TAFSIR Q.S AL-FIL PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Study of Qur’anic Exegesis Text
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.
Dr. Abdul Hakim Wahid, SHI., M.A
Disusun oleh
Imarotuz Zulfa - 21211200100046 [email protected]
Magister Pengkajian Islam Konsentrasi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Desember 2022
A. Latar Belakang
Surah al-Fil disepakati para ulama turn di Mekah atau disebut juga surah Makiyvah. Surah ini diturunkan setelah surah al-Kafirün. Nama surah ini biasa disebut dengan nama surah al-Fil. Di sisi lain ada juga yang menamainya dengan surah alam tará. Tetapi tetap saja al-Fil sebagai nama yang paling populer pada surah ini. Kedua nama itu diambil dari ayatnya yang pertama
Dalam segi perurutannya, surah al-Fîl in merupakan surah ke-19 dan turn setelah surah al-Kafirûn dan sebelum surah al-Falaq. Ada juga yang mengatakan bahwa surah in turn setelah surah Quraisy, hal ini karena mereka mengaitkan secara redaksional akhir ayat surah al-Fil dengan awal surah Quraisy. Adapun jumlah bilangan ayatnya adalah 5 ayat.1
Kata al-Fîl biasa dimaknai dengan arti gajah. Menurut Quraish Shihab kata al-Fil dalam surah al-Fil berbentuk tunggal. Karena itu ada yang berpendapat bahwa pasukan Abrahah hanya membawa seekor gajah, tetapi di sisi lain ada juga yang memahami dalam arti banyak gajah. Hal ini dapat difahami karena ada kata
“al” yang dirangkai dengan kata “fil” sehingga mengandung arti banyak.
Sebagian ulama berpendapat bahwa pasukan tersebut membawa banyak gajah, ada yang menyatakan delapan ekor, ada juga yang menyatakan dua belas ekor namun satu di antaranya amat besar. Selain itu, banyak perbedaan pendapat mengenai kata “thayran ababil” di kalangan ahli tafsir.
Salah satu kitab tafsir yang memiliki perbedaan penafsiran dengan mufasir yang lain ialah tafsir Al-Quran al-Karim karya Muhammad Abduh.
Tafsir ini sering dibicarakan oleh ahli karena beberapa penafsiran yang kontroversional. Kata ababil menurut Muhammad Abduh ialah kawanan burung atau kuda. Sedangkan yang dimaksud dengan tayran ialah hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh kecil ataupu besar, tampak oleh pengelihatan mata ataupun tidak.2 Berbeda dengan pendapat Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa ababil adalah sejenis burung alap-alap, masing-masing paruh membawa tiga batu; satu di paruhnya, dan dua di masing-masing kakinya.3 Al-Maraghi menafsirka kata thayran abaabiil dengan nyamuk,4 sedangkan Sayyid Quth menafsirkan kata thayran abaabiil dengan lalat atau nyamuk5. Berangkat dari perbedaan inilah penulis tertarik untuk mengkaji dan menuangkan dalam paper ini.
1 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al- Ouran (Jakarta: Lentera Hati, 2001) Vol. 15. h. 521.
