• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara No.77/PID.B/2010/PN.Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara No.77/PID.B/2010/PN.Medan)"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Kasus No. 77/PID.B/2010PN MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

OLEH

BERRY ORLANDO PURBA NIM: 070200259

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(STUDI KASUS PERKARA NO.77/PID.B/2010/PN.MEDAN ) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum OLEH

BERRY ORLANDO PURBA NIM: 070200259

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Nip:195703261986011001 Dr.Muhammad Hamdan, SH.MH

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof.Dr.Ediwarman, S.H.M.Hum

Nip:195405251981031003 Nip:197302202002121001 Dr. Mahmud Mulyadi,S.H.M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAKSI

Masalah korupsi di Indonesia Bukan lagi merupakan Masalah Baru dalam persoalan hukum dan ekonomi, perkembangannya pun terus meningkat dari tahun ke tahun kualitas tindak pidana korupsi yamg dilakukan semakin rapi dan sistematis dengan lingkup yang sudah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat, salah satunya di lingkungan pemerintahan ,salah satu kasus korupsi yang pernah menyeret petinggi badan pertanahan nasional (BPN) SUMUT ke meja hijau. Skripsi ini berjudul “ Kebijakan hukum Pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi”.

Adapun rumusan permasalahannya yang akan dibahas didalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan tindak pidana korupsi dalam hukum pidana indonesia dan bagaimana kajian hukum pidana khususnya dalam hal kebijakan pemberantasannya terhadap kasus korupsi yang terjadi di badan pertanahan Nasional (BPN).metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan Library research ( penelitian Kepustakaan ) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan ,buku-buku dan internet yang didnilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Hasil penelitian sebagai jawaban dari permasalahan diatas adalah,pertama Peraturan perundang-undangan mengenai korupsi di Indonesia selalu mengalami perkembangan, mulai dari Peraturan Penguasa Militer No: Prt/PM-06/1957 tanggal 9 april 1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat nomor Prt/013/Peperpu/013/1958 Tentang Pengusutan ,Penuntutan dan pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana. Dan Pemilikan Harta Benda , Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang No.24 tahun 1960 tentang pengusutan ,penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi (LN 72 TAHUN 1960 ) , undang-undang no.3 tahun 1971) (LN 19 tahun 1961) dan yang terakhir Undang-undang no 31 tahun 1999 jo.Undang-UndangNo.20 tahun 2001.

jika berbicara mengenai korupsi,maka kita harus mengerti bagaimana Faktor-Faktor Kebijakan Pertanggung jawabannya pada dasarnya Konsep kebijakan Pertanggungjawaban hukum pidana dalam tindak pidana korupsi dan hukum pidana umum adalah sama.

Selanjutnya pada analisis kasus korupsi tersebut,terbukti bahwa majelis hakim memutuskan dakwaan primair yaitu pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU no 31 tahun 1999 jo.UU no 20 tahun 2001jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo .pasal 65 ayat (1) KUHP kurang cermat.karena hasil Analisa kasus berdasarkan fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa dakwaan Primair memang tidak terbukti dan dakwaan subsidiair yang terbukti. Akan tetapi dalam Hal ini majelis Hakim kurang cermat dalam menganalisa mengenai perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2.

(4)

ABSTRACT

The problem of corruption is not something new for Indonesia in legal and economy issue. Even, the case of corruption increases from year to year. The quality of corruption action is getting better and more systematic and it almost enters all aspects of human life aspect. One of the corruption actions is in government instance in Land Affairs Department, North Sumatera. This thesis entitled “The Policy of Law In Combating Corruption Action”.

The problem to study in this study is how the arrangement of corruption action in criminal law Indonesia and how is the legal policy in the case of combating the corruption to the case of Land Affairs Department. The method of the study was normative yuridicative approach by analyzing the problems through legal aspects and referring to legal norms in the rules. Data collection was done with library research using the data from various sources such as rules, books and related internet references with the study.

The results of research showed that the prevailed rules concerning with corruption action in Indonesia develops ranging from Military Rules No : Prt/PM-06/1957 dated April 9, 1957, Army Rules number Prt/013/Peperpu /013/1958 concerning with investigation and punishment to the corruption action. And the possession of the property, substitution rule No.24 of 1960 about investigation and punishment (LN 72 of 1960), rules no.3 of 1971) (LN 19 of 1961) and the last rules no.31 of 1990 jo Acts No.20 of 2001.

Talking about the corruption action, we should understand how are the factors of the policy as its responsibility which is basically as the concept of legal responsibility for criminal and civil law.

Furthermore, on the analysis to the corruption action, it is clearly seen the judge decided the decision, namely article 2 verse (1) jo article 18 Act No 31 of 1999 jo.act no 20 of 2001jo. Article 55 verse (1) for the first jo article 65 verse (1) Criminal Law was les accurate. Since the analysis of cases were based on the facts showing the prime decision which can not be proved and the subsidiary claim can be proved. However, the judge was less accurate to analyze the action which is against to article 2.

The summary from the discussion can be concluded that law officers should check more carefully one case to make best and fair decision.

(5)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur Penulis Panjatkan Ke Hadirat ALLAH SWT dengan Nikmat dan Karunia serta Mukjizat nya sehingga Penulis dapat Menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara , Medan Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara , yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/iyang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan adalah Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( studi Kasus Perkara No.77/Pid B/2010/PN.Medan).Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini .Namun, penulis masih Menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi maupun penulisan dari skripsi ini.

Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

1. Bapak Prof.Dr.Runtung, SH.M.Hum , selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. BapakProf.Dr.BudimanGinting,SH.M.Hum,BapakSyafruddin

(6)

3. Bapak Muhammad Hamdan ,SH.M.Hum selaku ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan maupun arahan kepada penulis.

4. Ibu Liza Erwina , SH,M.Hum selaku sekretaris Departemen Hukum Pidana yang telah Memberikan Motivasi dan Masukan Kepada Penulis.

