• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II UNSUR-UNSUR SASTRA

E. Unsur-unsur Sastra

Dengan demikian, keberadaan syair drama ini menggabungkan dua syair yang ada, yaitu syair cerita dan syair lirik.77

yang bersifat subyektif.80 Kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan kerap kali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions).81 Oleh karena itulah emosi ini sering sekali tertuang dalam karya- karya penyair dengan kekhasan bahasa masing-masing penulis.82

Wellek dan waren menyatakan, ada pendapat yang menyatakan bahwa keberhasilan sastrawan dalam berkarya adalah karena pengarang dianggap mengalami gangguan emosi dan karya sastranya dianggap merupkan kompensasinya. Ada pendapat lain, sastrawan menuliskan kegelisahanya, menganggap kekurangan dan kesengsaraannya sebagai tema karya- karyanya.83

Untuk mengetahui dan menilai rasa sastra, diperlukan adanya ukuran- ukuran (miqyas) di antaranya adalah:

a. Kebenaran Rasa (Shidq al-Athifah)

Maksudnya rasa itu timbul dengan sebenarnya, tidak dibuat-buat sehingga rasa tersebut dapat memberikan nilai kekal dalam sebuah karya sastra. Misalnya, kematian seorang anak dapat membangkitkan rasa sedih, kemenangan dalam perjuang dapat menimbulkan rasa gembira, dan seterusnya.

80Syamsir Arifin, Kamus Sastra Indonesia (Padang: Angkasa Raya, 1991), h. 49.

81Eva Farhah, Syair Arab Modern: Teori dan Aplikasinya (Surakarta: UNS Press, 2016), h.

49.

82Ika Selviana, Rasa Dan Gaya Dalam Penulisan Puisi Stilistika Aplikatif (The First On- Publisher in Indonesia: Guepedia, 2021), h. 17.

83Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 13.

b. Kekuatan Rasa (Quwah al-Athifah)

Yang dimaksud dengan kekuatan rasa disini bukan beraneka ragamnya rasa sastra yang ditampilkan. Terkadang rasa tenang (hadi’) itu lebih berpotensi memberikan pengaruh kepada pembaca. Dikarenakan terdapat perbedaan antara karakterikstik rasa dalam tingkat kekuataan antara karakteristik rasa dalam tingkat kekuatannya, maka untuk membuat ukuran (kriteria) mengenai kekuatan rasa memgalami kesulitan. 84

c. Kelanggenggan Rasa (Tsabat al-Athifh)

Maksudnya adalah kelanggenggan rasa pada diri orang sastrawan atau penyair selama ia berkarya. Hal ini di maksudkan agar rasa tersebut tetap kuat berpengaruh pada hasil karya sastra. Dengan demikian, si pembaca atau si pendengar akan merasakan kelanggengan rasa sastra tersebut sekalipun terdapat situasi.

d. Ragam Rasa (Tanawu al-Athifah)

Makudnya adalah kemampuan sastrawan dalam mentrasformasikan kesan-kesan rasa yang beraneka ragam dalam jiwa pembaca, seperti, rasa cinta, rasa semangat, rasa simpati, rasa bangga, dan sebagainya. Rasa sastra semacam ini merupakan bakat yang tidak banyak dimiliki oleh sastrawan.

e. Tingkat Rasa (Sumuw al- Athifah)

Para kritikus sastra sepakat mengatakan bahwa tingkat rasa adalah perbedaan tinggi rendahnya rasa sastra bagi setiap sastrawan. Perbedaan ini

84 Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h.78.

dapat diketahui dari segi keindahan gaya bahasa (stilitika) yang dipergunakan.85

1) Khayal (Imajinasi)

Imajinasi adalah kemampuan menciptakan citra dalam angan- angan atau pikiran tentang sesuatu yang diserap oleh panca indra, atau yang belum pernah dialami dalam kenyataan. Dalam karya sastra, imajinasi merupakan unsur yang amat penting, ia dapat membantu manusia (sastrawan) untuk merekam peristiwa yang telah berlalu dan yang akan datang. Andaikata tidak ada imajinasi, niscaya kehidupan manusia menjadi miskin.

