• Tidak ada hasil yang ditemukan

2304-Article Text-5245-1-10-20230318

N/A
N/A
Karina

Academic year: 2025

Membagikan "2304-Article Text-5245-1-10-20230318"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Pemikiran Imam Al Ghazali dalam Relevansi Pola Pendidikan Islam Indonesia dalam Era Globalisasi

Mariyo

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Jl. Pandawa, Dusun IV, Pucangan, Kec. Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah

[email protected]

Abstract

This study aims to find out about Islamic education in the global era based on the educational concept of Imam Al Ghazali. This type of research is descriptive qualitative research. In the field of education, Imam Al Ghazali applies a code of ethics for educators and students, educational and learning methods which have their respective emphases and stages. The result of this study is the concept of educational thought of Imam Al Ghazali and its relevance in Indonesian Islamic education emphasizing cognitive, psychomotor, and motor aspects. The cognitive aspect is carried out by emphasizing mastery of subject matter by memorizing at the basic level and understanding at a more advanced level. The psychomotor aspect emphasizes the practice of subject matter through amaliyah worship. While the affective aspect is carried out by appreciating the lessons in everyday life.

Keywords : Education, Al Ghazali, Islam, Global.

Abstrak

Pendidikan diera modern sekarang mengalami proses tantangan dan pengembangan yang sangat penting untuk segera dipersiapkan supaya peserta didik dan pengajar memiliki kemampuan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa beradaptasi dengan perubahan global. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pendidikan Islam pada era global berdasarkan konsep pendidikan dari Imam Al Ghazali. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Dalam bidang pendidikan, Imam Al Ghazali menerapkan kode etik pendidik dan peserta didik, metode pendidikan dan pembelajaran yang memiliki penekanan dan tahapan masing-masing. Hasil dari penelitian ini adalah konsep pemikiran pendidikan Imam Al Ghazali dan relevansinya dalam pendidikan Islam Indonesia menekankan pada aspek kognitif, aspek psikomotorik, dan aspek motorik. Aspek kognitif dilakukan dengan menekankan penguasaan materi pelajaran dengan menghafal pada tingkat dasar dan memahami pada tingkat lebih lanjut. Aspek psikomotorik menekankan praktek terhadap materi pelajaran melalui ibadah amaliyah. Sedangkan apek afektif dilakukan dengan penghayatan pelajaran dalam kehidupan sehari-hari.

Kata Kunci : Pendidikan, Al Ghazali, Islam, Global

Copyright (c) 2023 Mariyo Corresponding author: Mariyo

Email Address: [email protected] (Jl. Kapten Muradi Sungai Penuh, Jambi) Received 10 March 2023, Accepted 18 March 2023, Published 18 March 2023

PENDAHULUAN

Imam Imam Al-Ghazali tidak hanya dikenal sebagai seorang teolog dan mistikus, tetapi dia juga menguasai bidang yurisprudensi (hukum), etika, logika, bahkan kajian filsafat. Dia dinilai sebagai seorang ilmuwan Islam yang ensiklopedis dengan menguasai hampir seluruh khazanah- khazanah keilmuan dari berbagai disiplin yang sangat berbeda. Kemampuannya mengelaborasi serta mengepresikan gagasan-gagasan pemikiran pada setiap karya-karyanya, dinilai sangat orisinil, kritis, bahkan komunikatif (Baharuddin et al., 2011). Pemikiran Imam Imam Al-Ghazali tidak hanya terbatas pada masalah ilmu-ilmu keagamaan saja, namun beliau juga terkenal dengan pemikiran-pemikirannya dalam bidang pendidikan. Bahkan pengaruh pemikiran Imam Imam Al-Ghazali dalam bidang

(2)

pendidikan ini masih eksis dan menjadi rujukan kaum muslim terutama di kalangan penganut Sunni.

Pemikiran Imam Imam Al-Ghazali dalam bidang pendidikan ini antara lain; yaitu aspek peranan pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pendidikan, etika pendidik, dan etika peserta didik.

Konsep Imam Imam Al-Ghazali tentang pendidikan berhubungan erat dengan konsepnya tentang manusia, Sebab masalah manusia pada hakekatnya adalah masalah pendidikan juga, dan begitu sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa antara manusia dan pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat, dan tidak mungkin dipisahkan antara satu dengan lainnya. Menurut Imam Al- Ghazali sebagaimana dikutip Hasan Langgulung bahwa pendidikan memiliki pengertian yang luas dan dalam baik secara individu (dalam arti memmberi bimbingan, penyuluhan) sampai pada pengertian pendidikan tidak terbatas pada pendidikan formal tetapi juga meliputi pendidikan informal dan nonformal.