5. Bapak Prof.Dr.Edywarman SH.M.Hum, Selaku dosen Pembimbing I dalam Penulisan Skripsi ini , Telah Meluangkan waktu untuk membimbing ,dan mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

6. Bapak Dr.Mahmud Mulyadi SH.M.Hum, Selaku dosen Pembimbing II dalam Penulisan Skripsi ini , Telah Meluangkan waktu untuk membimbing ,dan mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

7. Bapak Dr.Malem Ginting SH.M.Humselaku Dosen Wali Penulis. 8. Bapak /Ibu dosen dan Seluruh Staf Administrasi Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

9. Papa Terbaik Marwan Purba SH dan Mama Tercinta Nani Ria Nita SH. Yang telah Mengasuh Dan membimbing serta Memotivasi dan sabar dalam Menghadapi Penulis Hingga saat ini.

(7)

11.Seluruh Keluarga Besar Alm.Ompung Jamita Purba dan Alm.Ompung Hasnah Br Harahap .yang telah memberikan nasihat-nasihat positif pada Penulis.

12.Seluruh Keluarga Besar Alm.Ompung Marzuki Batubara dan Alm.Ompung Nurhamimah br Simatupang.yang telah memberikan nasihat-nasihat positif pada Penulis.

13.Wahai kamu yang disana yang Memiliki “Tulang Rusuk “ ku Ini adalah langkah Permulaan dalam rangka Mengembalikan kepada Tuan-nya

14.Buat Ibu Zuraida terimakasih Atas Pertolongan nya waktu Penulis Hendak Kuliah.

15.Buat Ibu Sederhana SH. Selaku Panitera Pengadilan Negeri Medan Yang telah Membantu Penulis dalam Melengkapi data-data dalam Penulisan skripsi ini.

(8)

17.Buat kawan-kawan 2007, adi,reza,Febri Dermawan,Jati,Fajar khaifi,Bin Ars Lubis,Ragil,Tri,Muchsin ,Pak jep A.k.a Zefrizal,ajo Ridha , ajo apara awak yudha,Apara putra jaya,nola,sarah.Nia,xerad zebua,reza fachri,terry william,wahyu tampubolon,alfarius ,dan putra jese serta Berlin situmorang dan tidak dapat penulis sebut satu persatu. 18.Buat teman” Futsal Gembira Tiap Minggu ..Heru Fajrin,Ilham

Gebro,Ryzki syahputra,Ican The Babe,Andri Ferdiansyah.

19.Buat adik” stambuk 2008 n 2009 seperti didi Buncit dan Dipo serta Angga.

20.Buat senior Awak stambuk 2006 ,2005,2004.

21.Buat Teman” HMI Fajar soefany,Ferdian,Ragil DLL.

22.Buat Rekan” PERMAHI Bang Hamdani ,Bang Jontri Timbul Situmorang ,Munawir rosyidi hsb,arif iskandar,syawal Manurung.Sakti Tambunan.

23.Buat fans Real Madrid terutama Madridistas cabang Medan”Hala Madrid”.

24.Untuk semua pihak yang telah Membantu penulis dalam menyelesaikan Skripsi Iniyang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Perkembangan Ilmu hukum, Khususnya hukum pidana, Bagi Penulis sendiri dan Bagi Pembaca Budiman.

Medan ,Juli 2012

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi... 11

2. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana ... 15

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II : PERKEMBANGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Perkembangan Perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Sebelum Lahirnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 9 1. Peraturan Penguasa Militer No. : Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957 ... 20

(10)

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengutusan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

(LN 72 Tahun 1960) ... 24

4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN 19

Tahun 1971) ... 30

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi ... 34

6. Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Kerjasama antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi ... 37

B. Perkembangan Perundang-Undangan Tindak Pidana

Korupsi di Indonesia ... 39

1. Rumusan Delik Tindak Pidana Korupsi Dalam

UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 . 39

2. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi Dalam

UU No. 31 Tahun 1990 jo. UU No. 20 Tahun 2001 . 58

BAB III : FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A. Faktor Penyebab Tindak Pidana Secara Umum ... 62

B. Faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi... 71

(11)

BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KASUS PUTUSAN PERKARA NO. 77/Pid.B/2010/PN.MDN A. Posisi Kasus

1. Kronologis ... 77

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 78

3. Analisis Kasus ... 79

B. Analisis Yuridis ... 86

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 131

B. Saran ... 134

(12)

ABSTRAKSI

Masalah korupsi di Indonesia Bukan lagi merupakan Masalah Baru dalam persoalan hukum dan ekonomi, perkembangannya pun terus meningkat dari tahun ke tahun kualitas tindak pidana korupsi yamg dilakukan semakin rapi dan sistematis dengan lingkup yang sudah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat, salah satunya di lingkungan pemerintahan ,salah satu kasus korupsi yang pernah menyeret petinggi badan pertanahan nasional (BPN) SUMUT ke meja hijau. Skripsi ini berjudul “ Kebijakan hukum Pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi”.

Adapun rumusan permasalahannya yang akan dibahas didalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan tindak pidana korupsi dalam hukum pidana indonesia dan bagaimana kajian hukum pidana khususnya dalam hal kebijakan pemberantasannya terhadap kasus korupsi yang terjadi di badan pertanahan Nasional (BPN).metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan Library research ( penelitian Kepustakaan ) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan ,buku-buku dan internet yang didnilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Hasil penelitian sebagai jawaban dari permasalahan diatas adalah,pertama Peraturan perundang-undangan mengenai korupsi di Indonesia selalu mengalami perkembangan, mulai dari Peraturan Penguasa Militer No: Prt/PM-06/1957 tanggal 9 april 1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat nomor Prt/013/Peperpu/013/1958 Tentang Pengusutan ,Penuntutan dan pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana. Dan Pemilikan Harta Benda , Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang No.24 tahun 1960 tentang pengusutan ,penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi (LN 72 TAHUN 1960 ) , undang-undang no.3 tahun 1971) (LN 19 tahun 1961) dan yang terakhir Undang-undang no 31 tahun 1999 jo.Undang-UndangNo.20 tahun 2001.

jika berbicara mengenai korupsi,maka kita harus mengerti bagaimana Faktor-Faktor Kebijakan Pertanggung jawabannya pada dasarnya Konsep kebijakan Pertanggungjawaban hukum pidana dalam tindak pidana korupsi dan hukum pidana umum adalah sama.