Imajinasi tidaklah sama dengan realitas sesungguhnya, walapun ia tetap berpangkal dari kenyataan dan pengalaman.86

Hubunganya karya sastra dengan kenyataan telah dikemukakan oleh Plato dengan menggunakan istilah mimesis, tiruan. Karya sastra meniru kenyataan, sementara kenyataan sehari-hari hanyalah tiruan dari dunia ide merupakan kenyataan tertinggi yang terletak pada dunia Ilahi.

Aristoteles mengatakan bahwa pengarang tidak sekedar meniru, sebagaimana dikatakan Plato, tetapi ia terciptaan Tuhan yang hanya sekedar tempat bertolak. Pengarang justru menciptakan kenyataan baru berdasarkan kenyataan obyektif.87

85Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h.76-80.

86Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h.81.

87Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h.82.

Ahmad al-Syayib, membagi khayal menjadi tiga macam yaitu:

a) Khayal Ibtikari (Creative Imagination)

Yaitu adanya gambaran baru dalam sebuah karya sastra yang disusun secara selektif, maka ia dinamakan khayal ibtikari. Tetapi, jika disusun dengan sewenang-wenang, maka ia dinamakan wahm/fancy (angan-angan). Misalnya peran para tokoh dalam kisah Abu Zaid dalam cerita seribu satu malam. Ketika seorang memerankan tokoh tersebut, tentunya memulai dengan alur yang prosedural, dan kemudian berimajinasi sesuai dengan alur yang di perankan.88

b) Khayal Ta’lifi (Associative Imagination)

Khayal ini merupakan perpaduan antara pikiran dan gambaran yang serasi dengan bermuara pada satu perasaan yang benar. Kalau gambaran ini tidak dipahami dengan benar, maka ia menjadi tamtsil, sebagaimana tasybih dalam istilah’ilmu al bayan. Misalnya, pada musim hujan pepohonan menghijau, buahnya lebat, dan burung- burung berterbangan diatasnya. Namun saat musim kemarau tiba, maka keadaan pohon sebaliknya. Ketika sastrawan berimajinasi tentang pohon tersebut, dengan memadukan pikiran dan gambaran yang ada, maka proses imajinasi ini disebut dengan khayal ta’lifi.

88Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h. 83.

c) Khayal Bayani (Interpretative Imagination)

Khayal ini disebut juga khayal tafsiri. Khayal ini merupakan sarana yang baik untuk mengekspresikan nuansa alam dengan gaya sastra yang indah. Karena bentuk khayal seperti ini berada pada sentuhan keindahan alam dan rahasia yang terpendam di dalamnya, sehingga dapat memggambarkan keindahan dengan jelas. Misalnya, saat kita menyaksikan sekuntum bunga, atau membaca kata bunga, kemudian kita memberikan interpretasi terhadap makna bunga itu apakah bunga sebagai keindahan, kecantikan, kesejukan, kelembutan, dan sebagainya.89

2) Fikrah (Gagasan)

Gagasan atau tema merupakan patokan utama untuk mengetahui karya sastra. Sebuah karya sastra yang mati, tidak dikenal, dan lemah.

Karya sastra sesungguhnya bukan susunan bahasa dan ungkapan semata, tetapi ia harus memberikan informasi baru tentang alam dan kehidupan, eksistensi, dan manusia. Pikiran dan gagasan yang dikandung dalam karya sastra hendaknya jelas, dan relevan, bukan yang bersifat plagiat atau tiruan.90

Seorang sastrawan hendaknya menyampaikan pikiran atau gagasan yang mempunyai relasi yang kuat dengan judul dan situasi (keadaan). Para kritikus sastra dan ahli balaghah menyatakan, ungkapan yang baligh adalah kesesuaian kalam dengan tuntutan keadaan. Maka

89Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h.83.

90Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h.83.

posisi sastrawan ketika menentukan judul hendaknya berpegang kepada unsur yang baru, jujur, dan kuat dalam gagasannya. Gagasan itu sendiri tidak akan bermakna, jika ungkapan yang menilai seni tidak terpenuhi, karena penyampaian seni adalah simbol dari kandungan sastra dapat dilihat dan dinikmat pembaca.91

3) Shurah (Bentuk)

Bentuk adalah cara dan gaya dalam penyusuan dan pengaturan bagian-bagian karangan, pola struktural karya sastra yang menjelaskan bahwa bentuk atau sastra merupakan sarana utama bagi seseorang sastrawan untuk mengungkapkan pikiran dan imajinasinya kepada pembaca dan pendengar sastra. Yang dimaksud dengan sarana dalam definisi di atas adalah stuktur fisik sastra yang tergambar dalam bentuk bahasa.

Sedangkan pikiran dan makna merupakan struktur batin. Pikiran, makna, dan pesan yang terkandung dalam karya sastra merupakan tujuan, sedangkan perasaan yang tergambar dalam imajinasi merupakan sarana untuk membangkitkan keindahan dan kekuatan pikiran.92

Ahmad al-syayib menjelaskan bahwa bahasa sastra akan dapat mengekspresikan pesan-pesan sastra yang didasari pada khayal dan rasa, apabila:

91Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h.84.

92Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h.86.

a) Bahasa Sastra Bersifat Lugas

Bahasa sastra bersifat lugas apabila bentuk bahasanya dapat mengekspresikan pesan-pesan dengan bahasa yang baik dan indah.

Karena itu, bahasa sastra dituntut agar bersifat bebas, tegas, jauh dari istilah-istilah ilmiah dan kata-kata asing. Sebab istilah-istilah tersebut hanya dipergunakan dalam kajian ilmiah dan penelitian yang tentunya tidak cocok untuk mengekspresikan rasa sastra.93

b) Bahasa Sastra Berbeda Karena Perbedaan Perasaan

Ungkapan sebuah sastra berbeda karena perbedaan rasa.

Seandaianya rasa itu sederhana atau pendek jangkauannya, maka rasa itu hanya memerlukan bentuk bahasa yang sederhana pula. Suatu contoh, seorang sastrawan yang ingin mengekspresikan keindahan yang sederhana, maka ia cukup menggunakan kata-kata sederhana.

Seperti indahnya mawar, indahnya taman, dan sebagainya.

Mengekpresikan keindahan yang sederhana dalam karya sastra cukup dengan mempergunakan kata-kata yang simpel.94

c) Bentuk Sastra Terkait Dengan Makna

Bentuk sastra sangat erat kaitannya dengan makna, irama, kata, dan kata. Makna-makna majaz, irama (musikalitas), dan susunan kata yang indah sangat menentukan dalam bentuk bahasa sastra. Dengan demikian akan timbul dua macam kesan sastra, yaitu

93Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h.83.

93Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h.86.

94Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h. 87.

makna yang mengandung, rasa (emosi), dan irama membantu tinbulnya susunan yang serasi dan gaya yang indah.95

d) Bentuk Sastra Berbeda Karena Perbedaan Penulis

Rasa sastra berbeda satu sama lain, karena perbedaan si penulis sastra itu sendiri ketika mengkspresikan perasaanya. Para penyair mengekspresikan sesuatu yang dikagum, tentu kekaguman mereka terhadap sesuatu itu akan bervariasi, dan mengungkapkannya dengan bahasa yang berbeda.96

95Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h. 88.

96Akhmad Muzakki, pengantar Teori Sastra Arab, h. 89.

51

Dokumen terkait