• Tidak ada hasil yang ditemukan

ACARA 3 POLIPLOIDI PADA PTERYDOPHYTA (AutoRecovered)

N/A
N/A
Dhiva Aulia

Academic year: 2023

Membagikan "ACARA 3 POLIPLOIDI PADA PTERYDOPHYTA (AutoRecovered)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

POLIPLOIDI PADA PTERIDOPHYTA

Dhiva Aulia Winda Utami

210210103060 Genetika Kelas A

Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember Jl. Kalimantan Nomor 37 Krajan Timur Tegalboto Jember 68121

210210103060@mail.unej.ac.id

ABSTRAK

Poliploidi merupakan suatu peristiwa dimana pada satu individu memiliki dua gen, hal ini merupakan gejala umum yang dapat terjadi pada suatu tanaman. Salah satu yang menyebabkan terjadinya poliploidi yakni suhu dingin. Oleh sebab itu penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang dapat menyebabkan perbedaan tingkat poliploidi pteridophyta pada ketinggian yang berbeda - beda. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah dua jenis tumbuhan paku (pteridophyta) yakni pteris vittata dan pteris ensiformis dengan tiga ketinggian yang berbeda yaitu pada dataran rendah kisaran 82 mdpl, dataran sedang di kisaran 500 – 600 mdpl, dan dataran tinggi sekitar 900 – 1000 mdpl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terlihat dengan jelas perbedaan jumlah poliploidi pada ketinggian yang berbeda. Tumbuhan paku pteris vitttata yang berada pada dataran rendah memiliki tipe kromosom diploid berada pada fase telofase. Tumbuhan paku pteris vitata yang berada pada dataran sedang memiliki tipe kromosom triploid berada pada fase telofase Tumbuhan paku pteris vittata pada dataran tinggi memiliki tipe kromosom tetraploid berada pada fase profase. Sedangkan untuk tumbuhan paku pteris ensiformis yang berada pada dataran rendah memiliki tipe kromosom triploid berada pada fase metafase. Tumbuhan paku pteris ensiformis yang berada pada dataran sedang memiliki tipe kromosom triploid berada pada fase telofase. Tumbuhan paku pteris ensiformis yang berada pada dataran tinggi memiliki tipe kromosom tetraploid berada pada fase profase. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat poliploidi pada berbagai ketinggian

Kata kunci: poliploidi, kromosom, tumbuhan paku (pteridophyta), pteris vitata, pteris ensiformis

PENDAHULUAN

Tumbuhan paku merupakan salah satu marga besar dari suku Pteridaceae. Pteris termasuk tumbuhan paku kosmopolitan yang dapat mendiami berbagai jenis habitat. Jenis-jenis dari marga ini dapat tumbuh pada tempat-tempat lembap dengan elevasi rendah hingga tinggi (0−3500 mdpl.), baik di tempat-tempat terbuka maupun ternaungi (Astuti et al., 2019).

Pteris adalah genus pakis yang cukup besar yang terdiri dari sekitar 250 spesies. Secara morfologi, spesies Pteris dikenali dari sorus pada bagian tepi daun (marginal) yang ditopang oleh vena kolektivus dan dilindungi oleh indusium yang dibentuk oleh tepi lamina yang direfleksikan, dan oleh spora trilet yang biasanya terdapat pada cingulum ekuator (Karmana, 2017). Pteris termasuk kedalam tanaman herbaceus, biasanya tumbuh merayap, pendek, tegak, rimpang biasanya kompak, daun bertangkai dengan lamina dibagi menjadi pengaturan menyirip sederhana untuk bipinnate, atau kadang-kadang tripartit, biasanya

dengan pinnae basal bantalan pinnule basiscopic diperbesar (Praptosuwiryo dan Mumpuni, 2018).