2 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 320
3 Ibn Katsir, Tafsiir Ibn Katsir
4 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi
5 Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhīlal al-Quran
B. Pembahasan
1. Biografi Muhammad Abduh
Nama Muhammad Abduh adalah muhammad bin abduh bin hasan khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M.6 Namun ada pendapat bahwa tahun dan tempat kelahiran Muhammad Abduh tidak dapat dipastikan karena orang tua Muhammad Abduh yang tidak terlalu mementingkan tempat dan waktu kelahiran. Hal ini disebabkan mengikuti kebiasaan penduduk desa orang tua Muhammad Abduh yang tidak memntingkan hal tersebut.7 Tidak dapat dipastikannya juga karena orang tua Muhammad Abduh sering berpindah- pindah tempat untuk menghindari beban pajak yang mana suasana kacau di akhir kekuasaan Muhammad Ali menggunakan kekerasan dalam pengumpulan pajak.8 la berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula ket urunan bangsawan. Bapak Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah yang berasal dari Turki. Sedangkan ibunya berdasarkan suatu riwayat berasal dari silsilah yang sampai kepada Umar bin Khattab9. Namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang dikenal sebagai orang yang terhormat yang suka memberi pertolongan.10
Muhammad Abduh memiliki banyak karya yang diantaranya yang bukan mengenai tafsir adalah Risalah Al-Tauhid, Risalah fi Wihdah al- Wujud, Falsafahal-Ijtima’waAl-Tarikh, Syarahal-Basairal Nasiriyah,SyarahNahjal-balaghah, Tarikh Ismail Basha, Nizam Al-Tarbiyah wa Al-Ta’limbi Misr. Dan yang mengenai tafsir adalah Tafsir juz ‘amma, Tafsir surah al-asr, Tafsir al-fatihah sampai dengan surat al-nisa’ ayat 129, Tafsir ayat-ayat surah al-nisa’: 77 dan 87, al-hajj: 52,53 dan Al-Ahzab: 37.
Namun, karya yang tentang tafsir ini tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, melainkan oleh muridnya yang terkadang disempurnakan oleh Muhammad Abduh sebelum diterbitkan di majalah al-Mannar.
2. Kondisi Sosio-Politik
Kecendrungan minat politik (political will) seorang tokoh tentu saja dapat memengaruhi legal paridgm-nya ketika ia membingkai kaidah-kaidah dalam hukum Islam. Al-Syafi’i, misalnya, sebagai tokoh sentral pemikiran
6 Quraish Shihab, Studi Kritis..., h. 11
7 Abbas Nurlelah, Juni 2014, "Muhammad Abduh: Konse Rasionalisme Dalam Islam" Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15. No. 1,
8 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h. 49
9 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h. 50
10 Quraish Shihab, Studi Kritis..., h. 11
dalam hukum islam, berupaya merumuskan konsep hukum yang moderat sebagai langkah politik untuk mendamaikan kontestasi metodologis antara ahl-ara’yi dan ahl-haidts.
Begitupun Syekh Muhammad Abduh sebagai tokoh pemikir yang menghasilkan dua landasan pokok yang mengangkat pemahaman dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran yaitu peranan akal dan kondisi sosial tidak terlepas dari semangatnya melawan penjajah yang menguasai mesir dikala itu.11
Menelitik sejarah keberadaan sang Imam pada zaman itu, telah terjadi penjajahan Perancis yang menduduki wilayah Mesir pada tahun 1789, ekspedisi yang dilakukan Napoleon Bonaparte bukan hanya datang dengan bala tentaranya tetapi ilmuan dan pengetahuan ikut serta dalam penaklukan bumi kinanah ini.
Hal itu mendorong Syekh Muhammad Abduh menetapkan empat teori pembaharuan. Pertama, purifikasi yaitu membersihkan Islam dari bida’h dan khurafat dan menyadarkan masyarakat dari ketergantungan taqlid buta. Kedua, reformasi didalam berbagai bidang seperti Pendidikan yang mana beliau memperjuangkan mata kuliah filsafat untuk diajarkan di al- Azhar. Ketiga, pembelaan Islam dengan perantara kitab Risalah Tauhid nya.
Keempat, reformulasi yang bertujuan untuk membuka kembali pintu ijtihad.
3. Epistimologi6 Muhammad Abduh
Epistimologi individual adalah kajian tentang bagaimana struktur pikiran manusia sebagai individu berkerja dalam proses mengetahui yang di anggap cukup mewakili untuk menjelaskan bagaimana semua pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh. Darinya seorang dapat mempunyai pandangan khusus mengenai realitas kehidupan dan kebenaran. Pembahasan ini sangatlah penting untuk mengetahui corak pemikirannya, Duktur Muhammad Yusri Ja’far mengatakan :
Muhammad Abduh yang memiliki epistemology of reform telah menggabungkan beberapa macam sumber pengetahuan dan perolehannya.