Konsep pendidikan bagi Imam Al-Ghazali secara umum memiliki kemiripan dengan pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan modern. Dimana pengertian pendidikan Imam Al-Ghazali berintikan pada pewarisan nilai-nilai budaya suatu masyarakat kepada setiap individu yang terdapat agar kehidupan budaya dapat berkesinambungan adanya, yaitu nilai yang mendasarkan Al-Quran, Sunah, atsar dan kehidupan orang-orang salaf (sebagai ilmu dan akhlak yang terdapat dalam Islam yang bermuara kepada ketakwaan: nilai-nilai perseorangan, kekeluargaan, kemasyarakatan, kenegaraan, dan nilai-nilai keagamaan). Sedangkan pendidikan modern terdiri dari tiga unsur, yaitu ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai (Langgulung, 1986)

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain penelitian deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan serangkaian cara atau prosedur dalam penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tertulis yang berasal dari orang-orang serta perilaku yang dapat diamati. Teknik pengumpulan data dalam penyusunan tulisan ini berupa data sekunder yaitu mencari data yang bersumber dari buku, publikasi jurnal ilmiah, dan website yang terkait dengan pendidikan tokoh pemikiran islam khususnya Imam Al Ghazali dan relevansinya dengan pendidikan islam di era global.

HASIL DAN DISKUSI Biografi Imam Al Ghazali

Imam Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, ia lahir di Ghazale suatu kota kecil yang terletak di Tus wilayah Khurasan pada tahun 450 H/1059 M dan meninggal pada tahun 505 H/1111 M (Khan & Syapei, 2005). Ayahnya seorang pemintal wol, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu (Sulaiman & Hasan, 1993). Imam Al-Ghazali dua bersaudara, ayahnya ketika akan meninggal berpesan kepada shahabatnya agar kedua putranya

(3)

diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Shahabatnya segera melaksanakan wasiat tersebut, kedua anak tersebut dididik dan disekolahkan, dan setelah harta pusaka peninggalan ayahnya habis, mereka dinasihati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya (Nata, 2001).

Semasa hidupnya dari sejak kanak-kanak hingga dewasa, ia pernah belajar kepada beberapa guru antara lain kepada: Ahmad bin Muhammad Ar-Radzikani di Tus, Abi Nashr al-Ismaili di Jurjani, dan al-Juwaini, dan Imam al-Haramain. Imam Al-Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendapat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan nalar yang jernih, hingga al Juwaini memberi predikat sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “Laut yang dalam nan menenggelamkan” (Bahrun Mughriq) (Nata, 2001).

Pada tahun 465 H Radzakani menasehati dua kakak-adik Al Ghazali itu untuk keluar dari desanya pergi menuntut ilmu, disamping untuk mencari penghasilan di kota. Maka pergilah dua adik beradik itu ke kota Jurjan, dan inilah awal rihlah ilmiah yang dilakukan Al-Ghazali. Sementara kakaknya, Ahmad Al-Ghazali, menetap di Jurjan dan tumbuh menjadi seorang sufi-zahid (zuhud), Imam Al-Ghazali melanjutkan rihlah-nya untuk menuntut berbagai disiplin ilmu yang berkembang pada masanya. Dalam satu perjalanannya, Imam Al-Ghazali pernah berjumpa dengan kawanan penyamun.

Ketika itu Imam Al-Ghazali memohon agar catatan pelajarannya yang dibungkus dalam satu bungkusan besar tidak dirampok. Ia berkata: “Ambillah semua yang engkau mau, tetapi jangan engkau ambil bungkusan ini, karena itulah hasil peluhku mendengarkan berbagai ilmu dari berbagai ulama di berbagai daerah.” Saat itulah, tanpa sengaja Al- Ghazali memetik satu pelajaran sangat berharga dari salah satu anggota penyamun yang mengatakan: “Bagaimanakah mungkin hasil peluhmu menuntut ilmu dapat berguna, jika ilmu itu kau simpan dalam catatan kertas? Andaikata kami rampas catatan itu, engkau akan kehilangan ilmunya? Ketahuilah, ilmu yang tersimpan di dalam beberapa helai kertas bukanlah ilmu yang sebenarnya.” Imam Al-Ghazali pernah mengatakan:

“sebaik- baik nasihat dan teguran telah datang dari seorang penyamun jalanan.”

