesar paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Hukuman pada pasal ini menjadi lebih tinggi melihat unsur perbuatan pidana di dalam nya jauh lebih buruk karena dapat memperlemah keadilan di Indonesia karena perbuatan tersebut dapat mempengaruhi hakim maupun penegak hukum lainnya dalam memutuskan suatu perkara, hingga pada akhirnya nantinya keadilan di Indonesia akan dapat di bayar dengan uang menjadikan orang kaya dapat terbebas dari hukum dengan mudah sedangkan orang yang tidak memiliki uang hanya dapat menerima keadaannya tanpa dapat melawan. Perubahan yang ada pada UU No.20 tahun 2001 adalah merubah unsur-unsur yang tidak dijelaskan secara langsung yang masih mengacu pada KUHP menjadi dimasukkan ke dalam pasal tersebut diantaranya pada Pasal 5 hingga Pasal 12.
40 Selanjutnya perubahan dari UU No.20 tahun 2001 terhadap UU No.31 tahun 1999 adalah adanya penambahan beberapa poin yaitu disisipkan 3 pasal baru diantara Pasal 12 dan Pasal 13. Pasal-pasal ini memuat tentang ketentuan jumlah uang yang termasuk ke dalam unsur-unsur tindak pidana korupsi sehingga menjadi jelas hukuman yang akan diberikan berdasarkan kerugian atau dampak yang dilakukan orang tersebut. Penambahan ini antara lain adalah Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 12C. Pembatasan ini adalah pembatasan terhadap seseorang yang dimana pada Pasal 12A disebutkan bahwa Pasal 5 hingga 12 tidak akan berlaku jika perbuatan tersebut kurang dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Peraturan sebelumnya tidak mengatur tentang ini sehingga dalam implementasinya seseorang dapat dikenakan pasal tersebut tanpa batas minimal dengan hukuman yang sama.
Meskipun begitu untuk seseorang yang melakukan tindak pidana sebagaimana pada pasal-pasal tersebut, tetap akan dikenakan pidana yang tentunya akan lebih ringan yaitu paling lama 3 tahun penjara dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Dalam rumusan tersebut tidak diterangkan mengenai minimal penjatuhan pidana penjara sehingga hakim dalam memutuskan penjatuhan pidana dapat menjatuhkan hukuman satu hari penjara karena kurangnya acuan hukum untuk minimal pemidanaan. Kemudian pada Pasal 12B menegaskan tentang pemberian gratifikasi yang diberikan pegawai negeri atau penyelenggara negara akan dikategorikan kepada tindakan suap menyuap yang pada poin satu menjelaskan tentang pelaporan tindak pidana menurut besaran nominal yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Gratifikasi yang diberikan kepada pejabat