11 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kelas Atas Tafsir Al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006). Hal. 12
Dalam pergulatan serius hingga pecahnya clash of civilization yang tidak bisa dihindarkan antara barat dan timur, Syekh Abduh mengambil sikap pendirian terhadap sumber pengetahuan yang ia raih, yang ia namakan sebagai empat hidayah. Pertama, Sumber ilmu didapatkan melalui hati atau intuisi alami seperti yang dimiliki oleh anak kecil. Kedua, panca idera yang terdiri dari indera pengelihatan, penciuman, pendengaran, peraba dan perasa. Ketiga, hidayah akal yang melengkapi hal-hal yang telah dirasakan oleh indera lalu diproses didalam akal. Keempat, agama yang menjadi acuan sumber pengetahuan.
Pandangannya itu diambil dari tafsirannya di surat al-Fatihah pada ayat enam dalam konteks seorang hamba yang meminta hidayah kepada Tuhan. Beliau berkata “hidayah secara bahasa adalah petunjuk yang menuntun kepada suatu ilmu dengan cara yang lembut dan itu terbagi menjadi empat macam yang telah disebutkan diatas dan yang terakhir adalah agama atau hal-hal yang dapat digapai hanya melalui kabar yang mutawatir dan kabar yang shadiq.”. Dalam penafsiran ayat tersebut Syekh Abduh memandang manusia yang memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan dalam mencerna realitas kehidupan dan sering terjatuh dalam lubang kesalahan. Sekiranya manusia hendaknya untuk meminta petunjuk sebanyak mungkin dengan ayat “ihhdina as-shirat al- mustaqiim” yaitu petunjuk yang disertakan pertolongan dari kekuatan metafisik sebagai hal prefentif dari berbagai macam kesalahan.
Perbedaan epistimologi barat12 dengan Syekh Abduh sangatlah tertera, pasalnya ciri yang bisa kita ketahui dari pandangan barat adalah ilmu yang diperoleh hanya sebatas hal yang dapat dicerna oleh akal dan indera saja, lalu dikotomisasi yang menyebabkan dua konsep saling bertentangan dan tidak mempunyai titik temu, antroposentrisme yang menjadikan manusia
12 Epistimologi Barat menjadi asas dan pondasi bagi sains modern. Sains dan teknologi sendiri merupakan komponen dari peradaban. Sejarah perkembangan sains menunjukan bahwa ia berasal dari penggabungan dua tradisi tua, yaitu tradisi pemikiran filsafat yang dimulai oleh bangsa Yunani kuno serta tradisi keahlian atau keterampilan tangan berkembang di awal peradaban manusia yang telah ada jauh sebelum tradisi pertama lahir.