Pteris vittata atau disebut dengan tanaman paku pakis merupakan salah satu dari spesies pteris yang paling sering dijumpai dan digunakan pada kegiatan penelitian. Menurut Abadiyah et al (2019) Pteris vittata ini merupakan paku terestrial dengan daun majemuk berwarna hijau berbentuk lanset ujung memanjang meruncing pangkal membulat dan tepi anak daun berbentuk lonjong bertoreh teratur dengan ujung memanjang. Sorus terletak di sepanjang tepi kecuali pada ujung

Pteris ensiformis sering dikenal dengan sebutan paku pedang atau paku pelacut merupakan paku terestrial yang memiliki dua jenis daun yaitu daun steril dan daun fertil. Daun steril memiliki tangkai yang lebih pendek dari daun fertil dan membulat dengan tepi daun yang bergerigi, anak daun dari daun fertil ini memiliki ujung yang lebih panjang dari anak daun lainnya. Sedangkan daun fertil memiliki struktur yang berbeda dengan daun steril. Daun fertil memiliki anak daun yang berbentuk tajuk dengan tepi yang rata. Sorus

(2)

terdapat pada sepanjang tepi daun bagian bawah dan tertutup oleh tepi daun yang menggulung ternaungi (Abadiyah et al., 2019).

Poliploidi adalah suatu kondisi individu memiliki lebih dari dua genom. Ploidy merujuk pada banyaknya himpunan kromosom dasar yang dimiliki oleh makhluk hidup. Set dasar kromosom dalam organisme yang disebut monoploid. Angka ini ditunjukkan oleh x. dalam suatu organisme yang ploidi sel dapat bervariasi (Arumningtyas. 2016).

Pada umumnya makhluk hidup memiliki inti sel dari sel tubuh atau sel somatic yang normal memiliki dua set kromosom (diploid, 2x = 2n).

Sebagai pengecualian pada beberapa organisme banyak diantaranya tumbuhan memiliki jumlah set yang lebih dari dua inilah yang umumnya disebut dengan organisme poliploidi. Tanaman yang paling sering terdapat poliploidi yakni gandum (heksaploid, 6x = 2n), kentang (diploid, 4x = 2n), dan tebu (oktaploid, 8x = 2n). sel endosperma bersifat triploid 3n karena terjadi penggabungan dua genom pada sel kutub Lembaga (Cox et all., 2020).

Kromosom merupakan suatu rangkaian DNA dan molekul lain yang menjadi tempat tersimpannya materi genetic. Kromosom terletak dalam inti sel atau nukleus. Kromosom merupakan benang-benang halus di dalamnya terdapat gen.

Struktur kromosom terdiri dari sentromer, lengan kromosom, kromatid, kromonema, telomer, matrik, lokus dan gen. Zubaidah (2006) mengatakan, bahwa Informasi tentang kromosom sangat penting yang dapat digunakan untuk mengetahui proses evolusi dan keanekaragaman pada tumbuhan, karena kromosom membawa gen-gen yang mengandung informasi genetik dan diekspresikan dalam fenotip. Secara umum jumlah kromosom pada sel suatu spesies adalah konstan, sedangkan pada tumbuhan paku sering mengalami poliploidi akibat berbagai proses baik proses somatic maupun meiotic (Wang et all., 2021). Lebih lanjut dinyatakan bahwa perbedaan tingkat ploidi tumbuhan paku sering kali dikaitkan dengan morfologi, sehingga bila sudah diketahui tingkat ploidi dan morfologinya, jumlah kromosom biasanya dapat diprediksi dari studi morfologi.

Mitosis merupakan peristiwa pembelahan sel yang menghasilkan dua sel anak dengan jumlah kromosom yang sama seperti sel induknya.

Pembelahan mitosis hanya terjadi pada sel eukariotik, sedangkan sel prokariotik tidak dapat melakukannya, karena sel prokariotik tidak

memiliki inti sel (nucleus), membran inti sel, dan mitokondria, sedangkan mitosis memerlukan organel-organel tersebut (Salsabila et all., 2021)

Proses pembelahan mitosis terjadi di semua sel-sel tubuh (somatis), kecuali sel-sel kelamin (gamet). Pada tumbuhan, pembelahan mitosis terjadi di jaringan meristem, seperti ujung akar dan ujung tunas batang. Pembelahan mitosis berfungsi untuk pertumbuhan sel tubuh, mengganti sel-sel tubuh yang rusak (regenerasi), dan mempertahankan jumlah kromosom. Terdapat empat fase (tahap) pembelahan mitosis, di antaranya profase, metafase, anafase, dan telofase (Kara dan Yazar, 2022).

