Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2022), pp. 15-28
ISSN. 2808-3768 (Online); ISSN. 2808-4446 (Print) Journal Homepage: https://alisyraq.pabki.org/index.php/aiccra/
15
ESENSI AGAMA DALAM KONFLIK SOSIAL DI KABUPATEN POSO MENGGUNAKAN TEORI KARL MARX:
SEBUAH LITERATUR REVIEW
THE ESSENCE OF RELIGION IN SOCIAL CONFLICT AT POSO REGENCY USING THE THEORY OF KARL MARX:
A LITERATURE REVIEW
M. Sulhan1*, Muhammad Rizal Januri2
1 Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam, Magister Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia
2 Konsentrasi Bimbingan Konseling Islam, Magister Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstract
This paper aims to describe the factors behind the conflict that occurred in Poso Regency through analysis of Karl Marx’s theory of conflict and the function of religion as a measure to reduce conflict. In this study, the writing used a qualitative approach and literature review. The results of this study describe that the conflict in Poso Regency is a series of cases that have occurred since 1998 and peaked in 2001. The background of the conflict is in accordance with the assumptions used by Marx: First, using economic determinism, namely by seeing that economic factors are the basic things in structural changes to society. Second, historical determinism, namely the structural change of society through three stages: thesis (affirmation), anti-thesis (negation), and synthesis (reconciliation of opposites). Meanwhile, efforts to reduce religion are based on the function of religion, patterned on the existence of religion in the community, not only as a system of beliefs and beliefs, but religion has several functions, both directly related and in direct contact with the social life of the community, which provide solutions to problems, rules and laws, source of unity, kindness, and glue the relationship between individuals.
Keywords: Conflict Theory; Function of Religion; Poso Conflict.
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang melatar belakangi konflik yang terjadi di Kabupaten Poso melalui analisis teori konflik Karl Marx dan fungsi agama sebagai langkah peredaman konflik. Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode kajian pustaka (literature review).
Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2021), pp. 15-28
16
Hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa konflik di Kabupaten Poso merupakan rentetan kasus yang terjadi sejak tahun 1998 dan memuncak pada tahun 2001. Latar belakang konflik sesuai dengan asumsi yang digunakan oleh Marx: Pertama, menggunakan determinisme ekonomi, yakni dengan melihat bahwasanya faktor ekonomi menjadi hal yang mendasar dalam perubahan struktural masyarakat. Kedua, determinisme sejarah, yakni perubahan struktural masyarakat melalui tiga tahapan: tesis (affirmation), anti tesis (negation) dan sintesis (reconciliation of opposites). Sedangkan upaya peredaman berdasarkan fungsi agama, dipolakan atas eksistensi agama di masyarakat tidak hanya sebagai tata keyakinan dan kepercayaan. Namun, agama memiliki beberapa fungsi baik yang berkaitan secara langsung dan bersentuhan langsung dengan kehidupan sosial masyarakat, yang memberikan solusi dari persoalan, tata aturan dan hukum, sumber persatuan, kebaikan, dan perekat hubungan antar individu.
Kata Kunci: Fungsi Agama; Konflik Poso; Teori Konflik.
Pendahuluan
Konflik sosial senantiasa mengiringi sejarah kehidupan manusia bahkan di mulai sejak awal mula keberadaan manusia di dunia ini. Al-Qur’an telah mengabadikan potret konflik yang terjadi pertama kali dalam diri Nabi Adam yakni konflik antara Habil dan Qabil putranya. Konflik kedua putra Nabi Adam As tersebut diawali dari perselisihan tentang dedikasi kurban milik siapa yang akan diterima dan tidak ditolak. Konflik tersebut berakhir dengan gugurnya Habil oleh saudaranya Qabil yang kemudian kisah tersebut diabadikan dalam QS. Al-Maidah ayat 27- 31. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga hal yang bisa kita maknai dari kisah tersebut yakni, pengorbanan, pembunuhan, dan penguburan.