Sejak saat itu, Imam Al-Ghazali merekam seluruh pelajaran yang diperolehnya di dalam kepalanya, hingga ia terkenal sebagai seorang pelajar yang sangat jenius. Ia berkata: “Kata-kata dari kawanan penyamun itu sebenarnya adalah kata-kata yang telah diilhamkan. Allah telah menggerakkannya untuk berkata dengan kata-kata itu, agar aku dapat menerima petunjuk. Selama tiga tahun setelah peristiwa itu, aku berhasil menghapal dan memahami segala yang pernah aku tulis.”

Pada tahun 484, di usia 34 tahun, Imam Al-Ghazali mendapat panggilan dari Nizhamul Mulk untuk mengepalai Madrasah Nizhamiyah di Bagdhad, dan dilantik sebagai Syaikh al-Islam untuk mengetuai para Syaikh (Masyaikh=Tim Guru Besar/Profesor) pada madrasah yang terdiri dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi tersebut.

Selama di Baghdad, banyak ulama ternama dari berbagai negeri bertandang kepadanya, baik untuk berdiskusi maupun untuk berdebat, hingga akhirnya ia diakui sebagai otoritas ilmu yang tak

(4)

tertandingi. Keutamaannya adalah bahwa ia menguasai berbagai disiplin ilmu mulai dari ilmu bahasa (Arab), ilmu fiqh dan ushul fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf. Ia juga menguasai berbagai mazhab pemikiran, baik dari kalangan Sunni maupun Syi’ah. Setelah empat tahun mengajar murid- muridnya di Madrasah Nizhamiyyah dan menerima perbedaan dengan berbagai tokoh ulama, Imam Al-Ghazali merasakan adanya kekosongan dalam dirinya, yang tak ia ketahui pasti letak kekosongan tersebut.

Karya-karya Pemikiran Imam Al Ghazali

Dalam ranah keilmuan Islam, Imam Al-Ghazali mendapatkan gelar hujjatul Islam, sebuah bukti pengakuan atas kapasitas keilmuan dan tingkat penerimaan para ulama terhadapnya.

Abdurrahman Badawi dalam bukunya Muallafah Imam Al-Ghazali menyebutkan karya Imam Al- Ghazali mencapai 457 judul. Al-Washiti dalam al-Thabaqat al-‘Aliyah fi Manaqib al- Syafi’iyah menyebut 98 judul buku. Musthafa Ghallab menyebut angka 228 judul buku. Al-Subki dalam al- Thabaqat al-Syafi’iyah menyebut 58 judul buku. Thasy Kubra Zadah dalam Miftah al-Sa’adah wa Misbah al- Siyadah menyebut angka 80 judul. Micheal Allard, seorang orientalis Barat, menyebutkan jumlah 404 judul buku. Sedangkan Fakhruddin al- Zirikli dalam al-A’lam menyebut kurang lebih 200 judul. Kitab tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu.

Imam Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H/1111 M setelah beberapa waktu kembali ke kampung halamannya di Tus, dengan sejumlah karya tulis. Di antara karyanya yang terkenal adalah:

1. Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh

a. Al Basith fi alFuru’‘ala Nihayah al-Mathlab li Imam al Haramain;

b. Al-Wasith al-Muhith bi Iqthar al-Basith;

c. Al-Wajib fi al-Furu’;

d. Asrar al-Hajj (Fiqih al-Syafi’i);

e. Al-Mustasyfa fi ‘Ilm al-Ushul; dan f. Al-Mankhul fi ‘Ilm al-Ushul.

2. Bidang Tafsir

a. Jawahir al-Qur’an; dan

b. Yaqut al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil.

3. Bidang Aqidah

a. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad;

b. Al-Ajwibah al-Ghazaliyah fi al-Masail al-Ukhrawiyah;

c. Iljamu al-Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam;

d. Al-Risalah al-Qudsiyah fi Qawaid al-Aqaid;

e. ‘Aqidah Ahl al-Sunnah;

f. Fadhaih al-Bathiniyah wa Fadhail al-Mustadzhariyah;

g. Al-Qisthash al-Mustaqim;

h. Kimiyah al-Sa’adah;

(5)

i. Al-Maqshid al-tsna fi Ma’ani Asma’ Allah al-Husna; dan j. Al-Qaul al-Jamil fi al-Radd ‘ala Man Ghayyara al-Injil.

4. Bidang Filsafat dan Logika a. Misykah al-Anwar;

b. Tahafut al-Falasifah;

c. Risalah al-Thair;

d. Mihak al-Nadzar fi al-Manthiq;

e. Ma’ary al-Qudsy fi Madarij Ma’rifah al-Nafs;

f. Mi’yar al-Ilmi; dan g. Al-Muthal fi Ilm al-Jidal.