METODE

Pada praktikum poliploidi pada pteridophyte ini terdapat beberapa metode yang dilakukan selama pengamatan yakni pertama asisten praktikum menentukan bahan yang berupa pteris vitata, dan P ensiformis dari tiga lokasi daerah dengan ketinggian yang berbeda – beda, yakni di dataran rendah dengan ketinggian sekitar 82 mdpl, dataran sedang dengan ketingian sekitar 500 – 600 mdpl, dan dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 900 – 1000 mdpl. Setelah itu memotong sekitar 1 cm tudung akar dari kedua bahan tersebut, lalu masukkan potongan tadi ke dalam botol vial yang berisi larutan FAA untuk menghentikan proses mitosis yang berlangsung pada akar tanaman tersebut, diamkan selama beberapa saat. Kemudian ambil potongan tudung akar dari botol vial menggunakan pinset lalu mencuci dengan air kran atau air mengalir sebanyak 8 kali.

Setelah dicuci tudung akar dimasukkan Kembali kedalam botol vial yang telah berisi larutan HCL 1N. Selanjutnya pasang sterofoan yang telah dilubangi pada botol vial, lalu masukkan botol vial ke dalam waterbat yang telah diisi air.

Atur suhu wterbat di kisaran 600C dan nyalakan waterbat, tunggulah hingga lampu merah pada waterbat mati. Setelah lampu mati selanjutnya diamkan selama 15 menit, setelahnya keluarkan potongan akar menggunakan pinset dan letakkan di atas kaca benda.

Metode yang kedua yakni memotong tudung akar dengan silet, teteskan acetocarmine, letakkan diatas kaca benda, lalu tutup dengan kaca penutup, dan tekan kaca penutup dengan ibu jari hingga akar memipih, lalu amatilah di bawah

(3)

mikroskop menggunakan perbesaran 1000x. Jika sudah terlihat kromosomnya, kemudian hitunglah kromosom yang terlihat pada sel tersebut yang sedang mengalami metaphase atau anafase dengan menggunakan hand counter. Perhitungan dilakukan dengan mengamati 5 sel pada setiap preparat dan masing – masing preparat dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Setelah proses pengamatan telah dilakukan Langkah selanjutnya yakni menganalisis hasil data yang telah diperoleh dengan kelompok untuk mengetahui poliploidi pada masing – masing tumbuhan pada tiap ketinggian guna mengetahui perbedaannya pada tumbuhan disetiap ketinggian.

HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan poliploidi pada pteridophyta pada dapat dilihat pada tabel dibawah

Nama

Pteris Gambar

Jumlah Kromoso

m

Fase Kelompo

k 1 : Pteris vitata (Rendah)

2n Diploid

Telofase

Kelompo k 2 : Pteris vitata (Sedang)

3n Triploid

Telofase

Kelompo k 3 : Pteris vitata (Tinggi)

4n Tetraploid

Profase

Kelompo k 4 : Pteris Ensiformi s (Rendah)

3n Triploid

Metafas e

Kelompo k 5 : Pteris Ensiformi s (Sedang)

3n Triploid

Telofase

Kelompo k 6 : Pteris Ensiformi

4n Tetraploid

Profase

s (Tinggi)

PEMBAHASAN

Poliploidi merupakan fenomena yang umum terjadi pada tumbuhan dimana pada satu individu memiliki dua gen. Menurut Pierce (2002)

Approximately 40% of all flowering-plant species and from 70% to 80% of grasses are polyploids.

They include a number of agriculturally important plants, such as wheat, oats, cotton, potatoes, and sugar cane”. Poliploidi dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok pertama autopoliploidi merupakan hasil dari pembelahan mitosis atau meiosis yang menghasilkan tambahan set kromosom penggandaan kromosom tersebut melalui penggabungan genom-genom yang sama berasal dari satu spesies, ploidi yang dihasilkan dari proses ini adalah aneuploid (kromosom abnormal) dalam bentuk triploid, tetraploid dan pentaploid.

Kelompok kedua alopoliploidi adalah penggandaan kromosom yang terjadi melalui penggabungan genom-genom yang berbeda berasal dari dua atau lebih spesies (Pierce, 2002).

Faktor – faktor yang dapat menyebabkan terjadinya poliploidi antara lain, penyimpangan pada meiosis, penggunaan bahan kimia (misalnya penggunaan kolkisin), sel somatik mengalami penggandaan secara tidak beraturan, serta sel reproduksi yang mengalami reduksi secara tidak beraturan.

