• Tidak ada hasil yang ditemukan

2545 3241 1 PB Jurnal Indonesia

N/A
N/A
Fitroh Satrio

Academic year: 2023

Membagikan "2545 3241 1 PB Jurnal Indonesia"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Penatalaksanaan Holistik pada Pasien TB Anak dalam Masa Pengobatan Fase Lanjutan melalui Pendekatan Kedokteran Keluarga

Agieska Amallia1, Aila Karyus 2

1Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

2Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas dan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak

Menurut WHO dalam Global TB Report 2017 melaporkan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga dengan masalah TB (TB) terbesar. Prevalensi TB pada anak setiap tahunnya mengalami peningkatan sejak tahun 2015. Laporan mengenai jumlah penderita tubekulosis anak jarang didapat. Namun, besarnya angka kejadian TB pada orang dewasa dapat diperkirakan bahwa angka kejadian TB pada anak tinggi pula. Salah satu permasalahan TB anak di Indonesia adalah penegakan diagnosis, sehingga banyak dijumpai underdiagnosis TB anak. Oleh karena itu, dibutuhkan peran dokter keluarga yang dapat menatalaksana pasien secara holistik dari berbagai aspek. Tujuan laporan kasus adalah untuk mengidentifikasi faktor risiko, masalah klinis, serta penatalaksanaan dengan pendekatan patient centred dan family approach. Studi yang dilakukan merupakan laporan kasus. Data primer diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan melakukan kunjungan rumah, serta mengisi data keluarga. Penilaian dilakukan berdasarkan diagnosis holistik awal, proses, dan akhir kunjungan secara kualitatif. Pasien didiagnosis TB paru anak masa pengobatan fase lanjutan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sebelumnya pasien memiliki riwayat kontak dengan pasien TB ekstra paru dewasa. Pasien khawatir sakitnya tidak dapat disembuhkan dan mengganggu aktivitas. Pasien tinggal di rumah dengan kedua orang tuanya dan kedua adiknya yang masing-masing berumur 3 dan 5 tahun. Pasien tinggal dirumah dengan pencahayaan yang kurang dan ruang kamar yang tidak memadai. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien sudah sesuai dengan guideline, terlihat perubahan perilaku dan pengetahuan pada pasien dan keluarga pasien setelah dilakukan intervensi berdasarkan evidence based medicine yang bersifat patient centred dan family approach.

Kata Kunci: Kedokteran keluarga, penatalaksanaan holistik, TB anak

Holistic Management of Pediatric Tuberculosis Patient in The Advanced Phase of Treatment through The Family Medicine Approach

Abstract

According to the WHO Global TB Report 2017, Indonesia were the third country with highest TB burden. The prevalence of pediatric tuberculosis (TB) were increased every year since 2015. Reports of children with TB are rarely obtained. However, with an increased incidence of adult TB, the raised of pediatric TB incidence were expected. Diagnosis of pediatric TB is sti ll a major problem in Indonesia, causing a lot of underdiagnosed pediatric TB. Therefore, the role of family physician is needed to manage patients holistically from various aspects. The purpose of this study was to identified risk factors, clinical problems, and management of pediatric TB with a patient centered and family approach. Primary data was obtained through history taking and physical examination by home visit, and collecting family data. The assessment was carried out based on qualitative initial holistic diagnosis, process, and end of home visit. Patient was diagnosed with pediatric pulmonary TB from the history and physical examination and currently on continuation phase of treatment. The patient has a history of contact with adult extra-pulmonary TB. The patient was worried that the disease cannot be cured and it has disrupted his daily activities. The patient lives at home with his parents and his two younger siblings. Their house has poor lighting and inadequate room space. Management were given to patients according to current guidelines, there were changes in behavior and knowledge of patients and his family member after an intervention based on patient centered and family approach evidence based medicine.

Keywords: family, medicine, holistic management, pediatric tuberculosis

Korespondensi : Agieska Amallia, Alamat Jl. Arimbi Kemiling Bandar Lampung, HP 081274048727, e-mail agieskaamallia24@gmail.com

(2)

Pendahuluan

TB (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB ini biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat menyebar hampir ke seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe. Tuberkulosis menular dari penderita melalui udara, ketika penderita TB paru batuk, bersin atau meludah, mereka mengeluarkan kuman TB ke udara yang dapat dihirup oleh orang yang sehat. Cara transmisi yang sederhana seperti ini menyebabkan angka kejadian TB mudah meningkat.1

Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk.

Lima Negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philpina, dan Pakistan. Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017.

Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC pada tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan.1,2

Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2018, dilaporkan bahwa jumlah kasus TB Indonesia pada tahun 2018 adalah 511.873 kasus, dimana jumlah kasus TB di Provinsi Lampung sendiri adalah 15.570 kasus. Jika dilihat dari kelompok usia, usia dengan angka TB paling tinggi adalah pada rentang usia 45 tahun sampai 54 tahun yaitu sekitar 16,69%

dari total keseluruhan kasus TB di Indonesia.

Kasus TB anak termasuk dalam rentang usia 0 sampai 14 tahun ditemukan sekitar 54.340 kasus atau sekitar 10,62% kasus dari total keseluruhan kasus. Jumlah kasus TB anak Provinsi Lampung tahun 2018 pada rentang usia 0-14 tahun adalah 1571 anak.3

Pencegahan, diagnosis, dan pengobatan TB pada orang dewasa lebih diprioritaskan dari pada anak. Anak merupakan kelompok risiko tinggi karena kekebalan tubuh anak belum berkembang sempurna. Mayoritas anak tertular TB dari pasien TB dewasa, sehingga dalam penanggulangan TB anak, penting untuk mengerti gambaran epidemiologi TB pada dewasa. Laporan mengenai jumlah penderita TB anak jarang didapat. Namun, dari besarnya angka

kejadian TB pada orang dewasa dapat diperkirakan bahwa angka kejadian TB pada anak juga tinggi. World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus baru TB anak di dunia.

Berdasarkan WHO, dari tiga ratus empat anak yang kontak dengan penderita dewasa, 48%

diantaranya positif.2,4

Salah satu permasalahan TB anak di Indonesia adalah penegakan diagnosis. Sejak tahun 2005 sistem skoring TB anak disosialisasikan dan direkomendasikan sebagai pendekatan diagnosis TB anak.

Permasalahannya, tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan (fayankes) di Indonesia mempunyai fasilitas uji tuberculin dan pemeriksaan foto thorax yang merupakan dua parameter yang ada di sistem skoring.

Akibatnya, di fayankes dengan akses dan fasilitas terbatas banyak dijumpai underdiagnosis TB anak.5

Permasalahan lain dalam program penanggulangan TB anak adalah semakin meningkatnya jumlah kasus TB resisten obat (TB RO) pada dewasa, yang bisa merupakan sumber penularan bagi anak. Jumlah pasti kasus TB RO pada anak di Indonesia saat ini belum diketahui, tetapi semakin meningkat.7

Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak untuk menangani penyakit TB terutama TB anak, salah satunya adalah peran dokter keluarga. Dokter keluarga selain mengobati pasien, tetapi juga harus memperhatikan keluarga pasien yang berdampak terhadap proses kesembuhan pasien serta pencegahan menularnya penyakit TB kepada anggota keluarga yang lain. Peran dokter keluarga yang holistik, berkesinambungan, dan kolaboratif akan membantu dalam penyembuhan penyakit pasien serta pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarganya akan sangat berarti bagi pasien, terutama bagaimana sikap dan tindakan serta cara untuk mencegah penularan.

Kasus

Pasien An. F, usia 9 tahun datang ke Puskesmas Gedong Tataan pada tanggal 8 Mei 2019 untuk melakukan kontrol pengobatan TB

(3)

paru setiap bulannya. Bulan ini merupakan bulan kelima pengobatan pasien. Awalnya, menurut pengakuan dari keluarganya, pasien mengeluhkan adanya batuk yang tidak kunjung membaik selama lebih dari 2 minggu.

Batuk tidak disertai dengan dahak dan darah, namun saat pasien batuk dapat disertai dengan rasa ingin muntah. Ibu pasien juga mengatakan bahwa pasien mengalami penurunan berat badan dan setiap harinya terlihat lesu dan pucat. Ibu pasien juga mengatakan bahwa sebelumnya pasien sering mengalami demam dan keringat dingin saat malam hari. Keluhan tersebut dirasakan pasien 6 bulan yang lalu dan pasien dibawa untuk berobat 5 bulan yang lalu.

Pasien didiagnosis TB paru oleh dokter di Rumah Sakit dengan dasar pemeriksaan rontgen thorax yang hasilnya berupa infiltrat pada paru-paru pasien. Pada pasien tidak dilakukan tes mantoux karena dianggap dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan rontgen thorax sudah cukup mendukung penegakan diagnosis TB paru.

Setelah itu, pasien langsung mendapatkan pengobatan TB paru kasus baru untuk anak.

Sebelumnya, pasien belum pernah mengeluhkan keluhan seperti ini, namun pasien dari kecil memang sering sakit -sakitan seperti mudah mengalami demam, batuk dan flu. Dulunya pada keluarga pasien terdapat anggota keluarga yang memiliki riwayat TB ekstra paru dan tinggal serumah dengan pasien.

