NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA BERPIKIR POSITIF DAN HEALTH- RELATED QUALITY OF LIFE PADA ODHA
Oleh :
Chikal Handayani Clarye RA. Retno Kumolohadi
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2017
CORRELATION BETWEEN POSITIVE THINKING AND HEALTH- RELATED QUALITY OF LIFE IN PEOPLE LIVING WITH HIV/AIDS
Chikal Handayani Clarye RA. Retno Kumolohadi
ABSTRACT
This study attempted to search the correlation between health-related quality of life and positive thinking in people living with hiv and aids in Yogyakarta. The hypothesis tested was a positive correlation between health-related quality of life and positive thinking in people living with hiv/aids. Subjects of this research were 42 people living with hiv/aids and using art (antiretroviral therapy). Data were collected by two scales include health-related quality of life scale which known as SF-36 from Ware (Arnold, et al, 2011) and positive thinking scale that is based on the theory of Diener et al (2009). Data were analyzed by using Spearman Correlation. The result of this study indicated a significant correlation between health-related quality of life and positive thinking with r =0.822, p =0.000 (p< 0.01).
The hypothesis is accepted.
Keywords : health-related quality of life, positive thinking, people living with hiv/aids
Pengantar
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. HIV adalah sejenis virus yang menyerang sistem sel darah putih sehingga menurunnya sistem imun atau kekebalan tubuh seseorang. Sedangkan AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh menurunnya sistem kekebalan akibat HIV. Individu yang sudah dinyatakan HIV positif atau AIDS dinamakan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). Turunnya sistem imun ini kemudian menyebabkan individu mudah terserang berbagai macam penyakit yang berbahaya hingga menyebabkan komplikasi. Berdasarkan kondisi tersebut, maka individu yang terdiagnosa positif HIV dianjurkan menggunakan obat ARV (antiretroviral) atau ART (antiretroviral therapy) untuk mencegah individu masuk ke tahap AIDS. Sedangkan bagi individu dengan status AIDS, antiretroviral (ARV) digunakan untuk mencegah munculnya infeksi akibat komplikasi (www.depkes.go.id, 2014). Salah satu dampak yang akan terjadi apabila infeksi tidak segera ditangani adalah kemungkinan terjadinya kematian akan sangat besar, sehingga diperlukannya kesadaran dan keuletan dalam mengkonsumsi ARV (antiretroviral) atau menjalani ART (antiretroviral therapy). Menurut Mutabazi- Mwesigire, Katamba, Martin, Seelay, dan Wu (2015), ART memiliki tujuan akhir yang berkaitan dengan fungsi fisik secara penuh dan kesejahteraan individual.
HIV/AIDS dapat ditularkan melalui beberapa perantara seperti penggunaan napza suntik, hubungan seksual baik yang hetero maupun yang sesama jenis, dan dari ASI ibu positif HIV/AIDS kepada bayi. Bahkan dari beberapa kasus, diketahui banyak menimpa ibu rumah tangga yang ditularkan dari suami yang terinfeksi HIV
(Ugm.ac.id, 2015), sehingga diperlukannya sosialisasi mengenai pencegahan dan pengobatan bagi individu. Adanya perubahan status yang dialami oleh individu sedikit banyak akan menyebabkan munculnya berbagai permasalahan baru yang berkaitan dengan perubahan tersebut, salah satunya adalah masalah kesehatan.
