Jurnal Pendidikan Tambusai 12883
Karakteristik Makanan sebagai Identitas Budaya: Studi Komparatif Kuliner Timur Tengah dan Indonesia
Nur’ Afni
Universitas Muhammadiyah Sukabumi e-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makanan sebagai bentuk identitas budaya masyarakat Timur Tengah dan Indonesia melalui pendekatan deskriptif-komparatif. Makanan tidak hanya berperan sebagai pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi juga merepresentasikan nilai sosial, simbolik, dan spiritual yang mencerminkan cara hidup suatu masyarakat. Dengan menggunakan metode kualitatif berbasis studi pustaka, penelitian ini membandingkan aspek bahan makanan, teknik pengolahan, makna sosial, dan simbolisme yang terkandung dalam kuliner kedua wilayah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuliner Timur Tengah seperti hummus, kurma, dan teh Arab sarat akan nilai religius dan simbol keramahan yang kuat. Sementara itu, kuliner Indonesia seperti rendang dan nasi tumpeng mencerminkan nilai gotong royong, rasa syukur, dan keseimbangan spiritual.
Kata kunci: Makanan, Identitas Budaya, Simbolisme Abstract
This study aims to analyze food as a form of cultural identity in Middle Eastern and Indonesian societies through a descriptive-comparative approach. Food not only serves as a means of fulfilling biological needs but also represents social, symbolic, and spiritual values that reflect a society's way of life. Using a qualitative method based on literature review, this research compares the ingredients, cooking techniques, social meanings, and symbolism embedded in the culinary traditions of both regions. The findings reveal that Middle Eastern cuisine such as hummus, dates, and Arabic tea is rich in religious values and strong symbols of hospitality. Meanwhile, Indonesian cuisine such as rendang and nasi tumpeng reflects values of communal cooperation, gratitude, and spiritual balance.
Keywords: Food, Cultural Identity, Symbolism.
PENDAHULUAN
Budaya adalah bagian penting dari kehidupan manusia yang mencerminkan kebiasaan, nilai, dan tradisi suatu masyarakat (Syakhrani & Kamil, 2022). Salah satu unsur budaya yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari adalah makanan. Makanan tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan tubuh, tetapi juga mengandung makna sosial, simbolik, dan bahkan spiritual. Melalui makanan, masyarakat dapat menunjukkan identitas diri, tradisi, hingga cara pandang terhadap kehidupan. Setiap budaya memiliki ciri khas dalam memilih, mengolah, menyajikan, dan mengkonsumsi makanannya. Hal ini dikarenakan budaya memiliki keterkaitan dengan kondisi geografis, ekonomi dan sosial di tengah masyarakat,
Sebagai representasi budaya, makanan menyimpan sejarah panjang dan kompleks yang berkaitan dengan migrasi, perdagangan, kolonialisme, hingga penyebaran agama (Hendra &
Supriyadi, 2020). Melalui makanan, suatu masyarakat dapat memperkenalkan identitasnya kepada masyarakat lain. Di sisi lain, makanan juga penanda batas-batas sosial dan budaya baik dalam konteks lokan maupun global. Oleh karena itu, kajian tentang makanan dapat membuka wawasan yang luas mengenai identitas budaya, integrasi sosial, dan dinamika peradaan.
Dalam konteks globalisasi, ketika arus budaya semakin cepat melintas batas geografis, makanan menjadi salah satu medium utama dalam pertukaran budaya antar bangsa (Candra et
Jurnal Pendidikan Tambusai 12884 al., 2023). Kuliner dari satu negara dapat dengan mudah ditemukan di negara lain, sehingga memperluas cakrawala rasa dan budaya masyarakat global. Namun, di balik proses akulturasi tersebut, terdapat kebutuh untuk tetap mempertahankan identitas kuliner lokal sebagai bentuk pelestarian budaya. Hal ini menjadi relevan ketika suatu bangsa berupaya mempertahankan warisan budayanya di tengah homogenisasi budaya global.