Pasien merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pasien dan anggota keluarganya tinggal di daerah Sukaraja, Gedong Tatan. Bentuk keluarga pada keluarga pasien ini adalah nuclear family yaitu terdapat Tn.S yang merupakan ayah pasien sebagai kepala keluarga bekerja sebagai buruh lepas, Ny. M sebagai ibu pasien juga bertindak sebagai Pengawas Minum Obat (PMO) pasien, pasien, dan dua adik pasien An. A dan An. D yang masing-masing berusia 5 tahun dan 3 tahun.

Rumah berukuran 6 x 5 m2 tidak bertingkat, memiliki 1 kamar tidur utama dimana kamar tersebut merupakan tempat tidur untuk semua anggota keluarga, 1 ruang

tamu/ruang keluarga, 1 dapur, dan 1 kamar mandi. Lantai rumah berupa semen. Dinding terbuat dari papan yan sudah di cat, atap rumah tidak menggunakan plafon.

Penerangan kurang baik dengan ventilasi yang kurang memadai sehingga kualitas udara di rumah terasa pengap. Rumah sudah menggunakan listrik. Rumah pasien berada dilingkungan yang masih asri, dimana terdapat beberapa pepohonan disekitar rumah.

Sumber air berasal dari air sumur yang digunakan untuk memasak, minum, mandi, dan mencuci pakaian. Tempat sampah dikumpulkan di bak sampah di halaman rumah kemudian dibakar. Jamban terletak di bagian belakang rumah dekat dengan dapur dengan bentuk jamban jongkok, tanpa pegangan. Septitank terletak di halaman belakang rumah pasien. tidak terdapat penyekat antara dapur dan ruang keluarga.

Barang-barang di dalam rumah pasien kurang tersusun baik. Rumah pasien memiliki halaman depan dan halaman belakang yang cukup luas.

Pola pengobatan keluarga pasien yaitu jika ada keluhan yang mengganggu aktivitas maka akan berobat ke pelayanan kesehatan terdekat. Rumah pasien berjarak sekitar 500 meter dari Puskesmas Gedong Tataan dan dapat diakses dengan berjalan kaki ataupun dengan speda motor, sehingga hal tersebut tidak menghambat pasien dan keluarga dalam memperoleh upaya pengobatan jika terserang suatu penyakit. Pasien dan keluarga juga memiliki jaminan kesehatan berupa asuransi kesehatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BJPS) .

Pada hasil pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 98 x/menit; frekuensi napas 28 x/menit; suhu 36,5ºC, berat badan 22 kg;

tinggi badan 129 cm; status gizi kurus berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur (IMT: 13,25 kg/ ). Pada pemeriksaan status generalis dalam batas normal.

Diagnostik holistik awal pada pasien terjabar dalam empat aspek. Aspek personal yaitu alasan kedatangan: kontrol rutin TB paru

(4)

untuk mendapatkan obat; kekhawatiran:

penyakit tidak dapat sembuh; persepsi:

penyakit yang mematikan dan tidak bisa disembuhkan; harapan: pasien dapat menyelesaikan pengobatan sampai tuntas, dapat sembuh seperti semula, dan dapat menjalani aktivitas seperti anak-anak yang lain. Aspek klinis pada pasien yaitu TB paru anak dalam masa pengobatan fase lanjutan (ICD X A15.0). Aspek selanjutnya yaitu aspek risiko internal, yaitu: kurangnya pengetahuan pasien mengenai penyakit yang diderita (ICD X Z55.9), kurangnya kesadaran pasien untuk menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai upaya menurunkan faktor risiko (ICD X Z60.8), dan pola pengobatan secara kuratif.(ICD X Z76.8). Aspek risiko eksternal, yaitu: riwayat nenek pasien menderita TB ekstra paru (ICD X 83.6), psikososial keluarga: kurangnya pengetahuan keluarga mengenai penyakit yang diderita pasien, kurangnya kesadaran untuk melakukan upaya pencegahan penularan penyakit TB; lingkungan tempat tinggal:

keadaan rumah dengan pencahayaan yang kurang baik, kamar terbatas sehingga pasien tidur bersama anggota keluarga lain, sosial ekonomi: biaya hidup pasien ditanggung oleh ayah pasien sendiri yang terkadang cukup dan terkadang juga kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dari diagnosis holistik awal tersebut dapat diketahui bahwa derajat fungsional pasien adalah 2 yaitu mampu melakukan perawatan diri dan pekerjaan ringan sehari-hari di dalam maupun di luar rumah, namun mulai mengurangi aktivitas jika dibandingkan saat sebelum sakit.