Poliploidi umumnya dapat terjadi pada tumbuhan, khususnya pada tumbuhan tingkat tinggi. Oleh karena itu, praktikum kali ini menggunakan dua jenis pteridophyta dari 3 tempat ketinggian yang berbeda yaitu dataran tinggi, sedang, dan rendah. Alasan yang mendasar ialah poliploidi salah satunya disebabkan oleh faktor lingkungan, misal pengaruh suhu terhadap jumlah kromosom. Pada daerah dataran rendah cenderung bersifat diploid. Pada daerang dataran sedang biasanya bersifat triploid, dan pada dataran tinggi dengan suhu yang rendah, tumbuhan paku cenderung memiliki ploidi yang besar biasanya bersifat tetraploid.

Pada praktikum acara kedua ini dengan judul poliploidi pada pteridophyta memerlukan beberapa alat dan bahan. Adapun alat yang digunakan yakni dua buah botol vial, water bath, mikroskop, kaca benda, kaca penutup, penjepit kayu, pinset, cutter, penggaris, sterofoam, kertas label, tissue. Adapun bahan yang digunakan yakni

(4)

Pteris vitatta, dan Pteris ensiformis pada tiga ketinggian yang berbeda, minyak emersi, larutan HCL 1N, larutan FAA, safranin, dan air.

Fungsi dari alat dan bahan ini telah sesuai untuk membantu praktikan selama kegiatan praktikum berlangsung. Yakni fungsi alat yang pertama dua buah botol vial digunakan untuk wadah tempat menampung pteris vitatta, dan pteris ensiformis didalam larutan FAA dan HCL selama 15 menit. Waterbath berfungsi untuk menciptakan suhu yang konstan pada kondisi tertentu selama selang waktu yang telah ditentukan. Mikroskop digunakan untuk mengamati tahap – tahap pembelahan mitosis yang terlihat pada pteris vitatta, dan pteris ensiformis serta jumlah kromosom yang dapat teramati. Selanjutnya yakni kaca benda yang berfungsi untuk meletakkan akar pteris vitatta, dan pteris ensiformis sebelum kemudian diamati di bawah mikroskop. Kaca penutup berfungsi untuk menjaga agar spesimen yakni pteris vitatta, dan pteris ensiformis ketika ditekan dengan ibu jari, agar fase mitosis yang teramati lebih terlihat jelas.

Fungsi alat selanjutnya adalah penjepit kayu yang berfungsi untuk memudahkan praktikan mengangkat botol vial yang sudah direndam dalam waterbath agar tangan praktikan aman dari suhu yang panas. Pinset berfungsi untuk memudahkan praktikan mengambil akar yang berukuran sangat kecil. Cutter berfungsi untuk memotong spesimen.

Penggaris berfungsi untuk mengukuur spesimen sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan yakni sekitar 1 cm. Sterofoam berfungsi untuk wadah menyimpan botol vial ketika dipanaskan di dalam waterbath. Kertas label berfungsi untuk memberi tanda atau penamaan pada spesimen maupun bahan yang digunakan agar tidak tertukar dengan spesimen atau bahan lainnya. Alat terakhir yang digunakan yakni tissue yang berfungsi untuk menyerap cairan berlebih, membersihkan preparate, dan mengeringkan spesimen setelah dicuci dengan air mengalir.

Sedangkan bahan pertama yang digunakan yakni pteris vitatta, dan pteris ensiformis dari tiga ketinggian yang berbeda sebagai spesimen yang akan diteliti, minyak emersi berfungsi untuk memperjelas preparate. Larutan HCL 1N berfungsi untuk menghidrolisis dinding sel agar menjadi lunak dan mudah ketika di penyet atau ditekan dengan ibu jari. Larutan FAA berfungsi untuk menghentikan aktifitas pembelahan mitosis pada akar sehingga mudah ketika dilakukan pengamatan.

Safranin berfungsi untuk memberikan warna pada preparate sehingga memudahkan praktikan ketika melakukan pengamatan, safranin merupakan zat yang memberikan warna merah pada preparat

Langkah kerja pada praktikum kali ini dimulai dengan mencari bahan yakni pteris vitatta, dan pteris ensiformis dari tiga ketinggian yang berbeda. Tiga ketinggian yang digunakan yakni dataran rendah sekitar 82 mdpl, dataran sedang sekitar 500 – 600 mdpl, dan dataran tinggi sekitar 900 – 100 mdpl Alasan menggunakan bahan dari tiga ketinggian yang berbeda yakni karena untuk membandingkan jumlah poliploidi yang teramati pada tiga daerah ketinggian yang berbeda tersebut.