Sampai saat ini, konflik seolah-olah menjadi hal lumrah dalam kehidupan manusia baik dalam ranah terkecil sampai skala internasional. Tingkatan konflik mencakup konflik internal individu (konflik intrapersonal/ batin/ pikiran), konflik eksternal (antar individu, kelompok, dan masyarakat), serta konflik skala internasional (Wahyudi, 2021). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Veeger (dalam Siregar & Zulkarnain, 2018) menyebutkan bahwa konflik adalah dasar kehidupan. Poin ini merupakan ungkapan untuk menggambarkan fenomena konflik sebagai fakta dasar dalam kehidupan manusia, dimanapun akan selalu menghadapi kemungkinan konflik. Konflik adalah warna lain kehidupan yang
Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2021), pp. 15-28
17
tidak bisa dihapuskan sepanjang peradaban manusia dimuka bumi ini (Siregar &
Zulkarnain, 2018).
Dari sekian banyaknya konflik yang mewarnai negeri ini, konflik yang membawa nama agama terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah menjadi kasus yang sangat memperihatinkan, konflik panjang yang bermula dari tanggal 25 Desember 1998 yang mencapai puncaknya pada tanggal 25 Desember 2001 menelan korban dengan uraian, 557 meninggal dunia, 384 luka-luka, 7. 932 pemukiman warga, dan 510 fasilitas umum mengalami kerusakan dan pembakaran (Alganih, 2016). Konflik tersebut tidak dapat dipisahkan dari adanya multi agama dan suku bangsa di Kabupaten Poso. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Poso pada tahun 2020, jumlah penduduk kota Poso berjumlah 256.393 jiwa, dengan tingkat kepadatan mencapai 36,05 jiwa/ km, dengan presentasi penganut agama berdasarkan data dari Kementerian Agama pada tahun 2020 yakni, 60.80% (151.261 jiwa) penganut agama Kristen, Protestan 59.45% (147.899 jiwa) dan Katolik 1,35% (3.362 jiwa), penganut agama Islam 33,60% (83.597 jiwa), agama Hindu 5,60% (13.937 jiwa), dan minoritas agama Buddha tidak sampai 0,01% (4 jiwa). Dengan rincian suku bangsa antara lain penduduk transmigrasi dari pulau Jawa, Lombok, Gorontalo, Sulawesi Selatan (Bugis dan Makassar) yang pada umumnya memeluk agama Islam, dan penduduk asli Tojo, Bungku dan Togian. Sedangkan Penduduk yang memeluk agama Kristen di dominasi penduduk asli dari suku Pamona, Mori, serta pendatang dari Manado, Toraja dan Nusa Tenggara Timur.
Geertz (dalam Nurjaman, 2021) mendefinisikan konflik sebagai sesuatu yang selalu ada, dan selalu berdampingan dimana konflik telah menjadi bagian dalam kehidupan manusia yang tidak akan hilang dari sejarah. Konflik dipicu oleh ikatan primordialisme yang mengalami pembauran antara kesetiaan politik dengan kesetiaan primordial atau etnisitas. Primordialisme merupakan suatu persepsi atau pemikiran dari anggota masyarakat yang memiliki kecenderungan berkelompok yang melahirkan terciptanya suku-suku dan etnis dalam suatu masyarakat. Dalam perspektif sosiologi, primordialisme berfungsi untuk mendeskripsikan adanya keterkaitan individu di tengah-tengah kehidupan sosial dengan sesuatu yang
Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2021), pp. 15-28
18
menjadi bawaan sejak lahir seperti, suku, agama, dan daerah kelahiran (Nurjaman, 2021).
Dalam pandangan sosio-antropologis, kehadiran suatu agama dalam komunitas suatu masyarakat di luar penganutnya, agama tersebut akan beradaptasi secara alamiah dalam kebudayaan yang telah ada. Namun, cenderung menampilkan wujud baru dengan agama atau budaya yang telah lama ada.