Santoso (2017) menyatakan bahwa identitas budaya merupakan kesadaran dasar terhadap karakteristik yang dimiliki seseorang dalam kebiasaan hidup, adat, bahasa, dan nilai-nilai suatu masyaratak serta seseorang harus mengetahui ciri khas budaya mereka. Hal ini dipertegas oleh Basuni (2020) bahwa identitas budaya membantu orang untuk memahami budaya dan kemudian dapat melihat dan merasakan budaya dari orang lain. Identitas budaya dapat menjadikan proses adaptasi seseorang menjadi lebih mudah, di mana seseorang yang memiliki etnis berbeda dengan etnis pada kebanyakan orang lainnya, maka identitas budaya ini menjadi penanda adanya perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing wilayah.
Timur tengah dan Indonesia merupakan dua kawasan yang kaya akan tradisi kuliner dan memiliki kekuatan budaya yang kuat dalam merepresentasikan identitasnya melalui makanan.
Kuliner Timur Tengah dengan aroma khas rempah seperti kapulaga, kayu manis, dan za’atar mencerminkan warisan Arab, Persia, dan Mediterania yang kuat serta dipengaruhi oleh ajaran islam terutama dalam konteks halal dan tradisi Ramadan. Di sisi lain, kuliner Indonesia yang beragam mencerminkan kekayaan etnis dan lokalitas dengan penggunaan rempah-rempah tropis seperti kunyit, lengkuas, dan serai serta kepercayaan lokal dan praktik sosial yang menyertai.
Meskipun berasal dari latar geografis dan historis yang berbeda, kedua kawasan ini memiliki kesamaan dalam menjadikan makanan sebagai sarana ekspresi budaya dan identitas kolektif. Tradisi makan bersama, nilai kebersamaan, serta makna simbolik dalam makanan menjadi titik temu yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Oleh karena itu, perbandingan antara kuliner Timur Tengah dan Indonesia tidak hanya akan memperlihatkan perbedaan cita rasa atau teknik memasak, tetapi juga mengungkap bagaimana budaya membentuk cara manusia mempersepsikan dan menjalani kehidupan melalui makanan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makanan sebagai identitas budaya dalam masyarakat Timur Tengah dan Indonesia. Melalui pendekatan komparatif, penelitian ini berupaya mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara makanan kedua wilayah tersebut, baik dari segi bahan makanan, teknik pengelolaan, maupun makna sosial dan simbolik yang terkandung di dalamnya. Selain itu, penelitian ini jua bertujuan untuk menggali nilai-nilai budaya yang tercermin dalam tradisi makanan, guna memahami bagaimana makanan berperan sebagai sarana pelestarian identitas budaya di tengah arus globalisasi dan modernisasi.
METODE
Metode penelitian merupakan seperangkat pendekatan sistematis yang digunakan untuk mengumpulkan, mengelolah, dan menafsirkan data secara objektif guna memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap suatu fenomena. Menurut Sudaryono (dalam Nova, 2024) metode kualitatif bertujuan untuk menguraikan dan memaparkan suatu fenomena secara rinci melalui data teks tanpa adanya intervensi atau praduga dari penelitian dalam proses interpretasinya. Pernyatan ini juga diperkuat oleh Levitt et al., (2018) penelitian kualitatif digunakan untuk menggambarkan serangkaian pendekatan yang menganalisis data dalam bentuk bahasa alami yaitu berupa kata- kata bukan berupa angka-angka.
Menurut Fiantika (2022) metode penelitian kualitatif deskriptif adalah salah satu jenis metode penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara rinci dan sistematis mengenai suatu populasi, situasi, serta fenomena-fenomena tertentu. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif-komparatif. Menurut Garaika &
Darmanah (2019) penelitian komparatif merupakan penelitian yang sifatnya membandingkan.
