BAB II PENYAJIAN DATA
A. Deskripsi Lokasi
Jepang (bahasa Jepang: 日本Nippon/Nihon, nama resmi: 日本 国 Nipponkoku/Nihonkoku)1, merupakan negara kepulauan yang terletak di Samudera Pasifik dan terdiri atas lebih dari 3.000 pulau yang membentang dari timur laut ke barat daya sepanjang 1.360 mil.2Letak astronomis wilayah Jepang berada di 24° sampai dengan 46° Lintang Utara dan 122° sampai dengan 146° Bujur Timur.3
Jepang memiliki empat pulau utama yang menyusun 98% dari luas daratan utamanya yaitu pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku,4dan hampir 80% dari total populasi Jepang sendiri hidup di pulau Honshu.5Total luas wilayah Jepang sendiri yaitu 377. 915 km2 dengan total luas daratan sebesar 364.485 km2 dan total luas lautan sebesar 13.430 km2.6Disebabkan oleh luas wilayahnya tersebut, Jepang yang merupakan negara kepulauan menempati posisi sebagai negara terbesar ke-62 di dunia.7
Jepang tidak memiliki perbatasan darat dengan negara manapun, akan tetapi di wilayah lautan Jepang berbatasan dengan beberapa negara antara lain yaitu Tiongkok, Korea Selatan, Korea Utara, dan Rusia.8
Wilayah Jepang sendiri dibagi menjadi 47 prefektur, yang berdasarkan keadaan geografis dan sejarahnya, 47 prefektur ini dikelompokkan menjadi sembilan kawasan yaitu : Hokkaido, Tohoku, Kanto, Chubu, Kinki, Chugoku, Shikoku, Kyushu, dan Okinawa.9Dalam gambar peta pembagian prefektur Jepang dibawah ditunjukkan bahwa Tokyo, dan beberapa prefektur lainnya yang bewarna merah yaitu Saitama, Chiba, Kanagawa, Aichi, Osaka, dan Fukuoka memiliki tingkat kepadatan penduduk yaitu sebanyak seribu jiwa atau lebih per km2.
Gambar 2.1 Tingkat Kepadatan Penduduk berdasarkan Prefektur (per km2)
Tiga perempat atau 70% dari wilayah Jepang sendiri merupakan daerah yang bergunung-gunung, sedangkan selebihnya berbentuk dataran dan cekungan.10Topografi wilayah Jepang tersebut tentunya mempengaruhi pola persebaran penduduk dan tingkat pembangunan wilayah di Jepang sendiri. Adapun efek dari topografi Jepang tersebut antara lain sebagai berikut:11
1. Bahaya gunung meletus dan gempa bumi yang sering menjadi ancaman baik bagi penduduk maupun bangunan dan transportasi yang ada,
2. Minimnya jumlah lahan pertanian yang dapat digarap, dan, 3. Kurangnya wilayah yang dapat didiami sehingga populasi
menjadi terpusat di wilayah tertentu yang padat penduduk.
Namun, keadaan topografi yang menyulitkan Jepang tersebut pada kenyataannya tidak menjadi halangan bagi Jepang untuk mengembangkan diri dan meraih predikat sebagai salah satu negara maju di dunia. Sebagai bukti, performa ekonomi Jepang merupakan salah satu yang terbaik dari negara-negara di dunia. Jepang tercatat merupakan negara ekonomi terbesar ketiga di dunia dengan tingkat pertumbuhan yang luar biasa pasca perang dunia II.12
Industri manufaktur menjadi salah satu tumpuan kekuatan ekonomi Jepang, yang telah dibuktikan oleh perusahaan-perusahan dan merk-merk Jepang seperti Toyota, Sony, Fujifilm, dan Panasonic
yang merajai pasaran global.13Selain itu, Jepang juga merupakan salah satu contoh negara yang bisa dikatakan sukses dalam mengolah dan mengembangkan industri perikanannya.
Performa ekonomi Jepang di panggung global yang apik tersebut tentunya juga didukung oleh sektor penyelenggaraan pemerintahan di Jepang sendiri. Bentuk pemerintahan Jepang sendiri adalah monarki konstitusional dimana Kaisar, atau dalam bahasa Jepang disebut sebagai Tenno (天皇), berkedudukan sebagai kepala negara, dan Perdana Menteri (PM) berkedudukan sebagai kepala pemerintahan.14Namun berdasarkan Konstitusi Jepang, Kaisar tidak mempunyai kekuasaan yang terkait dengan pemerintah dan hanya bertindak sebagai lambang negara dan persatuan rakyat.15Sedangkan perdana menteri bertugas dalam menjalankan peran eksekutif.