Menurut Jamil (2014), HIV memiliki jumlah kematian yang tinggi, dimana kematian bukan hanya disebabkan oleh virus HIV saja melainkan juga akibat adanya infeksi oportunistik dan komplikasi-komplikasi yang menyertai. Infeksi yang menyerang biasanya disebabkan oleh beberapa bakteri, virus, jamur, parasit, dan beberapa kondisi klinis lainnya. Jika ODHA telah terserang, maka resiko infeksi akan semakin meningkat dan dapat menyerang organ-organ penting seperti saluran pernapasan, saluran pencernaan, neurologis, kulit, dan sebagainya (Ministry of Health & Family Welfare Goverment of India, 2007). Lubis (2007) juga menambahkan bahwa HIV juga merupakan faktor resiko yang paling potensial bagi munculnya TB (tuberkulosis), terutama bagi individu yang baru terinfeksi atau yang memiliki infeksi TB laten. Selain itu, resiko untuk terkena penyakit TB pada individu yang positif HIV meningkat sebanyak 50% dibandingkan yang tidak terinfeksi. Infeksi lain yang juga sering dihadapi oleh ODHA adalah PCP (Pneumocystis Pneumonia) yang ditandai dengan adanya sesak napas, demam, dan batuk yang tidak produktif (Fajar, 2013). Penjelasan tersebut semakin diperkuat pula oleh pernyataan seorang ODHA melalui wawancara yang menjelaskan bahwa ODHA menjadi lebih rentan terhadap berbagai macam penyakit diakibatkan menurunnya sisitem imunitas yang ada dalam tubuh. Beberapa penyakit yang sering
menyerang ODHA adalah TBC (tuberculosis), malaria, kandidiasis, pneumonia dan lain sebagainya.
Hal lain yang berkaitan masalah kesehatan pada ODHA diungkapkan pula oleh pakar kesehatan Michael Horberg (tempo.co, 2013) yang menjelaskan bahwa sebanyak 40 hingga 90% individu yang terinfeksi HIV positif akan menunjukkan beberapa gejala terkait dengan masuknya virus HIV. Gejala tersebut bisa muncul dalam kurun dua bulan atau bahkan tidak tampak selama beberapa tahun lamanya.
Gejala-gejala yang muncul diantaranya adanya demam tinggi disertai dengan pembengkakan kelenjar getah bening, kelelahan, nyeri otot dan sendi, berat badan yang menurun drastis, infeksi pada mulut, herpes dan sebagainya. Selain itu, menurut Center for Disease and Control Prevention (2014), diperkirakan sebanyak 80% ODHA memiliki masalah terkait dengan virus hepatitis C terutama pada pengguna narkoba jenis jarum suntik dengan koinfeksi HIV tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit hati, gagal hati, dan kematian akibat virus hepatitis. Gejala-gejala tersebut kemudian secara tidak langsung mengindikasikan bahwa adanya masalah kesehatan yang dihadapi oleh ODHA terkait dengan virus HIV tersebut. Masalah-masalah tersebut diyakini akan berdampak pada menurunnya kemampuan individu untuk melaksanakan aktivitas seperti pada umumnya dan membawa pengaruh pada rendahnya kualitas hidup, terutama yang berkaitan dengan kesehatan.
Menurut Forbes (2013), kualitas hidup dapat dimaknai sebagai penilaian yang subjektif dan multidimensional yang berkaitan dengan nilai positif dan negatif kehidupan. Kualitas hidup juga mencakup beberapa hal seperti kepuasan hidup,
perspektif budaya, adanya kesejahteraan mental, fisik, dan sosial, interpretasi terhadap sebuah fakta atau kejadian, dan taraf penerimaan terhadap kondisi tertentu.
Berdasarkan sebuah survei yang dilakukan oleh Numbeo (2017), Indonesia menempati urutan ke 19 dari total keseluruhan 23 negara di Asia dengan indeks kualitas hidup sebesar 62,02. Namun dalam lingkup Asia Tenggara, Indonesia menempati urutan kedua setelah Singapore dan mengalahkan beberapa negara seperti Thailand, Filipina, Malaysia dan Vietnam. Pencapaian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki taraf kualitas hidup yang cukup baik. Sementara kualitas hidup terkait dengan kesehatan (health- related quality of life) sendiri lebih fokus pada konsekuensi kualitas hidup berdasarkan pada status kesehatan (Health People, 2010). Health-related quality of life juga mencakup adanya kepuasan dan kebahagiaan individu yang berkaitan dengan sejauh mana kehidupan tersebut dipengaruhi ataupun mempengaruhi kesehatan individu (American Thoracic Society, 2007).