Pendekatan ini digunakan oleh penulis dalam penelitian ini dianggap sangat tepat karena mampu menjelaskan hubungkan antara makanan dan konstruksi identitas budaya dalam konteks sosial dan historis yang kompleks.
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan telaah literatur yang relevan dengan topik kajian baik dari buku, artikel ilmiah, jurnal, maupun sumber daring yang
Jurnal Pendidikan Tambusai 12885 kredibel. Data yang dikumpulkan mencakup informasi mengenai makanan khas Timur Tengah dan Indonesia yang meliputi bahan, teknik pengolahan, cara penyajian, serta makna budaya yang terkandung di dalamnya. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa teknik baca dan catat (Saleh, 2017). Teknik pengumpulan data yang penulis ambil termasuk ke dalam jenis teknik dokumentasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini mengkaji perbandingan makanan sebagai representasi budaya di dua wilayah yaitu Timur Tengah dan Indonesia. Analisis dilakukan berdasarkan empat aspek utama yaitu:
bahan makanan utama, teknik memasak, nilai-nilai budaya yang tercermin dalam makanan, dan simbolisme yang melekat pada praktik maan dan penyajian. Perbandingan ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana masing-masing budaya membentuk identitas melalui tradisi kuliner yang khas.
Bahan Dasar dan Cita Rasa
Kuliner Timur Tengah banyak menggunakan bahan pokok seperti gandum, nasi, daging, dan aneka kacang-kacangan seperti buncis dab lentil. Rempah-rempah seperti kayu manis, jintan, kapulaga, dan za’atar sangat dominan dalam semua makanan sehingga menciptakan rasa khas yang kuat dan aromatik.
Hummus (Makanan Khas Timur Tengah – Levant/Arab Timur)
Hummus adalah makanan pembuka (appetizer) khas Timur Tengah yang dibuat dari kacang arab (chickpeas) yang ditumbuk halus dan dicampur dengan tahini (pasta wijen), minyak zaitun, bawang putih, dan air perasan lemon. Teksturnya lembut seperti pasta dan biasanya disajikan bersama roti pita.
Gambar 1. Makanan Hummus Sumber: Internet/Pinterest
Makanan hummus menjadi simbol kesederhanaan dan persatuan dalam budaya Timur Tengah karena mudah dibuat dan terjangkau. Hummus kerap menjadi makanan sehari-hari maupun sajian saat jamuan tamu. Di beberapa negara seperti Lebanon, Suriah, dan Palestina, hummus juga menjadi simbol identitas nasional dan sering terlibat dalam diplomasi kuliner. Adapun ciri khas dari makanan hummus ini adalah berbasis tumbuhan (plant-based), kaya akan protein dan serat, sering dipadukan dengan falafel, tabbouleh, atau sayuran segar, dan makanan ini juga menjadi makanan yang disajikan sebagai hidangan pembuka.
Rendang (Makanan Khas Indonesia – Sumatera Barat)
Rendang adalah makanan daging sapi yang dimasak dengan santan dan rempah-rempah khas Indonesia seperti serai, lengkuas, jahe, kunyit, dan cabai. Proses memasaknya lama sampai kuahnya mongering dan bumbu meresap dalam daging. Ini menciptakan cita rasa yang dalam dan tahan lama.
Jurnal Pendidikan Tambusai 12886 Gambar 2. Makanan Rendang
Sumber: Internet/Pinterest
Rendang mencerminkan kesabaran, kerja keras, dan kebersamaan. Hidangan ini biasa disajikan dalam acara adat, perayaan besar, dan sebagai simbol penghormatan terhadap tamu.
Dalam filosofi Minang, rendang menggambarkan nilai-nilai hidup seperti musyawarah dan kekeluargaan. Adapun ciri khas dari rendang ini adalah proses pengolahan memakan waktu panjang dan sehingga dapat menghabiskan waktu berjam-jam, kaya akan santan dan rempah, dapat bertahan lama tanpa bahan pengawet, dan disajikan sebagai makanan utama.