Jepang menganut prinsip “pemisahan kekuasaan” dimana pemerintahan negara dijalankan oleh tiga organ utama negara yaitu badan legislatif, yudikatif, dan eksekutif. 16 Konstitusi Jepang menyatakan bahwa Parlemen Nasional (National Diet) atau Kokkai (国 会) merupakan badan pemegang kekuasaan tertinggi di pemerintahan Jepang, dimana Diet memiliki kewenangan untuk menentukan atau memilih Perdana Menteri.17Selain itu, Diet juga memiliki fungsi lain yaitu mengesahkan anggaran nasional, meratifikasi perjanjian
internasional, dan menampung usulan atau proposal terkait amademen konstitusi.18
Parlemen Jepang sendiri bersifat bikameral atau terdiri dari dua kamar yaituHouse of Councilors (HoC) ataushangiindan Dewan House of Representatives (HoR) atau shugiin.19 Anggota dari Diet atau Parlemen Nasional Jepang sendiri dipilih melalui pemilihan umum, dimana kebanyakan atau mayoritas dari anggota Diettersebut berasal dari partai politik.20
Adapun partai-partai politik yang mengisi kursi Parlemen Nasional Jepang saat ini antara lain sebagai berikut:Liberal Democratic Party, Democratic Party of Japan, Japan Restoration Party, New Komeito, Japan Inovation Party, Japanese Communist Party, Party for Future Generations, People’s Life Party, dan Social Democratic Party serta kelompokincumbentdanindependent.21
Saat ini, Jepang berada dibawah kekuasaan Partai Liberal Demokrat atau LDP (Liberal Democrat Party) yang menempatkan Shinzo Abe di posisi Perdana Menteri. Shinzo Abe sempat menjabat menjadi Perdana Menteri Jepang sebelumnya, yaitu pada periode 2006 sampai dengan 2007, akan tetapi ia kemudian mengundurkan diri dikarenakan adanya beberapa skandal yang melibatkan menteri dalam kabinetnya.22
Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe lahir pada tanggal 21 September 1954 di Tokyo dari pasangan Shintaro dan Yoko Abe.23Abe
terlahir dalam keluarga yang memiliki latar belakang politik yang kental. Kakek dari Abe, Kishi Nobusuke, merupakan PM Jepang dari tahun 1957 sampai dengan 1960, dan pamannya, Sato Eisaku, menjabat sebagai PM Jepang tahun 1964 sampai dengan 1972.24 Ayah Abe sendiri, Shintaro Abe, pernah menjabat sebagai menteri luar negeri Jepang.25
Shinzo Abe terpilih sebagai Perdana Menteri Jepang pada 28 Desember 2012. Abe sendiri sudah menjadi pimpinan dari LDP (Liberal Democratic Party) sejak tahun 2006.26 Sebelum menjadi Sekretaris Jenderal di LDP, pada tahun 1999 Abe menjabat sebagai direktur dari Social Affairs Division dan mengabdi dalam kabinet Yoshiro Mori dan Junichiro Koizumi.27Shinzo Abe merupakan alumni Universitas Seikei jurusan ilmu politik, dan Universitas Southern California jurusan kebijakan publik.28
Pada periode kedua ini, Shinzo Abe lebih berfokus pada masalah ekonomi. Saat ini, Abe melucurkan paket strategi ekonomi yang ia sebut sebagai “Abenomics” yang terdiri dari tiga komponen, yaitu stimulus fiskal, kemudahan moneter, dan reformasi struktural.29 Melalui strategi Abenomics tersebut, Shinzo Abe berjanji menghidupkan kembali ekonomi Jepang. Bahasan terkait masalah imigrasi yang menjadi fokus kajian penulis disini, menjadi bagian dari pilar ketiga Abe –reformasi struktural—yang kini cukup menjadi
yang menua dan menyusut. Namun, sebelum membahas lebih lanjut terkait kebijakan Shinzo Abe terhadap imigrasi di Jepang tersebut, pengetahuan terkait keadaan demografis Jepang –yang merupakan latar belakang munculnya permasalahan terkait imigrasi— perlu terlebih dahulu untuk diulas dan diketahui.
B. Penyajian Data
1. Kondisi Demografis Jepang
Jumlah penduduk total Jepang pada tahun 2014 tercatat sebanyak 127,08 juta jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 343,3 orang per km2 berdasarkan data pada tahun 2010.30Jumlah populasi Jepang mulai mengalami stagnansi dan bahkan cenderung menurun sejak tahun 1980an.
Gambar 2.2 Piramida Penduduk Jepang
Sumber:Statistic Bureau, MIC.
Gambar piramida penduduk diatas dapat menunjukkan bahwa pada tahun 1950an, komposisi penduduk Jepang dapat dikatakan normal atau sehat dimana jumlah penduduk berusia produktif lebih banyak. Namun, piramida penduduk pada tahun 2014 menunjukkan perubahan yang sangat signifikan dimana populasi Jepang di dominasi oleh penduduk berusia lanjut.
Jumlah populasi lansia di Jepang pada tahun 2014 mencapai 33 juta jiwa atau 26% dari jumlah penduduk Jepang.31 Presentase penduduk lansia di Jepang tersebut bila dibandingkan dengan negara- negara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, menempati posisi yang teratas.
Gambar 2.3 Proporsi Populasi Penduduk Lansia berdasarkan Negara (Usia 65 tahun ke atas)
Sumber:Statistics Bureau, MIC; MHLW; United Nations (UN).
Laju populasi yang menua yang cepat di Jepang tersebut disebabkan oleh kombinasi antara naiknya angka harapan hidup dan turunnya tingkat kelahiran.32
Tabel 2.1 Perubahan Tingkat Rata-rata Usia Ibu Melahirkan di Jepang
Sumber:Ministry of Health, Labour and Welfare.
Menurunnya angka kelahiran tersebut salah satunya disebabkan oleh rata-rata usia ibu melahirkan di Jepang yang memiliki kecenderungan untuk meningkat. Rata-rata usia ibu melahirkan naik dari 25,6 pada tahun 1970 menjadi 30,4 pada tahun 2013.33Hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata wanita di Jepang melahirkan pada usia 30an. Tingkat kelahiran mengalami penurunan yang signifikan dari 2,00 pada tahun 1975 menjadi hanya 1,26 pada tahun 2005, yang kemudian mulai naik kembali setelahnya sampai di titik 1,43 pada tahun 2013.34 Pada tahun 2000, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memprediksikan bahwa populasi Jepang akan terus mengalami penurunan sebanyak 17%
atau sebanyak 21,6 juta jiwa pada tenggat tahun 2000 sampai 2050.35
Gambar 2.4 Proyeksi Pertumbuhan Populasi Jepang
Sumber:United Nations (UN), 2000.