Intervensi yang diberikan pada pasien dan keluarga adalah edukasi dan konseling mengenai penyakit TB kepada pasien dan anggota keluarga yang lainnya. Intervensi bertujuan untuk mencegah penularan kepada orang sekitar dan memperbaiki pola hidup pasien dan keluarga dengan dilakukan kunjungan ke rumah pasien sebanyak 3 kali.

Kunjungan yang pertama adalah untuk melengkapi data mengenai pasien dan keluarga pasien. Kunjungan yang kedua adalah untuk melakukan intervensi dan kunjungan ketiga adalah untuk mengevaluasi

intervensi yang telah dilakukan. Intervensi yang dilakukan terbagi atas patient centered dan family focus. Sebelum dilakukannya intervensi, pasien dan keluarga diberikan pretest berupa beberapa pertanyaan mengenai penyebab, pencegahan, dan penanggulangan penyakit TB.

Intervensi patient centered berupa terapi non medikamentosa dan medikamentosa. Terapi non medikamentosa yaitu edukasi mengenai pentingnya tipe pengobatan preventif dibandingkan kuratif;

konseling mengenai penyakit TB pada pasien, mulai dari apa itu penyakit TB, mengenali gejala-gejala TB, penularan penyakit dan cara pencegahannya, etika ketika batuk, dan slogan Temukan TB Obati Sampai Sembuh (TOSS TB);

konseling kepada pasien untuk melakukan kontrol rutin jika ada keluhan dan mengambil obat di Puskesmas jika obatnya akan habis;

konseling kepada pasien mengenai panduan minum obat dan kemungkinan yang terjadi selama pengobatan; menganjurkan kepada pasien untuk melakukan pemeriksaan pada akhir pengobatan; konseling kepada pasien efek samping obat yang timbul seperti buang air kecil akan berwarna merah yang menandakan itu bukanlah darah hanya menandakan reaksi obat. Selain itu juga bisa timbul gatal-gatal dan kepala terasa pusing.

Hal ini dilakukan agar pasien tetap minum obatnya dan tidak berhenti minum obat;

edukasi mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Terapi medikamentosa yaitu OAT sesuai protokol pengobatan yang terdiri dari fase intensif dan fase lanjutan. Fase intensif : OAT = 5 tab 3FDC (50 mg Isoniasid (INH), 75mg Rifampisin, 150 mg Pirazinamid).

Fase lanjutan : 5 tab 2FDC (50mg Isoniasid (INH) dan 75mg Rifampisin).

Intervensi family focused berupa konseling dan edukasi mengenai penyakit TB dan peran keluarga dalam tatalaksana penyakit pasien; konseling mengenai penyakit TB yang dapat menular dengan anggota keluarga lainnya namun dapat dicegah dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS); menganjurkan kepada keluarga untuk memeriksa semua anggota keluarga yang berusia dibawah 5 tahun; menunjuk salah satu

(5)

anggota keluarga sebagai Pengawas Minum Obat (PMO); memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam mengingatkan pasien mengenai rutinitas minum obat;

edukasi dan motivasi mengenai perlunya perhatian dukungan dari semua anggota keluarga terhadap perbaikan penyakit pasien;

edukasi anggota keluarga untuk selalu waspada mengenali gejala awal TB, agar jika terdapat anggota keluarga yang menunjukan gejala TB dapat segera diperiksakan di Puskesmas terdekat.

Evaluasi dari intervensi dilakukan dengan memberikan post test kepada pasien, ayah dan ibu pasien. Pertanyaan yang diajukan sama dengan pertanyaan pretest.

Berdasarkan hasil post test, didapatkan peningkatan pengetahuan dari pasien, ibu, dan ayah pasien.

Diagnostik holistik akhir pada pasien ini juga terjabarkan dalam empat aspek. Aspek personal yaitu kekhawatiran kekhawatiran pasien terhadap penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan sudah mulai berkurang dengan meyakini pola pengobatan yang rutin sampai tuntas; persepsi: penyakit tidak mematikan dan dapat disembuhkan jika mendapatkan penanganan yang sesuai dan segera; harapan:

pasien ingin menyelesaikan pengobatan dengan tuntas supaya sembuh dan dapat beraktivitas seperti anak-anak yang lain dapat diwujudkan. Aspek klinis pada pasien yaitu TB paru anak dalam masa pengobatan fase lanjutan (ICD 10 A15.0). Aspek risiko internal yaitu pengetahuan yang lebih baik tentang penyakit TB paru (ICD X Z55.9); pengetahun yang lebih baik mengenai pentingnya menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai upaya menurunkan faktor risiko terjadinya penyakit (ICD X Z60.8);

pengetahuan yang lebih baik tentang pentingnya tindakan preventif dibandingkan kuratif. Pada aspek risiko eksternal yaitu riwayat nenek pasien menderita TB ekstraparu (ICD X 83.6); psikososial keluarga: keluarga lebih memahami penyakit pasien dan memahami pentingnya untuk memberi dukungan dalam proses pengobatan pasien.