Sains Modern juga lahir dari perumusan metode ilmiah yang disumbangkan Rene Descrates yang menyodorkan logika rasional dan deduksi sereta Francis Bacon yang menekankan pentingnya eksperimen. Pada penghujung abad Sembilan belas sains mengalami perubahan sesuai dengan perubahan basis filosofis yang kemudian atas pengaruh positivisme hanya difokuskan pada objek-objek empiris (inderawi dan fisik) saja. Lalu sains modernlah yang menyebabkan Imperialisme Epistimologi, dari gagasan masa Renaisans dalam bidang astronomi yang melepaskan diri dari otoritas gereja dan melepaskan prakonsepsi dogma didalam hipotesis, jika hipotesis tidak sejalan dengan dogma maka hal metafisik didalam dogma tadi haruslah diubah. Satu-satunya pembatas hipotesis adalah bahwa ia harus “masuk akal”
tolak ukur dari sistem alam semesta, sikap barat yang selalu curiga terhadap agama yang dilalui oleh pengalaman yang kelam terhadapnya, juga epistimologinya dimulai dengan kaidah keraguan yang berakhir pada skeptisisme, dan ciri terakhir adalah cenderung sekularisme yang memposisikan banyak pikiran terhadap materi sebagai pusatnya daripada dunia spiritual keagamaan.13
Dari sini, Syekh Muhammad Abduh memiliki ciri khas sendiri yang berpijak pada wasatiyah Islam diantara umat beragama (yang melampaui batas) dan non-agama. Dalam artian, beliau tidaklah begitu taqlid dan jumud mengikuti ajaran atau dogma tanpa ada pemaksimalan rasio dan empiris dan juga tidak menafikan hal-hal yang berbau metafisik dan transenden hingga menuhankan akal. Beliau menekankan perihal tidak adanya pertentangan hakiki antara ilmu dan agama12 dan keduanya dapat berjalan secara bersamaan.14
4. Identitas Tafsir al-Manar
Tafsir adalah ilmu yang menjelaskan makna ayat sesuai dengan dilalah (petunjuk) yang zahir melalui pendalaman berfikir dan tadabbur menyesuaikan keinginan Allah dalam batas kemampuan manusia15. Ilmu ini adalah kunci untuk membuka berbagai rahasia, hikmah, dan harta karun yang tersimpan didalam peti suci yaitu al-Quran.16 Dalam perkembangan ilmu tafsir, Syekh Muhammad Abduh membaginya kepada dua golongan.17 Pertama, tafsir yang kering, yang menjauhkan umat dari Allah dan kitabnya yaitu penafsiran yang terfokuskan kepada penganalisaan terhadap lafaz, i’rab kalimat, dan penjelasan dari susunan kata yang disimpulkan dengan ilmu alat tertentu, beliau berpendapat bahwa ini semua hanyalah praktek kebahasaan dan pelatihan dari ilmu yang telah didapatkan oleh seorang mufassir seperti nahu, balagoh dan lainnya. Kedua, yaitu penafsiran yang mendorong seorang mufassir untuk mengumpulkan semua syarat dari ilmu alat dan ilmu yang membantunya dalam mencapai tujuannya yaitu memahami maksud dari ayat serta hikmah syariat didalam akidah, hukum dengan sisi yang memikat jiwa pembaca dan mendorong umat kepada pengaplikasian pemahaman tadi dan
13 Lubis, A. Y., Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer, (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2016), hal.45
14 Muhammad Imarah, Al-Manhaj al-Ishlahi lil Imam Muhammad Abduh (Kairo:
Darussalam, 2009), h.16.
15 Muhammad Abdu al-Azhim al-Zurqaani, Manahil Irfan fi al-Ulum al-Quran (Beirut: Daar Ibn Hazm, 2017 M),h.329
16 Abdul Fattah Abdul Ghani al-Awari, Raudhah al-Thalibiin fi Manahij al- Mufassirin (Kairo: Maktabah Iman) h.26
17 Abdul Fattah Abdul Ghani al-Awari, Raudhah al-Thalibiin fi Manahij al- Mufassirin (Kairo: Maktabah Iman) h.25
mendapatkan hidayah Allah hingga tercipta didalamnya esensi dari makna hudan wa rahmatan (petunjuk dan rahmat). Maka maksud yang hakiki dari golongan kedua adalah mendapatkan hidayah dari al-Quran. Beliau berpendapat bahwa inilah tujuan utama dari pembacaan tafsir al-Quran.