Munculnya masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan dampak bagi ODHA apabila tidak segera ditangani. Masalah lain yang dapat muncul bisa saja bukan hanya terkait dengan kesehatan saja, namun juga terkait dengan kondisi psikologis akibat dari beban sakit yang dirasakan. Brandt (2013) menjelaskan bahwa sebagian besar penelitian menemukan bahwa sekitar setengah dari individu dewasa yang terinfeksi HIV memiliki beberapa bentuk gangguan kejiwaan, dimana salah satunya dan yang paling umum adalah depresi. Pada perempuan, depresi juga berkaitan dengan semakin memburuknya kondisi kesehatan, pelayanan kesehatan yang rendah, dan
kurangnya dukungan material serta emosional dari pihak keluarga. Bhatia dan Munjal (2014) menjelaskan bahwa tingkat prevalensi depresi pada ODHA dibawah penggunaan ART berkisar 58,75%, dimana prevalensi depresi akan semakin meningkat seiring dengan tingkat keparahan gejala. Depresi yang dialami oleh ODHA juga dikaitkan oleh rendahnya kualitas hidup terkait dengan kesehatan, ditambah lagi oleh faktor lainnya seperti rendahnya pendidikan, sosial ekonomi yang rendah serta kurangnya dukungan sosial (Adewuya, dkk, 2008). Chorwe- Sungani (2015) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa individu dengan infeksi HIV juga dipengaruhi dengan adanya masalah mental, dimana kemudian infeksi HIV tersebut mempengaruhi aspek-aspek kualitas hidup termasuk kesejahteraan fisik dan emosional. Sehingga untuk mengurangi dampak dari masalah mental tersebut diperlukan adanya upaya-upaya yang dilakukan selain juga untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA tersebut. Beberapa contoh upaya yang dapat dilakukan yaitu antiretroviral therapy, dukungan sosial, kesejahteraan spiritual dan psikologis, serta adanya strategi coping (Basavaraj, Navya, & Rashmi, 2010).
Salah satu bentuk coping yang bisa dilakukan oleh individu untuk mengurangi stres, cemas dan depresi terkait dengan kondisi yang dialami adalah berpikir positif. Berpikir positif sendiri berkaitan dengan psikologi positif yang berfokus pada masalah manusia yang unik seperti adanya aktualisasi diri, harapan, cinta, kesehatan, kreativitas, dan sebagainya (Naseem & Khalid, 2010). Bahkan ditemukan pula bahwa individu yang mampu berpikir positif memiliki kekebalan tubuh yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Penabaker, dkk juga
menunjukkan bahwa adanya pikiran yang positif mampu mengarah pada kesehatan yang membaik dan menurunnya kunjungan ke dokter terkait dengan penyakit tertentu. Sehingga kemudian berpikir positif tidak hanya meningkatkan kesehatan saja, tetapi juga meningkatkan harga diri dan kesehatan mental bagi individu (Shokhmgar, 2016), dimana berpikir positif juga merupakan salah satu bentuk coping yang mempengaruhi kualitas hidup pada ODHA terutama yang berkaitan dengan kesehatan (Basavaraj dkk, 2011). Menurut Wang, Chang, dan Lai (2012), berpikir positif adalah sikap mental yang masuk ke dalam pola pikir individu, kata- kata, dan gambaran-gambaran yang mengarah pada adanya pertumbuhan dan keberhasilan. Adanya pikiran yang positif lebih fokus kepada kebahagiaan, sukacita, kesehatan dan hasil yang sukses dari setiap situasi dan tindakan yang ada.
Berpikir positif juga dimaksudkan sebagai sebuah sikap mental yang fokus pada harapan akan hal-hal yang baik dan menguntungkan (www.whatishowinfo, 2016).