Kehadiran agama di tengah masyarakat majemuk berfungsi sebagai alat pemersatu membentuk ikatan bersama baik dalam ranah kehidupan beragama dan sosial masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain agama dapat dijadikan sebagai alat pemecah belah dan sumber pertikaian (Nottingham, 1993). Maka, kesatuan keyakinan dalam beragama dinilai tidak mampu guna membentuk suatu komunitas atau kesatuan sosial sehingga dengan adanya aspek-aspek pendukung lainnya dapat memperkuat kebersamaan dalam mempertahankan kohesi sosial melalui suatu ikatan yang menjadi identitas berupa terjalinnya kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Dalam teori fungsional, masyarakat dimaknai sebagai suatu institusi sosial yang berada dalam ranah keseimbangan, yang mempolakan aktivitas manusia berdasarkan nilai-nilai dan norma yang diyakini bersama dan dinilai sah serta mengikat manusia dalam memainkan perannya. Institusi-institusi yang kompleks ini secara holistik adalah sebuah sistem sosial yang berhubungan satu dengan yang lain. Broom & Selznick (dalam Nottingham, 1993), mengatakan bahwa setiap individu akan tetap eksis dan bertahan (survive) sebab adanya sifat kooperatif dalam diri anggotanya. Sifat kooperatif ini lahir dari tahap sosialisasi, agamalah yang menjadi sumber utama dari sosialisasi tersebut. Maka, fungsi agama ialah memberikan dukungan psikologis, memberikan jawaban atas permasalahan yang bersifat dunia dan memberikan kekuatan moral.
Sementara itu, konflik yang dipicu oleh isu sara mewarnai tanah air sejak berakhirnya pemerintahan orde baru dengan terjadinya reformasi yang diwarnai dengan beragam kasus konflik dan pertikaian yang menelan ribuan korban jiwa salah satunya adalah konflik yang terjadi di kabupaten Poso Sulawesi Tengah.
Berangkat dari masalah konflik yang dipicu atas dasar agama, maka penulis mencoba menganalisis permasalahan tersebut menggunakan teori Karl Marx.
Dalam teori Karl Marx dijelaskan bahwa masyarakat terbentuk dari pola struktur
Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2021), pp. 15-28
19
yang menggerakakan terjadinya perubahan sosial sebagai dampak dari perjuangan dan ketegangan hidup. Hal ini menjadi dasar bahwa konflik menjadi inti dari sejarah perubahan hidup manusia. Kapasitas dasar sejarah tersebut yakni sesuatu yang memposisikan manusia bersosialisasi dengan individu lain dalam usaha mempertahankan eksistensi kehidupannya dan proses perubahan sejarah struktural masyarakat ditentukan oleh ekonomi bukan ide.
Dengan demikian, tujuan dari penelitian tersebut yakni untuk mendeskripsikan konflik yang terjadi serta adanya sebuah peredaman yang dapat dilakukan berdasarkan fungsi agama. Eksistensi agama di masyarakat tidak hanya sebagai tata keyakinan dan kepercayaan, akan tetapi agama memiliki beberapa fungsi yang berkaitan secara langsung dengan kehidupan sosial masyarakat dengan memberikan solusi dari persoalan, tata aturan dan hukum, sumber persatuan, dan perekat hubungan antar individu dan kelompok.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kajian literatur atau literature review. Adapun pandangan Frankel, Wallen, & Hyun (dalam Setyosari, 2016) tentang kajian literature yaitu suatu kajian khazanah pustaka yang mendukung pada masalah khusus dalam penelitian yang sedang kita kerjakan. Kajian ini sangat berguna bagi peneliti, misalnya untuk memberikan gambaran masalah yang akan diteliti, memberikan dukungan teoritis konseptual bagi peneliti, dan selanjutnya berguna untuk bahan diskusi atau pembahasan dalam penelitian (Setyosari, 2016).
Adapun sumber data diperoleh dari buku, artikel jurnal, berita online, dan data statistik yang relevan.