Pasca Perang Dunia II, angka harapan hidup di Jepang sendiri terus mengalami kenaikan dimana sekarang Jepang memiliki tingkat harapan hidup yang paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.
Gambar 2.5 Tingkat Harapan Hidup berdasarkan Negara
Sumber:Ministry of Health, Labour and Welfare.
Adanya penurunan angka kelahiran dan populasi yang menua tersebut tentunya mempengaruhi jumlah angkatan kerja (labor force) di Jepang sendiri dimana jumlah angkatan kerja dalam usia produktif (15 sampai dengan 64 tahun) semakin menurun.
Tabel 2.2 Populasi Jepang berdasarkan Status Angkatan Kerja
Sumber:Statistics Bureau, MIC.
Jumlah angka populasi yang siap bekerja di Jepang mencapai angka paling tinggi pada tahun 1995 yaitu sekitar 87,3 juta jiwa, dan kemudian mulai mengalami kecenderungan untuk menurun dimana pada tahun 2013 jumlahnya menjadi 79 juta.36Berdasarkan riset darithe National Institute of Population and Social Security, angka tersebut akan terus menurun, dari 67,73 juta di tahun 2030 menjadi 44,18 juta di tahun 2060.37
Saat ini masalah ketenagakerjaan yang utama di Jepang bukan mempermasalahkan tentang keterbatasan lapangan kerja melainkan keterbatasan angkatan kerja. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Recruit Works Institute terhadap perusahaan-perusahaan di
Jepang, diperoleh hasil bahwa sebanyak 67,9% menyatakan mampu memenuhi target rekruitmen pekerja yang mereka butuhkan, sementara 32,1% sisanya menyatakan tidak berhasil memenuhi target rekruitmen pekerja yang dibutuhkan.38Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa satu dari tiga perusahaan di Jepang tidak mampu memenuhi target rekruitmen pekerja mereka.39
Jumlah angkatan kerja yang terus mengalami penurunan tersebut tentunya menimbulkan implikasi tersendiri bagi beberapa sektor industri di Jepang. Pada tahun 2014, industri barang mentah di Jepang terhitung mempekerjakan 3,7% dari total jumlah pekerja;
industri barang olahan terhitung sebanyak 24,8%; dan industri barang jadi dengan jumlah terbesar yaitu 71,6%.40
Sebagaimana dapat dilihat dalam tabel, industri yang menyerap tenaga kerja paling banyak di Jepang adalah industri tahap ketiga atau industri barang jadi dengan jumlah pekerja sebanyak 44.470 jiwa di tahun 2014. Industri barang jadi tersebut menyerap paling banyak pekerja dikarenakan industri ini sendiri terdiri dari berbagai macam sektor dan merupakan yang paling banyak dari industri lainnya. Adapun sektor-sektor yang tergabung dalam industri barang jadi tersebut antara lain: layanan listrik, gas, dan air; tranportasi dan layanan pos, perdagangan; asuransi dan finansial;real estate;pendidikan; kesehatan;
layanan jasa; pemerintahan; dan masih banyak lainnya.
Tabel 2.3 Daftar Pekerjaan Berdasarkan Industri
Sumber:Statistics Bureau, MIC.
Selanjutnya di tempat kedua, terdapat industri barang setengah jadi yang berdasarkan data tabel telah menyerap pekerja sebanyak 15.480 jiwa pada tahun 2014. Adapun industri tahap kedua ini terdiri dari sektor-sektor yang juga penting antara lain pertambangan, konstruksi, dan manufaktur. Sementara untuk industri tahap pertama atau industri barang mentah yang terdiri dari sektor agrikultural dan kehutanan; dan perikanan, menyerap sebanyak 2.300 pekerja di tahun yang sama.
Industri konstruksi di Jepang, sebagaimana juga sektor agrikultural dan perhutanan, mengalami masalah penuaan dengan laju yang cukup cepat.41Setelah mencapai angka jumlah pekerja terbanyak yaitu sebesar 4,6 juta jiwa pada tahun 1997, angka tersebut terjun menjadi hanya 3,4 juta jiwa pada tahun 2013 yang lalu, atau dapat dikatakan mengalami penurunan sebanyak 26%.42Industri konstruksi di Jepang menjadi salah satu industri yang paling merasakan dampak dari jumlah angkatan kerja di Jepang yang terus mengalami penurunan akibat populasi yang menua. Ditambah lagi dengan adanyatrensektor 3K yang dihindari oleh para pemuda di Jepang yaitu: kitanai (kotor);
kitsui(sulit); dankiken(berbahaya), sektor konstruksi menjadi semakin dihindari sehingga menjadi semakin menyulitkan perusahaan konstruksi untuk mendapatkan pekerja.