Makna Sosial dan Nilai Budaya
Makanan Timur Tengah sangat lekat dengan nilai keramahtamahan dan kehormatan dalam menjamu tamu. Makanan menjadi media utama untuk mempererat hubungan sosial dan keluarga, terlebih dalam konteks keagamaan seperti Ramadan, di mana makanan buka puasa disiapkan secara kolektif. Sebaliknya, makanan dalam budaya Indonesia mengandung nilai kebersamaan, kesederhanaan, dan gotong royong. Tradisi memasak bersama dalam kegiatan adat atau keagamaan seperti selamatan atau tasyakuran, dan ini menjadi bagian penting dalam menjalin hubungan antarwarga.
Timur Tengah: Nilai Keramahan dan Keagamaan
Dalam budaya Timur Tengah, makanan kerap menjadi simbol keramahan (hospitality) dan solidaritas sosial terutama saat bulam Ramadan. Momen berbuka puasa menjadi ritual sosial yang melibatkan keluarga besar, tetangga, bahkan masyarakat umum. Meja makan biasanya dipenuhi dengan berbagai jenis makanan khas seperti kurma, hummus, roti pita, sup lentil, dan teh mint.
Menyediakan makanan dalam jumlah melimpah mencerminkan kemurahan hati tuan rumah serta merupakan bagian dari ajaran agama untuk saling berbagi rezeki.
Gambar 3. Gambar: Meja Makan Keluarga Sumber: Internet/TribunJabar.id
Gambar ini memperlihatkan satu meja panjang yang dipenuhi aneka hidangan khas Timur Tengah dengan anggota keluarga duduk melingkar menjelang adzan maghrib. Di tengah meja
Jurnal Pendidikan Tambusai 12887 terdapat roti, sup, dan minuman hangat. Suasananya tampak hangat dan akrab. Hal ini menekankan nilai spiritual dan kekeluargaan yang kuat dalam tradisi berbuka puasa.
Indonesia: Nilai Gotong Royong dan Kebersamaan
Di Indonesia, makanan sangat erat kaitannya dengan nilai gotong royong dan kebersamaan. Dalam berbagai acara adat dan hajatan seperti pernikahan, khitanan, dan selamatan, masyarakat masih mempertahankan tradisi rewang – yaitu aktivitas memasak bersama-sama yang melibatkan para tetangga dan sanak saudara. Kegiatan ini bukan hanya soal penyiapan makanan, tetapi juga mempererat hubungan sosial dan menunjukkan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat.
Gambar 4. Tradisi rewang hajatan gotong royong Sumber: Internet/RRI.co.id
Gambar di atas menunjukkan sekelompok ibu-ibu yang berkumpul di dapur terbuka sedang mengolah bahan makanan seperti ayam, sayuran, dan bumbu. Mereka duduk bersila sambil memotong bahan masakan secara kolektif. Di latar belakang tampak peralatan masak besar seperti kuali dan tungku. Gambar ini menggambarkan suasana kekeluargaan dan gotong royong yang masih kental di pedesaan.
Kedua budaya menunjukkan bahwa makanan adalah alat penting dalam membangun ikatan sosial dan memperkuat nilai budaya. Jika di Timur Tengah makanan menjadi wujud kemurahan hati dan ibadah, maka di Indonesia makanan adalah cermin dari kebersamaan dan kerja kolektif. Perbedaan ini menunjukkan kekayaan makna yang terkandung dalam praktik makan dan memasak di masing-masing wilayah.
Simbolisme dan Identitas Budaya
Setiap unsur dalam makanan baik dari bahan, cara penyajian, atau alat dan wadah telah memuat simbol-simbol yang mencerminkan nilai dan norma sosial yang dijunjung tinggi oleh komunitas tertentu. Simbolisme dalam makanan sering kali hadir dalam bentuk tradisi, ritual, maupun tata caca penyajian yang diwariskan secara turun-temurun dan memiliki fungsi sosial maupun spiritual.