Langkah kedua yakni memilih akar yang masih muda dan memotong tudung akar muda tersebut sekitar 1 cm. Alasan menggunakan akar yang masih muda yakni karena akar muda biasanya berada pada fase pembelahan maksimum, jadi sel – sel yang pada akar muda biasanya masih sangat aktif membelah, selain itu alasan memotong sekitar 1cm yakni agar ukuran dari spesimen seragam dan merupakan ukuran yang ideal atau ukuran yang pas ketika nanti akan diletakkan di preparat, tidak terlalu kecil tetapi tidak juga terlalu panjang.

Setelah dilakukan pemotongan selanjutnya akar tadi dimasukkan kedalam botol vial yang sebelumnya telah diisi oleh larutan FAA. Alasan akar tadi diletakkan kedalam larutan FAA yakni karena larutan FAA merupakan larutan fiksatif yang dapat menahan sel agar tidak terus membelah atau menghentikan proses mitosis yang sedang berlangsung sehingga tahap – tahap pembelahan mitosis dapat dengan jelas teramati oleh praktikan.

Pada proses ini dilakukan selama 15 menit.

Langkah ketiga yakni mencuci akar yang sebelumnya telah dimasukkan kedalam larutan FAA sebanyak 8 kali dengan air mengalalir, pencucian sebanyak 8 kali ini bertujuan untuk menghilangkan larutan fiksatif dari spesimen.

Setelah dicuci tudung akar dimasukkan ke dalam botol vial yang telah berisi larutan HCL 1N yang berfungsi untuk memperjelas batas antara daerah tudung akar dengan bagian lain yang tidak diamati.

Langkah keempat membuat lubang pada sterofoam, lubang tersebut nantinya merupakan wadah peletakan botol vial masing – masing spesimen agar ketika diletakkan di dalam waterbath yang berisi air, botol – botol vial tersebut mengapung diatas air tetapi tetap berada pada proses pemanasan dengan suhu yang konstan.

Alasan menggunakan sterofoam yakni karna

(5)

sterofoam ringan dan tidak menyerap air sehingga botol vial dapat mengapung. Kemudian mengatur waterbat pada suhu 60o C lalu meletakkan sterofoam keatasnya dan diamkan selama 15 menit, setelah 15 menit keluarkan botol vial menggunakan penjepit kayu. Alasan menggunakan penjepit kayu yakni agar tangan praktikan terhindar dari suhu panas. Setelah dikeluarkan dari waterbat, kemudian ambil akar menggunakan pinset dan letakkan diatas kaca benda.

Langkah kelima yakni meneteskan safranin keatas kaca benda yang telah berisi akar kemudian diamkan selama lima menit, setelah lima menit serap cairan safranin yang berlebih pada kaca benda menggunakan tissue, kemudian tutup kaca benda dengan kaca penutup, tekan kearah depan kaca benda secara perlahan menggunakan ibu jari.

Lalu menetesi minyak emeris di atas kaca penutup agar preparat lebih jernih dan mudah untuk diamati.

Langkah terakhir yakni mengamati di bawah mikroskop meggunakan perbesaran 1000x agar fase mitosis dan jumlah kromosom dapat teramati dengan jelas. Lakukan pengamatan dengan menganalisis pada setiap spesimen di ketinggian yang berbeda – beda.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terlihat dengan jelas perbedaan jumlah poliploidi pada ketinggian tumbuhan pteris yang berbeda.

Tumbuhan paku pteris vitttata dataran rendah dengan perbesaran mikroskop 400x menunjukkan tipe kromosom 2n atau diploid artinya memiliki sel dengan dua set genom yang pada setiap genom dalam sel berpasalangan dengan homolognya berdasarkan ukuran panjang kromosomnya, serta berada pada fase telofase. Fase telofase merupakan tahap akhir dari pembelahan mitosis dimana kromosom telah sampai pada ujung masing – masing kutub, benang – benang spindel mulai menghilang dan inti sel mulai terbentuk serta terjadi penebalan membran sel dibagian ekuator sehingga sitoplasma terbagi menjadi dua atau terjadi proses sitokinesis, pada fase ini sel sudah bersiap untuk membelah menjadi dua sel.