Hasil dan Pembahasan
Latar Belakang Konflik Poso
Meninjau titik utama penyebab konflik Poso dari berbagai aspek yang menyulut terjadinya pertikaian salah satunya adalah masalah historis dan problematika sosial terhadap pribumi masyarakat Poso yang termarjinalkan dengan keberadaan masyarakat transmigrasi dari luar daerah Poso. Masalah ini sejalan
Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2021), pp. 15-28
20
dengan asumsi Coser (1957), yang mendefinisikan penyebab terjadinya konflik sosial yaitu “social conflict is a struggle over values or claims to status, power, and scarce resources, in which the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise, injure, or eliminate rivals” yang dapat diartikan bahwa konflik sosial dipicu karena munculnya pertikaian dan pertentangan antar kelompok yang memiliki identitas yang jelas melibatkan diri mereka dalam konflik yang berorientasi dalam pengejaran dan perebutan isu- isu tertentu, hal ini bisa berwujud pertentangan nilai, strata sosial, kekuasaan, dan kepemilikan sumber daya alam (Coser, 1957).
Perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat Poso mengalami perubahan yang signifikan, pelopor kemajuannya didominasi oleh masyarakat pendatang, perpindahan kepemilikan lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman dari penduduk asli ke penduduk pendatang juga mengalami transformasi, ditambah lagi keberhasilan masyarakat pendatang dalam bertani dan berkebun pada puncaknya, yakni tahun 1990-an. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kecemburuan sosial dan kesenjangan sosial dari penduduk asli yang merasa termarjinalkan dari tanah kelahirannya sendiri.
Masyarakat pribumi Poso tidak hanya mengalami marjinalisasi di bidang ekonomi, akan tetapi disusul juga dalam bidang politik. Hal ini disebabkan karena adanya perkembangan jumlah penganut agama Islam dari waktu ke waktu yang mempengaruhi perolehan suara dalam pemilihan kursi kepemimpinan di daerah Poso sehingga terjadinya dominasi kepemimpinan oleh umat Islam di Kabupaten Poso yang sebelumnya didominasi oleh penduduk agama pribumi yakni Kristen.
Kondisi ini diperparah dengan terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang berbasis keislaman. Hal ini semakin berdampak pada permajinalan komunitas elit kelompok kristiani di Kabupaten Poso (Widayat et al., 2021).
Di sisi lain, elit politik Muslim memperoleh kursi pemerintahan melalui pemilu. Kondisi ini sebelum adanya penerapan desentralisasi, Poso menerapkan konsep sharing power yang didasari atas dominasi agama dengan tujuan untuk menghormati keberagamaan sampai rotasi power sharing kemudian berakhir tahun
Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2021), pp. 15-28
21
1999. Pada tahun 1999, konstruksi politik berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) tidak lagi menjadi dasar pelaksanaan politik, akan tetapi berdasarkan suara terbanyak (Alganih, 2016).
Dengan demikian, konflik sosial (SARA) di Kabupaten Poso erat kaitannya dengan upaya perebutan kekuasaan dan ekonomi berlabel agama, dari segi historis penduduk asli pribumi kabupaten Poso merasa termajinalkan oleh dominasi pendatang. Penduduk asli pribumi yang menganut agama Kristen merasa kehilangan identitasnya dalam status sosial. Oleh karena itu, konflik di Kabupaten Poso disinyalir karena adanya multi agama dan etnis yang diprovokasi para elit politik dengan isu sensitif, yaitu isu etnis dan agama. Kedua hal tersebut merupakan bagian dari harga mati karena berkaitan erat dengan harga diri dan keyakinan suatu komunitas tertentu dalam masyarakat.
Mengulas Teori Struktur Konflik
Dalam teori sosial teori struktural konflik dikategorikan dalam makro obyektif dalam lingkup representatif fakta sosial. Teori ini menelaah secara holistik realitas struktural masyarakat yang bisa diukur atau diamati, sehingga metode yang tepat adalah metode kuantitafif secara spesifik menggunakan teori pertentangan kelas.