5. Bidang Tasawuf a. Adab al-Shufiyah;

b. Ihya’ ‘Ulumiddin;

c. Bidayah al-Hidayah wa Tahdzib al-Nufus bi al-Adab al-Sariyyah;

d. Al-Adab fi al-Din;

e. Al-Imla’ ‘an Asykal al-Ihya’;

f. Ayyuhal Walad;

g. Al-Risalah al-Ladunniyah;

h. Mizan al-‘Amal;

i. Al-Kasyfu wa al-Tibyan fi Ghurur al-Khalq Ajma’in;

j. Minhaj al-Abidin ila al-Jannah; dan

k. Mukasyafah al-Qulub al-Muqarrab ila Hadhrah Alami al-Ghaibi (Sholeh, 2006).

(6)

Konsep Pendidikan Imam Al Ghazali

Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan ada di dalam beberapa karyanya seperti:

Fatihah al-‘Ulum, Ayyuha al-Walad, dan Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din Imam Al- Ghazali memulai tulisannya dengan uraian tentang keutamaan ilmu dan pendidikan, lalu memberi predikat yang tinggi kepada ilmuwan dan para ulama dengan dikuatkan oleh firman Allah, pengakuan Nabi dan Rasul, kata-kata pujangga, ahli hikmah, dan ahli pikir. Imam Al-Ghazali begitu banyak mengungkapkan ketinggian derajat dan kedudukan para ulama yang sering diulang dalam berbagai kitabnya (Ridha, 2002). dalam kitab ini membahas tentang 3 (tiga) hal pokok yaitu: Pertama, penjelasan tentang keutamaan ilmu pengetahuan atas kebodohan. Kedua, pengklasifikasian ilmu yang termasuk dalam program kurikuler. Ketiga, Kode etik bagi pendidik dan peserta didik (Mahmud, 2011).

Selain itu, pemikiran pendidikan Imam Al-Ghazali juga dapat diketahui tentang berbagai aspek pendidikan, yaitu: aspek tujuan pendidikan, kurikulum, kode etik pendidik dan peserta didik, dan metode pengajaran berikut ini.

1. Tujuan Pendidikan

Pemikiran Imam Al-Ghazali dalam aspek ini mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu: aspek kognitif, yang meliputi pembinaan nalar, seperti kecerdasan, kepandaian, dan daya pikir. Aspek afektif, yang meliputi pembinaan hati, seperti pengembangan rasa, kalbu, dan rohani. Aspek psikomotor, yaitu pembinaan jasmani, seperti kesehatan badan dan keterampilan (Sholeh, 2006). Sedangkan tujuan akhir dari pendidikan adalah: Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah. Kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat (Nata, 2001). Tujuan ini tampak bernuansa religius dan moral, namun tidak mengabaikan masalah duniawi.

Lebih lanjut Imam Al-Ghazali berpandangan bahwa kebahagiaan dunia akhirat merupakan hal yang paling esensi bagi manusia. Kebahagiaan dunia dan akhirat memiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki (Sholeh, 2006). Kesempurnaan insani di dunia dan akhirat, dalam pandangan al-Ghazali, hanya dapat dicapai dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat manusia bahagia di dunia dan mendekatkan dirinya kepada Allah Swt sehingga menjadi bahagia di akhirat kelak (Nata, 2001). Orientasi pendidikan ini bisa jadi merupakan buah dari kesadaran Imam Al-Ghazali setelah mengalami krisis spiritual, yang didokumentasikan dalam karya al-Munqidz min al-Dhalal (Ridha, 2002).

2. Kurikulum Pendidikan

Konsep kurikulum yang digagas Imam Al-Ghazali berkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, al- Ghazali mengklasifikasikan ilmu pengetahuan dalam 4 (empat) kategori atau klasifikasi, yaitu sebagai berikut:

a. Ilmu syar’iyah (religi) dan ‘aqliyah (nalar, intelektual) atas ilmu akhirat dan ilmu dunia.