Permintaan akan pekerja konstruksi melambung dengan adanya peningkatan proyek sipil dalam rangka rekonstruksi wilayah-wilayah yang hancur dan porak poranda akibat bencana Tsunami yang melanda Jepang pada tahun 2011 yang lalu.43 Sejumlah 40% dari beberapa perusahaan konstruksi di Jepang melaporkan bahwa mereka tidak memiliki pekerja dengan jumlah cukup, yang tentunya merupakan masalah yang serius terlebih lagi mengingat bahwa Jepang akan banyak membutuhkan sektor konstruksi untuk even Olimpiade Tokyo yang akan digelar pada tahun 2020 mendatang.44
Keterbatasan jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi tersebut tentu juga menimbulkan implikasi lain yang dapat menjadi hambatan bagi pembangunan di Jepang sendiri. John Mader, manager senior bagian manajemen pelayanan di firma Lend Lease Japan, menyatakan bahwa harga pekerja konstruksi meningkat sampai kurang lebih 25%
dalam tiga tahun terakhir dikarenakan kelangkaan tenaga kerja dan penurunan angka jumlah tenaga kerja pengganti dalam domestik Jepang.45Menurut data pemerintah Jepang sendiri, industri konstruksi di Jepang mengalami kekurangan sebanyak 230.000 pekerja pada tahun 2015.46
Selain sektor konstruksi, Jepang juga menghadapi masalah kekurangan pekerja di sektor kesehatan terutama di bidang keperawatan. Populasi masyarakat lanjut usia, yaitu yang berumur 65 tahun keatas, di Jepang terhitung sebanyak 25% dari total penduduk Jepang.47Angka tersebut tentu merupakan jumlah yang besar dan para penduduk lansia itu sendiri tentunya membutuhkan jasa perawatan.
Hanya mengandalkan tenaga kerja domestik Jepang saja pastinya tidaklah cukup.
Tren yang ada, kurang lebih setengah dari perawat keluarga yang bekerja di Jepang berusia 60 tahun bahkan lebih, dan biasanya perawat berasal dari kalangan wanita.48Namun dengan berkurangnya jumlah wanita berusia paruh baya dan dikombinasikan dengan laju peningkatan jumlah populasi lansia yang semakin cepat, tentunya
menimbulkan masalah dalam rekruitmen pekerja di bidang ini. Masalah juga diperburuk dimana banyak, sekitar 500.000, perawat Jepang yang sudah tersertifikasi memilih meninggalkan pekerjaan ini karena merasa tidak sesuai dengan keinginannya.49
Selain di sektor pengasuhan atau keperawatan untuk masyarakat lansia, Jepang juga membutuhkan tenaga kerja lebih untuk menjadi pengasuh anak ataupun pekerja rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan wanita atau ibu rumah tangga di Jepang diharapkan oleh pemerintah untuk dapat ikut terjun bekerja dan mengisi kekosongan di berbagai sektor industri di Jepang yang mengalami kekurangan pekerja.50
Berdasarkan job-to-applicant ratio (rasio antara pekerjaan dan pencari kerja) tidak adanya kelangkaan pekerja ditunjukkan dengan indeks dibawah satu, tetapi Jepang sendiri memiliki indeks diatas satu.51 Pekerjaan sektor manajerial dan pekerjaan administratif secara umum lainnya tidak mengalami kelangkaan pekerja.
Dari sektor pekerjaan spesialis and teknisi, kelangkaan terjadi khususnya untuk kategori dokter (rasio diatas 6) dan teknisi medis, perawat, dan pekerja rumah tangga (rasio diatas 2). Di sektor pelayanan, kelangkaan terparah menimpa jasa pelayanan restaurant dan rumah tangga serta pengasuh (rasio diatas 2). Di sektor konstruksi, kelangkaan terjadi terutama untuk kategori pekerja konstruksi (rasio
Gambar 2.6Job-to-Applicant Ratioberdasarkan Sektor Pekerjaan
Sumber:International Monetary Fund (IMF) Working Paper 2015, “Foreign Help Wanted: Easing Japan’s Labor Shortages”.
Masalah penyusutan populasi di Jepang sebagaimana dapat dilihat telah membawa banyak permasalahan di Jepang utamanya dalam bidang ketersediaan tenaga kerja. Dihadapkan dengan masalah pencukupan kebutuhan pekerja dari berbagai sektor industri –terutama sektor konstruksi dan keperawatan—pemerintah Jepang mencoba mencari solusi yang salah satunya yaitu dengan mendatangkan pekerja dari luar negeri. Masalah kekurangan tenaga kerja tersebut terutama
dialami oleh sektor-sektor pekerjaan kerah biru yang bergaji rendah.
Angkatan kerja Jepang, terutama para pemuda, cenderung menghindari sektor-sektor tersebut disebabkan oleh paham 3K sebagaimana telah dijabarkan diatas dan juga karena tingkat pendidikan yang tinggi yang diperoleh sebagian besar pemuda Jepang.52
PM Jepang, Shinzo Abe, sendiri menyatakan bahwa pemerintah akan mengembangkan beberapa program yang telah ada untuk mendatangkan tenaga kerja asing. PM Abe menginginkan para pendatang tersebut untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan bergaji rendah, dimana masalah kekurangan pekerja paling terasa, dari mulai pekerja konstruksi sampai pengasuh.53
2. Tenaga Kerja Imigran di Jepang
Berdasarkan data pemerintah Jepang pada tahun 2013, jumlah penduduk asing yang tinggal di Jepang tercatat sebanyak 2.066.445 jiwa, dan dari jumlah total penduduk asing yang terdaftar tinggal di Jepang tersebut, sebagian besar atau sebanyak 648.980 jiwa berasal dari Tiongkok, sementara itu di posisi kedua ditempati oleh Korea dengan angka 519.737 jiwa.54Jumlah penduduk asing yang terdaftar tinggal di Jepang tersebut terdiri dari berbagai macam status antara lain yaitu: pelajar/mahasiswa, pekerja, investor, tenaga ahli, manajer
bisnis, peserta magang, dan lain sebagainya sebagaimana diperlihatkan oleh tabel dibawah.
Tabel 2.4 Data Penduduk Asing yang Terdaftar Tinggal di Jepang tahun 2013
Sumber:Statistic Bureau,MIC.