Timur Tengah: Kurma dan Teh Arab
Dalam budaya Timur Tengah, penyajian makanan dan minuman sarat akan makna simbolis yang berkaitan erat dengan nilai dan sosial. Kurma dan teh Arab bukan hanya dianggap sebagai hidangan, melainkan simbol penting dalam kehidupan sosial dan spiritual. Kurma yang sering dikonsumsi saat berbuka puasa melambangkan keberkahan dan kesucian. Teh Arab biasanya disajikan dalam gelas kecil dengan desain khas dan dituangkan dari teko logam tradisional yang mencerminkan keramahan dan penghormatan kepada tamu. Penyajian ini sering dilakukan dalam wadah perak atau tembaga yang memperkuat nilai estetika dan tradisi.
Jurnal Pendidikan Tambusai 12888 Gambar 5. Kurma dan Teh Arab
Sumber: iStockphoto.com
Gambar ini menunjukkan penyajian teh Arab dalam gelas kecil dengan ornamen khas dan diteman kurma di atas piring perak yang mencerminkan tradisi dan simbolisme dalam budaya Timur Tengah.
Indonesia: Nasi Tumpeng
Dalam budaya Indonesia, nasi tumpeng menjadi simbol penting dalam berbagai perayaan adat dan religi. Bentuk dari nasi tumpeng itu sendiri ialah berbentuk kerucut dan identik dengan nasi berwarna kuning. Bentuk kerucut nasi kuning ini melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan, sedangkan aneka lauk pauk yang mengelilingi nasi kuningnya melambangkan unsur kehidupan dan rasa syukur atas rezeki yang diberikan. Tradisi ini biasanya disajikan dalam tampah beralas daun pisang yang menjadi simbol kesederhanaan dan kearifan lokal.
Gambar 6. Nasi Tumpeng Sumber: serikatnews.com
Gambar di atas menunjukkan nasi tumpeng yang lengkap dengan lauk pauk seperti ayam goreng, telur, urap sayur, dan sambal. Bentuk penyajian yang artistik serta penuh makna ini menunjukkan bagaimana makanan menjadi sarana ekspresi nilai-nilai luhur dalam budaya Indonesia.
Dari penjelasan di atas, ini menunjukkan bahwa makanan memiliki fungsi yang jauh lebih dalam daripada sekedar pemenuh kebutuhan fisiologis, baik dalam budaya Timur Tengah maupun Indonesia. Makanan memuat simbol-simbol yang mencerminkan identitas, nilai, dan pandangan hidup masyarakat. Di Timur Tengah, kurma dan teh Arab bukan hanya suguhan biasa, tapi juga menjadi simbol spiritualitas. Di Indonesia, nasi tumpeng merupakan representasi rasa syukur.
Simbolisme ini tidak hanya memperkuat jati diri suatu komunitas, tetapi juga menjadi sarana pelestarian budaya yang diwariskan lintas generasi. Dengan demikian, makanan dapat dipandang sebagai media ekspresi budaya yang kaya akan makna dan penting untuk dikaji lebih dalam terkait konteks ilmu budaya, antropologi, dan sosiologi.
Jurnal Pendidikan Tambusai 12889 Adaptasi terhadap Globalisasi
Globalisasi telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap berbagai aspek kehidupan termasuk dalam dunia kuliner. Perpindahan budaya lintas negara, perkembangan teknologi informasi, dan meningkatnya mobilitas masyarakat telah mempercepat pertukaran cita rasa dan praktik kuliner antarnegara. Namun, dalam arus globalisasi tersebut, setiap budaya tetap berupaya mempertahankan identitasnya masing-masing termasuk dalam hal makanan. Proses adaptasi ini tidak hanya melibatkan perubahan bentuk dan rasa makanan, tetapi juga strategi pelestarian budaya melalui inovasi yang tetap berpijak pada nilai tradisional.