Hal ini berdasarkan pada fokus kajian Karl Max pada analisis masalah yang dihadapi manusia secara obyektif tanpa melibatkan persoalan individu terkait suatu institusi dan struktur masyarakat (Susan, 2019). Konsep ini menjadi dasar utama dalam memahami teori Marx dalam kaitannya dengan bentuk masyarakat komunis dan fungsi negara proletar. Marx & Engels (dalam Ismail, 2012) mendeskripsikan negara-negara yang digunakan sebagai alat dominasi dan penindasan kelas agar dapat berkembang dan mempertahankan eksistensinya menjadi negara minoritas dan dapat menggambarkan kepentingan kelas kecil (Ismail, 2012).
Marx sendiri memilih konsep kediktatoran proletariat untuk menetapkan karakteristik terkait kekuatan politik kelas dibandingkan bentuk otoritas pemerintahan walaupun pada dasarnya keduanya sama-sama terlibat. Pada dasarnya otoritas kekuasaan secara langsung akan berpengaruh pada karakter kelas pada masyarakat. Marx memandang pemberontakan proletariat dalam industri
Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2021), pp. 15-28
22
modder menjadi model perjuangan kapitalis dan pekerja diawali oleh peristiwa (Hook, 1975).
Teori struktural konflik hadir berdasarkan kritik terhadap teori struktural fungsional yang menganggap teori struktural fungsional tidak dapat mendeskripsikan fakta ketegangan keinginan atau kebutuhan yang ada di masyarakat dan terlepas dari realitas aksi dominasi dan hegemoni antar kelompok yang memiliki kekuatan terhadap kelompok yang lemah (marginal), hal ini menimbulkan kesan status quo. Sementara itu, realitas masyarakat selalu mengalami pertumbuhan dan perkembangan dan selalu ada keinginan yang diwujudkan oleh individu dan kelompok (Kusumandaru & Fakih, 2003).
Dalam mengembangkan teorinya ada dua asumsi yang digunakan oleh Marx yaitu: Pertama, menggunakan determinisme ekonomi, yakni dengan melihat bahwasanya faktor ekonomi menjadi hal yang mendasar dalam perubahan struktural masyarakat. Kedua, determinsme sejarah, yakni perubahan struktural masyarakat melalului tiga tahapan: tesis (affirmation), anti-tesis (negation), dan sintesis (reconciliation of opposites). Faktor yang mendasari terjadinya konflik di masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni yang bersumber pada perubahan revolusioner dan kesepakatan atas keinginan yang bersitegang (Judistira, 1992).
Diskursus Teori Konflik Karl Max
Sejarah pemikiran Marx dalam aliran Marxisme dianggap penting utamanya terkait dengan teori perjuangan kelas. Mclellan (1971) mengungkapkan bahwa dalam pandangan Marx kelas sosial yang menyulut konflik dalam masyarakat dapat berimbas pada perubahan substruktur ekonomi. Oleh karena itu, sebuah kelas dapat mengidentifikasi ekistensinya dalam masyarakat secara holistik melalui perubahan-perubahan sosial ini, pembenaran Marx bahwa peradaban manusia dihadapkan oleh pertarungan dan perjuangan antara kelas sosial (Mclellan, 1971).
Hal yang melatar belakangi teori konflik Marx, yakni karena adanya kesadaran sosial politik dalam mengamati kehidupan sosial yang terjadi dalam masyarakat Jerman yang dihadapkan oleh krisis akibat revolusi Industri. Revolusi industri
Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2021), pp. 15-28
23
memiliki dampak yang signifikan dalam masyarakat Jerman seperti kemiskinan, kesusahan, penindasaan, dan eksploitasi dalam masyarakat. Di sisi lain, terjadinya pemetaan dalam struktur masyarakat, yakni: Borjuis yang berarti kategori masyarakat yang berada dalam strata atas para pemilik usaha yang hidup dalam kemewahan, dan proletar atau struktur masyarakat yang berada dalam strata rendah yang hidup dalam garis kemiskinan dan kesengsaraan, mereka ini termasuk para pekerja dan buruh. Kaum proletar memiliki sumbangsih kinerja dalam proses produksi akan tetapi keuntungan dari kinerja dan produksi tersebut dinikmati oleh para individu pemilik modal. Relasi mode tersebut berdampak pada relasi sosial yang teralienasi dari realitas kehidupan masyarakat (Huda, 2020; Sztrompka, 2005).
