• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSES CEREBRI PADA ANAK

N/A
N/A
rizki listiansyah

Academic year: 2023

Membagikan "ABSES CEREBRI PADA ANAK"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

340 ABSES CEREBRI PADA ANAK

Ananta Fittonia Benvenuto

Residen Ilmu Penyakit Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada anantabenvenuto@gmail.com

ABSTRAK

Abses intrakranial merupakan kondisi yang jarang terjadi, namun ini adalah suatu kondisi infeksi yang serius, yang dapat mengancam jiwa. Kondisi-kondisi abses intrakranial yang termasuk di dalamnya diantaranya adalah abses cerebri dan empiema subdural ataupun ekstradural. Pengklasifikasiannya sendiri disesuaikan dengan lokasi anatomis atau agen yang menjadi penyebabnya.

Abses intrakranial sendiri dapat berasal dari infeksi struktur organ yang berdekatan dengan otak (misalnya, otitis media, infeksi gigi, mastoiditis, sinusitis), sebagai efek sekunder dari penyebaran secara hematogen yang berasal dari organ yang agak jauh (terutama pada pasien dengan penyakit jantung bawaan sianotik), setelah trauma di daerah kepala ataupun pasca operasi, dan pada kondisi yang jarang terjadi yaitu mengikuti terjadinya meningitis sebelumnya. Pada setidaknya 15% kasus, tidak ada sumber infeksi ataupun sumber penyebaran yang dapat diidentifikasi. Dimana tatalaksana yang dapat dilakukan dengan pembedahan dikombinasi dengan pemberian antibiotik.

Kata kunci : Abses Serebri, Anak, Penyebaran Hematogen, Percontinuatum

PENDAHULUAN

Infeksi sistem saraf pusat (SSP) dan sekuelnya masih memiliki peran yang cukup besar terhadap angka morbiditas di masyarakat. Abses serebri adalah masalah kesehatan universal dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga penyakit ini merupakan beban yang cukup tinggi bagi pelayanan kesehatan di seluruh dunia.

Angka kejadian yang sebenarnya dari abses serebri tidak diketahui dengan pasti. Laki-laki lebih sering mengalami abses serebri daripada perempuan dengan perbandingan 2:1.

Abses serebri pada anak jarang ditemukan dan di Indonesia juga belum banyak dilaporkan. Pada beberapa penderita dihubungkan dengan kelainan jantung bawaan sianotik.

Mikroorganisme penyebab abses serebri

meliputi bakteri, jamur dan parasit tertentu. Mikroorganisme tersebut mencapai substansia otak melalui aliran darah, perluasan infeksi sekitar otak, luka tembus trauma kepala dan kelainan kardiopulmoner. Pada beberapa kasus tidak diketahui sumber infeksinya.

Abses intrakranial merupakan kondisi yang jarang terjadi, namun ini adalah suatu kondisi infeksi yang serius, yang dapat mengancam jiwa. Kondisi- kondisi abses intrakranial yang termasuk di dalamnya diantaranya adalah abses serebri dan empiema subdural ataupun ekstradural. Pengklasifikasiannya sendiri disesuaikan dengan lokasi anatomis atau agen yang menjadi penyebabnya.

Walaupun teknologi kedokteran untuk mendiagnosis seperti CT scan dan juga MRI, serta perkembangan antibiotik saat ini telah mengalami kemajuan,

(2)

341 namun angka kematian penyakit abses

serebri tetap masih tinggi yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. Namun, tetap perlu diakui adanya penurunan angka kematian sebesar 5 – 15% pada kasus abses serebri ini. Penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di negara- negara maju, namun karena resiko kematiannya tinggi, abses serebri termasuk golongan penyakit infeksi yang mengancam kehidupan masyarakat.

Abses serebri dapat terjadi di dua hemisfer, dan kira-kira 80% kasus dapat terjadi di lobus frontal, parietal, dan temporal. Abses serebri di lobus occipital, serebelum dan batang otak terjadi pada sekitar 20% kasus.

Abses intrakranial sendiri dapat berasal dari infeksi struktur organ yang berdekatan dengan otak (misalnya, otitis media, infeksi gigi, mastoiditis, sinusitis), sebagai efek sekunder dari penyebaran secara hematogen yang berasal dari organ yang agak jauh (terutama pada pasien dengan penyakit jantung bawaan sianotik), setelah trauma di daerah kepala ataupun pasca operasi, dan pada kondisi yang jarang terjadi yaitu mengikuti terjadinya meningitis sebelumnya. Pada setidaknya 15% kasus, tidak ada sumber infeksi ataupun sumber penyebaran yang dapat diidentifikasi.

Abses serebri dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara

hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu. Abses serebri bersifat soliter atau multipel. Yang multipel biasanya ditemukan pada penyakit jantung bawaan sianotik, dimana adanya shunt kanan ke kiri akan menyebabkan darah sistemik selalu tidak jenuh sehingga secara sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia ini memudahkan terjadinya trombo- emboli.

