• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akad Salam dalam Perbankan Syariah

N/A
N/A
Khilmi Zuhroni

Academic year: 2024

Membagikan "Akad Salam dalam Perbankan Syariah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pembiayaan Dengan Akad Salam Dalam Perbankan Syariah Oleh : Verawati

A. Pendahuluan

Salam menurut Muhammad Syafi’i Antonoi (2002:108) yaitu Bai’As- Salam berarti pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi. Salah satunya adalah jual-beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli.

Sedangkan pada penjelasan pasal 3 peraturan Bank Indonesia No.

9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip bank syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bagi bank syariah disebutkan definisi dari salam yaitu transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai yang terlebih dahulu dibayar secara penuh. Biasanya penjual adalah produsen sedangkan pembeli adalah konsumen. Pada kenyataannya konsumen kadang memerlukan barang yang tidak atau belum dihasilkan oleh produsen sehingga konsumen melakukan transaksi jual-beli dengan produsen dengan cara pesanan.

Di dalam hukum Islam transaksi jual-beli yang dilakukan dengan cara pesanan ini disebut dengan Salam (sebutan ini lazim digunakan oleh fuqaha Hijaz) atau Salaf (sebutan ini lazim digunakan oleh fuqaha Iraq). Meski tidak berbeda substansinya, rumusan definisi Salam yang diberikan oleh para fuqaha berbeda-beda. Fuqaha Hanafiyah mendefinisikannya dengan:

“Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda atau menjual suatu barang yang yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari”.

(2)

2

Fuqaha Hanabilah dan Syafi’iyah mendefinisikannya dengan “Akad yang telah disepakati untuk membuat sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kepada pembeli dikemudian hari”. Sedangkan Fuqaha Malikiyah mendefinisikannya dengan: “Jual-beli yang modalnya dibayar terlebih dahulu,sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang telah disepakati”.

Pembiayaan merupakan aktivitas yang sangat penting karena dengan pembiayaan akan diperoleh sumber pendapatan utama dan menjadi penunjang kelangsungan usaha bank. Sebaliknya, bila pengelolaannya tidak baik akan menimbulkan permasalahan dan berhentinya usaha bank. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu manajemen pembiayaan syariah yang baik sehingga penyaluran dan atau dalam hal ini pembiayaan kepada nasabah bisa efektif dan efisien sesuai dengan tujuan dari perusahaan maupun syariat Islam itu sendiri. karena itu penulis mencoba memaparkan bagaimana konsep dari manajemen pembiayaan Salam itu sendiri sehingga diharapkan baik penulis, rekan mahasiswa, maupun masyarakat bisa lebih memahami mengenai manajemen pembiayaan Salam.

B. PEMBAHASAN

Sebagian besar bank syariah saat ini lebih suka menggunakan akad murabahah, mudharabah, musyarakah dan ijarah dalam produk pembiayaan mereka karena bank syariah masih berorientasi pada bisnis dan umumnya waktunya relatif singkat. Selain itu ketertarikan masyarakat memang kurang pada produk-produk yang berkaitan dengan kurangnya edukasi dan sosialisasi juga bisa menjadi salah satu penyebab kurangnya produk Salam.

Kesulitan yang dihadapi oleh bank untuk terjun langsung atau menyediakan persediaan barang untuk mengelola pesanan secara profesional

(3)

3

dan biaya yang dikeluarkan karena bank yang lebih besar umumnya terletak jauh dari bank, serta risiko kerugian akibat fluktuasi harga juga menjadi salah satu hambatan untuk produk salam.

Dalam penjelasan pasal 3 peraturan Bank Indonesia No.

9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip bank syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bagi bank syariah disebutkan definisi dari salam yaitu “Salam adalah transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai yang terlebih dahulu dibayar secara penuh.

Sedangkan definisi Salam menurut Muhammad Syafi’i Antonoi (2002:108) yaitu Bai’ As-Salam berarti pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka. Menurut PSAK 103 menjelaskan Salam adalah akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual (muslam illaihi) dan pelunasannya.