Menurut catatan MHLW pada tahun 2013, dari jumlah total penduduk asing di Jepang yang disebut diatas, 717.504 adalah tenaga
kerja.55Presentase terbesar diduduki oleh tenaga kerja asing yang memiliki status tinggal berdasarkan status (identitas) atau posisi.
Mereka kebanayakan adalah warga asing yang mendapat status tinggal sebagai “permanent resident atau long-term resident”. Termasuk didalamnya adalah warga asing keturunan Jepang (Nikkeijin) yang kebanyakan berasal dari Brazil dan sekitarnya.
Gambar 2.7 Tenaga Kerja Imigran berdasarkan Status Tinggal
Sumber:Ministry of Health, Labour and Welfare(MHLW).
Para pekerja asing tersebut tinggal dan tersebar di berbagai prefektur di Jepang. Jumlah tenaga kerja asing terbanyak terdapat di prefektur Tokyo dan Aichi. Prefektur Tokyo dan Aichi sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 2.8 menempati posisi teratas daerah padat tenaga kerja imigran.
Gambar 2.8 Tenaga Kerja Imigran berdasarkan Prefektur dan Status Tinggal
Sumber: Hasil KompilasiMinistry of Health, Labour and Welfare.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan (MHLW) Jepang pada tahun 2012, terdapat 682.450 tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan di Jepang dimana 26,2% dari jumlah tersebut berada di Tokyo, 8,3% di Aichi, 6,6% di Osaka, 6,3% di Kanagawa, 4,3% di Saitama, dan 3,8% di Chiba.56Masih berdasar sumber pada tahun yang sama, berdasarkan pembagian per sektor, sebanyak 28,8% dari jumlah tenaga kerja yang terlapor tersebut bekerja di sektor manufaktur, 13,3% di restaurant dan hotel, 16,1% di perusahan-perusahan kecil, 7,6% di sektor jasa, 4,8% di bidang teknologi dan informasi, dan 3,7% di sektor pendidikan.57
Pada dasarnya, pemerintah Jepang sendiri memiliki tiga prinsip utama dalam penerimaan imigran ke Jepang. Adapun, tiga prinsip tersebut antara lain yaitu:58
1. Tidak ada pengakuan terhadapunskilled workers.
2. Pemerintah wajib memfasilitasi pengakuan hanya untuk highly skilled workersdan profesional.
3. Semua pendatang asing diperbolehkan menetap di Jepang hanya dalam periode waktu sementara.
Secara resmi, sebagaimana diatur dalam The Immigrant Control and Refugee Recognition Act, Jepang berpegang pada prinsip untuk menolak unskilled workers. Selama lebih dari satu dekade sejak Immigration Control Actdirevisi, tidak ada perubahan yang berarti dari kebijakan imigrasi resmi pemerintah Jepang.59Pada kenyataannya, laporan dari Badan Perencanaan Ekonomi pada tahun 1999 terkait kebijakan imigrasi merekomendasikan agar pemerintah tetap mempertahankan dan meneruskan kebijakan untuk tidak menerima unskilled workers tersebut.60Pada tahun 2009 dibawah pemerintahan PM Taro Aso,Immigration Control Actkembali direvisi, tetapi kebijakan utama pemerintah dalam imigrasi tersebut tetaplah sama. Revisi tersebut berisi tentang penghapusanAllien Registration Act (gaikokujin tōrokurei) yang sebelumnya mengatur terkait status tinggal warga asing. Dengan dihapusnya Allien Registration Act tersebut, diperkenalkan sebuah sistem kependudukan baru yang diatur dibawah Immigration Control Act.61
Pada pemerintahan Shinzo Abe, kebijakan imigrasi Jepang tetaplah tidak berubah. Sikap tersebut jelas terlihat dari kebijakan Abe yang memilih untuk memberdayakan tenaga kerja wanita dan manula serta robot dalam menghadapi krisis tenaga kerja yang dialami Jepang.
Namun, krisis tenaga kerja yang menjadi masalah serius bagi Jepang tersebut dinilai memberikan efek pada sikap pemerintah terhadap isu imigrasi. Pada tahun 2014, Abe mengeluarkan “Japan Revitalization Strategy” yang didalamnya termasuk bahasan mengenai penggunaan tenaga kerja asing. Terdapat dua poin utama dari “penggunaan tenaga kerja asing” yang tercantum dalam “Japan Revitalization Strategy”
tersebut yaitu: 1) penyediaan lingkungan yang baik bagi penerimaan highly skilled workers, dan 2) revisi fundamental dari Technical Intern Training Program (TITP) , yang mengatur tentang perpenjangan waktu tinggal dan penambahan kategori pekerjaan.62Meskipun demikian, Abe menyatakan bahwa tidak ada perubahan dalam kebijakan imigrasi dan Jepang tetap tidak mengakuiunskilled workers.
Prinsip pemerintah Jepang yang tidak mengakui penerimaan unskilled workers tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan keadaan domestik di Jepang sendiri dimana banyak sektor industri yang membutuhkan unskilled workers karena masalah labor shortage, sebagai contoh adalah industri konstruksi. Realita di lapangan telah memperlihatkan bahwa sektor-sektor tersebut pada kenyataannya tetap diisi oleh unskilled workers dari luar atau imigran. Unskilled
workers tersebut biasanya terdiri dari kelompok imigran golongan:
peserta magang/technical interns, mahasiswa, pekerja hiburan (entertainers), dannikkeijin(imigran asing keturunan Jepang).63
Peserta magang atau technical interndatang ke Jepang melalui program pemerintah, The Japanese Technical Intern Training Program (TITP) atau ginou jisshuusei, yang dikelola oleh the Japan International Training Cooperation Organization (JITCO). TITP dicetuskan pada tahun 1993 di Jepang dengan tujuan yang diproklamirkan yaitu untuk mempromosikan transfer teknologi, tetapi dalam kenyataannya program ini menjadichannelyang menyediakan stoklow-skilled workers bagi kebutuhan pasar tenaga kerja di Jepang.64Dibawah TITP ini, peserta magang diijinkan untuk tinggal di Jepang selama tiga tahun.