Dalam teori konflik Marx dasar asumsi yang dibangun dapat dikategorikan yaitu: Pertama, perubahan sebagai suatu fenomena mutlak ada pada diri individu atau masyarakat. Kedua, konflik merupakan gejala dalam masyarakat. Ketiga, seluruh aspek dalam struktur masyarakat berpotensi disintegrasi dan perubahan sosial. Keempat, adanya dominasi antara kelompok borjuis dan proletar dalam membentuk sebuah relasi dalam masyarakat (Tualeka, 2017).
Upaya Peredaman Konflik Poso
Upaya peredaman dan perdamaian konflik yang terjadi di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah dilakukan melalui pertemuan dan mediasi antara kedua belah pihak yang bertikai menghasilkan satu kesepakatan bersama di Poso, Sulawesi Tengah, yang bertujuan menghentikan kekerasan dan bekerja sama untuk menjaga perdamaian. Proses mediasi yang dihadiri oleh Jusuf Kalla kemudian diakhiri dengan deklarasi bersama yang di tandatangani oleh seluruh peserta konferensi di Poso, termasuk pejabat tinggi Sulawesi dan otoritas lainnya. Perjanjian tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Malino, dan berisi sepuluh prinsip yang telah disepakati kedua belah pihak. Menurut Widayat et al. (2021), terdapat sepuluh poin yang disepakati dalam Deklarasi Malino yaitu sebagai berikut.
a. Mengakhiri semua jenis perselisihan.
Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2021), pp. 15-28
24
b. Ikuti proses penegakan hukum dan dukung upaya pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang melanggar hukum.
c. Meminta aparatur negara bertindak cepat dan adil untuk menjamin keamanan.
d. Untuk menjaga situasi tetap tenang, menolak untuk memberlakukan keadaan darurat atau intervensi asing.
e. Demi terwujudnya kehidupan bersama yang damai, menghilangkan segala fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak serta memelihara sikap saling menghormati dan memaafkan.
f. Negara Kesatuan Republik Indonesia meliputi Tanah Poso. Akibatnya, setiap warga negara berhak untuk hidup damai dan menghormati adat istiadat setempat.
g. Semua hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemilik yang sebenarnya, seperti sebelum terjadinya masalah dan perselisihan.
h. Kembalikan semua pengungsi ke lokasi asalnya.
i. Bekerjasama dengan pemerintah dalam perbaikan infrastruktur ekonomi secara keseluruhan.
j. Menerapkan hukum agama dengan cara masing-masing atas dasar saling menghormati dan menaati semua aturan yang telah disepakati, baik itu berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah, maupun persyaratan lainnya.
Fungsi Agama Sebagai Kontrol Sosial
Kontak agama dalam kemajemukan Indonesia mengandung dua sisi, yaitu sisi positif sebagai pemersatu kekayaan sedangkan sisi negatif menjadikan fanatisme dalam radikalisme eksklusif dan primordial yang pada akhirnya menjadikan konflik sosial antar umat beragama dalam keharmonisan kemajemukan bangsa. Menurut Sharif (dalam Kawangung, 2019), setiap konflik dipicu oleh kepentingan sosial, politik, dan ekonomi. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa agama merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tanggung jawab beragama tidak mengabaikan tanggung jawab individu sebagai
Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2021), pp. 15-28
25
warga negara indonesia, agama harus konsisten menjalankan praktik keagamaan sesuai dengan keyakinannya (Kawangung, 2019).
Pemahaman masyarakat tentang fungsi sosial agama di tengah kehidupan bermasyarakat merujuk pada pengertian yang dikemukakan para sosiolog agama yang memposisikan agama sebagai perekat sosial yang menghimpun kemampuan- kemampuan antagonistik antar manusia. Selain itu, agama diasumsikan sebagai candu sosial yang dapat menandaskan terjadinya konflik yang berdasarkan kepentingan-kepentingan antar kelompok yang memiliki kecenderungan antagonistik. Menurut Wilson (dalam Zuhdi, 2017) menyebutkan fungsi dari agama yakni bertujuan untuk mempertahankan kohesi sosial. Dalam pandangan fungsionalis yang lain menjelaskan bahwa fungsi dari agama itu sendiri adalah sebagai intuitusi kontrol sosial yang paling mendasar dalam tata hubungan sosial masyarakat (Zuhdi, 2017).