Timur Tengah: Pelestarian Cita Rasa Otentik di Tengah Komersialisasi
Makanan Timur Tengah kini telah tersebar luas di berbagai belahan dunia melalui restoran, gerai cepat saji, dan kemasan makanan instan seperti kebab, hummus, dan falafel. Makanan ini tidak hanya dapat ditemui di kawasa Arab, tetapi juga menjadi menu popular di Eropa dan Amerika. Meski demikian, makanan Timur Tengah tetap menjaga keaslian cita rasa dengan mempertahankan penggunaan rempah-rempah yang khas, menggunakan metode memasak yang tradisional, dan penyajian yang sesuai dengan budaya aslinya. Adaptasi terhadap globalisasi juga terlihat dari munculnya versi vegetarian, fusion, atau makanan cepat saji Timur Tengah yang dapat diterima secara luas oleh selera global tanpa menghilangkan unsur identitasnya.
Indonesia: Inovasi Kuliner Tradisional dan Peran Media Sosial
Di Indonesia, proses adaptasi terhadap globalisasi terlihat dari semakin maraknya inovasi pada kuliner lokal. Makanan tradisional seperti rendang, sate, dan nasi goreng kini sering diolah dalam bentuk yang lebih modern seperti penyajian di restoran bintang lima, pengemasan dalam bentuk beku, hingga penggabungan dengan teknik masak internasional (fusion food). Peran media sosial juga sangat signifikan dalam memperkenalkan dan melestarikan kuliner nusantara, di mana banyak generasi muda yang aktif membagikan konten memasak atau ulasan kuliner lokal sebagai bentuk kebanggaan budaya. Adaptasi ini tidak hanya mendorong pertumbuhan ekomonu kreatif di bidang makanan, tetapi juga memperkuat eksistensi budaya kuliner Indonesia di kancah global.
Festival kulinerr internasional, kolaborasi antarchef, dan diplomasi gastronomi menjadi bukti bahwa makanan tradisional dapat bertransformasi secara modern tanpa kehilangan akar budayanya.
Adaptasi terhadap globalisasi dalam dunia kuliner mencerminkan dinamika budaya yang terus berkembang di tengah arus modernitas, baik masyarakat Timur Tengah maupun Indonesia.
Ini dapat menunjukkan bahwa kemampuan untuk merespons perubahan global tanpa melepaskan akar budaya. Masyarakat Timur Tengah tetap mempertahankan keaslian rasa dan nilai simbolik dalam hidangan seperti teh Arab, kebab, dan kurma. Demikian pula, masyarakat Indonesia melakukan berbagai inovasi terhadap makanan tradisional seperti rendang dan nasi tumpeng melalui teknik modern dan kemasan global yang lebih praktis namun tetap menjaga nilai filosofi dan estetikanya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kuliner dapat berperan sebagai ruang negosiasi antara lokalitas dan globalitas. Di mana identitas budaya tidak tergerus oleh modernitas melainkan mampu bertransformasi secara kreatif. Melalui adaptasi ini, kuliner menjadi mendium efektif untuk melestarikan budaya sekaligus memperkenalkannya ke panggung global.
SIMPULAN
Makanan merupakan bagian integral dari budaya yang tidak hanya berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan biologis, tetapi juga mengandung nilai-nilai sosial, simbolik, dan spiritual yang mencerminkan identitas suatu Masyarakat. Melalui kajian komparatif antara kuliner Timur Tengah dan Indonesia, penelitian ini mengungkapkan bahwa makanan dapat menjadi medium ekspresi budaya yang kuat dan mendalam. Budaya Timur Tengah dan Indonesia memiliki ciri khas masing- masing dalam hal bahan dasar makanan, teknik pengelolaan, dan makna sosial yang melekat dalam praktik penyajian dan konsumsi makanan.