Selanjutnya pada analisis kasus korupsi tersebut,terbukti bahwa majelis hakim memutuskan dakwaan primair yaitu pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU no 31 tahun 1999 jo.UU no 20 tahun 2001jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo .pasal 65 ayat (1) KUHP kurang cermat.karena hasil Analisa kasus berdasarkan fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa dakwaan Primair memang tidak terbukti dan dakwaan subsidiair yang terbukti. Akan tetapi dalam Hal ini majelis Hakim kurang cermat dalam menganalisa mengenai perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2.

(13)

ABSTRACT

The problem of corruption is not something new for Indonesia in legal and economy issue. Even, the case of corruption increases from year to year. The quality of corruption action is getting better and more systematic and it almost enters all aspects of human life aspect. One of the corruption actions is in government instance in Land Affairs Department, North Sumatera. This thesis entitled “The Policy of Law In Combating Corruption Action”.

The problem to study in this study is how the arrangement of corruption action in criminal law Indonesia and how is the legal policy in the case of combating the corruption to the case of Land Affairs Department. The method of the study was normative yuridicative approach by analyzing the problems through legal aspects and referring to legal norms in the rules. Data collection was done with library research using the data from various sources such as rules, books and related internet references with the study.

The results of research showed that the prevailed rules concerning with corruption action in Indonesia develops ranging from Military Rules No : Prt/PM-06/1957 dated April 9, 1957, Army Rules number Prt/013/Peperpu /013/1958 concerning with investigation and punishment to the corruption action. And the possession of the property, substitution rule No.24 of 1960 about investigation and punishment (LN 72 of 1960), rules no.3 of 1971) (LN 19 of 1961) and the last rules no.31 of 1990 jo Acts No.20 of 2001.

Talking about the corruption action, we should understand how are the factors of the policy as its responsibility which is basically as the concept of legal responsibility for criminal and civil law.

Furthermore, on the analysis to the corruption action, it is clearly seen the judge decided the decision, namely article 2 verse (1) jo article 18 Act No 31 of 1999 jo.act no 20 of 2001jo. Article 55 verse (1) for the first jo article 65 verse (1) Criminal Law was les accurate. Since the analysis of cases were based on the facts showing the prime decision which can not be proved and the subsidiary claim can be proved. However, the judge was less accurate to analyze the action which is against to article 2.

The summary from the discussion can be concluded that law officers should check more carefully one case to make best and fair decision.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi telah menjadi extra ordinary crimes yang telah nyata menggerogoti dan membahayakan keuangan dan perekonomian negara.Durkheim1 dalam kumpulan karangan buku ke-2 Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa jika bangsa ini tidak segera menyadari korupsi sebagai akar masalah,sampai kapanpun akan sulit bagi Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan,Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa kejahatan adalah suatu gejala normal di dalam setiap masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan sosial dan karena itu tidak mungkin disambungkan habis. Perlu ditambahkan bahwa istilah “pemberantasan kejahatan “ adalah kurang tepat karena mengandung pengertian “pemusnahan” dan mungkin istilah yang kebih tepat adalah “pencegah kejahatan”.2

Saparinag Sadli menyatakan, bahwa kejahatan atau tindak kriminil adalah merupakan salah satu bentuk dari “prilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari

1

Emile Durkheim, The Normal and the Pathologi, dalam Marvin E.Wolfgang at.al.(ed),

The Sosialogy of Crime and Deliquency, Second Edition, John Wiley & Sons, 1990, dalam Mardjono Reksodiputro, Kriminology dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan Buku Kedua pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1997), hal. 2

2

(15)

kejahatan.3 Kejahatan, selain merupakan masalah kemanusiaan adalah juga masalah sosial.4

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lahir karena adanya pertimbangan-pertimbangan antara lain:

dan juga malahan “the oldest social problem”.

1. Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar.

2. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

3. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengann undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.5

Untuk lebih memantapkan upaya pemberantasan korupsi, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah dengan

3

Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Pidana Menyimpang, 1976, hal. 56 dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 148.

4

Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, (London: Routledge & Kegan Paul, 1965), hal. 99.

5

(16)

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain upaya penyempurnaan ketentuan perundang-undangan tersebut juga dilakukan upaya pembentukan lembaga baru untuk pemberantasan korupsi. Untuk itulah dikeluarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pendayagunaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi termasuk sebagai kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto, sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Di dalamnya mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, yang dalam arti paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.6

Kebijakan perundang-undangan memfokuskan permasalahan sentral menyangkut penetapan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan sebagai tindak pidana, dan sanksi pidana apa yang selayaknya dikenakan,yang hukum pidana materiil kedua hal tersebut termasuk pula perhatian terhadap orang/pelakunya, dalam hal ini menyangkut masalah pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam hukum pidana materiel dikenal masalah pokok yang menyangkut tindak pidana, pertanggung-jawaban, dan sanksi pidana.7

6

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 113, 158. 7

(17)

Masalah berikutnya mengenai penentuan sanksi pidana dalam kebijakan perundang-undangan merupakan kegiatan yang akan mendasari dan mempermudah penerapan maupun pelaksanaannya dalam rangka penegakan hukum pidana inkonkreto8. Penentuan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan merupakan pernyataan pencelaan dari sebagian besar warga masyarakat. Barda Nawawi Arief mengemukakan, pencelaan mempunyai fungsi pencegahan karena sebagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku. Hal itu diterima oleh si pelaku memasuki kesadaran moralnya, yang akan menentukan tingkah-lakunya di masa mendatang. Jadi tidak semata-mata taat pada ancaman yang menderitakan, melainkan karena adanya rasa hormat tentang apa yang dipandang benar dan adil.9

Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, lebih konkretnya mengoperasikan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 yang merupakan perundang-undangan pidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi akan menghadapi problema keterbatasan kemampuannya, mengingat tipe atau kualitas sasaran (yakni korupsi) yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan (dari sudut pelakunya, modus-operandinya) sering dikategorikan sebagai White Collar crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama sudah seharusnya dimanfaatkan. Sehubungan dengan ini, Barda Nawawi Arief10

8

. Gondowardojo, Ilmu Hukum Administrasi negara,(Yogyakarta:Widjayakusuma ,1978) hal . 22

menyarankan dalam upaya penanggulangan

9

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,1996), hal. 26.