Modal salam harus dapat ditetapkan dengan menyebutkan dasar- dasar pengukuran untuk menilai modal salam yang akan dicatat bank syariah pada saat dibayar (untuk salam) atau pada saat diterima untuk (salam paralel). Bila modal salam dalam bentuk tunai, hal ini teridentifikasi oleh jenis mata uang dan dan jumlahnya, tetapi apabila dalam bentuk barang atau manfaat, ini diukur dengan nilai wajar dari aset atau manfaat tertsebut, yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Dengan digunakannya nilai wajar dari pada nilai historis memberikan informasi yang berguna bagi para pengguna informasi laporan untuk mengambil keputusan berkaitan dengan hubungan antara mereka dan bank.

Penggunaan nilai wajar juga mencerminkan pelaksanaan. Lebih lanjut, pembiayaan salam merupakan pembiayaan yang dengan prinsip syariah dengan menggunakan akad jual beli barang pesanan dengan penangguhan

(4)

4

pengiriman oleh penjual dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan jangka waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Salam adalah pembelian barang dengan penyerahan (delivery) yang ditangguhkan sedangkan pembayaran dilakukan diawal, menurut syarat-syarat tertentu.

Landasan Syariah

a. Al-Qur’an

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”

(al-Baqarah: 282). Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya”. Ia lalu membaca ayat tersebut di atas.

b. Al-Hadits

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasullah SAW. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukannya melakukan salaf (salam) dalam buah- buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata,

“barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”Dari Shuhaib r.a bahwa Rasullah SAW. Bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan campur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah).

(5)

5

Syarat Bai’ as-Salam (Fatwa DSN No. 05/DSN-MU/IV/2000)

Disamping segenap rukun harus terpenuhi, bai` as-salam juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Dibawah ini akan diuraikan dua diantara rukun-rukun terpenting, yaitu modal dan barang.

1. Modal Transaksi Bai` as-salam a. Modal harus diketahui

Barang yang akan dikirim harus diketahui jenis, kualitas, dan jumlahnya. Hukum awal mengenai pembayaran adalah bahwa ia harus dalam bentuk uang tunai.

b. Penerimaan Pembayaran Salam

Kebayakan ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan di tempat kontrak. Hal tersebut dimaksudkan agar pembayaran yang diberikan oleh al-muslam (pembeli) tidak dijadikan sebagai utang penjual. Lebih khusus lagi, pembayaran salam tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang yang harus dibayar dari muslam ilaih (penjual). Hal ini untuk mencegah praktik riba melalui mekanisme salam.

2. Barang

Diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-muslam fiihi atau barang yang ditransaksikan dalam bai` as-salam adalah sebagai berikut:

a. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang

b. Harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebut (misalnya beras atau kain), tantang klasifikasi kualitas, serta mengenai jumlahnya.

c. Penyerahan barang dilakukan kemudian hari. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus ditunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab Syafi’I membolehkan penyerahan segera.

(6)

6

d. Bolehnya menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang,

e. Tempat penyerahan; pihak-pihak yang berkontrak harus menunjukkan tempat yang disepakati dimana barang harus diserahkan. Jika kedua belah pihak yang berkontrak tidak menetukan tempat pengiriman,barang harus dikirim ketempat yang menjadi kebiasaan, misalnya gudang sipenjual atau bagian pembelian si pembeli

f. Penggantian muslam fiihi dengan barang lain; para ulama melarang penggantianmuslam fiihi dengan barang barang lainnya. Penukaran atau penggantian barang assalam ini tidak diperkenankan, karena meskipun belum diserahkan, barang tersebut tidak lagi milik si penjual, tetapi sudah meilik pembeli. Bila barang tersebut diganti dengan barang yang memiliki spesifik dan kualitas yang sama, meskipun sumbernya berbeda,para ulama membolehkan. Hal demikian dianggap sebagai jualbeli melainkan penyerahan unit yang lain untuk barang yang sama.