Selama periode tinggalnya tersebut, sembilan bulan pertama digunakan untuk melakukan pelatihan kerja dan kemampuan Bahasa Jepang.65Data pada tahun 2014 yang lalu menyebutkan bahwa sekitar 150.000 peserta TITP bekerja di beberapa sektor antara sebagai berikut: konstruksi, tekstil, pengolahan makanan, mesin, metal working,dan agrikultur.66
Selain TITP, pemerintah Jepang juga memiliki EPA (Economic Partnership Agreements) atau perjanjian kerjasama ekonomi yang dijalankan secara bilateral dengan beberapa negara di Asia Tenggara antara lain yaitu Indonesia, Filipina, dan Vietnam.67 Melalui EPA ini,
(nurse) danKaigofukushi shi(careworkers). Pekerja tersebut akan diberi waktu tinggal sementara di Jepang – tiga tahun (untukkangoshi) dan empat tahun (untuk kaigofukushishi)— dan selama kurun waktu tersebut mereka akan menerima pelatihan dan setelah itu mereka dapat ikut serta dalam ujian nasional untuk menjadi perawat yang tersertifikasi dan dapat memperoleh ijin tinggal di Jepang lebih lama68, tetapi apabila mereka gagal mereka harus kembali ke negara asal.
Namun, karena tingginya tingkat kesulitan ujian nasional perawat di Jepang tersebut, sangat sedikit sekali pekerja imigran yang berhasil lolos.
Dihadapkan dengan realita di lapangan dimana banyak sektor industri di Jepang yang membutuhkanunskilled workers,TITP dan EPA sebagaimana telah disebutkan, menjadi sarana akomodasi pemenuhan kebutuhan tersebut. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa salah satu sektor yang mengalami labor shortage terparah adalah sektor konstruksi dan keperawatan, dan menggunakan sumber daya dari program-program tersebut, pemerintah Jepang mencoba menambal kekurangan yang ada.
Sebelumnya TITP hanya memperbolehkan lembaga-lembaga resmi dan perusahaan-perusahaan besar untuk memperkerjakan peserta magang, tetapi setelah aturan imigrasi di Jepang di revisi, kini Usaha Kecil Menengah (UKM) juga diperbolehkan untuk menerima peserta magang.69Terlepas dari fakta bahwa Jepang terkenal dengan
perusahaan-perusahaan besar seperti Toyota, Mitsubishi, dan NEC, pada kenyataannya perusahaan di Jepang mayoritas merupakan usaha kecil menengah atauchuusou kigyou, dan sembilan dari sepuluh pekerja di Jepang bekerja di perusahaan tersebut.70Survey Tankan oleh Bank Jepang menyatakan bahwa kelangkaan pekerja meningkat di semua golongan perusahaan, meski masalah tersebut lebih akut menimpa perusahaan kecil-menengah.71
Gambar 2.9 Perekrutan Pekerja berdasarkan Golongan Perusahaan
Sumber:Bank of Japan “Tankan Survey”
Perusahaan-perusahaan kecil menengah merupakan penopang ekonomi Jepang. Penggunaan peserta TITP guna menambal labor shortage terutama golongan pekerja kategori kerah biru atau pekerja kasar yang memang banyak menimpa usaha-usaha kecil (Small-Medium Enterprises), tentu merupakan salah satu cara dari pemerintah untuk
Masih terkait TITP, pemerintahan Shinzo Abe pada tahun 2014 lalu mengumumkan untuk memperpanjang periode tinggal bagi peserta magang di bidang konstruksi dari tiga tahun menjadi lima tahun.72Hal tersebut berkaitan dengan masalah labor shortage yang parah di sektor konstruksi terutama dalam menghadapi proyek Tokyo Olympic 2020 dan pembangunan infrastruktur daerah yang terkena dampak tsunami dan gempa yang melanda Jepang beberapa tahun lalu. Selain itu, melalui Kementerian Kesehatan, pemerintahan Abe juga telah menyetujui untuk menyertakan sektor keperawatan kedalam TITP yang mulai diberlakukan pada April 2016.73 Sama halnya dengan sebelumya, keputusan tersebut diambil oleh pemerintah guna menangani masalahlabor shortagedi sektor tersebut.
Ironisnya, pemerintah Jepang sendiri terkesan setengah hati dalam menyambut keberadaan para tenaga kerja tersebut di Jepang.
TITP yang disebut oleh pemerintah sebagai program transfer ilmu dan teknologi dari Jepang kepada negara berkembang, nyatanya banyak dihujat sebagai bentuk sistem perbudakan baru dimana para peserta magang tersebut hanya dimanfaatkan sebagai buruh bergaji rendah di Jepang. Menurut data hasil inspeksi pada tahuun 2013, perhitungan kasar menunjukkan bahwa 80% dari 2.300 bisnis yang memperkerjakan peserta magang telah melakukan pelanggaran atau penganiayaan terhadap hak-hak pekerja, antara lain seperti waktu kerja yang berlebihan, gaji yang rendah dan kadang tidak dibayarkan, dan
pembatasan-pembatasan lainnya.74Masih banyak lagi pelanggaran hak- hak peserta magang yang terjadi, sebagaimana telah dijabarkan di Bab sebelumnya dalam studi literatur tulisan Chieko Kamibayashi.