Tumbuhan paku pteris vitata yang berada pada dataran sedang dengan perbesaran mikroskop 400x memiliki tipe kromosom 3n atau triploid artinya memiliki tiga set kromosom yang disebabkan karena terjadi penggabungan genom pada sel kutub lembaga, serta berada pada fase telofase. Fase telofase merupakan tahap akhir dari pembelahan mitosis dimana kromosom telah sampai pada ujung masing – masing kutub, benang

– benang spindel mulai menghilang dan inti sel mulai terbentuk serta terjadi penebalan membran sel dibagian ekuator sehingga sitoplasma terbagi menjadi dua atau terjadi proses sitokinesis, pada fase ini sel sudah bersiap untuk membelah menjadi dua sel.

Tumbuhan paku pteris vittata pada dataran tinggi dengan perbesaran mikroskop 1000x memiliki tipe kromosom 4n atau tetraploid artinya memiliki empat set kromosom serta berada pada fase profase. Fase profase merupakan fase pembelahan mitosis yang paling lama dan paling banyak memerlukan energi, ditandai dengan benang – benang kromatin dalam inti sel mulai menggulung menjadi rapat, pendek, padat dan menebal menjadi kromosom, lalu kromosom mengganda menjadi kromatid yang dihubungkan oleh sentromer, nucleus menghilang sehingga pada fase ini tidak terjadi transkripsi DNA yang membentuk RNA, dan tebentuk benang – benang spindle yang terbuat dri mikrotubul yang memancar dari kedua sentrosom.

Sedangkan untuk tumbuhan paku pteris ensiformis yang berada pada dataran rendah dengan perbesaran mikroskop 400x memiliki tipe kromosom 3n atau triploid artinya memiliki tiga set kromosom yang disebabkan karena terjadi penggabungan genom pada sel kutub lembaga serta berada pada fase metafase. Fase metafase merupakan fase dimana kromosom mulai terlihat jelas dan bergerak sejajar ditengah sela atau bidang ekuator/lempang metafase, serta sentomer dari seluruh kromosom membuat formasi satu baris.

Tumbuhan paku pteris ensiformis yang berada pada dataran sedang memiliki tipe kromosom 3n atau triploid artinya memiliki tiga set kromosom yang disebabkan karena terjadi penggabungan genom pada sel kutub lembaga, serta berada pada fase telofase. . Fase telofase merupakan tahap akhir dari pembelahan mitosis dimana kromosom telah sampai pada ujung masing – masing kutub, benang – benang spindel mulai menghilang dan inti sel mulai terbentuk serta terjadi penebalan membran sel dibagian ekuator sehingga sitoplasma terbagi menjadi dua atau terjadi proses sitokinesis, pada fase ini sel sudah bersiap untuk membelah menjadi dua sel.

Tumbuhan paku pteris ensiformis yang berada pada dataran tinggi memiliki tipe kromosom 4n atau tetraploid artinya memiliki empat set kromosom, serta berada pada fase profase. Fase profase merupakan fase pembelahan mitosis yang

(6)

paling lama dan paling banyak memerlukan energi, ditandai dengan benang – benang kromatin dalam inti sel mulai menggulung menjadi rapat, pendek, padat dan menebal menjadi kromosom, lalu kromosom mengganda menjadi kromatid yang dihubungkan oleh sentromer, nukleus menghilang sehingga pada fase ini tidak terjadi transkripsi DNA yang membentuk RNA, dan tebentuk benang – benang spindle yang terbuat dari mikrotubul yang memancar dari kedua sentrosom. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat poliploidi pada berbagai ketinggian.

Pada praktikum kali ini terdapat beberapa kegagalan yang disebabkan oleh human error yakni kesalahan praktikan dalam menuntukan ketinggian tempat mengambil pteris vitatta, dan pteris ensiformis karena praktikan tidak menggunakan alat untuk mengukur ketinggian, selain itu kesalahan yang sangat terlihat jelas yakni kesalahan praktikan dalam menggunakan mikroskop, sesuai aturan pada saat pengamatan seharusnya praktikan menggunakan perbesaran 1000x tetapi masih terdapat beberapa spesimen yang hanya diamati dengan perbesaran 400x, hal ini juga tidak luput dari alat mikroskop yang digunakan kurang memadai terdapat beberapa mikroskop yang rusak, lensanya kotor, dan ketrampilan praktikan dalam menggunakan mikroskop yang kurang baik.