Didalam pembukaan tafsirnya Syekh Muhammad Abduh mengatakan :
Syekh Muhammad Abduh menjadikan tafsir al-Quran sebagai pondasi dakwah (alat) untuk memperbaiki masyarakat dan menyucikan mereka dari khurafat. Ia menyelisihi para Ulama dalam manhjanya yaitu memahami al-Quran dari segi al-Quran sebagai agama yang menunjukan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, karena ia berpandangan bahwa itulah maksud yang tertinggi dari al-Quran. Maka selain dari maksud tadi dihitung menjadi alat atau wasilah yang menghantarkannya, yang kebanyakan para mufassir mencondongkan alat dan menjadikannya tujuan hingga seringkali mengabaikan esensi dari penafsiran yaitu mendapatkan hidayah al-Quran.18Beliau berkata bahwa :
Tafsir al-Manar memiliki corak Adabi Ijtimai’ yang mempunyai karakteristik khusus dari tabiat yang menolak penafsiran sarat dengan taklid, membahas permasalahan yang menjauhkan pembaca dari hidayah al-Quran dan pembahasan yang keluar dari ruh dan hakikat al-Quran. Corak ini tidak terlalu fokus kepada apa yang disamarkan oleh al-Quran seperti huruf muqottoah dan sifat-sifat Tuhan. Begitupun pada pembahasan ghaib yang tidak dapat terjamah kecuali dengan nash dan riwayat yang menyerukan iman kepada hal itu secara global dan melarang untuk tenggelam masuk secara terperinci, seperti halnya alam barzah, surga dan neraka.
Secara ringkas tafisr al-Manar memiliki metode sebagai berikut : a) Islam adalah agama akal dan syariat, dan ia adalah sumber kebaikan
dan perbaikan masyarakat.
18 Abdul Majiid Abdussalam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-Ashri al-Rahin (Amman: Maktabah al- Nahdoh al-Islamiah, 1982 M) hal.125.
b) Al-Quran tidak mengikuti akidah, tetapi akidah diambil dari al- Quran.
c) Tidak ada pertentangan antara al-Quran dengan penemuan- penemuan ilmiah modern.
d) Menjadikan al-Quran satu kesatuan utuh yang saling berkesinambungan.
e) Penjagaan dari mengambil riwayat apa yang dinamakan sebagai tafsir bil ma’stur dan berhati-hati dari kisah-kisah dan israiliyat yang bohong.
f) Tidak melalaikan kejadian-kejadian sejarah, yang mempunyai hubungan dalam penafsiran al-Quran.
g) Menggunakan dzauq adabi dalam memahami ayat al-Quran.
h) Mengobati penyakit masyarakat terkhusus pada akhlak dan suluk.
i) Menafsirkan al-Quran dalam lingkup ilmiah modern yang berupa aksioma yang tetap.
j) Kehati-hatiannya terhadap pembahasan dalam perihal metafisika yang jauh dari akal dan indera.19
Dalam penafsiran al-Quran, Muhammad Abduh di kenal sebagai mufassir yang mempelopori pengembangan tafsir yang bercorak al-Abdaby al-Ijtima’iy atau tafsir yang berorientasi kepada sastra, budaya dan kemasyarakatan. Dari segi Adabi, Mufasir berusaha untuk memaparkan teks dan menelitinya serta mengeluarkan rahasia, hakikat dan hikmah dibalik teks yang selaras dengan bahasa yang mudah di pahami pembaca. Ia memulai dengan melihat teks dari sisi balagoh quran dan menyingkap kemukjizatannya. Setelah itu barulah ia menjelaskan makna serta tujuan ayat tersebut. Lalu dari segi Ijtimai, mufasir menerapkan hasil produknya dengan realitas kehidupan, menyesuaikan tempat dan zaman guna menyelesaikan persoalan dan problematika masyarakat secara luas.20
Terdapat beberapa pembahasan yang di fokuskan pada corak ini.
Diantaranya adalah :
a) Perhatiann lebih terhadap penafsiran ayat secara luas yang mengobati penyakit masyarakat, dan menyelesaikan permasalahan- permasalahan politik dan keluarga.