(7)

Ilmu religius merupakan ilmu yang diperoleh dari para nabi yang tidak hadir melalui aktivitas nalar, seperti: ilmu tauhid, ilmu tentang kenabian, ilmu tentang akhirat atau eskatologi, ilmu tentang sumber pengetahuan religius (al-Quran, Hadits, ijma’, dan atsar sahabat). Sedangkan ilmu ‘aqliyah (nalar, intelektual) adalah berbagai ilmu yang diperoleh melalui intelektualitas manusia, seperti: matematika (aritmatika, geometri, astronomi, astrologi, dan musik); logika;

ilmu alam (ilmu kedokteran, meteorologi, kimia dan mineralogi); serta ilmu metafisika (ontologi, pengetahuan tentang mimpi, dan lainnya). Kedua ilmu tersebut, saling melengkapi, bukan malah bertentangan.

b. Ilmu teoretis dan praktis

Dalam kitab Maqashid al-Falasifah, ilmu filsafat atau ilmu tentang hikmah mencakup teoretis (menjadikan kondisi wujud dapat diketahui sebagaimana adanya) dan praktis (berkenaan dengan tindakan positif manusia demi terciptanya kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat).

Sementara dalam al-Risalah al- Ladunniyyah, Imam Al-Ghazali memaparkan bahwa pengetahuan religius yang meliputi ilmu prinsip dasar (ushul) sebagai pengetahuan teoretis, dan pengetahuan cabang (furu’) sebagai ilmu praktis.

c. Ilmu pengetahuan menjadi bagian pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang diperoleh (hushuli).

Ilmu hudhuri (ilmu mukasyafah), bersifat langsung, serta merta, intuitif, suprarasional, dan kontemplatif. Sedangkan ilmu hushuli bersifat tidak langsung, rasional, dan logis, yang diperoleh dari hasil belajar dan proses pembelajaran.

d. Ilmu menjadi fardhu ‘ain (wajib atas setiap individu umat Islam) dan fardhu kifayah (wajib atas komunitas umat Islam.

Kedua ilmu ini sangat tergantung kepada kondisi seseorang dan kebutuhan masyarakat di suatu tempat. ilmu fardhu ‘ain (ilmu agama, seperti al-Quran dan hadis, dan pokok-pokok ibadah). Sedangkan ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang harus ada demi esksintesi dunia (kedokteran, matematika, dan lain-lain) (Sholeh, 2006).

Pengklasifikasian ilmu yang dilakukan Imam Al-Ghazali tidak berarti menolak pentingnya mempelajari segala macam ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia. Ia hanya menekankan perlunya manusia membuat skala prioritas pendidikan dengan menempatkan ilmu agama dalam posisi paling urgen. Hal ini didasarkan pada kesadaran Imam Al-Ghazali bahwa hanya pendidikan agamalah yang mampu secara mengarahkan peserta didik untuk dekat kepada Allah SWT.

Dengan melihat sisi pemanfaatan dari suatu ilmu, tampak bahwa Imam Al-Ghazali tergolong sebagai penganut paham pragmatis teologis, yaitu pemanfaatan yang didasarkan atas tujuan iman dan dekat dengan Allah Swt. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari sikapnya sebagai seorang sufi yang memiliki trend praktis dan faktual. Pemikiran sufistik Imam Al-Ghazali dan gagasannya tentang pengklasifikasian ilmu kerap dituding oleh para kritikus sebagai salah satu penyebab kemunduran

(8)

keilmuan di dunia Islam. Mereka menuduh gegara kategorisasi ilmu oleh Imam Al-Ghazali tersebut masyarakat menjadi terbuai dengan ilmu-ilmu agama dan tidak mengacuhkan kategori ilmu rasional.

Asumsi ini bisa jadi salah, sebab secara historis klasifikasi ilmu bukanlah sesuatu yang baru. Sebelum al-Ghazali, Ibnu Sina juga sudah mengakui klasifikasi ilmu antara religius dan intelektual (Nata, 2001).

Jika dicermati, secara epistemologis, kategorisasi tersebut justru sangat membantu proses pembelajaran. Sangat logis jika keterbatasan waktu dan usia penuntut ilmu serta perbedaan kebutuhan ilmu oleh setiap individu dan masyarakat menuntut proses pembelajaran yang terkonsep, tepat orientasi, dan berskala prioritas. Dengan demikian, klasifikasi ilmu Imam Al-Ghazali menemukan momentumnya dan pembenarannya secara logis jika dilihat dari konteks sejarah, dimana klasifikasi ini merupakan langkah realistis pada masa itu, dimana pola hidup masyarakat cenderung materealistik dan hedonistik, manusia semakin mendewakan akal di atas “batas” kewenangannya.