Bai’ As-Salam Paralel 1. Pengertian

Salam paralel berarti melaksanakan dua transakasi bai` as- salam antara nasabah, dan antara bank dan pemasok atau pihak ketiga secara simultan. Dewan pengawas syariah rajhi banking &

investment corporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktik salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak tergantung pada pelaksanaan akad salam yang pertama.

Beberapa ulama kontemporer memberikan catatan atas transaksi salam paralel, terutama jika perdagangan dan transaksi

(7)

7

semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjerumuskan kepada riba.

2. Perbedaan Bai’ as-salam dengan Ijon

Banyak orang yang menyamakan bai; as-salam dengan ijon, padahal terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Dalam ijon, barang yang dibeli telah diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik. Demikian juga penetapan harga beli, sangat bergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang seringkali lebih dominan dan menekan petani yang posisinya lemah. Adapun transaksi bai’ as- salam mengharuskan adanya dua hal berikut;

a. Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas. Tercermin dari hadist Rasullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas “Barangsiapa melakukan transaksi salaf (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang jelas pula”

b. Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Hal ini terutama dalam penyepakati harga. Allah SWT berfirman “…..

kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengansuka sama suka diantara kalian…..” (an-Nisa’: 29)

3. Aplikasi dalam Perbankan

Bai` as-Salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relative pendek, yaitu 2-6 bulan.

Karena yang dibeli oleh bank adalah seperti barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak berniat untuk menjadikan barang- barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, dilakukanlah akad bai` assalam kepada pembeli kedua, misalnya kepada bulog, pedagang pasar induk, atau grosir. Inilah dalam perbankan Islam dikenal sebagai salam paralel. Bai` as-salam juga dapat diaplikasikan

(8)

8

pada pembiayaan barang industry, misalnya produk garmen yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah menjaukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut.

al itu berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut. Bila garmen itu telah selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan tersebut kemudian membayar kepada bank, baik secara tunai ataupun mengangsur.

4. Tujuan, Fungsi dan Manfaat

Sesungguhnya, ajaran Islam sangat memperhatikan masalah pertanian. Rasulullah SAW telah membuat pengecualian dalam hal larangan forward transaction kepada sektor pertanian. Pengecualian inilah yang dalam terminologi fiqh disebut dengan bai' as salam. Bai' as salam adalah jual beli yang dilakukan, di mana penjual (muslam ilaih) setuju untuk mensuplai sejumlah barang dengan kualitas dan karakteristik tertentu (muslam fiih) pada tanggal tertentu di masa yang akan datang kepada pembeli (rabbus salam). Sementara pembeli membayar harga jual secara penuh (ra'sul maal) saat terjadi transaksi. Biasanya harga yang disepakati lebih rendah dari harga pasar. Hal tersebut dimaksudkan agar kepentingan pembeli tidak terabaikan. Tujuan Rasulullah SAW membolehkan adanya transaksi semacam ini adalah agar petani dapat terpenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan modal untuk berproduksi, maupun kebutuhan untuk kehidupan keluarganya sehari-hari. Setelah munculnya larangan

(9)

9

untuk meminjam uang dengan riba, maka petani otomatis tidak dapat mengambil pinjaman tersebut padahal mereka sangat membutuhkannya. Karena itulah, oleh Rasulullah SAW mereka diperbolehkan untuk menjual produknya di muka, tentu saja dengan sejumlah persyaratan. Transaksi salam dilakukan karena pembeli berniat memberikan modal kerja terlebih dahulu untuk memungkinkan penjual (produsen) memproduksi barangnya. Manfaat bai’as-salam adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli. Adapun manfaat lain bagi bank sebagai berikut:

a. sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dalam rangka memperoleh barang tertentu sesuai kebutuhan nasabah akhir.

b. memperoleh peluang untuk mendapatkan keuntungan apabila harga pasar barang tersebut pada saat diserahkan ke bank lebih tinggi daripada jumlah pembiayaan yang diberikan.