19 Muhammad Hadi Ma’rifah, Tafsir wal mufasirun fi tsaubihi al-Qusayyab Jilid 2 (Saudi: al-Jamiah al- Radawiah lil Ulum al-Islamiah) Hal.1013.
20 Muhammad Hadi Ma’rifah, Tafsir wal mufasirun fi tsaubihi al-Qusayyab Jilid 2 (Saudi: al-Jamiah al- Radawiah lil Ulum al-Islamiah) Hal.1008-1009
b) Usaha untuk menjelaskan pemahaman al-Quran dari segi sosial dalam memandang realitas kehidupan, masyarakat, dan tujuan pendidikan serta pembaharuan.
c) Usaha untuk menyingkap dasar dan kaidah sejarah dan masyarakat didalam al-Quran.
d) Berfokus pada menciptakan keselarasian dalam hubungan antara tujuan agama dan tujuan masyarakat dan ilmu humaniora.21
Tafsir al-Manar terdiri dari dua belas jilid dan berakhir pada ayat 53 dari surat Yusuf. Ayat pertama dari surat al-Fatihah hingga ayat 126 surah al-Nisa itu ditulis oleh gurunya yaitu Syekh Muhammad Abduh, lalu beliau melengkapinya dengan metode dan manhaj yang sama hingga surat Yusuf.22
Beliau adalah salah satu dari murid Madrasah Aqliah yang telah dipengaruhi oleh gurunya Syekh Muhammad Abduh. Sendangkan dalam menyikap ayat mutasyabihat mengenai nama dan sifat Tuhan, mereka menempuh jalan salaf, dan terkadang juga ketika dihadapi antara menakwilkan dan tafwidh, melihat sodoran syubhat di sebagian ayat dan hadis yang mengharuskan beliau mengambil sikap untuk menakwilkannya.
Beliau menetapkan adanya sifat kasih sayang, marah, kuasa, benci, istiwa dan lain serta menakwilkan sifat tangan menjadi dermawan, mata menjadi pengawasan dan penjagaan, dan lain sebagainya.23 Metode yang digunakan adalah analisis dengan kebanyakan penafsiran bersumber pada akal yang masih berada dalam koridor syariat. Juga didalamnya, mereka sangat membebaskan dalam mengambil kesimpulan hukum fikih serta mereka anti terhadap periwayatan israiliyyat yang menerangkan tentang tafsir walaupun banyak yang membahas berkenaan dengan mubhamat al-Quran.24
5. Pembacaan Tafsir Syekh Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh sering mengadakan pengajian tafsir di masjid al-Azhar selama enam tahun dan di kota Jazair beberapa kali, juga di Beirut selama dua tahun. Ditempat pengasingan, beliau tetap mengajarkan tafsir tiga kali dalam satu minggu dengan manhaj akal yang diajarkan Syekh Afghani yang membuat para hadirin terpukau hingga banyak orang Kristen yang tertarik mendengarkannya hingga rela duduk di pelataran dan jalanan,
21 Muhammad Afifiuddin Dimyathi Ramli al-Indunisi, Ilmu Tafsir Ushuluhu wa Manahijuhu, (Kairo: Dar al-Shaleh, 2016) Hal.104.
22 Muhammad Hadi Ma’rifah, Tafsir wal mufasirun fi tsaubihi al-Qusayyab Jilid 2 (Saudi: al-Jamiah al- Radawiah lil Ulum al-Islamiah) Hal.1012
23 Abi Abdillah Muhammad al-Hamud al-Najdi, Al-Qoul al-Mukhtashar fii manahij al-Mufassirin, (Daar Imam Dzahabi, 1412 H), Hal.62.