Berpikir positif merupakan salah satu strategi yang bisa digunakan untuk meningkatkan perasaan-perasaan yang lebih positif mengenai diri sendiri.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, diharapkan berpikir positif mampu menjadi salah satu cara dalam meningkatkan kualitas hidup pada ODHA terutama yang berkaitan dengan kesehatan. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir positif pun dapat dimulai dari hal-hal kecil yang ada disekitar, seperti misalnya dengan cara senantiasa membiasakan berbaik sangka atau bersikap optimis terhadap diri sendiri, orang lain, keadaan dan bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adanya pembiasaan berpikir positif diharapkan dapat membantu ODHA menurunkan perasaan tertekan dan depresi akibat
menurunnya kondisi kesehatan yang disebabkan oleh virus HIV tersebut. Apabila ODHA mampu meningkatkan kemampuan berpikir positif dengan baik, maka bukan tidak mungkin kualitas hidupnya akan meningkat. Begitu pula sebaliknya, kualitas hidup yang rendah dapat ditandai dengan ketidakmampuan individu dalam merasakan dan mengapresiasi emosi positif, depresi, perasaan bersalah, dan bahkan penarikan diri dari lingkungan sosial. Belajar dari hal tersebut, maka salah satu langkah yang dapat dilakukan agar kualitas hidup ODHA menjadi lebih baik adalah dengan mengupayakan diri untuk selalu berpikir positif. Berpikir positif juga bertujuan untuk membuat ODHA menjadi lebih optimis terhadap hidup yang sedang dijalani meskipun kondisi fisiknya tak lagi sama. Selain itu, berpikir positif juga mampu membuat ODHA lebih fokus pada kelebihan diri sendiri dan hal-hal baik yang ada di sekitar. Berdasarkan latar belakang dan penjelasan yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah : Apakah ada pengaruh atau hubungan antara berpikir positif dan health-related quality of life pada ODHA ?
Metode Penelitian
Data dalam peneltian ini diambil dari ODHA yang terdapat di Yogyakarta dengan bantuan yayasan Victory Plus. Subyek penelitian diambil berdasarkan purposive sampling, dimana subyek penelitian dipilih berdasarkan ciri-ciri atau sifat yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan dalam penelitian meliputi : ODHA, berusia 20 hingga 60 tahun, telah terdiagnosa dan menjalani pengobatan dalam jangka waktu minimal 1 tahun, dan menempuh pendidikan minimal SMP atau sederajat.
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan menggunakan skala. Skala dalam penelitian ini terdiri dari dua skala, yaitu : skala health survey SF-36 dan skala berpikir positif. Skala health survey SF-36 disusun berdasarkan komponen aitem yang dikemukakan oleh Ware dkk (1992) dan terdiri dari 36 aitem. Skala berpikir positif disusun berdasarkan komponen yang dikemukakan oleh Diener dkk (2009) dengan jumlah aitem sebanyak 22 aitem.
Skala kepuasan hidup terdiri dari 36 aitem sedangkan skala berpikir positif terdiri dari 22 aitem. Jawaban kedua skala tersebut kemudian dibagi dalam 5 alternatif jawaban yang terdiri dari (TP) Tidak Pernah, (J) Jarang, (KK) Kadang- kadang, (S) Sering, dan (S) Selalu. Bobot nilai setiap pilihan berada pada rentang 1-5. Bobot penilaian pada aitem yaitu (TP) Tidak Pernah=1, (J) Jarang=2, (KK) Kadang-kadang=3, (S) Sering=4, dan (S) Selalu=5. Untuk mengetahui adanya hubungan antara dukungan sosial dan kepuasan hidup digunakan teknik uji korelasi Spearman. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan aplikasi computer yaitu program SPSS seri 21.0 for Windows
Hasil Penelitian
Uji normalitas dilakukan guna mengetahui normal atau tidaknya sebaran data penelitian. Sebaran data disebut normal apabila nilai p (sig) lebih besar dari 0,05 (p>0,05). Pada penelitian kali ini, teknik yang digunakan untuk melihat normalitas data penelitian menggunakan teknik Shapiro-Wilk, hal tersebut dikarenakan jumlah subjek dalam penelitian kurang dari 50.