Dukungan tersebut terlihat dengan anggota keluarga yang bersedia dan berkomitmen

untuk menjadi PMO pasien. Keluarga juga menyadari pentingnya PHBS sebagai salah satu upaya dalam mencegah terjadinya penularan penyakit; lingkungan tempat tinggal: setiap pagi membuka jendela rumah dan pintu sehingga rumah mendapatkan pencaahayaan dan udara yang sesuai, membersihkan tempat tidur setiap hari; sosial ekonomi: biaya hidup pasien ditanggung oleh ayah pasien, cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari tetapi tidak mencukupi untuk memperbaiki rumah dalam menambah kamar. Setelah dilakukan intervensi didapatkan derajat fungsional 1 (satu), yaitu yaitu mampu melakukan aktivitas seperti sebelum sakit.

Pembahasan

Penyakit TB merupakan penyakit infeksi bakteri yang menular dan disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosa, penyakit TB ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar hampir ke seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe.1 Tuberkulosis menular dari penderita melalui udara.1 Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosis pasti TB paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru secara biakan.2 Namun, gejala TB pada anak tidak khas. Untuk memudahkan penegakan diagnosis TB anak, IDAI merekomendasikan diagnosis TB anak dengan menggunakan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.

Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal, yaitu konfirmasi bakteriologis TB, gejala klinis yang khas TB, adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan pasien TB), dan gambaran foto thorax yang sugestif TB. Indonesia telah menyusun sistem skoring untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak (Tabel 1). Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.

(6)

Sistem skoring ini diharapkan dapat diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan primer, tetapi tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan primer di Indonesia mempunyai sarana untuk melakukan uji tuberculin dan foto thorax yang merupakan parameter pada sistem skoring. Oleh karena itu, pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas atau dengan akses yang sulit untuk pemeriksaan uji tuberculin dan foto thorax, diagnosis TB anak dapat ditegakkan tanpa menggunakan sistem skoring seperti pada alur diagnosis TB anak.8

Pada pasien, An. F, ditegakkan diagnosis kasus baru TB paru anak berdasarkan anamnesis, pennemuan klinis, dan pemeriksaan penunjang berupa rontgen thorax. Pada anamnesis, keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengeluhkan batuk yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari 2 minggu. Batuk tidak berdahak dan tidak berdarah. Keluhan disertai dengan

penurunan berat badan dan setiap harinya terlihat lesu dan pucat. Selain itu, keluarga juga mengatakan bahwa pasien sering mengalami demam dan keringat dingin saat malam hari. Keluarga juga mengatakan bahwa pasien pernah kontak lama dengan pasien dewasa TB ekstraparu yang merupakan nenek pasien. Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya retraksi dan tidak ada ronkhi maupun wheezing. Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan rontgen thorax yang hasilnya terdapat infiltrat (flek) pada paru–

paru pasien.

Berdasarkan skoring TB IDAI, pasien An.F didiagnosis TB dengan skor 8 yaitu memenuhi kontak dengan pasien TB BTA (+), berat badan dengan kesan gizi buruk, demam tanpa sebab yang jelas dan batuk kronik lebih dari 2 minggu, serta kesan TB pada pemeriksaan foto rontgen thorax. Namun, pada An. F tidak dilakukan uji tuberkulin.

Tabel 1. Skoring TB IDAI

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas - Laporan keluarga,

BTA (-) /tidak tahu

BTA (+)

Uji tuberculin (-) - - (+) jika (≥10 mm/ ≥5

mm pada imunokompromais) Berat badan/keadaan gizi - BB/TB < 90% atau

BB/U <80%

Klinis gizi buruk atau BB/TB <70%

Atau BB/U <60%

Demam tanpa sebab jelas - ≥ 2 minggu - -

Batuk kronik - ≥ 2 minggu - -

Pembesaran kelenjar linfe, koli, aksila, inguinal.

- ≥ 1 cm, lebih dari 1 KBG, tidak nyeri

- -

Pembengkakan tulang/sendi, panggul,

lutut, falang

- Ada pembengkakan - -

Foto toraks Normal/ tidak jelas

Kesan TB - -

Catatan :

i. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

ii. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkiran penyebab batuk kronik lainnya seperti asma, sinusitis, dan lain-lain.

iii. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis TB.

iv. Berat badan dinilai saat dating.

v. Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku.

vi. Foto toraks bukan alat diagnosis utama pada TB anak.

vii. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 14).

viii. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.9

(7)

Gambar 1. Alur Diagnosis TB anak.7

Keterangan :

*) Dapat dilakukan dengan pemeriksaan sputum

**) kontak TB paru dewasa dan kontak TB paru anak terkonfirmasi bakteriologis.

***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak ada respon dengan pengobatan adekuta, evaluasi ulang diagnosis TB dan adanya komorbiditas atau rujuk.