10

(18)

kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial, serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal. Pengamatan Bambang Poernomo,11

Kasus yang menjadi dasar dalam skripsi ini tersebut bermula ketika dilaksanankan nya proyek pelaksanaan redistribusi tahan objek landreform dari pusat atau yang dikenal sebagai proyek pembaharuan agraria nasional (PPAN) tahun 2008 yang dilaksanakan di 10 kantor BPN kabupaten /kota se-Sumut terbagi atas :

kesulitan untuk menanggulangi korupsi itu disebabkan lingkaran pelakunya yang tidak lagi hanya para pejabat negara melainkan sudah cenderung meluas ke dalam lingkungan keluarga pejabat untuk memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan, dan/atau lingkungan kelompok bisnis tertentu untuk mendapatkan keuntungan secara illegal.

1) Kota Binjai (1000 Bidang) 2) Siantar (500 Bidang)

3) Kab.langkat (10.000 bidang) 4) Deli Serdang (10.000 bidang) 5) Serdang Berdagai (16.174 bidang) 6) Simalungun (7500 bidang)

7) Asahan (5000 Bidang) 8) Labuhan Batu (4000 Bidang)

11

(19)

9) Tapanuli Tengah (5000 Bidang ) 10)Mandailing Natal (5000 Bidang )

Kemudian Horasman Sitanggang selaku kepala BPN Memerintahkan Kasubbag perencanaan dan Keuangan BPN .Jojor sitorus utk memotong dana sebesar 7% dari Dana Taktis Kegiatan yang Mencakup 56.674 bidang per-meter tersebut Dengan alasan untuk Inventaris Kantor yang Pada dasarnya dana taktis itu adalah akal-akalan atau “Fiktif” dalam upaya memanipulasi uang dari Proyek Landreform tersebut.

Tindakan Terdakwa dengan melibatkan Kasubbag perencanaan dan keuangan Sumut Jojor Sitorus menimbulkan kerugian Negara sebesar 2.319 M (Berdasarkan Audit Badan Pengawas Keuangan Negara (BPKP) tanggal 4 desember 2009) tetapi dalam prakteknya justru Bendahara Pengeluaran (Ruslan S.E .SH ) Telah Melakukan Pemotongan Langsung Sebesar 7 % Dari dana alokasi anggaran pada 10 Kantor Pertanahan Kab/Kota dalam PPAN 2008 di KANWIL PROVSU,yang menurut hukum haruslah menjadi tersangka dan terdakwa dalam kasus ini ,karena dalam prakteknya sudah memenuhi unsur yang terdapat di dalam UU Pemberantasan tindak pidana korupsi,untuk lebih jelas akan saya jabarkan di dalam bab selanjutnya dalam Skripsi saya.

B. Perumusan Masalah

(20)

1. Bagaimanakah perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi dalam perundang-undangan di Indonesia?

2. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi?

3. Bagaimanakah pertanggungjawaban Pidana terhadap tindak pidana korupsi Kasus Putusan No.77/Pid.B/2010/PN-Mdn

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi dalam perundang-undangan di Indonesia

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi

c. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi dalam perspektif Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi konsep, teori dan pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum investasi di Indonesia.

b. Manfaat Praktis

(21)

yakni instrumen hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Kebijakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara No. 77/Pid.B/2010/PN.Mdn)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga yang dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya, Penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya,apabila ternyata ada skripsi yang sama,Dan hasil observasi yang telah dilakukan, ada beberapa skripsi yang memiliki topik yang sama, namun dalam hal permasalahan dan pembahasannya jelas berbeda dengan isi skripsi ini

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana

(22)

berusaha memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat.12

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebahagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.13

Istilah-istilah yang pernah dipergunakan baik dalam perundang-undangan maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah: tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan pidana. Nyatalah kini setidak-tidaknya ada dikenal tujuh istilah bahasa Indonesia. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan

12

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 67.

13

(23)

sebagai terjemahaan dari strafbaar feit, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial.

Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi pengertian strafbaar feit dan beliau mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Beliau tidak setuju dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih pendek daripada perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit.14

Dari pengertian tersebut, tindak pidana tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Perbuatan

b. Yang dilarang ( oleh aturan hukum ) c. Ancaman pidana ( bagi yang melanggar )

14

(24)

Berdasarkan uraian unsur tindak pidana di atas, maka yang dilarang adalah perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah pada perbuatan itu, tetapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang dalam hukum.

2. Pengertian Tindak pidana Korupsi

Secara umum atau awam, korupsi merupakan: (a) suatu tindakan mengambil, menyelewengkan, menggelapkan uang Negara/rakyat untuk kepentingan pribadi/kelompok; (b) menerima gaji tanpa kerja (dengan sengaja meninggalkan tugas).15

H.A. Brazz berpendapat bahwa suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai korupsi jika mengandung unsur-unsur berikut: (a) kekuasaan yang dialihkan; (b) kekuasaan yang dialihkan tersebut dipakai berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu, atau berdasaran kemampuan-kemampuan yang formal; (c) kekuasaan tersebut dipakai untuk merugikan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan asli (d) kekuasaan tersebut dipakai untuk menguntungkan atau merugikan orang luar; (e) pemakaian wewenang dan kekuasaan formal secara tersembunyi dengan dalih menurut hukum.16

15

Ibid.