Gejala klinik abses serebri berupa tanda-tanda infeksi yaitu demam, anoreksi dan malaise, peninggian tekanan intrakranial serta gejala neurologis fokal sesuai lokalisasi abses. Terapi abses serebri terdiri dari pemberian antibiotik dan pembedahan. Tanpa pengobatan, prognosis abses serebri dapat menjadi jelek.

PEMBAHASAN Definisi

Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang awalnya merupakan suatu serebritis yang terlokalisasi dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi oleh

(3)

342 kapsul disebabkan oleh berbagai macam

bakteri, jamur dan protozoa.

Etiologi

Mikroba yang menjadi penyebab tergantung pada usia pasien, lokasi infeksi primer, dan status imunitas pasien. Bakteri bentuk bulat anaerob dan mikroaerofilik serta batang anaerob gram negatif dan gram positif merupakan isolat dari mikroba yang paling penting.

Sebagian besar abses serebri merupakan polimikrobial, atau disebabkan oleh banyak bakteri. Flora di mulut yang bersifat anaerob pada umumnya berasal dari telinga dan sinus yang terinfeksi dan juga merupakan anaerob di dalam abdomen (yang berasal dari grup Bacteroides fragilis). Biasanya dapat mencapai rongga intrakranial melalui proses bakteremia.

Organisme yang dominan pada proses terjadinya abses serebri salah satunya adalah Staphylococcus aureus, termasuk methicillin-resistant staphylococcus aureus (MRSA).

Golongan Streptococcus lainnya merupakan organisme yang bersifat aerob, anaerob, dan mikroaerofilik, termasuk Streptococcus alpha-hemolytic dan Streptococcus anginosus (milleri).

Organisme yang termasuk dalam golongan tersebut diantaranya Streptococcus anginosus, Streptococcus constellatus, dan Streptococcus

intermedius. Organisme lain yang termasuk dominan adalah organisme dari spesies Prevotella dan Fusobacterium serta fragilis B. Golongan Enterobacteriaceae yang cukup dominan diantaranya Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, dan spesies Proteus.

Spesies Pseudomonas dan anaerob lainnya (Veillonella, Eubacterium) merupakan organisme yang termasuk cukup dominan dalam menyebabkan abses serebri.

Patofisiologi

Abses serebri disebabkan oleh peradangan intrakranial dengan kondisi pembentukan abses sebagai kelanjutannya. Lokasi intrakranial yang paling sering ialah di area frontal- temporal, frontal-parietal, parietal, serebelum, dan lobus oksipital. Regio frontotemporal merupakan lokasi tersering dari abses serebri.

Infeksi sendiri dapat memasuki kompartemen intrakranial secara langsung ataupun tidak langsung melalui 3 rute. Rute yang menjadi jalur penyebaran untuk menyebabkan terjadinya infeksi intrakranial diantaranya adanya fokus supuratif yang berdekatan dengan intrakranial (45-50% kasus), adanya kondisi trauma (10% kasus), dan berasal dari fokus infeksi yang jauh dapat menyebar secara hematogen (25%

kasus).

(4)

343 1. Fokus supuratif yang berdekatan

Penyebaran langsung biasanya menyebabkan abses serebri tunggal dan dapat terjadi dari daerah nekrotik pada osteomielitis di dinding posterior sinus frontalis, sinus sphenoid dan ethmoid, infeksi gigi daerah mandibula, serta dari otitis media subakut dan kronis dan juga mastoiditis. Rute langsung ini penyebarann intrakranial lebih sering terkait dengan infeksi otitis subakut dan kronis serta mastoiditis dibandingkan dengan sinusitis.

Otitis media subakut dan kronis serta mastoiditis umumnya menyebar ke lobus temporal inferior dan cerebellum. Sinusitis frontal atau ethmoid menyebar ke lobus frontalis.

Infeksi odontogenik dapat menyebar ke intrakranial melalui penyebaran langsung ataupun melalui jalur hematogen. Infeksi odontogenik regio mandibula juga biasanya menyebar ke lobus frontalis.

Frekuensi abses serebri akibat infeksi telinga telah menurun di negara-negara maju. Namun, abses yang merupakan komplikasi dari sinusitis tidak menurun frekuensinya.

Penyebaran yang berdekatan bisa meluas ke berbagai lokasi di sistem saraf pusat, menyebabkan trombosis sinus kavernosus; meningitis

retrograde; dan abses serebri, epidural, dan subdural.

Jaringan vena tanpa katup yang menghubungkan sistem vena intracranial dan pembuluh darah pada mukosa sinus memberikan jalur alternatif dari masuknya bakteri menuju intrakranial. Tromboflebitis berasal dari pembuluh darah mukosa secara progresif melibatkan pembuluh darah emissary pada tengkorak, sinus venosus dural, pembuluh darah subdural, hingga pembuluh darah cerebral. Dengan mode ini, ruang subdural dapat terinfeksi secara selektif tanpa kontaminasi dari struktur perantara; empyema subdural bisa ada tanpa bukti infeksi ekstradural atau osteomyelitis.