Bukti nyata terkait hal diatas salah satunya ditunjukkan oleh liputanVice News edisi 30 April 2015, yang secara detail menayangkan realita memprihatinkan dari kehidupan para peserta TITP di Jepang.
Dalam liputan Vice News tersebut, para peserta TITP bekerja sebagai buruh di sektor konstruksi, pertanian, pabrik tekstil, bahkan menjadi pengupas kerang. Beberapa peserta magang dalam liputan tersebut, menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak mereka seperti gaji yang tidak dibayarkan, tempat tinggal yang tidak layak, pembatasan komunikasi, dan bahkan pelecehan seksual. Ironi tersebut semakin diperkuat oleh pernyataan Ippei Torii, Direktur Solidarity Network with Migrants Japan,dalam liputan tersebut:
“Instead of learning skills, they (the interns) are subordinate to Japanese workers. As interns, they should be bringing new skills and techniques back to their developing countries, but this seldom happens. Unfortunately this program amounts for human trafficking.”
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tujuan asli dari TITP sendiri pada dasarnya jarang yang benar-benar terwujud, karena di Jepang para peserta magang tersebut nyatanya tidak benar-benar
terapkan ketika mereka kembali ke negara mereka masing-masing nanti, melainkan mereka digunakan sebagai tenaga kerja berupah rendah.
Selain peserta TITP, tenaga kerja imigran kategori kangoshi dan kaigofukushishi pun banyak menjadi sorotan dalam isu tenaga kerja imigran di Jepang. Kangoshi dan kaigofukushishi sendiri dapat dikategorikan sebagaisemi-skilled workersdan bukanunskilled workers mengingat mereka telah dibekali keterampilan terkait keperawatan sebelum diberangkatkan ke Jepang dibawah program EPA. Namun meskipun telah dibekali keterampilan, di Jepang seolah keterampilan tersebut tidak diakui karena pada praktik dilapangan mereka dilarang untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya mereka sudah biasa lakukan seperti menyuntik ataupun memasang infus.75
Pekerjaan-pekerjaan di sektor unskilled labors juga banyak diisi oleh para nikkeijinatau imigran Brazil keturunan Jepang dan juga para mahasiswa yang belajar ke Jepang dan bekerja paruh waktu. Nikkeijin sendiri dapat dibilang sebagai komponen terbesar dalam kategori kelompok pekerja imigran. Pemerintah menyambut sekitar 320.000 nikkeijinmasuk ke Jepang pada tahun 1980an ketika sektor manufaktur otomotif mengalami krisis pekerja pabrik yang cukup parah.76 Mayoritas imigran tersebut berasal dari Brazil, namun ada juga yang berasal dari Peru, Boilivia dan Argentina. Selama para pekerja ini dapat membuktikan bahwa mereka adalah keturunan Jepang (sampai
generasi ketiga), mereka akan secara resmi diterima dibawah status visa “spouses of Japanese” atau “long-term settler” yang tidak membatasi aktivitas mereka dan dapat memperbarui status tinggal mereka.77Status tersebut berbeda dengan peserta TITP ataupun EPA, karenanikkeijinmerupakan kerturunan Jepang.
Dalam praktiknya secara implisit nikkeijindiperdayakan sebagai unskilled workers di bisnis-bisnis kecil menengah78, akan tetapi pemerintah membuat justifikasi bahwa kebijakan membuka pintu bagi nikkeijin tersebut adalah untuk memberi kesempatan mereka untuk dapat belajar budaya dan bahasa Jepang, bertemu kerabat serta menjelajahi etnik leluhur mereka.79Namun pada tahun 2008 ketika krisis global melanda, para nikkeijin tersebut terkena dampaknya, dimana angka pengangguran nikkeijin mencapai 45%.80Di beberapa kota dengan tingkat populasi penduduk asing yang cukup tinggi, antara 30%-70% tenaga kerja asing diperkirakan kehilangan pekerjaan pada April 2009 yang mayoritas adalah nikkeijin dimana kemudian jumlah mereka berkurang hampir sebanyak 50.000.81Hal tersebut bisa jadi efek dari kebijakan pemerintah, dimana pemerintah akan membayar setiap pekerja nikkeijin JYP 300.000 dan tambahan JYP 200.000 bagi setiap anggota keluarga jika mereka meninggalkan Jepang dan kembali ke negara mereka.82
Sebagai tambahan, mahasiswa asing yang belajar di Jepang juga
Jepang. Biasanya mereka melakukan pekerjaan paruh waktu untuk menghasilkan uang, dimana mereka diijinkan untuk bekerja selama 28 jam per minggu selama masa aktif sekolah dan 40 jam selama liburan musim panas atau musim dingin.83Pekerjaan yang mereka lakukan kebanyakan diklasifikasikan sebagai unskilled jobs dimana kebanyakan bergerak di bidang jasa atau pelayanan.84
Penjabaran diatas tentunya sudah cukup memberi gambaran terkait tenaga kerja imigran di Jepang terutama kategori unskilled workers. Secara de jure pemerintah Jepang mungkin tidak mengakui foreign unskilled workers, akan tetapi secara de facto foreign unskilled workersyang terdiri dari beberapa kelompok –sebagaimana dijabarkan sebelumnya—telah menjadi komponen penting dalam pasar tenaga kerja dan perekonomian Jepang, terlepas dari sikap pemerintah Jepang, ataupun Shinzo Abe sendiri sebagai pemimpin Jepang sendiri.
Catatan Akhir
1Tribun News. “Jepang.”
2Yale Center for International and Area Studies. “Geographical Background.”
3Maps of World. “Where Is Japan.”
4Yale Center for International and Area Studies,Ibid.