16

(25)

Dalam literatur mengenai korupsi, terdapat definisi yang memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah:17

Behaviour which deviates from the formal dutiers of a public role because of private-regarding (personal, clise family, private clique) pecuniary or status-gains; or certain types of regarding behavior” yang dapat diterjemahkan sebagai: “perilaku menyimpang dari kewajiban formal suatu peran publik karena private regarding (kepribadian, keluarga dekat, persengkokolan pribadi) berkenaan dengan uang atau status – keuntungan; atau melanggar aturan yang bertentangan dengan perilaku yang terhormat”.

Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio atau Corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari pula dari kata asal corrumpare, suatu kata latin yang lebih tua.18

Arti harfiah dari kata tersebut ialah kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti yang dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary:

Dari bahasa latin itupun turun ke banyak bahasa Eropa seperti: Corruption, corrupt (inggris), Corruption (perancis), dan Corruptie (korruptie) (Belanda). Sehingga dalam Bahasa Indonesia dapat diturtunkan sebagai “Korupsi”.

19

Corruption (l. Corruptio: the Act of corruption; or the state of being corrupt; putrefactive decomposition, putrid matter moral prevension; depravity; perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasment, as language; a debased from the world.

20

17

Roberd Klitgard: Kontroling Coruption, page 23, dikutip dari Max Weber, The Protestant ethnics and Spirit of Capitalism, (1904-s), Printerd University of California Press Baekley and Los Angles, Califoprnia.

18

Pockema Andreae, Rechtsgeleard Handwoordenboek Groningen-Djakarta; Bij .B. Walter Vitgeverremaatdchappij N.V. dalam Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi di Tinjau dari Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat Study Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002), hal. 4.

19 Ibid. 20

(26)

Sedangkan Bank Dunis dan Lermbaga Internasional Transparansi menganut definisi klasik yang memandang korupsi sebagai “Penggunaan posisi seseorang di masyarakat untuk mendapat keuntungan pribadi secara tidak sah”.21

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diartikan sebagai tindak pidana korupsi adalah:

Pertama:

a. Barangsiapa dengan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui patut disangka olehnuya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugkan keuangan negara atau perekonomian negara.

c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 419, 429, 423, 425, dan 435 KUHP.

21

(27)

d. Barangsiapa member hadiah atau janji keapda pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau wewenang yang melekst pada jabatannya atau kedudukannya itu. Seperti yang tersebut dalam Pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya.

Kedua:

Barangsiapa melakukan percobaan atau pemufakatan untuk tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c , d, e.

Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa:

“Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”.

Sedangkan menurut Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1) pengertian korupsi adalah: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

3. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

(28)

keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif,22 David L,Sills Menyatakan bahwa Pengertian Kebijakan (Policy) adalah menyatakan bahwa pengertian kebijakan(Policy) adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan23

Menurut Marc Ancel, pengertian Penal Policy (kebijakan Hukum Pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan

.

24

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis

22

.Sultan Zanti Arbi , Dan Wayan Ardana ,Rancangan Penelitian dan kebijakan sosial , (Jakarta CV.Rajawali ,1997), Hal 63, yang Terjemahan dari “the Design Of Social Policy” Tulisan Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood.

23

.Barda Nawawi Arif ,Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan kejahatan dengan Pidana Penjara ,(Badan Penerbit Universitas Diponegoro,1994),Hal 63.

24

(29)

dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.25

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan metode penelitian hukum normatif.26 Adapun tipe penelitian yang dilakukan, dari sudut bentuknya, merupakan penelitian preskriptif yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.27

Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini mengacu pada analisis norma hukum, dalam arti law as it is written in the books (hukum dalam peraturan Perundang-Undangan).28

2. Jenis Data

Dengan demikian objek yang dianalisis adalah norma hukum, yaitu mengkaji peraturan Perundang-Undangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi dan peraturan perundang-undangan mengenai kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menggunakan data sekunder29

25

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 1.

yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang di bidang tindak pidana korupsi beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil

26

Ibid., hal. 13-14. 27

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2006), hal. 10. 28

Ronald Dworkin, Legal Research (Daedalus: Spring, 1973), hal. 250. 29

(30)

karya dari ahli hukum di bidang pemberantasan korupsi. Penelitian ini juga menggunakan bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.30

Di samping sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, peneliti juga menggunakan bahan-bahan non hukum yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian, misalnya berupa buku, hasil penelitian, dan jurnal-jurnal mengenai penegakan hukum dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi. Penggunaan bahan-bahan non hukum ini dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.31

3. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah melalui studi dokumen atau bahan pustaka.32

4. Analisis Data

Studi dokumen atau bahan pustaka dilakukan di beberapa tempat antara lain Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maupun mengakses data melalui internet.

Data yang diperoleh dari penelitian melalui studi dokumen atau bahan pustaka tersebut selanjutnya dianalisis dengan pendekatan kualitatif.Menurut

30

Soerjono Soekanto, Op. cit, hal. 52. 31

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 143, 163, dan 164.

32

(31)

Cresswell33Penelitian kualitatif adalah salah satu jenis penelitian yang mengedepankan pendekatan untuk membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif konstruktif (misalnya,makna-makna yang bersumber dari Pengalaman individu,nilai-nilai sosial dan sejarah,dengan tujuan untuk membangun teori atau pola pendekatan tertentu.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan dibahas tentang pengaturan hukum tentang kebijakan hukum korupsi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang isinya memuat antara lain tentang perkembangan perundang-undangan tindak pidana korupsi di Indonesia sebelum lahirnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan perkembangan perundang-undangan tindak pidana korupsi di Indonesia.

BAB III : Bab ini akan membahas tentang faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi di Badan Pertanahan Nasional, yang isinya antara lain memuat faktor penyebab tindak pidana secar umum dan faktor penyebab tindak pidana korupsi.