Selain itu kegagalan pada praktikum dapat disebabkan karena praktikan terlalu lama memberi larutan FAA sehingga sel kromosom membelah pada proses selanjutnya sehingga kromosomnya tak terlihat. Mungkin juga disebabkan oleh pemberian HCl yang terlalu lama sehingga sel menjadi rusak dan kromosom tak terlihat. Kesalahan – kesalahan yang telah disebutkan tadi mempengaruhi dalam hasil yang diperoleh, pada hasil pengamatan terlihat jelas beberapa foto yang sudah bisa diamati fase dan kromosomnya, tetapi Sebagian besar karna perbesarannya tidak mengikuti aturan jadi kurang jelas terlihat jumlah kromosom dan fase yang teramati, akan tetapi jika foto tersebut di zoom akan terlihat meskipun bentukya masih sangat kecil dan tidak begitu jelas.

KESIMPULAN

Poliploidi merupakan suatu peristiwa dimana pada satu individu memiliki dua gen, hal ini merupakan gejala umum yang dapat terjadi pada suatu tanaman. Salah satu yang menyebabkan terjadinya poliploidi yakni suhu dingin. Tumbuhan

paku pteris vitttata dataran rendah memiliki tipe kromosom diploid berada pada fase telofase.

Tumbuhan paku pteris vitata dataran sedang memiliki tipe kromosom triploid berada pada fase telophase. Tumbuhan paku pteris tinggi memiliki tipe kromosom tetraploid berada pada fase profase.

Sedangkan untuk tumbuhan paku pteris ensiformis dataran rendah memiliki tipe kromosom triploid berada pada fase metafase. Tumbuhan paku pteris ensiformis dataran sedang memiliki tipe kromosom triploid berada pada fase telofase. Tumbuhan paku pteris ensiformis dataran tinggi memiliki tipe kromosom tetraploid berada pada fase profase. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat poliploidi pada berbagai ketinggian.

DAFTAR PUSTAKA

Arumingtyas, E, L., 2016. Genetika Mendel Prinsip Dasar Pemahaman Ilmu Genetika. 29 – 33

Cox, C, B., Ladle, R, J., Moore, P, D. 2020.

Biogeography An Ecological and Evolutionary Approach. 200 – 250

Astuti, R, E, F., Hadisunarso., Praptosuwiryo, T, N. 2019. Anatomi Paradermal Daun Enam Jenis Tumbuhan Paku Marga Pteris.

Jurnal Buletin Kebun Raya. 22 (1): 69 -83

Kara, Z., Yazar, K. 2022. Induction of polyploidy in grapevine (Vitis vinifera L.) seedlings by in vivo colchicine applications. Turkish Journal of Agriculture and Forestry . 46 (2): 152 – 159.

Karmana, O. 2017. Cerdas Belajar Biology. 95 - 100

Pierce, B. 2002. Genetics A Conceptual Aprroach.

255 - 260

Praptusuwiryo, T, N., Mumpuni, M. 2018.

Chromosome Numbers Of Some Species Of Pteris (Pteridaceae) in Java, Indonesia.

Journal Biodiversitas. 19 (6): 2119 – 2125.

Salsabila, N., Ramadhani, R, W., Mumpuni, K, E.

2021. The diversity of Pteridophtes in pepe watershed Surakarta polluted by

(7)

household waste. Edubiotik: Jurnal Pendidikan, Biologi Dan Terapan. 6 (02):

160 – 171

Wang X, Morton J, A, Pellicer J, Leitch I, J, Leitch A, R. 2021. Genome downsizing after polyploidy: mechanisms, rates and selection pressures. Plant Journal, 107(4):

1003-1015

Wulandari, A., Rahmawati, R, D. 2019. Tingkat Ploidi Paku Sayur (Diplazium esculentum) Pada Ketinggian Yang Berbeda Di Gunung Merbabu, Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia. Bioeksperimen jurnal. 5 (01):

11 -15.

Zubaidah, S. 2006. Tingkat Poliploidi dan Tipe Produksi Dryopteris Sparsa di Hutan Wisata Cagar Kotatif Batu Jawa Timur.

Jurnal penelitian. 11 (02): 113 – 117.

(8)

LAMPIRAN

Jurnal

(9)

Kutipan buku nasional

Buku internasional

(10)

Referensi

Dokumen terkait

Mitra kegiatan pengabdian masyakat ini adalah KUBE OKESOSGEN yang bergerak pada usaha produksi jahe instan. KUBE OKESOSGEN berada di Desa Pucung, Kecamatan Kismantoro,

This research aims to reveal and to study the influence of the principal entrepreneur leadership and organizational culture toward teacher creativity in the