Tabel 1
Hasil Uji Normalitas Berpikir Positif dan Health-related Quality of Life
Variabel S-W Test p Keterangan Health-related quality of life
Berpikir Positif
0,960 0,943
0,153 0,038
Normal Tidak Normal
Sesuai dengan tabel uji normalitas diatas, diketahui bahwa data dari kedua variabel yaitu health-related quality of life dan berpikir positif, hanya variabel health-related quality of life yang terdistribusi secara normal. Pada variabel health- related quality of life didapatkan hasil S-W Test sebesar 0,960 dan p = 0,153 (p>0,05), sedangkan hasil S-W Test pada variabel berpikir positif sebesar 0,943 dan p = 0,038 (p<0,05).
Pada uji linearitas, jika hasil p < 0.05 maka dapat dinyatakan bahwa kedua variabel bersifat linear. Hasil uji linearitas dari health-related quality of life dan berpikir positif memenuhi asumsi linearitas.
Tabel 2
Hasil Uji Linieritas Berpikir Positif dan Health-related Quality of Life
Variabel F p Keterangan
Health-related quality of life- Berpikir Positif
78,297 0,000 Linear
Uji normalitas dari penelitian menunjukkan bahwa kedua skala tersebut terdistribusi normal dan uji linearitas penelitian menunjukkan hasil yang linear sehingga uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji korelasi Spearman.
Tabel 3
Hasil Uji Hipotesis Berpikir Positif dan Health-related Quality of Life
Hasil analisis korelasi antara berpikir positif dan health-related quality of life
menunjukkan nilai p = 0.000 (p < 0.01). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel penelitian. Nilai korelasi Spearman sebesar 0.822 menunjukkan hubungan antara kedua variabel, sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima.
Pembahasan
Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mousavi, Esmaeili, dan Saless (2015) yang dikhususkan pada penderita kanker mengungkapkan bahwa berpikir positif memiliki efek yang signifikan terhadap resiliensi dan kualitas hidup. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin sering individu berpikir positif, maka semakin resilien individu yang kemudian berdampak pada peningkatan kualitas hidup yang lebih baik. Selain itu, adanya harapan positif yang dikembangkan individu juga akan meningkatkan segala aspek kehidupan secara menyeluruh.
Berkaitan dengan sikap resiliensi pada kualitas hidup, Tian dan Hong (2014) menjelaskan bahwa resilien bukanlah prediktor kuat dari kualitas hidup, tetapi memiliki pengaruh besar pada tekanan psikologis yang diterima dan efek sampingnya. Sementara adanya tekanan psikologis dan kelelahan yang merupakan faktor penting yang mempengaruhi kualitas hidup individu sehingga mau tidak mau peran antara resilien dan kualitas hidup tidak bisa diabaikan. Selain berkaitan
Variabel N r r2 p
Health-related quality of life*Berpikir Positif
42 0,822 0,699 0.000
dengan sikap resilien, berpikir positif, khususnya terkait dengan masa depan mampu membuat individu mengantisipasi hasil secara positif dan diketahui berhubungan positif dengan adanya kesejahteraan (Vilhauer, Young, Kealoha, Borrman, Ishak, Rapoport, Hartoonian, & Mirocha, 2012). Hal tersebut didukung pula oleh Diener (2009) yang menjelaskan bahwa individu yang memiliki kesejahteraan tinggi lebih banyak membuat penilaian positif dari keadaan dan peristiwa kehidupan yang ada.
Rusydi (2012), dalam penelitian yang dilakukan mengungkapkan bahwa berpikir positif memiliki hubungan yang positif dengan kesehatan mental, bahkan berpikir positif kepada Tuhan jauh lebih berpengaruh pada kesehatan mental dibandingkan berpikir positif pada sesama. Hal tersebut terjadi dikarenakan pada saat merenung atau merefleksikan setiap peristiwa kehidupan maupun orang lain, individu didorong untuk melihat aspek positif, konsekuensi atau bahkan menafsirkan kejadian-kejadian yang ada dengan cara yang lebih positif, seperti halnya melihat kondisi sakit sebagai sarana dalam menghargai nikmat akan sehat (Yucel, 2014). Oleh sebab itu, berpikir positif dapat dimaknai pula sebagai sumber kebahagiaan, yang tergantung pada seberapa baik individu mampu mengontrol dan mengelola pikiran.