33

(32)

BAB IV : Bab ini akan membahas kebijakan hukum pidana terhadap pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi dalam upaya pemberantasannya yang mendeskripsikan kasus beserta analisisnya

(33)

34

PENGATURAN HUKUM TENTANG KEBIJAKAN HUKUM KORUPSI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II

A. Perkembangan Perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sebelum Lahirnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

1. Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tangga 9 April 1957 Perkembangan masyarakat dalam usaha mengisi kemerdekaan, telah memperlihatkan gejala-gejala kearah penyelewengan yang merupakan perbuatan yang merugikan kekayaan dan perekonomian negara. Gejala seperti ini pada awalnya jelas kelihatan pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan republik yang baru diproklamasikan.35 Pada masa itu istilah korupsi menjadi sangat terkenal dalam masyarakat, dan terasa sangat mencemaskan. Sementara itu, ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum KUHP tidak dapat berbuat banyak untuk memberantas gejala baru yang oleh masyarakat dinamakan korupsi itu dengan mengandalkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP saja untuk menanggulangi masalah korupsi, ternyata dirasakan tidak efektif. Akibatnya banyak pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak dapat diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang ada di dalam KUHP.

35

(34)

Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, diperlukan adanya keleluasaan bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi. Atas dasar itu pada tanggal 9 April 1957, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan Peraturan No. Prt/PM-06/1957. Pada bahagian konsideran Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengalami kemacetan.36

Kemudian ternyata bahwa peraturan penguasa militer ini dirasakan belum cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan ini tentang pemilikan harta benda. Keinginan ini lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957. Peraturan ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam usahanya memberantas korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan.

Peraturan penguasa militer ini dapat dianggap sebagai cikal bakal peraturan perundang-undangan pidana khusus tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Jika dalam harta benda tersebt ditemukan adanya harta benda yang mencurigakan, yang asal mulanya diperoleh dari perbuatan hukum, maka penguasa militer memandang perlu untuk melakukan penyitaan. Akan tetapi

36

(35)

tindakan penyitaan tersebut tidak dapat dilakukan tanpa memiliki dasar hukum untuk itu. Oleh karena itu, disamping peraturan penguasa militer yang telah ada, maka sebagai dasar bagi penguasa militer untuk menyita dan merampas harta benda yang asal mulanya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan itu, penguasa militer pada tanggal 1 Juli 1957 mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM 011/1957.

2. Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt/013/Perpu/013/ 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda

Berlakunya Undang No. 74 tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya pada tanggal 17 April 1958, maka ketiga peraturan penguasa militer tadi diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt./Peperpu/013/1958 Tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Pemerikasaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda.

Sudarto,37

Adapun yang dimaksud perbuatan korupsi pidana adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat tahun 1958, yaitu:

berpendapat bahwa peraturan tentang korupsi yang baru itu dilihat dari sudut sistematikanya lebih baik daripada ketiga peraturan yang ada sebelumnya, dan isinya merugikan perpaduan dari peraturan-peraturan terdahulu. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat ini membedakan antara perbuatan korupsi Pidana dengan perbuatan korupsi lainnya.

37

(36)

a. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah, atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat; b. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan

atua pelanggaran, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan;

c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 41 sampai 50 Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 KUHP.

Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan korupsi lainnya dirumuskan dengan Pasal 34 peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat tahun 1958, yaitu:

a. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah, atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat;

b. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. Patut pula di kemukakan disini, bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1958 hanya berlaku di daerah-daerah yang dikuasai Angkatan Darat saja. Sementara di daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut dibuat pula Perturan Penguasa Militer Angkatan Laut No. Prt/zl/17 tanggal 17 April 1958, yang perumusannya sama dengan peraturan penguasa perang yang disebutkan pertama.

(37)

perbuatan-perbuatan korupsi yang pada saat itu sangat merajalela akibat dari suasana seakan-akan pemerintah sudah tidak mempunyai kewibawaan lagi.

3. Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

Dua tahun setelah peraturan penguasa perang pusat tadi diberlakukan, lantas pemerintah memandang perlu untuk menggantinya dengan peraturan yang berbentuk undang-undang. Akan tetapi karena keadaan memaksa, dan tidak memungkinkan untuk membentuk sebuah undang-undang, maka instrument hukum yang dipergunakan untuk itu adalah dengan membentuk sebuah peraturan Pemerintah Pengganti Undnag-undang (Perpepu). Atas dasar itu, maka pada tanggal 9 Juni 1960 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Pidana Korupsi, Lembaran Negara No. 72 Tahun 1960.

Barulah kemudian pada tahun 1961 dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1961, peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 itu dikukuhkan status hukumnya menjadi undang-undang, sehingga ia dikenal dengan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Lembaga Negara No. 72 Tahun 1960.

(38)

Peraturan Penguasa Perang Pusat. Hanya saja terdapat sedikit perubahan redaksional pada unsur “karena melakukan perbuatan melawan hukum” diganti dengan unsur “melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran”, dan penggantian kata “perbuatan” dengan istilah “tindakan” pada rumusan korupsi kategori pertama. Di samping itu, undang-undang ini menarik lagi beberapa Pasal KUHP dari apa yang telah ditarik oleh peraturan penguasa perang tadi, sehingga semuanya meliputu Pasal-Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP.

Mengenai rumusan korupsi yang bukan pidana dari peraturan penguasa perang pusat tidak diambil alih pengaturannya oleh Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960. Meskipun demikian, di dalam penjelasan undang-undang ini terdapat keterangan yang menegaskan, bahwa korupsi yang bukan pidana diadili oleh pengadilan tinggi atas gugatan Badan Koordinasi Penilik Harta Benda, sehingga harta benda hasil korupsi dapat dirampas.

(39)

Bambang Poernomo38

Dari sudut pandang aparat penegak hukum sendiri, penyebabnya antara lain adalah karena ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan mengenai korupsi dirasakan kurang memadai untuk melakukan tindakan, baik secara represif maupun preventif. Kekurangan yang terdapat dalam undang-undang korupsi pada waktu itu, yang dirasakan sangat menghambat upaya penegak hukum, terutama sekali adalah mengenai rumusan tindak pidana korupsi yang di dalam undang-undang itu disyaratkan adanya pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran. Tanpa adanya unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran, maka suatu perbuatan, meskipun bersifat koruptif, tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi.

dalam hubungan itu mengatakan bahwa pembaharuan yang diadakan dalam substansi Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 telah memberikan petunjuk tentang betapa rumitnya pemberantasan kejahatan korupsi yang mempunyai pola perilaku terselubung, dan mempunyai sasaran dibidang politik, ekonomi, keuangan dan sosial budaya. Meski telah beberapa kali diadakan pergantian peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi, namun selama kurun waktu antara tahun 1960-1970 perkembangan dan peningkatan potensi tindak pidana korupsi dirasakan terus berlangsung dengan hebat. Artinya, selama kurun waktu tersebut sistem peradilan pidana tidak dapat berbuat banyak untuk mengahdapi pada koruptor ke pengadilan.