Dalam tinjauan historis, fungsi agama memiliki peran penting dalam pengelolaan dan pengawasan kepemilikan harta masyarakat, fungsi ini diaplikasikan melalui keyakinan dan lembaga resmi dalam struktural massyarakat.
Dalam pandangan Max Weber, dalam menyikapi hubungan lintas agama, jiwa dan perekonomian melalui cara yang selektif sebagai bukti bahwa esensi agama secara historis berkontribusi dalam memberikan alternatif terhadap empat persoalan sosial yang utama diantaranya, yakni pengekangan (restraint), reproduksi (reproduction), registrasi (registration) dan representasi (representation) (Putra, 2020). Dengan demikian, dalam struktur sosial masyarakat agama berperan penting dalam mengarahkan ritme kehidupan manusia sebagai suatu pedoman yang menunjukkan arah kehidupan menuju kebahagian dalam setiap aspek yang erat kaitannya dengan individu itu sendiri maupun individu dengan masyarakatnya.
Merujuk pada multiperspektif terkait agama itu sendiri, maka beberapa kesimpulan terkait makna dan fungsi agama itu sendiri dapat digaris bawahi beberapa poin terhadap fungsi agama dalam struktur sosial masyarakat sebagaimana pendapat Sari (2019) sebagai berikut.
a. Agama erat kaitannya dengan sesuatu diluar nalar manusia atau metafisika, kontribusi keyakinan memiliki peranan penting dalam memahami hal tersebut.
Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2021), pp. 15-28
26
b. Agama erat kaitannya dengan ritual peribadatan atau kegiatan yang berkaitan dengan hubungannya manusia dengan Tuhan sebagai manifestasi keyakinan akan adanya kekuatan yang besar di luar diri manusia itu sendiri.
c. Agama sebagai sebuah keyakinan yang menjunjung tinggi kesucian dan hak individu dengan seperangkat aturan dan nilai agar manusia memperoleh kehidupan yang layak dan baik tanpa adanya kesenjangan dan ketertindasan.
d. Agama sebagai reformasi keyakinan yang salah, memberikan petunjuk pada kebenaran dan jalan yang lurus.
e. Agama mengklasifikasikan manusia berdasarkan identitas dan kedudukan sosial yang sesuai dengan tujuan, pokok dan fungsi, serta memberikan tuntunan secara profesional dalam struktur sosial masyarakat.
Kontribusi agama dalam menjaga dan merawat kebhinekaan menjadi hal yang krusial, karena manifestasi dari sebuah keyakinan selaras dengan perbuatan dan perilaku yang membentuk nilai dan aturan dalam kehidupan.
Simpulan
Konflik yang terjadi di Kabupaten Poso merupakan konflik yang ditunggangi permasalahan ekonomi dan politik yang dibungkus oleh isu agama dan etnis.
Konflik di Kabupaten Poso merupakan rentetan kasus yang terjadi sejak tahun 1998 dan memuncak pada tahun 2001. Dalam mengembangkan teorinya ada dua asumsi yang digunakan oleh Marx yaitu menggunakan determinisme ekonomi dan determinsme sejarah. Faktor yang mendasari terjadinya konflik di masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor yakni yang bersumber pada perubahan revolusioner dan kesepakatan atas keinginan yang bersitegang. Kehadiran agama dalam sebuah masyarakat tidak hanya sebagai tata keyakinan dan kepercayaan. Akan tetapi, eksistensi agama itu sendiri memiliki multi fungsi baik yang berkaitan langsung maupun bersentuhan dengan kehidupan sosial masyarakat yang memberikan solusi dari persoalan dalam berbagai sektor kehidupan. Oleh karena itu, agama menjadi sumber kekuatan, keberanian dan perekat hubungan antar individu.
Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2021), pp. 15-28
27
Daftar Pustaka
Alganih, I. (2016). Konflik Poso (Kajian Historis Tahun 1998-2001). Criksetra:
Jurnal Pendidikan Sejarah, 5(2). https://doi.org/10.36706/jc.v5i2.4814
Coser, L. A. (1957). Social Conflict and the Theory of Social Change. The British Journal of Sociology, 8(3), 197–207. https://doi.org/10.2307/586859
Hook, S. (1975). Revolution, Reform and Social Justice: Study in the Theory and Practice of Marxism. New York: New York University Press.
Huda, S. (2020). Perjuangan Revolusioner Dakwah Nabi Muhammad Saw Di Jazirah Arab (Pendekatan Teori Perjuangan Klas Karl Marx). Al-Hikmah, 6(2). http://dx.doi.org/10.30651/ah.v6i2.6463
Ismail, I. (2012). Karl Marx and the Concept of Social Class Struggle. International Journal of Islamic Thought, 1.
Judistira, K. (1992). Garna, Teori-teori Perubahan Sosial. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Kawangung, Y. (2019). Religious Moderation Discourse in Plurality of Social Harmony in Indonesia. International Journal of Social Sciences and Humanities, 3.
Kusumandaru, K. B., & Fakih, M. (2003). Karl Marx, revolusi, dan sosialisme:
Sanggahan terhadap Franz Magnis-Suseno. Insist Press.
Mclellan, D. (1971). The Thought of Karl Marx: An Introduction. London: The Macmillan Press Ltd.
Nottingham, E. K. (1993). Agama Dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi. Jakarta:
Rajawali Press.
Nurjaman, A. (2021). Tantangan Primordialisme Dalam Upaya Membangun Budaya Politik Nasional. Satwika : Kajian Ilmu Budaya Dan Perubahan Sosial, 5(2), 37–83. doi: 10.22219/satwika.v5i2.17990.
Putra, A. (2020). KONSEP AGAMA DALAM PERSPEKTIF MAX WEBER. Al- Adyan: Journal of Religious Studies, 1(1), 39–51. https://doi.org/10.15548/al- adyan.v1i1.1715
Sari, D. A. (2019). Makna Agama dalam Kehidupan Modern. Cakrawala: Jurnal Studi Islam, 14(1), 16–23. https://doi.org/10.31603/cakrawala.v14i1.2483 Setyosari, P. (2016). Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Siregar, I., & Zulkarnain, Z. (2018). The Relationship between Conflict and Social Change in the Perspective of Expert Theory: A Literature Review.
International Journal of Arts and Humanities Studies, 2(1).
Susan, N. (2019). Sosiologi Konflik: Teori-teori dan Analisis. Kencana.
Sztrompka, P. (2005). Sosiologi Perubahan Sosial. Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian.
Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research and Applications Vol. 2, No. 1 (2021), pp. 15-28
28
Tualeka, M. W. N. (2017). Teori Konflik Sosiologi Klasik Dan Modern. Al- Hikmah, 3(1), 32–48. http://dx.doi.org/10.30651/ah.v3i1.409
Wahyudi, W. (2021). TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU- ILMU SOSIAL. Malang: UMM Press
Widayat, I. A., Bahari, D. M., Salsabila, A. A., Handayani, N. R. S., & Adjie, H.
K. (2021). Konflik Poso: Sejarah dan Upaya Penyelesaiannya. JUPIIS:
JURNAL PENDIDIKAN ILMU-ILMU SOSIAL, 13(1), 1–9.
https://doi.org/10.24114/jupiis.v13i1.18618
Zuhdi, M. H. (2017). RADIKALISME AGAMA DAN UPAYA DERADIKALISASI PEMAHAMAN KEAGAMAAN. Akademika : Jurnal Pemikiran Islam, 22(1), 199–224. Retrieved from https://e- journal.metrouniv.ac.id/index.php/akademika/article/view/568