3. Kode Etik Pendidik dan Peserta Didik

Dalam pemikiran al-Ghazali, bahwa sentral dalam pendidikan adalah hati yang merupakan esensi dari manusia. Menurutnya, substansi manusia bukanlah terletak pada unsur-unsur yang ada pada fisiknya, melainkan berada pada hatinya dan memandang manusia bersifat teosentris sehingga konsep tentang pendidikannya lebih diarahkan pada pembentukan akhlak yang mulia, baik dalam melakukan bimbingan, mengarahkan, meningkatkan, dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (Nakosteen, 1996). Oleh karenanya, pendidik perlu menjaga etika dan kode etik profesinya, yaitu:

a. Menyayangi peserta didiknya;

b. Bersedia sungguh-sungguh mengikuti tuntunan Rasulullah Saw mencari keridhaan dan mendekatkan diri kepada Allah Swt;

c. Tidak boleh mengabaikan tugas memberi nasihat kepada peserta didiknya;

d. Mencegah peserta didik terjerembab ke dalam akhlak tercela;

e. Tidak memandang rendah (remeh) kepada pendidik yang tidak memiliki keilmuan sama dengannya;

f. Dalam menyampaikan materi pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat pemahaman peserta didik;

g. Harus menyampaikan materi secara jelas, konkret, dan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik; dan

h. Mau mengamalkan ilmunya sehingga antara terjadi keterpaduan antara ucapan dan tindakan (Ridha, 2002).

Kedelapan kode etik tersebut, dimana Imam Al-Ghazali mendasarkan pada usia anak-anak hingga 14 tahun yang membutuhkan waktu lebih banyak untuk bermain. Maka jika anak merasa lelah dengan pelajaran teoritis, pendidik hendaknya mengakhiri materinya, dan menyediakan waktu untuk

(9)

istirahat bermain, sehingga anak merasa tidak terkekangJika anak terkekang maka kreativitas anak sulit berkembang dan berpotensi tumbuh menjadi orang yang perusak (destruktif) (Al-Ghazali, 2017).

Selain itu, pendidik hendaknya juga memiliki sifat-sifat khusus dan tugas-tugas tertentu diantaranya yaitu: rasa kasih sayang dan simpatik, tulus dan ikhlas, jujur dan terpercaya, lemah lembut, berlapang dada, mengajar tuntas dan tidak pelit terhadap ilmu, serta mempunyai idealism (Iqbal, 2015). Sedangkan kode etik peserta didik (wadlifah) adalah sebagai berikut:

a. Mengutamakan penyucian diri dari akhlak tercela;

b. Menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi;

c. Tidak sombong kepada pendidik;

d. Bagi pemula (dalam menuntut imu) harus menghindarkan diri dari mengkaji variasi pemikiran dan tokoh;

e. Tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu;

f. Dalam menuntut ilmu harus bertahap dan memprioritaskan yang terpenting;

g. Tidak pindah kepada ilmu lain sebelum ilmu yang dipelajari benar- benar dikuasai;

h. Harus mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu yang paling mulia;

i. Harus Bertujuan pembersihan batin dan pendekatan diri kepada Allah serta meningkatkan maqam spiritualnya; dan

j. Harus mengetahui relasi (keterhubungan) ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju, sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diutamakan (Assegaf, 2013).

4. Metode Pendidikan dan Pembelajaran

Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa dalam proses pembelajaran harus menekankan pada metode: keteladan, metode menghafal, dan pembiasaan positif. Sebagaimana di terangkan dalam Riyadlat al- Nafs al-Ghazali, bahwa jika anak dibiasakan dengan hal-hal baik dan diajarkan dengan cara yang baik puka, maka mereka akan tumbuh dalam kebaikan dan akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.25 Lebih lanjut Imam Al-Ghazali menguraikan bahwa:

a. Riyadah; melatih peserta didik untuk membiasakan dirinya pada budi pekerti yang baik melalui pembiasaan; dan

b. Pengalaman (At-tajribah), memperkenalkan kekurangan- kekurangan yang dimiliki peserta didik secara langsung tanpa melalui teori dengan beberapa cara yaitu; berteman dengan orang yang berbudi pekerti yang baik, mengambil pelajaran dari lawan dengan mengetahui kekurangan untuk perbaikan, dan belajar langsung dari masyarakat secara umum (Mahmud, 2011).