5Maps of World. “Where Is Japan.”
6CIA World Factbook. “East and Southeast Asia: Japan.”
7Maps of World. “Where Is Japan.”
8Ibid.
9Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. “Kawasan Daerah.”
10Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. “Peta Jepang.”
11Onondaga Central School, “Japan’s Geography.”
12BBC. “Japan Country Profile.”
13Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. “Ekonomi dan Industri.”
14Reina, Ichii et all. “Gender Responsive Budgeting in the Asia Pacific Region: Japan”, hlm.2
15Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. “Keluarga Kekaisaran.”
16Japan Fact Sheet. “Governmental Structure.”
17Ibid.
18Ibid.
19Reina Ichii et all,loc.cit.
20Japan Fact Sheet,loc.cit.
21Statistic Bureau,Statistical Handbook of Japan 2015,hlm.187
22BBC. “Japan Country Profile.”
23Japan Times. “Political Career of Shinzo Abe.”
24Brittanica. “Shinzo Abe: Prime Minister of Japan.”
25BBC. “Profile: Shinzo Abe.”
26News Desk Media, “Leaders Profile.”
27Ibid.
28Ibid.
29Chizuko Hayakawa. “Japan’s Recent Developments in Immigration Law and Policy: Reform on the Admission System of Highly Skilled Professionals, Technical Interns, and Domestic Workers”, hlm.1
30Statistic Bureau,op.cit,hlm.8
31Statistic Bureau,op.cit,hlm.13
32Chris Burgess, “Can Immigration Reform Really Save Japan?.”
33Statistic Bureau,op.cit,hlm.16
34Ibid.
35Takeyuki Tsuda. “Japan: Government Policy, Immigrant Reality.” hlm.5
36Komine, Takao. “The Labor Shortage In Japan’s Economy.”
37Komine Takao,ibid.
38Tsunemi, Youhei. “Japan’s Labor Shortages in Perspective.”
39Tsunemi Youhei,ibid.
40Statistic Bureau,op.cit,hlm.126
41Toko, Sekiguchi. “Japan Opens Door Wider for Foreign Workers: Tokyo Looks to Address Construction Labor Gap.”
42Toko Sekiguchi,ibid.
43Japan Times. “Flawed Foreign Labor Plan.”
44Japan Times, “More Foreigners Working In Japan.”
45Justin McCurry, “Olympics Project Slowed By Labor Shortage.”
47Harumi Ozawa, “Japan sanctioning mass ‘slave labor’ by duping foreign trainees, observers say.”
48Jeff Kingston, “Immigration Reform? Could this be Abe’s new growth strategy.”
49Jeff Kingston,ibid.
50CNBC, “Japan Needs Foreign Workers, But Will They Come?.”
51Giovanni Ganelli dan Naoko Miake, “Foreign Help Wanted: Easing Japan’s Labor Shortages”, hlm.7
52Takeyuki Tsuda, “Reluctant Hosts: The Future of Japan as a Country of Immigration.”
53Jonathan Soble, “Japan stands by immigration controls despite shrinking population.”
54Statistic Bureau, “Foreign Residents by Nationality (1990-2013).”
55Takashi Kodama, “Japan’s Immigration Problem”, hlm.6
56Gabriele Vogt, “Foreign Workers in Japan.”
57Gabriele Vogt,ibid.
58Takeyuki Tsuda, “Japan: Government Policy, Immigrant Reality”, hlm.11
59Takeyuki Tsuda,op.cit,hlm.12
60Yoko Sellek dalam Takeyuki Tsuda,ibid.
61Chizuko Hayakawa, “Labor Law and Policy Issues Relating to Foreign Workers”, hlm.25
62Takashi Kodama, “Japan’s Immigration Problem”, hlm.3
63Takeyuki Tsuda,op.cit,hlm.2
64Chieko Kamibayashi, "Rethinking Temporary Foreign Workers’ Rights: Living Conditions of Technical Interns in the Japanese Technical Internship Program (TIP)”, hlm.3
65Takeyuki Tsuda,op.cit,hlm.17
66Japan Times, “Flawed Foreign Labor Plan.”
67Tomoko Otake, “For Foreign Caregivers, Roles Remains Ambiguous.”
68Gabriele Vogt, “When the Leading Goose Gets Lost: Japan’s Demogrphic Change and the Non-Reform of Its Migration Policy”, hlm.26
69Takeyuki Tsuda,op.cit,hlm.16-17
70Yoshio Sugimoto,An Introduction to Japanese Society: Second Edition, hlm.86
71Giovanni Ganelli dan Naoko Miake,op.cit, hlm.6
72Harumi Ozawa, “Japan sanctioning mass ‘slave labor’ by duping foreign trainees, observers say.”
73Japan Times, “Foreign nursing care workers to be invited to Japan under intern program.”
74Japan Times, “Wrong Way to Import Workers.”
75Jeff Kingston, “Immigration reform: Could this be Abe’s new growth strategy?.”
76Nikkei Asian Review, “Peter Tasker: Solving Japan's immigration dilemma.”
77Takeyuki Tsuda,op.cit,hlm.18
78Kajita Takamichi dalam Takeyuki Tsuda,ibid.
79Takeyuki Tsuda,ibid.
80Nikkei Asian Review, “Peter Tasker: Solving Japan's immigration dilemma.”
81Yasuchi Iguchi, “What Roles Do Low-Skilled Migrants Play in the Japanese Labor Markets?”, hlm.1032
82Yasuchi Iguchi,op.cit,hlm.1033
83Takeyuki Tsuda,op.cit,hlm.19
84Yasuchi Iguchi,op.cit,hlm.1039