38

(40)

Rumusan tentang tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 itu, hanya terdapat di dalam satu Pasal, yaitu Pasal 1.

Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 berbunyi: Disebut tindak pidana korupsi ialah:

a. Tindakan seorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah, atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat;

b. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan, dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatyan atau kedudukan;

c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai Pasal 21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KHUP.

Rumusan Pasal 1 huruf a dan huruf b tersebut di atas ternyata, bahwa untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi disyaratkan terlebih dahulu adanya suatu kejahatan atau yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran itu haruslah terlebih dahulu dibuktikan sebelum melangkah lebih lanjut pada pembuktian unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan dan seterusnya.

Penjelasan Pasal 1 huruf a Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 memperjelas perlunya pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran tersebut. Sebagai hal yang diutamakan. Penegasan demikian tercermin dalam kesimpulan yang terdapat di dalam penjelasan Pasal tersebut, yang menyatakan:

(41)

dapat dipidana dengan hukuman badan dan/atau denda yang cukup berat di samping perampasan harta benda hasil korupsinya.

Ternyata dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi berdasarkan undang-undang itu, dengan persyaratan yang demikian, tidak mendapatkan efektivitas yang memadai seperti harapan semula. Hal itu disebabkan karena sulit untuk membuktikan unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran. Akibat adanya persyaratan atau unsur yang demikian, banyak perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang sesungguhnya bersifat korutif, sangat sukar dipidana berdasarkan undang-undang ini. Kesukaran itu adalah karena sulitnya memenuhi pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran terlebih dahulu. Di samping itu, ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 dirasakan pula kurang memadai untuk memberantas tindak pidana korupsi secara efektif, terutama sekali menyangkut ketentuan-ketentuan tentang pembuktian.39

Kebijakan untukmelakukan pembaharuan terhadap undang-undang mengenai tindak pidana korupsi erat pula kaitannya dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat tentang tindak pidana korupsi, yang oleh pembentuk undang-undang dianggap tidak mampu ditampung oleh Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960. Artinya, berhubung dengan perkembangan masyarakat, Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 dianggap kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan. atas dasar alasan-alasan tersebut di atas, dan diperkuat dengan berbagai pendapat yang berkembang ditengah masyarakat,

39

(42)

pemeritah memandang perlu mengadakan pembaharuan hukum pidana untuk mengganti Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960.

Agar upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara efektif dan efisien, perlu diadakan perluasan rumusan tindak pidana kporupsi. Kemudian untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana korupsi perlu dilakukan pembaharuan terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam undang-undang korupsi.

Untuk memenuhi maksud tersebut di atas, maka dengan Amanat Prsiden No. R. 07/P.U/VIII/1970 tanggal 13 Agustus 1970, Pemerintah menyampaikan kepada dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) sebuah rancangan undang-undang tersebut dimaksdukan untuk mencabut dan mengganti Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 dengan suatu undang-undang korupsi yang baru.

4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(43)

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 memformulasikan tindak pidana korupsi hanya dalam satu Pasal, yaitu Pasal 1 yang terdiri dari 2 ayat dan 5 sub ayat. Lengkapnya Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:

(1).a. Barangsiapa dengan melawan hukum dengan melakukan perbuatanmemperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuagan negara atau perekonomian negara;

a. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP;

d. Barang siapa member hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengikat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya, atau oleh si pemberi hadiah atau kedudukan itu;

e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal-Pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

(2). Barangsiapa melakukan percobaan atau pemufakatan untuk melakuan tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e Pasal ini.

(44)

Unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam undang-undang yang lama, diganti dengan unsur melawan hukum. Dengan adanya unsur melawan hukum itu terkesan bahwa pembentuk undang-undang berusaha mengatasi kelemahan dan kesulitan pembuktian seperti ditunjukkan dalam penerapan undang-undang sebelumnya. Unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU-PTPK 1971 tersebut memuat pengertian yang luas sebagai pengganti unsur melakuikan kejahatan atau pelanggaran.40

Konsideran Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 menegaskan latar belakang pemikiran pembuat undang untuk memposisikan undang-undang tersebut sebagai instrument hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi. Pembuat undang-undang memberikan penegasan bahwa perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sementara undang-undang yang ada kurang mencukupi sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu diperlukan adanya langkah pembaharuan perundang-undangan pidana, sehingga dengan demikian dapat diketahui betapa pentingnya keberadaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dalam upaya penanggulangan masalah korupsi.

Unsur melawan hukum hukum dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi tahun 1971 itu mengandung pengertian formil dan materil.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dalam perkembangannya dirasakan memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu diganti. Disamping tidak adanya

40

(45)

ketegasan mengenai sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, tidak adanya ketentuan yang diterapkan terhadap korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi (corpotate criminal liability) tercatat sebagai salah satu keleahan yang dimiliki oleh undang-unang No. Tahun 1971.

Kelemahan lain yang terdapat dalam UU-PTPK 1971 adalah mengenai sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (duapuluh tahun) dan minimum umum (satu hari), sehingga Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum itu. Kewenangan direksi dalam menentukan sanksi pidana ini dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktek kasus korupsi yang hanya dijatuhi pidana dibawah ini satu tahun, padahal tindak pidana korupsi itu sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat.

Disamping untuk memperluat landasan hukum bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, secara praktis kehadiran undang-undang baru itu dapat pula dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan efek pencegaahn (deterrent effect) yang lebih besar bagi pelaku potensial. Hal ini paling tidak terlihat dari adanya kebijakan menerapkan sistem minimum khusus dalam pemindanaan yang sama sekali tidak dinekal dalam undang-undang sebelumnya.