Penyebaran intrakranial dari infeksi melalui jalur vena biasa terjadi pada penyakit sinus paranasal, terutama pada peradangan kronis eksaserbasi akut. Otitis media kronis dan mastoiditis umumnya menyebar ke lobus temporal inferior dan cerebellum, menyebabkan infeksi sinus frontal atau ethmoid dan infeksi gigi dari lobus frontal.

2. Trauma

Trauma yang menyebabkan fraktur tengkorak terbuka memungkinkan organisme untuk langsung berada dan berkembang biak di otak. Abses serebri juga dapat

(5)

344 terjadi sebagai komplikasi dari operasi

intrakranial, dan juga adanya benda asing, seperti ujung pensil, sisa-sisa rumput, peluru, dan pecahan peluru.

Kadang abses serebri bisa berkembang setelah trauma pada wajah.

3. Penyebaran secara hematogen dari fokus infeksi yang jauh

Abses serebri lebih sering bermultiplikasi dan bermultilokulasi dan sering ditemukan dalam distribusi arteri serebri media. Lobus yang paling sering terkena efeknya adalah lobus frontalis, temporalis, parietalis, cerebellum, dan terakhir occipital.

Penyebaran hematogen berhubungan dengan penyakit jantung sianotik (terutama pada anak-anak), malformasi arteri dan vena pulmonalis, endokarditis, infeksi paru-paru kronis (misalnya, abses, empyema, bronkiektasis), infeksi kulit, infeksi daerah abdomen dan pelvis, neutropenia, transplantasi, dilatasi esofagus, penggunaan obat- obatan injeksi, dan infeksi HIV.

4. Manifestasi Klinis a. Anamnesis

Sebanyak sekitar dua pertiga pasien, gejala akan muncul selama 2 minggu atau kurang. Tampilan klinis berkisar dari lambat sampai dengan kondisi yang fulminan.

Kebanyakan gejala merupakan

hasil dari ukuran dan lokasi dari space-occupying lesion ataupun lesi itu sendiri.

Trias demam, sakit kepala (seringnya berat dan terasa di sisi yang mengalami abses), dan defisit neurologis fokal terjadi pada kurang dari setengah pasien yang mengalami abses intrakranial.

Gejala yang sering dirasakan oleh pasien adalah adanya sakit kepala, pada 70% kasus, perubahan status mental (mungkin menunjukkan adanya edema serebri) pada 65%

kasus, adanya defisit neurologis fokal pada 65% kasus. Dapat pula adanya keluhan demam pada 50%

kasus, mual dan muntah pada 40%

kasus, kejang pada 25-35% kasus, adanya kaku kuduk pada 25%

kasus, serta ditemukannya papilledema pada 25% kasus. Sakit kepala yang mendadak memburuk, diikuti oleh tanda-tanda kegawatan meningismus, sering dikaitkan dengan rupturnya abses.

b. Pemeriksaan fisik

Manifestasi klinis dari abses serebri awalnya tidak spesifik, hal ini dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis. Abses serebri biasanya bermanifestasi seperti gejala space-occupying lesion. Manifestasi klinis yang cukup sering muncul adalah anak

(6)

345 tampak cenderung mengantuk dan

tampak kebingungan. Anak dapat mengalami stupor dan penurunan kesadaran. Dapat adanya kejang umum atau fokal, dan mual ataupun muntah. Adanya gangguan motorik atau sensorik fokal, papilledema, ataxia, hemiparesis, dan kaku kuduk.

Tanda-tanda neurologis lokal dapat ditemukan pada kebanyakan pasien. Tanda-tanda dan/atau gejala yang muncul biasanya merupakan kondisi yang menunjukkan fungsi langsung dari lokasi abses intracranial. Abses di cerebellum biasanya akan memberikan gejala adanya nystagmus, ataksia, muntah, dan dysmetria (koordinasi gerakan anggota tubuh terganggu). Abses di batang otak biasanya akan memunculkan gejalan dan tanda adanya kelemahan otot-otot wajah, sakit kepala, demam, muntah, disfagia, dan hemiparesis.

Adanya abses di regio frontal dapat memunculkan gejala adanya sakit kepala, gangguan konsentrasi, mengantuk, perubahan status mental, gangguan bicara, hemiparesis dengan tanda-tanda gangguan motorik unilateral, dan kejang tipe grand mal. Abses di lobus temporal dapat

memunculkan gejala sakit kepala, afasia ipsilateral (menyesuaikan hemisfer yang dominan), dan defek penglihatan. Abses di regio oksipital biasanya memunculkan adanya kaku kuduk.

Pada tahap awal infeksi, abses dapat bermanifestasi sebagai bentuk nonspesifik dari ensefalitis disertai tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Sakit kepala yang berhubungan dengan abses serebri secara bertahap dapat berkembang atau tiba-tiba dalam kondisi gawat dan sering terlokalisasi pada sisi abses. Hal ini sering berat dan tidak hilang dengan obat-obatan anti nyeri yang ringan.