Sementara keterkaitannya dengan kualitas hidup, ditemukan bahwa optimisme atau berpikir positif memiliki hubungan yang signifikan dengan kesejahteraan spiritual, kecemasan, depresi, dan health-related quality of life (Mazanec, Daly, Douglas, & Lipson, 2010), namun bukanlah faktor utama dalam menentukan HRQOL. Temuan tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian
yang menunjukkan bahwa berpikir positif atau optimisme mampu memberikan sumbangan efektif sebesar 69,9% terhadap health-related quality of life pada ODHA. Menurut Conversano dkk (2016), apabila menggunakan strategi coping dan penanganan yang tepat serta spesifik, optimis atau berpikir secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas hidup individu. Selain itu, individu yang mengembangkan sikap berpikir positif diketahui memiliki kesejahteraan fisik yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang pesimis (Conversano, dkk, 2010).
Basavaraj, Navya, dan Rashmi (2010), juga menjelaskan beberapa prediktor penting yang berpengaruh pada kualitas hidup ODHA, yaitu adanya kesejahteraan psikologis, dukungan sosial, strategi koping, kesejahteraan spiritual, manifestasi fisik komorbiditas psikiatrik, bahkan termasuk pula ART (Antiretroviral Therapy).
Bahkan menurut Marins, Jamal, Chen, Barros, Hudes, dan Barbosa, ART mampu meningkatkan keberlangsungan hidup, mengurangi infeksi oportunistik terkait dengan HIV, dan bahkan meningkatkan kualitas hidup pasien. Individu yang mendapatkan dukungan teman sebaya pada saat memulai ART juga menunjukkan hasil yang berbeda pada kualitas hidup dan dilaporkan semakin meningkat secara signifikan setelah 12 bulan setelah penggunaan ART (Tam, Larsson, Pharris, Diedrichs. Nguyen, Nguyen, Ho, Marrone, & Thorson, 2012). Keterkaitan antara ART dan kualitas hidup semakin diperkuat oleh Oguntibeju (2012) yang menjelaskan bahwa ada hubungan yang kuat antara ART dan peningkatan kualitas hidup pada domain yang berbeda, meskipun beberapa penelitian kemudian ikut melaporkan dampak dari penggunaan ART. Pada penelitian yang dilakukan oleh Imam, Karim, Ferdous, dan Akhter (2011), diketahui selain faktor psikologis,
terdapat beberapa faktor yang berperan dalam menentukan kualitas hidup terutama yang berkaitan dengan kesehatan pada ODHA, diantaranya domain hubungan sosial sebesar 64,6%, fisik 58,5%, lingkungan 52,4%, dan spiritualitas 52,4%.
Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara berpikir positif dan health-related quality of life pada ODHA. Sehingga hipotesis yang diajukan pada penelitian ini diterima. artinya, semakin tinggi kemampuan berpikir positif yang dimiliki individu, maka semakin baik pula helath-related quality of life ODHA, meskipun berpikir positif bukanlah prediktor yang kuat dalam menentukan tingkat kualitas hidup ODHA.
Saran
1. Saran Bagi Yayasan
Adanya temuan mengenai hubungan yang siginifikan antara berpikir positif dan health-related quality of life, menunjukkan bahwa kemampuan berpikir positif sangat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kualitas hidup terutama dalam kesehatan, sehingga oleh sebab itu diperlukannya pengembangan pelatihan-pelatihan berpikir positif pada ODHA guna meningkatkan kualitas hidup pada ODHA. Pelatihan-pelatihan tersebut dapat pula dikombinasikan dengan berbagai pendekatan berdasar keagamaan atau spritiual sehingga individu tidak hanya mampu berpikir positif, namun juga memiliki kesejahteraan spiritual yang baik. Yayasan juga diharapkan dapat
menjadi sosial support bagi ODHA untuk terus mengembangkan nilai-nilai positif yang ada.