24 Abi Abdillah Muhammad al-Hamud al-Najdi, Al-Qoul al-Mukhtashar fii manahij al-Mufassirin, (Daar Imam Dzahabi, 1412 H), Hal.65
sampai akhirnya diizinkan untuk masuk kedalam masjid al-umary. Beliau juga sangat memperhatikan audience yang datang ke pengajiannya. Cara beliau menyampaikan menurut syekh Muhammad Rasyid Ridha adalah dengan memfokuskan kepada penafsiran yang mana para mufasir lain lalai terhadap permasalahan itu ataupun tidak ada penjelasan lanjutan terhadap penafsiran ayat tertentu. Lalu beliau juga mnyedikitkan pembahasan mengenai i’rab, pembahasan lafadz, dan juga balagah. Semua tadi bertujuan agar para pendengar bisa mengetahui esensi utama dari kitab suci al-Quran yaitu hidayah dari Allah Swt.
Selain itu, Syekh Abduh ketika menafsirkan al-Quran terkadang sama sekali tidak menggunakan kitab pegangan dan rujukan manapun, dalam artian ia tidak bergantung kepada pendapat mufassir yang lain dan juga tanpa didahului pembacaan ulang terhadap karya yang lain, akan tetapi beliau menyampaikan penafsiran langsung dengan membaca al-Quran lalu menyampaikan arti tafsiran menurut pemahaman dan apa yang Allah berikan kepada beliau . Tentu saja penafsirannya tidak terlepas dari pembelajaran ilmu alat dan pembiasaan tadabbur yang sering ia lakukan melalui latihan dan amalannya.25Beliau pernah berkata :
" يفبيرغهجوكانهناكاذإريسفتباتكحفصتأامبريننكلأرقأامدنععلاطألايننإ بارعلإا وأ ةملك ةبيرغ يف
بارعلإا "
Tapi terkadang juga beliau menggunakan tafsir Jalalain sebagai pijakan awal dari penafsiran lalu ditambahkan dengan ilmu yang Allah bukakan kepadanya, ataupun di kritisi oleh beliau secara langsung. Ini seperti apa yang Syekh Muhammad Rasyid Ridha katakan ketika beliau mengajar tafsir.26
Syekh Muhammad Abduh adalah seorang pencetus dari Madrasah Aqliah Ijtimaiah atau bisa disebut sebagai Madrasah al-Manar. Didalamnya banyak sekali Ulama yang meneruskan pemikiran dan perjuangan beliau.
Diantaranya adalah Syekh Muhammad Rasyid Ridha, Syekh Abdul Qadir al- Maghribi, Syekh Muhammad Musthafa al-Maraghi, Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi, Syekh Mahmud Syaltut, dan Syekh Abdul al-Jalil Isa.27
Dalam metode yang dilalui oleh madrasah ini terhadap sirah Nabi adalah menyedikitkan hal yang berbau metafisika. Metode ini tidak
25 Muhammad Hussain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar al- Hadis, 2012), hal.488
26 Muhammad Hussain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar al- Hadis, 2012), hal.489
27 Fadl Hasan Abbas, al-Tafsir wa al-Mufassirun asasiyatuhu wa ittijahatuhu wa manahijuhu fi al-ashri al- hadist, (Urdun: Daar al-Nafais, 2015) hal. 6.
menjamah keseluruh pembahasan metafiska akan tetapi kepada hal mengenai mukjizat saja.