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(46)

paling lantang untuk memberantas korupsi pada akhirnya justru menjadi sumber tumbuh suburnya korupsi dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi dan nepotisme, dan hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tersebut belum dapat memuaskan banyak pihak sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru. Undang-undang baru yang dimaksud yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Perjalanannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 pun ternyata menimbulkan permasalahan karena tidak ada Pasal yang mengatur tentang peraturan peralihan, sehingga menimbulkan pro dan kontra mengenai keberadaan undang-undang tersebut. Akibat dari tidak adanya Pasal tentang peraturan peralihan, maka pelaku korupsi pada Orde Baru, sebelum Undang-Undang ini berlaku tidak bisa dijerat dengan Pasal korupsi karena undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.41

Melalui undang-undang yang baru tersebut, pemerintah diberikan amanat untuk membentuk Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang Hal ini menimbulkan sangkaan bahwa Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 merupakan konspirasi dari penguasa untuk melindungi pelaku korupsi di masa lalu. Karena kelemahan itu, maka Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 perlu untuk diubah hingga pada akhirnya keluar Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

41

(47)

independent dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dasar hukum pembentukan lembaga independent itu adalah Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perjalanannya, dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disingkat TIMTASTIPIKOR untuk mendukung pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi yang semakin parah.

Untuk mewujudkan tujuan nasional yang telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang meliputi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka strategi yang digunakan untuk memberantas tindak pidana korupsi haruslah tepat. Adapun strategi yang dimaksud adalah dilakukan dengan 3 (tiga) macam, yaitu:42

a. Strategi persuasive, yaitu upaya menghilangkan penyebab korupsi dan peluang korupsi;

b. Strategi detektif, yaitu menampilkan dan mengidentifikasi tindak pidana korupsi dalam waktu sesingkat mungkin;

c. Strategi represif, yaitu upaya memproses tindak pidana korupsi yang telah diidentifikasi sebelumnya dengan cara melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan.

42

(48)
(49)

sehingga dikeluarkan Keppres No. 10 Tahun 2007 tentang Pengakhiran Tugas Dan Pembubaran Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Korupsi.

6. Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Kerjasama antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Republik Indonesia dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Secara de facto saat ini sudah ada empat badan institusi negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang berhungan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu: (1) kepolisian, (2) kejaksaan, (3) KPK (Komisi Pembarantas Korupsi), (4) Timtastipikor (Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi).

Meskipun aturan dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2002 mengatur juga kewenangan khusus yang dilakukan komisi pemberantasan korupsi terkait penyidikan dan penuntutan perkara korupsi namun undang-undang ini tidak menghapuskan kewenangan pejabat penyidik dari pegawai negeri sipil untuk melakukan penyidikan perkara korupsi. Ketentuan tentang penyidikan dan penuntutan perkara korupsi tertuang dalam:

Pasal 6 huruf a

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas koordinatif dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi Pasal 7 huruf a

(50)

Prinsip koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) dengan instasi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi ini salah satunya dengan instansi kejaksaan sehingga dengan demikian tercipta sinergi antara kejaksaan dan KPK. Koordinasi ini diaktualisasikan melalui peraturan bersama Jaksa Agung Republik Indonesia No.: KEP-347/A/JA/12/12/2005 dan ketua Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK), No. 11/KPK-KEJAGUNG/XII/12/2005 tentang kerjasama antara komisi pemberantasan korupsi dengan kejaksaan republik indonesia dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.

Terkait dengan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi maka ada batasan dimana KPK melakukan penyidikan perkara korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit satu milyar (Rp.1.000.000.000,00). Hal ini berbeda dengan kewenangan kejaksaan yang tidak mengenal minimal atau batas kerugian negara dalam melakukan penanganan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi. Dengan demikian kewenangan kejaksaan lebih luas dibandingkan kewenangan KPK.

B. Perkembangan Perundang-Undangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

1. Rumusan Delik Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

(51)

Tahun 1999 No. 140. Jadi dapat dikatakan, bahwa pembentukan undang-undang yang baru tersebut dapat ditempatkan sebagais suatu kebijakan legislatif untuk menutupi kelemahan yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. Oleh karena itu, di dalamnya terkandung aspek-aspek pembaharuan hukum pidana.

Dalam kurun waktu yang relatif singkat, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagai instrument pidana khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi, telah menimbulkan perbedaan interpretasi di kalangan sarjana hukum. Disamping masalah ketentuan peralihan yang tidak secara eksplisit dicantumkan, masalah pembuktian terbalik kembali diperbincangkan. Undang-undang korupsi itu dianggap belum sempurna, terutama sekali disebabkan di dalamnya tidak secara tegas dirumuskan konsepsi pembalikan beban pembuktian yang oleh banyak kalangan diyakini mampu mengeliminasi tingkat keparahan korupsi sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman negara-negara lain yang menerapkannya. Untuk menyikapi hal tersebut pemerintah mempersiapkan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk mengamandemen Undang-Undang-Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Tanggal 21 Mei 2001, RUU tersebut diserahkan pemerintah ke DPR RI untuk dibahas lebih lanjut dan ditetapkan menjadi undang-undang.

Referensi

Dokumen terkait

Telah diuraikan sebelumnya bahwa tindak pidana korupsi “pemerasan” berbeda dengan tindak pidana korupsi “suap” juga dengan tindak pidana korupsi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaan Kebijakan Integral Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui Asset Recovery ditinjau dari teori

“Perkara Tindak Pidana Korupsi diperiksa, diadili, dan diputuskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dalam waktu paling lama 120 (sertus dua

BAB II :KETENTUAN HUKUM ACARA PIDANA TENTANG KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui dan menganalisis proses penyidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada saat ini dalam konsep

Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Kerjasama Penegakan Hukum Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Korupsi, tanggal 27

Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan tindak pidana khusus yang dalam penanganannya membutuhkan keahlian yang khusus serta oleh penegak hukum yang khusus

Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan tindak pidana khusus yang dalam penanganannya membutuhkan keahlian yang khusus serta oleh penegak hukum yang khusus