2. Saran Bagi Individu (ODHA)
Saran yang bisa diberikan kepada ODHA yaitu agar lebih mengembangkan kemampuan berpikir positif, dimulai dari penghargaan terhadap diri sendiri yang kemudian disusul pada lingkungan sekitar. ODHA juga diharapkan dapat lebih mendekatkan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa melalui berbagai kegiatan-kegiatan yang berbasis keagamaan, sehingga individu dapat meningkatkan religiusitas. ODHA juga diharapkan mampu menjadikan berpikir positif sebagai sarana mencapai berbagai tujuan hidup yang diwujudkan dalam sikap optimisme akan masa depan sehingga lebih termotivasi.
3. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti lain yang tertarik dengan topik yang sama maupun yang ingin mengembangkan variabel baru pada penelitian ini, diharapkan dapat lebih memperhatikan proses pemilihan subjek serta kondisi subjek saat pengerjaan. Selain itu, peneliti juga dapat mengeksplorasi berbagai faktor- faktor lain yang dinilai lebih berpengaruh terhadap kualitas hidup ODHA, baik dari segi internal maupun eksternal. Serta diharapkan peneliti dapat mengembangkan teknik pelatihan berpikir positif yang sesuai untuk meningkatkan lagi kemampuan berpikir positif pada ODHA.
DAFTAR PUSTAKA
Adewuya, A.O., Afolabi, M. O., Ola, B. A., Oqundele, O. A., Ajibare, A. O., Oladipo, B. F., Fakande, I. 2008. Relationship Between Depression and Quality of Life in Person with HIV Infection in Nigeria. International Journal Psychiathry Med, 38 (1) 43-51
American Thoracic Society. 2007. Health Related Quality of Life.
http://qol.thoracic.org diakses pada 30 April 2017
Basavaraj, K.H., Navya, M.A., & Rashmi, R. 2010. Quality of Life in HIV/AIDS.
Indian Journal of Sexuality Transmitted Disease and AIDS, 31 (2) 75-80 Bhatia, M. S., Munjal, S., 2014. Prevalence of Depression in People Living With
HIV/AIDS Undergoing ART and Factors Associated With it. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 8 (10)Depkes. 2014. Situasi dan Analisis HIV AIDS. www.depkes.go.id diakeses pada tanggal 20 Desember 2016 Chorwe-Sungani, G., Sefasi, A., Pindani, M. 2015. Mental Health Problem
Affecting People Who HIV and AIDS in Malawi : A Review. Scientific Research Publishing, 5 (1) 189-194
Diener, E. 2009. Assesing Well-Being, Social Indicators Research Series. Springer Dordrecht Heidelberg London, NY. Ebook diakses pada tanggal 16 November 2016
Djoerban, Z. 2015. Memastikan Kualitas Hidup ODHA. http://zubairidjoerban.org diakses pada tanggal 12 Desember 2016
Fajar, M.Y. 2013. Pneumocystic Pneumonia Pada Infeksi Human Immunodeficiency Virus. CDK, 40 (4) 253-256
Forbes. 2013. Quality of Life : Everyone Wants it, but What Is It ?.
https://www.forbes.com diakses pada 01 Mei 2017
Ika. (2015). Angka Infeksi Baru HIV/AIDS di Indonesia Capai 25 Ribu Pertahun.
http://ugm.ac.id diakses pada tanggal 2 Desember 2016
Isma Savitri. 2013. 16 Gejala Anda Positif HIV. https://m.tempo.co diakses pada 02 Mei 2017
Jamil, K.F. 2014. Profil Kadar CD4 Terhadap Infeksi Oportunistik Pada Penderita Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) di RSUD DR Zainoel Abidin. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 2 (14) 76-80
Lubis, R. 2007. KO-Infeksi HIV/AIDS dan TB. Info Kesehatan Masyarakat, 11 (1) 76-81
Mazanec, S.R., Daly, B.J., Douglas, S. L., & Lipson, A.R. 2010. The Relationship Between Optimism and Quality of Life in Newly Disgnosed Cancer Patients.