Papilledema dapat berkembang pada anak yang lebih tua dan orang dewasa, dan juga bayi muda mungkin menghambat fontanel yang menonjol. Ini adalah ekspresi lambat dari edema serebri.

Ruptur dari abses serebri dapat menghasilkan meningitis purulen yang terkait dengan tanda-tanda gangguan neurologis.

Muntah biasanya

berkembang terkait hubungannya dengan peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan status mental (letargi sampai dengan koma) mungkin menunjukkan

(7)

346 adanya edema serebri yang berat.

Gejala klinis yang spesifik merupakan karakteristik dari beberapa kondisi yang patogen.

5. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium rutin Pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan pada abses serebri adalah pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit, pemeriksaan laju endap darah (LED), serum C-reactive protein (CRP). Dapat pula dilakukan tes serologi untuk beberapa pathogen, misalnya antibodi serum immunoglobulin G, polymerase chain reaction (PCR) dari cairan cerebrospinal untuk Toxoplasma. Pemeriksaan kultur darah sebaiknya dilakukan sebelum penggunaan antibiotik.

Hasil-hasil yang didapatkan biasanya terdapat leukositosis moderat, dan kadar LED sering ditemukan meningkat pada hingga dua pertiga pasien serta CRP umumnya meningkat. Kadar natrium serum mungkin rendah karena ketidaksesuaian produksi hormon antidiuretik. Jumlah trombosit dapat tinggi ataupun rendah.

b. Cairan Serebrospinal

Lumbal pungsi jarang dibenarkan dan merupakan

kontraindikasi jika terdapat peningkatan tekanan intrakranial oleh karena berpotensi menjadi herniasi di sistem saraf pusat hingga kematian. Hasilnya biasanya tidak menguntungkan, yang terdiri dari peningkatan kadar protein, pleositosis dengan jumlah neutrofil yang bervariasi, kadar glukosa normal, dan hasil kultur steril. Lumbal pungsi sebagian besar bermakna untuk menyingkirkan proses penyakit lainnya, terutama meningitis bakterial. Gambaran CT scan atau MRI sebelum lumbal pungsi mutlak diindikasikan pada adanya setiap temuan neurologis fokal atau papilledema.

Angka leukosit biasanya tinggi, mencapai 100.000/μL atau lebih tinggi bila abses mengalami ruptur ke dalam ventrikel. Banyak eritrosit umumnya diamati pada waktu itu, dan kadar asam laktat cairan serebrospinal kemudian meningkat ke lebih dari 500 mg.

c. Aspirasi Abses

Aspirasi abses biasanya diperoleh melalui CT stereotactic atau operasi. Dari aspirasi tersebut dapat dilakukan pemeriksaan kultur aspirat abses untuk aerob, anaerob, dan organisme tahan asam serta jamur. Dapat dilakukan

(8)

347 pengecatan gram, pengecatan

tahan asam (untuk

Mycobacterium), pengecatan tahan asam modifikasi (untuk Nocardia), dan pengecatan khusus jamur (misalnya, perak methenamine, mucicarmine). Serologi antibodi anti-cysticercal dapat dilakukan

untuk diagnosis

neurocysticercosis. Dilakukan pula pemeriksaan histopatologi dari jaringan otak. Beberapa penelitian menggunakan PCR DNA rantai ribosom 16S meningkatkan jumlah spesies bakteri didapat dari abses otak dibandingkan dengan kultur standar.

d. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan CT scan telah membuat tes lain, seperti angiografi, ventrikulografi, pneumoencephalography, dan scanning radionuklir otak, hampir tidak lagi digunakan. CT scan memang tidak terlalu sensitif seperti MRI namun lebih mudah untuk dilakukan.

Pemeriksaan CT scan yang dilakukan dengan pemberian kontras, dapat menunjukkan deteksi mengenai ukuran, jumlah, dan lokasi abses. Pemeriksaan ini telah menjadi andalan diagnosis dan perawatan tindak lanjut.

Metode ini digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis, untuk melokalisasi lesi, dan untuk memantau perkembangan setelah perawatan.

Gambaran CT scan yang menunjukkan adanya abses serebri apabila dilakukan pemeriksaan dengan pemberian kontras adalah adanya gambaran hipodens di bagian tengah dengan enhancement ring yang ada di bagian perifer. Dinding abses yang terbentuk dengan cukup baik jarang sekali gagal untuk menghasilkan enhancement ring pada gambaran CT scan tersebut.

Pada tahap serebritis awal, CT scan menunjukkan nodular enhancement dengan daerah pelemahan yang rendah tanpa enhancement. Sebagai bentuk abses, peningkatan pada kontras diamati. Setelah berkapsul, bahan kontras tidak dapat membantu membedakan bagian tengah yang jelas dan CT scan mirip pada tampilan dengan yang diperoleh selama tahap serebritis awal.

(9)

348 Gambar 1. Gambaran CT scan

dengan kontras dari abses serebri.

Tampak gambaran lesi hipodens (tanda panah) yang dikelilingi dengan enhancement ring yang seragam di sekitar lesi.