Saat ke puskesmas, pasien diberikan terapi farmakologis berupa obat paket TB anak 5 tab 3FDC (50 mg Isoniasid (INH), 75mg Rifampisin, 150 mg Pirazinamid) pada 4 bulan pertama pengobatan dan sekarang pasien sedang mengkonsumsi 5 tablet 2FDC (50mg

Isoniasid (INH) dan 75mg Rifampisin) sebagai terapi lanjutan. Pemberian terapi tersebut dirasa sudah cukup tepat. Fixed Dose Combination atau FDC merupakan obat yang digunakan dalam pengembangan strategi Anak dengan satu atau lebih gejala khas TB:

 Batuk ≥ 2 minggu

 Demam ≥ 2 minggu

 BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya

Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat Pemeriksaan mikroskopis/ tes cepat

molekuler (TCM) TB

Positif Negatif Specimen tidak didapat

Ada akses foto rontgen toraks dan/atau uji

tuberculin *

Tidak Ada akses foto rontgen toraks dan/atau uji

tuberculin *

Skoring sistem

Skor ≤6 Skor ≥6

Uji tuberkulin (+) dan/ atau ada kontak TB paru **

Uji tuberkulin (-) dan tidak ada kontak TB paru TB anak Klinis

TB anak terkonfirmasi

bakteriologis

Terapi OAT ***

Ada kontak TB paru ***

Tidak Ada/ tidak jelas kontak TB

paru ***

Observasi gejala selama 2 minggu

Menetap Menghilang

Bukan TB

(8)

DOTS untuk mengontrol epidemi TB dan sudah merupakan rekomendasi dari WHO.7,8,9

Prisip dasar pengobatan TB adalah 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak. Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT pada anak : 2(RHZ)/4(RH) sebagaimana dalam tabel 2.8

Tabel 2. Dosis OAT KDT pada anak.

Berat badan (kg)

2 bulan tiap hari RHZ (75/50/150)

4 bulan tiap hari RH (75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

>30 OAT dewasa

Tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan kesehatan dasar dilaksanakan sesuai alur sebagaimana pada gambar 2.

Gambar 2. Alur tatalaksana TB anak.

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dihentikan dengan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radioligis tidak menunjuknna perubahan yang berasti, maka pengobatan dihentikan. 11

Pelaksanaan pembinaan pada pasien ini dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik awal di puskesmas sebanyak 1 kali pada haru Rabu tanggal 8 Mei 2019, pada pertemuan ini juga dilaukan informed consent untuk menjadi pasien binaan. Selain itu, dilakukan juga kunjungan ke rumah pasien beserta keluarga sebanyak 3 kali, dimana dilakukan kunjungan pertama pada tanggal 11 Mei 2019. Pada kunjungan keluarga pertama dilakukan pengisian family folder serta dilakukan anamnesis lebih lanjut untuk menilai aspek personal, aspek klinis, aspek risiko internal, eksternal psikososial, dan derajat fungsional yang dialami oleh pasien.

Berdasarkan hasil kunjungan tersebut, sesuai konsep Mandala of Health, dari segi perilaku kesehatan pasien dan keluarga masih mengutamakan kuratif daripada preventif serta memiliki pengetahuan yang kurang tentang penyakit-penyakit yang ia derita.

Human biology, pasien merasakan penyakit TB paru yang dideritanya menimbulkan keluhan- keluhan yang menggangu aktifitasnya. Pasien mengetahui jika pengobatan TB tidak boleh putus obat namun ia tidak tahu alasan mendasar mengapa pasien TB tidak boleh sampai putus obat. Dukungan dari keluarga terasa sangat penting disini, yaitu sebagai pemberi semangat kepada pasien dan sebagai pengingat minum obat pasien juga. Saat ini telah ditunjuk bahwa ibu pasien berperan sebagai PMO. Lingkungan psikososial, pasien merasa kesehatannya lebih baik saat ini dengan keadaan keluarganya saat ini, hubungan antar anggota keluarga juga terbilang dekat dan jarang mengalami suatu masalah. Ekonomi, uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga bergantung pada ayah. Ibu pasien mengatakan bahwa dengan pendapatan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan cukup kurang untuk disisihkan sebagian untuk ditabung ataupun membeli barang-barang kebutuhan yang lain. Pasien memiliki asuransi BPJS dan pasien sering menggunakannya untuk pengobatan atas penyakitnya.