Relevansi Konsep Pemikiran Imam Al-Ghazali Terhadap Pendidikan Islam Indonesia di Era

(10)

Global

Menurut Mehdi Nakosteen, konsep pemikiran Imam Al-Ghazali yang diterapkan di Nizhamiyyah ada relevansinya dengan pendidikan Islam Indonesia di masa global ini, yaitu: Pertama, adanya ruang kelas yang diatur dengan sistem jenjang sesuai dengan perkembangan usia anak. Sebab, sistem pendidikan di Indonesia awalnya dengan cara para peserta didik dikumpulkan dalam satu tempat tanpa membedakan usia dan kemapuannya. Diajarkan meteri yang sama oleh satu orang pendidik (seperti yang terjadi dalam sistem salafiyah). Kedua, pola asrama, sebagaimana dikembangkan oleh pondok pesantren, boarding school, sistem pendidikan terpadu, dengan menyediakan segala jenjang pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi, Ma’had Aly (meliputi jenjang S.1 -Marhalah Ula, S.2 -Marhalah Wustha, dan S.3 - Marhalah Ulya) (Tim Pontren, 2004). Ketiga, adanya stratifikasi (gelar) bagi tenaga pendidik yang pada level tertinggi diduduki oleh chief professor (Syaikh al-Islam) yang membawahi pada profesor (masyayikh). Di bawahnya terdapat asisten profesor yang dikenal dengan sebutan Mu’id (Nakosteen, 1996).

Adapun relevansi konsep pendidikan Imam Al-Ghazali yang paling terasa di Indonesia adalah menekankan penguasaan materi pelajaran dengan cara menghafal pada tingkat dasar, dan memahami pada tingkat lebih lanjut (aspek kognitif), kemudian menekankan praktek terhadap materi pelajaran melalui sistem riyadhah (ibadah amaliyah) (aspek psikomotorik), dan menekankan penghayatan pelajaran dalam kehidupan sehari-hari (aspek afektif).

Selain itu, konsep pendidikan Imam Al-Ghazali juga relevan pendidikan karakter yang sedangkan digalakkan di Indonesia, baik dalam pendidikan umum maupun pendidikan Islam, dimana dalam proses pembelajaran yang tidak hanya mengedepankan aspek spritual dan moral semata tetapi juga sangat mengedepankan aspek intelektual peserta didik sehingga pada akhirnya akan melahirkan peserta didik yang tidak hanya cerdas secara spritual dan moral tetapi juga cerdas secara intelektual, dengan mengedepankan nilai-nilai keabadian yang tercermin dari keragaman dan kompleksitas mata pelajaran dengan mengkombinasikan mata pelajaran umum (pembelajaran tematik holistik- komprehensif) seperti: sains, Matematika, PPKn, Sejarah, al-Qur’an, al-Hadist, Bahasa Arab, Ilmu Fiqh dan yang lainnya.

Artinya, dengan adanya relevansi yang diuraikan Imam Al-Ghazali tersebut, menuntut pendidik harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang keahliannya dan harus menjadi professional sebagaimana konsep guru professional, hal sesuai dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana pendidik harus memiliki kompetensi pedagogik, sosial, keperibadian, dan keterampilan. Selain itu, bahwa dalam proses pembelajaran pendidik harus mampu melakukan beberapa metode pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak sehingga anak mampu memperoleh pemahaman ataupun konsep melalui pengalaman sendiri sesuai dengan porsinya masing-masing demi tercapainya tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Relevansinya juga pada beberapa aspek yaitu: (1) tujuan pembelajaran; (2) karaktersitik peserta didik; dan (3) karakteristik materi yang diajarkan. Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan

(11)

Imam Al-Ghazali dalam konteks pendekatan dan metode yang diterapkan yaitu dalam hal pendekatan pembelajaran lebih menekankan pada pemerolehan konsep melalui pembiasaan dan pengalaman dengan pendidik sebagai penanggung jawab segala aktivitas pembelajaran dan memberikan bimbingan kepada peserta didik dalam rangka untuk mengkonstruk pemahaman, menumbuhkembangkan moralitas, intelektualitas, mental, dan spritual yang mengacu pada nilai-nilai keabadian dan ketuhanan (Khan & Syapei, 2005). Dimana hal ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Pasal 3 yang mengatur tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional di Indonesia, dimana pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Iqbal, 2015).

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa biografi Imam Imam Al-Ghazali dengan nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, lahir di Ghazale suatukota kecil yang terletak di Tus wilayah Khurasan pada tahun 450 H/1059 M dan meninggal pada tahun 505 H/1111 M. Ayahnya seorang pemintal wol, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Imam Al-Ghazali dua bersaudara, ayahnya ketika akan meninggal berpesan kepada shahabatnya agar kedua putranya diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Shahabatnya segera melaksanakan wasiat tersebut, kedua anak tersebut dididik dan disekolahkan, dan setelah harta pusaka peninggalan ayahnya habis, mereka dinasihati agar meneruskan mencari ilmu semampu- mampunya, dan beliau tidak lelah mencari ilmu sehingga mampu menghasilkan karya yang begitu banyak.