Banyak pihak menganggap MRI menjadi metode diagnostik pertama dalam diagnosis abses serebri. Hal ini memungkinkan untuk diagnosis yang akurat dan tindak lanjut yang sangat baik dari lesi karena sensitivitas dan spesifisitas yang unggul.

Dibandingkan dengan CT scan, MRI menawarkan kemampuan yang lebih baik untuk mendeteksi serebritis, perbedaan yang cukup kontras antara edema serebral dan otak, dan deteksi dini dari lesi satelit serta penyebaran peradangan ke dalam ventrikel dan ruang subarachnoid.

Gambar 2. Gambaran MRI dengan kontras dari abses serebri.

Tampak gambaran hipointens dikelilingi hiperintens di frontotemporal kiri.

Enhancement pada kontras dengan asam gadolinium diethylenetriaminepentaacetic agen paramagnetik) membantu membedakan abses, enhancement ring, dan edema serebri di sekitar abses. Gambaran pada T1- weighted memperjelas kapsul abses, dan gambaran pada T2- weighted dapat menunjukkan zona edema di sekitar abses.

6. Tatalaksana

a. Tatalaksana Medis

Sebelum abses menjadi berkapsul dan terlokalisasi, terapi antibiotik, disertai dengan langkah- langkah untuk mengontrol tekanan intrakranial, merupakan hal yang penting. Saat abses telah terbentuk, eksisi bedah atau drainase dikombinasikan dengan antibiotik jangka panjang (biasanya 4-8 minggu) masih merupakan pilihan terapi utama. Beberapa ahli bedah saraf menganjurkan evakuasi lengkap abses, sementara yang lain menganjurkan untuk diindikasikan dilakukan aspirasi berulang.

Langkah pertama adalah dengan memverifikasi keberadaan, ukuran, dan jumlah abses

(10)

349 menggunakan CT scan dengan

kontras atau MRI. Operasi darurat harus dilakukan jika terdapat abses tunggal. Abses dengan ukuran lebih besar daripada 2,5 cm dilakukan eksisi atau diaspirasi, sementara yang lebih kecil dari 2,5 cm atau yang berada di serebritis dilakukan aspirasi untuk tujuan diagnostik saja. Dalam kasus abses multipel atau abses yang berada di daerah otak yang penting, aspirasi berulang lebih disukai untuk melengkapi eksisi. Antibiotik dosis tinggi untuk periode perpanjangan merupakan pendekatan alternatif pada kelompok pasien seperti ini.

Upaya awal untuk membuat diagnosis mikrobiologis penting dalam perencanaan terapi antibiotik yang tepat. Biopsi aspirasi dengan panduan CT scan dapat memberikan informasi yang penting. Tindakan scanning yang frekuen, setidaknya sekali seminggu, sangat penting dalam memonitor respon terapi.

Meskipun intervensi bedah tetap merupakan pengobatan yang penting, pasien tertentu mungkin berespon terhadap pemberian antibiotik saja.

Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial. Steroid dapat menghambat proses enkapsulasi,

meningkatkan nekrosis, mengurangi penetrasi antibiotik ke dalam abses, meningkatkan risiko ruptur ventrikel, dan mengubah gambaran pada CT scan karena mengurangi kontras. Terapi steroid juga dapat menghasilkan efek rebound saat dihentikan.

Kortikosteroid digunakan ketika efek massa yang signifikan terlihat pada pencitraan dan status mental pasien mengalami depresi. Ketika digunakan untuk mengurangi edema serebri, terapi harus berlangsung singkat. Dosis yang tepat, waktu pemberian yang tepat, dan efek dari terapi steroid pada perjalanan penyakit ini masih belum diketahui.

Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam memutuskan pendekatan yang tepat untuk terapi. Abses lebih kecil dari 2,5 cm umumnya berespon terhadap terapi antibiotik, sedangkan abses yang lebih besar dari 2,5 cm kebanyakan gagal berespon terhadap terapi.

Pengetahuan tentang agen etiologi atau agen dari darah, cairan serebrospinal, abses, atau tempat lain yang biasanya steril pada fase pemulihan merupakan hal yang penting karena memungkinkan untuk pemilihan

(11)

350 agen antibiotik yang paling tepat.

Durasi gejala sebelum diagnosis merupakan faktor penting. Abses bakteri di otak didahului oleh infark dan serebritis. Terapi antibiotik selama tahap awal, ketika tidak ada bukti adanya lesi massa meluas ada, dapat mencegah kemajuan dari serebritis menjadi abses.

Pasien yang memiliki gejala kurang dari seminggu memiliki respon yang lebih menguntungkan terhadap terapi medis dibandingkan pasien dengan gejala bertahan lebih lama dari 1 minggu. Pasien yang diobati dengan terapi medis saja biasanya menunjukkan perbaikan klinis sebelum perubahan signifikan pada CT scan yang terlihat. CT scan dan MRI harus menunjukkan penurunan ukuran lesi, penurunan dari edema, dan berkurangnya gambaran enhancement ring.