Cancer Nurs, 33 (3) 235-243
Ministry of Health & Family Welfare Government of India. 2007. Guidlines for Prevention and Management of Common Opportunistic
Infections/Malignances Among HIV-Infected Adult and Adolescent.
http://www.mpmedicalcouncil.net diakses pada 29 Desember 2016
Mousavi, E., Asmaeili, A., & Saless, S.S. 2015. The Effect of Positive Thinking on Quality of Life and Resiliency of Cancer Patients. Razavi International J Med, 3 (3) 1-5
Mutabazi-Mwesigire, D., Katamba, A., Martin, F., Seeley, J., & Wu, A.W. 2015.
Factors That Effect Quality of Life Among People Living with HIV Attending on Urban Clinic in Uganda A Cohort Study. Plos One, 10 (137) 1- 21
Naseem, Z., Khalid, R. 2010. Positive Thinking in Coping with Stress and Health Outcomes : Literature Review. Journal of Research and Reflections in Education, 4 (1) 42-61
Numbeo. 2017. Quality of Life, Index by Country. https://www.numbeo.com diakses pada 01 Mei 2017
Odili, V.U., Ikhurionan, I.B., Usifoh, S.F., & Oparah, A.C. 2011. Determinant of Quality of Life in HIV/AIDS Patients. West African Journal of Pharmacy, 22 (1) 42-48
Oguntibeju, O.O. 2012. Quality of Life of People Living with HIV and AIDS and Antiretroviral Therapy. HIV/AIDS – Research and Palliative Care, 4 117-124 Parmar, S.D. 2015. Positive Thinking Can Change Our Life. The International
Journal of Indian Psychology, 2 (3) 27-30
Prasetyo, B. 2015. Diskriminasi Terhadap Penderita HIV/AIDS Masih Terjadi.
https://m.tempo.co diakses Diperoleh pada tanggal 2 Desember 2016
Rusydi, A. 2012. Husn Al-Zhann : Konsep Berpikir Positif dalam Perspektif Psikologi Islam dan Manfaatnya Bagi Kesehatan Mental. Proyeksi, 7 (1) 1- 31
Tam, V.V., Larsson, M., Pharris, A., Diedrichs, B., Nguyen, H.P., Nguyen, C.T.K., Ho, P.D., Marrone, G., & Thorson, A. 2012. Peer Support and Improved Quality of Life Among Persons Living with HIV on Antiretroviral Treatment : A Randomized Controlled Trial From North –Eastern Vietnam. Health and Quality of Life Outcomes, 10 (53) 1-13
Tian, J., Hong, J.S. 2014. Assesment of The Relationship Between Resilience and Quality of Life in Patients with Digestive Cancer. World J Gastroenterop, 20 (48) 18439-18444
Vilhauer, J.S., Young, S., Kealoha, C., Borrman, J., Ishak, W.W., Rapoport, M.H., Hartoonian, N., & Mirocha, J. 2012. Treating Major Depression by Creating
Positive Expectations for The Future : A Pilot Study for The Effectiveness of Future Direct Therapy (FTD) on Symptoms Severity and Quality of Life. CNS Neuroscience Ther,18 (2) 1-8
Wang, H.T., Chang, W., & Lai, Y.F. 2012. A Study On The Relationship Between Thinking Styles (Attitudes) and Collaboration Attitudes of College Students in Taiwan. Journal of Educational and Instructional Studies in The World, 2 (7) 46-57
What is How to Info. 2015. What is Positive Thinking.
http://www.whatishowtoinfo.com diakses pada 11 November 2016
Yucel, S. 2014. The Notion of “Husnu’l Zann” or Positive Thinking In Islam : Medieval Perspective. International Journal of Humanities and Social Science, 4 (6) 101-121
-. 2010. Health-related Quality of Life and Well-Being.
https://www.healthypeople.gov diakses pada 03 Mei 2017