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam realitanya aplikasi akad salam ke dalam bentuk produk pembiayaan belum dilakukan. Sebagian besar bank-bank syariah saat ini lebih memilih untuk menggunakan akad murabahah, mudharabah,musyarakah, dan ijarah di dalam produk pembiayaan mereka karena bank syariah masih berorientasi pada bisnis dan umumnya masanya relatif jangka pendek. Selain memang minat masyarakat yang kurang atas produk salam kurangnya edukasi dan sosialisasi juga bisa menjadi salah satu penyebab minimnya produk salam.

Kesulitan yang dihadapi bank untuk terjun langsung atau menyediakan inventaris untuk mengelola barang pesanan secara professional

(10)

10

dan biaya yang dikeluarkan bank lebih besar karena lokasinya umumnya jauh dari bank tersebut, serta resiko kerugian akibat fluktuasi harga juga menjadi salah satu penghambat adanya produk salam. Pembiayaan dengan akad salam sebenarnya diakui eksistensinya di perbankan syariah.

Hal ini ditunjukkan dalam data statistik perbankan syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia mulai tahun 2003 hingga tahun 2011, pembiayaan dengan akad salam selalu ditampakkan dalam setiap laporan tahunannya. Sayangnya data menunjukkan bahwa akad salam sudah tidak lagi diterapkan di bank syariah (0,00%).

Tidak hanya itu, Bank Indonesia selaku otoritas industri perbankan juga telah menetapkan standarisasi bagi akad salam dalam PBI (Peraturan Bank Indonesia) tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang tercantum dalam pasal 11 dan pasal 12. Disamping itu juga disertai adanya aturan baku tentang penerapan akuntansi akad salam, yang tercantum dalam PSAK No.103 tentang Akuntansi Salam.

(11)

11

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani Press. Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani Press.

Antonius, 1993, Pedoman Pengelolaan Bank Syariah, Jakarta : LPPBS.

BPRS PNM Al-Ma’soem Muhammad, 2005, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta : UPP AMP YKPN Departemen Agama RI, 2003, Al-Qur’an dan Terjemahan, Bandung : CV. Diponegoro.

Frank E.Vogel and samuel L. Hayes,III. 2009. Islamic Law and Finance (religion,risk and return) dalam buku arab islamic laws series. The hague. London. Boston, Kluwer Law International (2009:213)

Harahaf, Sofyan Safri dkk Akuntansi Perbankan Syariah. 2005. Akuntansi Perbankan Syariah

Referensi

Dokumen terkait

Pendapatan pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah dan ijarah tidak memiliki pengaruh positif terhadap profitabilitas bank umum syariah dapat disebabkan oleh beberapa

(2014) Analisis Pengaruh Pendapatan Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, Murabahah dan Independen: Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, Murabahah dan Ijarah, Dependen:

Selanjutnya dalam penelitian Puteri, dkk (2014) yang berjudul pengaruh pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah, Istishna dan Ijarah terhadap profitabilitas bank

Pengaruh Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Istishna dan Ijarah Terhadap Profitabilitas Pada Bank Umum Syariah Di Indonesia.. Akuntabilitas : Jurnal

Kata Kunci: Sukuk Negara; Surat Berharga Syariah Negara; Obligasi Syariah Mudharabah; Obligasi Syariah Ijarah; Obligasi Syariah Mudharabah Konversi; Sukuk Ijarah;

Pengaruh Pembiayaan Mudharabah, Pembiayaan Musyarakah, dan Pembiayaan Murabahah Terhadap Profitabilitas Pada Bank Syariah Mandiri Dan Bank Muamalat Indonesia Studi pada Bank Umum

Pengaruh Pembiayaan Murabahah, Istishna, Ijarah, Mudharabah dan Musyarakah terhadap Profitabilitas Bank Umum Syariah di Indonesia.. Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 09/DSN -

Berdasarkan hasil penelitian Puteri dkk 2014 yang berjudul pengaruh pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah, Istishna dan Ijarah terhadap profitabilitas bank umum syariah di