Perbaikan pada gambaran CT scan umumnya diamati dalam waktu 1- 4 minggu (rata-rata, 2,5 minggu) dan resolusi lengkap didapatkan dalam 1-11 bulan (rata-rata, 3,5 bulan).

Pengobatan antibiotik untuk abses serebri umumnya jangka panjang (6-8 minggu) karena diperlukan waktu yang lama untuk

jaringan otak untuk memperbaiki dan menutup ruang abses.

Pedoman pengobatan di Inggris menganjurkan 4-6 minggu jika abses telah didrainase atau dibuang dan 6-8 minggu jika drainase masih berlangsung. Sedangkan di Indonesia sendiri belum ada pedoman yang bisa dijadikan panduan untuk lamanya pemberian obat antibiotik pada pasien abses serebri. Pemberian antibiotik yang disarankan adalah melalui jalur intravena. Tidak ada bukti bahwa transisi ke terapi oral cukup sesuai.

Selain itu, konsentrasi antibiotik oral (kecuali metronidazole, rifampisin, linezolid, dan trimetoprim-sulfametoxazole) kebanyakan di rongga abses akan tidak cukup adekuat untuk mengeradikasi patogen.

Durasi terapi dapat disesuaikan dengan kondisi pasien, berbagai organisme penyebab, jumlah abses dan ukurannya, serta respon terhadap pengobatan.

Pemberian dalam waktu singkat (4-6 minggu) mungkin cukup untuk kondisi serebritis dan pada pasien yang menjalani drainase bedah. Pemberian yang lebih lama (> 6 minggu) diperlukan untuk abses nekrotik dan/atau berkapsul dengan nekrosis jaringan, abses

(12)

351 multiloculated, abses di lokasi

intrakranial vital (misal, di batang otak), dan pada kondisi immunocompromise.

Lama terapi ditentukan oleh penilaian berkelanjutan dari manifestasi klinis dan penilaiann pencitraan yang diikuti. Terapi antibiotik dilanjutkan sampai respon klinis terjadi dan temuan dari CT scan atau MRI menunjukkan adanya perbaikan.

Namun, lokasi abses mungkin dapat menunjukkan enhancement yang terus-menerus selama beberapa bulan. Sehingga jika hanya ada temuan ini saja bukan merupakan indikasi untuk melanjutkan terapi antibiotik atau tindakan drainase bedah. Apalagi beberapa antibiotik sulit untuk melakukann penetrasi melalui sawar darah otak, sehingga pilihan antibiotik terbatas dan memerlukan pemberian dosis maksimal dari antibitotik tersebut.

Terapi antibiotik empiris awal perlu didasarkan pada agen etiologi yang diharapkan sesuai dengan kondisi predisposisi yang mungkin, sumber infeksi primer, dan dugaan patogenesis dari pembentukan abses. Ketika spesimen abses tersedia, pewarnaan dari material dapat

membantu memandu pilihan terapi. Kapanpun kultur yang tepat diambil dan organismenya diisolasi dan kecurigaan ditentukan, terapi empiris awal dapat disesuaikan untuk secara spesifik mengobati bakteri yang terisolasi.

Bakteri streptococcus dapat diatasi dengan pemberian penisilin G dosis tinggi atau sefalosporin generasi ketiga (misalnya, cefotaxim, ceftriaxone).

Metronidazol disertakan untuk mengatasi bakteri anaerob yang resisten terhadap penisilin (yaitu, basil gram negatif). Pilihan ini cocok untuk pengobatan abses yang berasal dari oral, otogenik, atau sinus.

Ketika Staphylococcus aureus dicurigai (yang berasal dari hematogenik, atau kelanjutan dari tindakan bedah saraf atau trauma tembus), diberikan vancomycin (efektif terhadap staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin). Metronidazol dapat ditambahkan untuk mengatasi bakteri anaerob.

Cefepime atau ceftazidime diberikan untuk mengobati infeksi Pseudomonas aeruginosa bakteri aerob gram negatif. Pasien dengan

(13)

352 infeksi HIV mungkin memerlukan

terapi untuk toksoplasmosis.

b. Tatalaksana bedah

Tindakan drainase bedah memberikan terapi yang paling optimal. Prosedur yang digunakan adalah aspirasi melalui bur hole dan eksisi lengkap setelah kraniotomi. Prosedur ini juga merupakan tindakan diagnostik dan memberikan bahan yang dapat memandu untuk terapi antibiotik.

Aspirasi jarum merupakan prosedur yang lebih disukai dan yang paling umum digunakan dan sering dilakukan dengan menggunakan prosedur stereotactic dengan panduan ultrasonografi atau CT scan. Untuk hasil optimal, ini biasanya dilakukan sebelum memulai terapi antibiotik. Hal ini diulang jika pasien gagal untuk respon terhadap terapi. Aspirasi terutama dipilih jika area di kortex untuk bicara, motorik atau sensorik terlibat atau pasien koma.