Di Timur Tengah, makanan seperti hummus, kurma dan teh Arab menjadi simbol keramahtamahan, keberkahan, dan nilai religius yang tinngi. Penyajiannya sering kali dikaitkan dengan momen kebersamaan dan ibadah seperti berbuka puasa di bulan Ramadan. Sementara itu, makanan di Indonesia seperti rendang dan nasi tumpeng tidak hanya memperlihatkan
Jurnal Pendidikan Tambusai 12890 kekayaan rasa dan keragaman etnis, tetapi juga menjadi simbol filosofi hidup masyarakat Indonesia yang menekankan nilai gotong royong, syukur, dan keseimbangan spiritual.
Selain itu, dalam menghadapi tantangan globalisasi, kedua budaya ini menunjukkan kemampuan adaptasi yang tinggi tanpa kehilangan jati dirinya. Kuliner dari kedua wilayah berhasil bertahan dan berkembang dengan cara menggabungkan inovasi modern dan kekayaan tradisi.
Hal ini menjadikan makanan sebagai sarana pelestarian budaya dan diplomasi antarbangsa.
Adaptasi ini tidak hanya memperkuat eksistensi budaya lokal, tetapi juga menjadikan makanan sebagai elemen penting dalam membangun jembatan antarbudaya di tengah masyarakat global yang semakin dinamis. Dengan demikian, makanan tidak hanya menjadi cerminan budaya, tetapi juga menjadi instrument penting dalam mempertahankan identitas, mempererat hubungan sosial, dan membangun kesadaran kolektif akan pentingnya keberagaman budaya di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Basuni, A. (2020). Peran Identitas Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Universitas Subang. Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 18–30.
Candra, M. A., Enjeladinata, V., & Rizky Widana, M. (2023). Eksistensi Makanan Tradisional Di Tengah Gempuran Makanan Korea. Prosiding Seminar Nasional, 352–361.
Fiantika, F. R., Wasil, M., Jumiyati, S., Honesti, L., Wahyuni, S., Mouw, E., Jonata, Mashudi, I., Hasanah, N., Maharani, A., Ambarwati, K., Nuryami, R. N., & Waris, L. (2022). Metodologi Penelitian Kualitatif. In M. H. Yuliatri Novita (Ed.), Rake Sarasin (1st ed., Issue March). PT.
GLOBAL EKSEKUTIF TEKNOLOGI.
Garaika, & Darmanah. (2019). METODE PENELITIAN.
Hendra, N., & Supriyadi, A. (2020). Memperhatikan Karakteristik Budaya Dalam Fenomena Kehidupan Bermasyarakat. Adi Widya : Jurnal Pengabdian Masyarakat, 1–11.
Levitt, H. M., Bamberg, M., Creswell, J. W., Frost, D. M., & Suárez-orozco, C. (2018). Journal Article Reporting Standards for Qualitative Primary , Qualitative Meta-Analytic , and Mixed Methods Research in Psychology : The APA Publications and Communications Board Task Force Report. 73(1), 26–46.
Nova, I. F. (2024). REPRESENTASI BUDAYA BETAWI DALAM BUKU SAHABATKU INDONESIA : BAHAN AJAR BIPA UNTUK UMUM. 8(2), 68–76.
Saleh, S. (2017). Analisis Data Kualitatif (H. Upu (ed.); Vol. 1). Pustaka Ramadhan, Bandung.
https://core.ac.uk/download/pdf/228075212.pdf
Santoso, B. (2017). Bahasa Dan Identitas Budaya. Sabda : Jurnal Kajian Kebudayaan, 1(1), 44.
https://doi.org/10.14710/sabda.v1i1.13266
Syakhrani, A. W., & Kamil, M. L. (2022). Budaya Dan Kebudayaan: Tinjauan Dari Berbagai Pakar, Wujud-Wujud Kebudayaan, 7 Unsur Kebudayaan Yang Bersifat Universal. Journal Form of Culture, 5(1), 1–10.