Dalam hal lingkungan rumah, hubungan pasien dengan tetangga dan teman sebaya sekitar rumah terjalin sangat akrab. Pasien

(9)

sering bermain dengan teman sebayanya seperti halnya anak yang lain. Lingkungan fisik, pemukiman sekitar terbilang luas dan padat penduduk. Lingkungan tampak tidak terlalu bersih dimana masih banyak sampah berserakan di sekitar lingkungan rumah.

Menurut pengakuan ibu pasien, setiap harinya pasien makan dengan nasi dan lauk yang ada di rumah, namun tidak tahu apakah nilai gizinya sudah terpenuhi atau belum. Keadaan rumah belum cukup ideal karena pencahayaan dan ventilasi yang masih kurang .

Kunjungan kedua dilakukan pada tanggal 21 Mei 2019 , dengan tujuan intervensi terhadap pasien. dan keluarga pasien. Pada kunjungan kedua ini diberikan intervensi dengan menggunakan media utama yaitu flipchart atau lembar balik. Pada kunjungan kedua ini juga di lakukan pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik thorax terhadap pasien dan didapatkan TD 110/70, RR 20 x, nadi 88 x, suhu 36,7oC.

Pada pemeriksaan fisik semua dalam batas normal. Pada kunjungan ini, keluarga diberikan intervensi berupa penjelasan mengenai gambaran umum penyakit An. F.

Media intervensi berupa lembar balik yang diberikan kepada pasien membahas tentang penyakit TB pada anak mulai dari penyebab, gejala klinis, komplikasi, penatalaksaan hingga pencegahan yang dapat dilakukan. Penekanan diutamakan pada cara penularan penyakit, gaya hidup sehat berupa aktivitas fisik yang benar dan baik, serta kepatuhan dalam meminum obat dan pemberian wawasan kepada PMO untuk menjelaskan mengenai tugas dan kewajibannya sebagai pengingat minum obat pasien. Hal ini mengingat pasien juga memiliki adik yang masih berumumr 5 tahun dn 3 tahun yang masih sangat rentan tertular TB . selain itu, pada intervensi ini juga dijelaskan mengenai Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) mengingat kebiasaan dan kondisi rumah pasien yang masih belum ideal. Intervensi ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah penularan penyakit ke anggota keluarga yang lain, mencegah terjadinya kelalaian yang mungkin bisa berakibat akan resistensi OAT, menjaga kebersihan lingkungan rumah dan

pola berpikir mengenai penyakit TB meskipun untuk merubah hal tersebut bukanlah hal yang dapat dilihat hasilnya dalam kurun waktu yang singkat.

WHO menerapkan strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short Course) dalam manajemen penderita TB untuk menjamin pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO). Adanya pengawasan dan upaya mempersingkat rentang waktu pengobatan, diharapkan penderita TB paru meminum obat secara teratur sehingga pengobatan TB dapat terlaksana dengan tuntas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Purwanta (2005) menunjukkan bahwa PMO yang diharapkan adalah yang tinggal serumah dengan penderita. Hal ini sesuai dengan petunjuk dari Depkes RI (2008), PMO adalah seseorang yang tinggal dekat dengan rumah penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela. PMO yang tinggal satu rumah dengan penderita maka bisa mengawasi penderita sampai benar-benar menelan obat setiap hari, sehingga tidak terjadi putus obat.10 Ada beberapa langkah atau proses sebelum orang mengadopsi perilaku baru.

Pertama adalah kesadaran (awareness), dimana orang tersebut menyadari stimulus tersebut. Kemudian dia mulai tertarik (interest). Selanjutnya, orang tersebut akan menimbang-nimbang baik atau tidaknya stimulus tersebut (evaluation). Setelah itu, dia akan mencoba melakukan apa yang dikehendaki oleh stimulus (trial). Pada tahap akhir adalah adoption, berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya. Ketika intervensi dilakukan, keluarga juga turut serta mendampingi dan mendengarkan apa yang disampaikan pada pasien.11

Edukasi yang diberikan berupa pengertian penyakit TB, bagaimana gejalanya, bagaimana penularannya, kapan harus mulai waspada, serta bagaimana tahap pengobatannya dan efek samping yang ditimbulkan dari obat tersebut. Pasien juga diberikan edukasi mengenai pola hidup bersih dan sehat, rumah yang bersih dengan pencahayaan dan ventilasi yang cukup agar

(10)

kuman TB tidak berkembang dengan baik di rumah, makanan yang sehat dengan mengkonsumsi nutrisi tambahan yaitu suplai protein yang cukup sebagai bagian perbaikan fungsi fisik dari pasien. Tujuannya adalah agar pasien minum obat secara teratur, mengoreksi status gizi, dan dapat memutus rantai penyebaran TB.