Kraniotomi umumnya dilakukan pada pasien dengan abses multiloculated dan pada mereka dengan kondisi yang gagal untuk mengalami kesembuhan.

Drainase ventrikel dikombinasikan dengan pemberian antibiotik intravena dan/atau intratekal digunakan untuk

mengobati abses otak yang ruptur ke dalam ventrikel. Jika tidak dikenali sejak awal, baik empiema subdural dan abses serebri bisa berakibat fatal. Tindakan operasi emergency diperlukan jika tanda- tanda neurologis terkait dengan progresifitas lesi intrakranial.

Antibiotik saat ini telah meningkatkan prognosis.

Manajemen empyema subdural membutuhkan evakuasi bedah yang segera pada lokasi yang terinfeksi dan terapi antibiotik.

Kegagalan untuk melakukan drainase bedah dapat menyebabkan angka kematian yang lebih tinggi.

Meskipun pilihan yang tepat dari terapi antibiotik merupakan hal yang paling penting dalam manajemen infeksi intrakranial, drainase bedah mungkin tetap diperlukan. Terapi yang optimal dari abses serebri disebabkan jamur umumnya membutuhkan baik pendekatan medis maupun bedah.

Sebuah penundaan dalam drainase bedah dan dekompresi dapat berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Studi terbaru menggambarkan bahwa abses serebri pada fase awal dari

(14)

353 serebritis dapat memiliki respon

terhadap terapi antibiotik tanpa drainase bedah. Tindakan drainase bedah mungkin diperlukan pada beberapa pasien untuk memastikan terapi yang adekuat dan kesembuhan yang lengkap dari infeksi.

Pasien yang tidak memenuhi kriteria untuk terapi medis saja

memerlukan tindakan

pembedahan. Saat ini, 2 pendekatan bedah yang tersedia:

aspirasi yang dipandu oleh stereotactic dan eksisi. Aspirasi jarum umumnya lebih disukai dibandingkan tindakan eksisi bedah karena menghasilkan gejala sisa yang lebih sedikit. Drainase mungkin ditunda atau dihindari jika infeksi masih pada tahap serebritis atau lesi berada di daerah vital ataupun yang tidak dapat diakses. Risiko yang terjadi jika mengulang aspirasi adalah prosedur ini dapat menyebabkan perdarahan.

Eksisi jelas diindikasikan pada abses di fossa posterior atau multiloculated, yang disebabkan oleh lesi tidak berkapsul karena infeksi jamur atau cacing, yang berhubungan dengan cedera otak oleh karena trauma (untuk menyingkirkan benda asing), dan

pada kondisi terakumulasi kembali sebagai kelanjutan aspirasi berulang. Eksisi juga diindikasikan bahkan setelah aspirasi atau drainase awal pada pasien dengan depresi sensorium, peningkatan tekanan intrakranial, tidak ada perbaikan klinis dalam waktu 7 hari, dan/atau abses semakin berkembang secara progresif.

PENUTUP 1. Simpulan

Abses serebri merupakan suatu proses infeksi yang terlokalisir di antara jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai macam bakteri, fungus/jamur, dan protozoa.

Kasus abses serebri memang merupakan suatu kasus yang jarang dijumpai, namun memiliki angka kematian yang cukup tinggi, sekitar 40%. Sebagian besar penderita abses serebri ini adalah laki-laki, dengan perbandingan dengan perempuan sebesar 2:1.

Abses serebri timbul sebagai akibat dari penyebaran secara langsung dari infeksi telinga tengah, sinusitis, ataupun mastoiditis. Abses serebri juga dapat timbul secara hematogen, yang paling sering terdapat pada penyakit jantung bawaan sianotik, biasanya pada tetralogy of fallot (dapat

(15)

354 menyebabkan abses serebri yang

bersifat multipel). Selain itu juga pada kondisi menurunnya sistem kekebalan tubuh (akibat penyakit kronis atau imunologis), adanya trauma di daerah kepala, dan lain sebagainya.

Abses biasanya terbentuk selama 2 minggu dari sejak proses adanya predisposisi pada pasien.

Umumnya gejala yang ditimbulkan hampir sama dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial.

2. Saran

Diagnosis abses serebri dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan CT scan kepala dengan menggunakan kontras.

Penatalaksanaan akan lebih optimal apabila dilakukan tindakan pembedahan (aspirasi atau eksisi) dan juga dikombinasi dengan pemberian antibiotik jangka panjang yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Miranda A., Hernando et al. Brain

Abscess: Current

Management. Journal of Neurosciences in Rural Practice 2013; S67–S81.

Haslam, R.H.A. Neurologic Evaluation. In Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. USA: WB Saunders. 2004. p:1973-1982.

Muzumdar D, Jhawar S, Goel A. Brain abscess: an overview. Int J Surg.

2011. 9(2):136-44.

Mathisen GE, Johnson JP. Brain abscess. Clin Infect Dis. 1997.

25(4):763-79.