2. Konsep pemikiran pendidikan Imam Imam Al-Ghazali yaitu adanya tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, kode etik pendidik dan peserta didik, serta metode pendidikan dan pembelajaran, dimana hal ini memiliki penekanan dan tahapan-tahapan masing-masing.

3. Konsep pemikiran pendidikan Imam Imam Al-Ghazali dan relevansinya dalam pendidikan Islam Indonesia di Era Global, yaitu: (a) adanya menekankan penguasaan materi pelajaran dengan cara menghafal pada tingkat dasar, dan memahami pada tingkat lebih lanjut (aspek kognitif), kemudian menekankan praktek terhadap materi pelajaran melalui sistem riyadhah (ibadah amaliyah) (aspek psikomotorik), dan menekankan penghayatan pelajaran dalam kehidupan sehari-hari (aspek afektif); (b) pendidik harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang keahliannya dan harus menjadi professional sebagaimana konsep guru professional, hal sesuai dengan Undang-

(12)

Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana pendidik harus memiliki kompetensi pedagogik, sosial, kepribadian, dan keterampilan.

REFERENSI

Al-Ghazali, A. H. M. bin M. (2017). Ringkasan ihya’ ulumuddin. Yogyakarta: Lontar Mediatama.

Assegaf, A. R. (2013). Aliran Pemikiran Pendidikan islam : Hadharah keilmuan tokoh klasik sampai modern. Depok: Raja Grafindo Persada.

Baharuddin, Umiarso, & Minarti, S. (2011). Dikotomi pendidikan islam : Historisitas dan implikasi pada masyarakat islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Iqbal, A. M. (2015). Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Khan, S. A., & Syapei. (2005). Filsafat pendidikan islam al Ghazali. Bandung: Pustaka Setia.

Langgulung, H. (1986). Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta:

Pustaka Al Husna.

Mahmud. (2011). Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Nakosteen, M. (1996). Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat. Surabaya: Risalah Gusti.

Nata, A. (2001). Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Pontren, T. (2004). Petunjuk Teknis Pondok Pesantren. Jakarta: Depag RI.

Ridha, M. J. (2002). Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-Filosofis) terjemahan Mahmud Arif dari judul asli “al-Fikr al-Tarbawiy al-Islamiy Muqaddimat fi Ushulih al-Ijtima’iyyat wa al- ‘Aqlaniyyatt". Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sholeh, A. N. (2006). Reorientasi Pendidikan Islam: Mengurai Relevansi Konsep Imam Al-Ghazali dalam Konteks Kekinian. Jakarta: Alsas.

Sulaiman, & Hasan, F. (1993). Aliran-aliran dalam Pendidikan: Studi Tentang Aliran Pendidikan menurut Al-Ghazali, terj. Agil Husin al-Munawwar dan Hadri Hasan, dari judul asli kitab Mazahib fi at-Tarbiyah Bahstun fi al- Mazahib at-Tarbawy ‘inda al-Ghazali. Semarang:

Thoha Putra.

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan tujuan yang pertama, tujuan yang kedua lebih menekankan akan kemampuan dan peranan lingkungan dalam menentukan apa yang baik tidak hanya berdasarkan pada

Meskipun, teori-teori utama dalam pembangunan ekonomi tersebut umumnya menitik beratkan pada tujuan pembangunan ekonomi nasional (makro), pelajaran-pelajaran bermanfaat

Hasil tes pemahaman konsep kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai maksimum pemahaman konsep siswa di kelas eksperimen lebih tinggi

Skripsi yang berjudul “Pendidikan Islam, Fitrah Manusia, Keluarga dan Konsep Pendidikan Anak Menurut Imam Al-Ghazali”, ditulis oleh Kusairi. Fokus penelitian

Penelitian dalam tradisi kritis lebih menekankan sifat holistik dan sejauh mana penelitian tersebut menjadi sebuah studi yang memiliki kejelasan historical situatedness, yaitu tidak

Dalam nilai-nilai pengamalan al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi yang berkaitan etika bisnis yang harus dikendalikan juga oleh peran negara dan agama yang menjadi tiang- tiang yang tidak

Rosiana, Rina, Pemikiran tasawuf Imam Al-Ghazali dalam Pendidikan Islam, Jurnal Inspirasi – Vol.1, No.3 Jakarta: STAI PTDII, 2018.. Al-Anshory, Izzudin, Konsep Kebahagiaan Menurut

4, September 2024 Relevansi Konsep Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh dalam Membentuk Karakter Peserta Didik di Era Society 5.0 Noni Mulyani, Dedi Koswara, Danan Darajat Fakultas