Dalam aspek perilaku kesehatan pasien diberikan edukasi untuk menggunakan masker apabila sedang batuk dan berkomunikasi dengan oranglain maupun keluarganya, pasien juga diberikan edukasi mengenai etika membuang dahak yang baik agar pasien tidak membuang sembarangan. Diberikan edukasi juga mengenai pencahayaan dan sirkulasi di rumah pasien, diberikan edukasi agar jendela dan pintu rumah selalu dibuka setiap pagi agar udara dan cahaya masuk sehingga udara didalam rumah tidak lembab. Edukasi ini disampaikan dengan bantuan media lembar balik.

Kunjungan ketiga dilakukan pada tanggal 25 Mei 2019, pasien dan keluarga diberikan pertanyaan yang sederhana untuk mengatahui pengetahuan pasien dan motivasi untuk terus menjalankan pengobatan dan tetap memeriksakan anggota keluarga lain jika mengalami gelaja TB. Saat dilakukan kunjungan, pasien berkata bahwa keluhan batuk sudah berkurang dan pasien juga sudah semangat dalam beraktifitas. Ibu pasien mengatakan bahwa terlihat banyak sekali perubahan setelah pasien rutin menjalani pengobatan seperti berat badan yang semakin lama semakin naik walaupun tidak terlalu signifikan. Keluarga pasien juga sudah terlihat mulai menjalani gaya hidup sehat sesuai meskipun belum sepenuhnya diterapkan.

Pasien mengatakan bahwa ia mulai makan tepat waktu, istirahat cukup, menerapkan etika batuk, membuka pintu dan jendela rumah saat pagi untuk pertukaran udara.

Anggota keluarga pasien juga sudah mengetahui cara penularan dari TB sehingga dapat menjaga agar tidak berkontak langsung dengan pasien TB dewasa.

Pasien dan ibu pasien juga rutin datang ke Puskesmas untuk kontrol. Pada kunjungan kali ini juga tetap dilakukan motivasi kepada

pasien dan keluarganya untuk senantiasa menerapkan gaya hidup sehat yang pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup pasien dan anggota keluarga lainnya.

Simpulan

Diagnosis Kasus Baru TB paru anak pada pasien ini dilakukan secara klinis dengan skoring TB sudah sesuai dengan beberapa teori dan telaah kritis dari penelitian terkini.

Penatalaksanaan yang diberikan sudah sesuai dengan petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak oleh Kemenkes tahun 2016. Perubahan perilaku dan pengetahuan pada pasien dan kaeluarga pasien terlihat setelah dilakukan intervensi secara patient centered dan family focused.

Daftar Pustaka

1. Indah M. TB. Info Datin Pusat Data Informasi Kementerian Kesehatan RI.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2018.

2. World Health Organisation. Global Tuberculosis Report 2017. Jenewa: WHO;

2017.

3. Kementerian Kesehatan RI. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia tahun 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2019.

4. Musenge E, Vounatsou P, Collison M, Tollman S, Kahn K. The Contribution of Spatial Analysis to understanding HIV/TB Mortality in Children: a structural equation modeling approach. Glob Health Action. 2013; 6:38-48.

5. Kementerian Kesehatan RI. TB Anak.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2017.

6. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. TOSS- TB. Bandar Lampung: Dinas Kesehatan;

2016.

7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pengobatan Pasien TB.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2018.

8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak. Jakarta:

Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit; 2016.

9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. TB:

Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan

(11)

di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan dokter paru Indonesia; 2006.

10. Purwanta. Ciri-ciri pengawas minum obat yang diharapkan oleh penderita TB paru di daerah urban dan rural di Yogyakarta.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM. 2005; 8(3):141-7

11. Ashary. Hubungan Pengetahuan, Sikap dengan Praktik Orang Tua dalam mendukung Kesembuhan TB Paru Anak di Balai Pengobatan Penyakit Paru Tegal [skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2005

Referensi

Dokumen terkait

도심 상업 지구Cent ral Bu sin es s Dist rict 란 관리 기능contr ollin g funct ion 과 상업 서비스 기능Bu sin es s an d serv ice function 이 가장 집적해 있는 지역으로, 다음 장에서 자세하게 다루겠지만, 교통 체증의 심화에 의한 수송 효율의 저하, 소량·다빈도

In the foreign language learning class Ushioda & Dornyei, 2012 and learning academic subjects in the target language context or through CLIL approach Coyle 2013, 2014 language-learning