Dorland, WA. Newman. Kamus Kedokteran. EGC, Jakarta;

2002. Jakarta : EGC.

Brook I. Brain abscess in children:

microbiology and management. J Child Neurol. 1995. 10(4):283-8.

Brook, I. Brain abscess. 2015 [cited 17 Feb 2017]. Didapat dari URL:

http://reference.medscape.com/arti cle/212946 -overview.

Nielsen H, Gyldensted C, Harmsen A.

Cerebral abscess. Aetiology and pathogenesis, symptoms, diagnosis and treatment. A review of 200 cases from 1935-1976. Acta Neurol Scand. 1982. 65(6):609- 22.

Glickstein JS, Chandra RK, Thompson JW. Intracranial complications of pediatric sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 2006.

134(5):733-6.

Migirov L, Duvdevani S, Kronenberg J.

Otogenic intracranial complications: a review of 28

(16)

355 cases. Acta Otolaryngol. 2005.

125:819-22.

Carpenter J, Stapleton S, Holliman R.

Retrospective analysis of 49 cases of brain abscess and review of the literature. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2007. 26:1-11.

Tunkel AR, Pradhan SK. Central nervous system infections in injection drug users. Infect Dis Clin North Am.

2002. 16(3):589-605.

Brook I. The importance of lactic acid levels in body fluids in the detection of bacterial infections. Rev Infect Dis. 1981.

3(3):470-8.

Nguyen JB, Black BR, Leimkuehler MM, et al. Intracranial pyogenic abscess: imaging diagnosis utilizing recent advances in computed tomography and magnetic resonance imaging. Crit Rev Comput Tomogr. 2004.

45(3):181-224.

Sener, RN. Diffusion MRI findings in neonatal brain abscess. J Neuroradiol. 2004. 31(1):69-71.

Leuthardt EC, Wippold FJ 2nd, Oswood MC, et al. Diffusion-weighted MR imaging in the preoperative

assessment of brain

abscesses. Surg Neurol. 2002.

58(6):395-402.

Lai PH, Chang HC, Chuang TC, Chung HW, Li JY, Weng MJ, et al.

Susceptibility-Weighted Imaging in Patients with Pyogenic Brain Abscesses at 1.5T: Characteristics of the Abscess Capsule. AJNR Am J Neuroradiol. 2012. 26.

Yogev R, Bar-Meir M. Management of brain abscesses in children. Pediatr Infect Dis J. 2004. 23(2):157-9.

Honda H, Warren DK. Central nervous system infections: meningitis and brain abscess. Infect Dis Clin North Am. 2009. 23(3):609-23.

Infection in Neurosurgery Working Party of the British Society for Antimicrobial Chemotherapy. The rational use of antibiotics in the treatment of brain abscess. Br J Neurosurg. 2000. 14(6):525-30.

Livraghi S, Melancia JP, Antunes JL.

The management of brain abscesses. Adv Tech Stand Neurosurg. 2003. 28:285-313.

Naesens R, Ronsyn M, Druwe P, et al.

Central nervous system invasion by community-acquired meticillin- resistant Staphylococcus aureus. J Med Microbiol. 2009. 58(Pt 9):1247-51.

Ratnaike TE, Das S, Gregson BA, Mendelow AD. A review of brain

(17)

356 abscess surgical treatment--78

years: aspiration versus excision. World Neurosurg. 2011.

76(5):431-6.

Liu C, Bayer A, Cosgrove SE, Daum RS, Fridkin SK, Gorwitz RJ, et al.

Clinical practice guidelines by the infectious diseases society of america for the treatment of methicillin-resistant

Staphylococcus aureus infections in adults and children. Clin Infect Dis. 2011. 52(3):e18-55.

Neely JG, Arts HA. lntratemporal and intracranial complication of otitis media in Bailey BJ & Johnson JT Head and Neck Surgery otolaryngology. Fourth Edition.

Lippincot William & Wilkins.

2006.

Wispeley B, Dacey RG, scheld WM.

Brain abscess. ln: lnfection of the central nervous system. Scheld WM et al. Eds. Raven Press, New York 1991. p. 457-86

Bluestone CD, Klein JO. Complication and Sequele : intracranial. Otitis media in infants and children.

Second Edition. WB Saunders CO.

1995. p. 293-303

Margaret B. Rennels, Celeste L.

Woodward, Walker L. Robinson, Maria T. Medical Cure of

Apparent Brain

Abscesses. Pediatrics. 1983;72;220 -224.

Kementerian Kesehatan RI. Buku Pedoman Pelaksanaan, Deteksi Dini dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. 2006.

Griggs RC, Jozefowicz RF, Aminoff MJ.

Approach to the patient with neurologic disease. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman’s Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2011:chap

403.

Referensi

Dokumen terkait

Sidoarjo is one of the sources of biological barns in the province of East Java. In addition, this city includes the city of Minapolitan. The famous

Aktivitas Etnomatematika Terhadap Kehidupan Masyarakat Budaya Lampung di Kecamatan Batu Brak Kabupaten Lampung Barat, Skripsi, Universitas Agama Islam Negeri Raden Intan, Lampung