Salah satu murid dari madrasah ini yang sangat dipengaruhi oleh manhajnya yaitu Syekh Muhammad Husain Haikal yang menyempitkan hal metafisika yang tidak selaras dengan pandangan matrealisme barat. Ia menafikan semua mukjizat Nabi Muhammad kecuali al-Quran28. Semua itu ia cantumkan dalam bukunya Hayatu Muhammad yang dituliskan didalam bukunya bahwa Nabi hanya sebatas manusia biasa, dan ini yang di inginkan oleh Barat ketika memandang Nabi. Kalau dilihat dari sisi kewahyuan maka itu bukanlah mukjizat kenabian melainkan kepintaran biasa yang juga di miliki oleh orang lain, dan lain sebagainya.29
6. Perbedaan Metode Antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha Sebetulnya metode yang ditempuh Rasyid Ridha sama dengan apa yang digunakan Muhammad Abduh dalam penafsirannya, menghindari pemikiran-pemikiran yang dilakukan mufasir sebelumnya, tidak menggunkan israiliyat, menghindari hadis-hadis daif, tidak berkonsentrasi pada suatu bidang kelimuan, seperti nahwu, balagah dan sebagainya akan tetapi ia mengungkapkan dengan gaya bahasa yang bagus dan mengagumkan, mengungkap makna dengan bahasa yang mudah dipahami, membela al-Qur’an dari berbagai syubhat, mengobati pennyakit-penyakit dalam kemasyarakatan dan menjelaskan sunnatullah dalam ciptaannya.
Akan tetapi ada sebagian perbedan antara penafsiran Rasyid Ridha dengan penafsiran yang dilakukan oleh sang guru, dan itu ketika setelah sang guru telah wafat. Rasyid Ridha memperluas penjelasan ayat-ayat yang berkesinambungan dengan hadis sahih, entah itu penafsiran darinya ataupun hikmahnya, ia juga mentahkik sebagian kosakata dalam al-Qur’an dan perbedan pendapat antara ulama. Berbeda dengan sang guru yang hanya menjelaskan makna-makna ayat secara dzahir lafadz.
Dalam penafsirannyaMuhammad Rayid Ridha pun mengambil sumber dari sebgaian ayat-ayat al- Qur’an dengan pemahaman yang berbeda, terkhusus ketika ayat itu terulang dalam satu pembahasan, beliau juga
28 Ia menafikan mukjizat nabi dengan beberapa sebab diantaranya: pertama, bahwa
kebanyakan mukjizat ini tidak dapat dibenarkan akal, ia berkata (kita kesampingkan agama, dan fokus kepada sejarah Nabi, telah banyak dari beberapa buku sejarah yang menjelaskan kehidupan nabi perihal yang tidak dapat dibenarkan dengan akal dan tidak ada manfaat kepadanya untuk menetapkan adanya risalah). Kedua, bahwasannya hal-hal yang sains tidak menetapkan kebenarannya maka wajib untuk memperhatikan segi keilmiahan dalam memahaminya. Ketiga, bahwasannya al-Quran tidak mengatakan perihal mukjizat itu.
29 Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-Aqliah al-
Hadistah fi al-Tafsir Jilid 1 (Riyadh: Muassasah al-Risalah, 1983 M), Hal.773.
mengambil sumber dari sunah Rasululllah dana pa yang dikerjakan oleh para sahabat dan tabi’in.
7. Teks dan Terjemahan Q.S al-Fil
Artinya:
Dengan nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang
1) Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
2) Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia?
3) dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong- bondong
4) yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, 5) sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan
(ulat).
8. Munasabah Ayat
Salah satu langkah untuk memahami maksud dan tujuan ayat-ayat al-Qur'an, seorang mufasir dituntut untuk memahami ilmu munasabah. Ilmu yang menjelaskan hubungan antar surah dengan surah yang lainnya. Lebih jauh tinjauan ilmu ini melingkupi tentang keterpaduan isi satu surah dengan surah berikutnya, keterpaduan awal surah dengan penutup surah sebelumnya dan keterpaduan antara awal surahdengan akhir surah.
Selanjutnya berkaitan dengan hubungan antara surah al-Fil dengan surah sebelumnya penulis dapat mengemukakan dengan mengutip pendapat mufasir. Di antaranya pendapat Jaläludin 'Abdurahman al-Suyuthi.30 Ia mengatakan bahwa hubungan surah al-Fil dengan surah al-Humazah terlihat bahwa begitulah Allah selesai menerangkan keadaan orang yang suka mengumpat dan mencela, yang selalu menumpuk-numpuk harta dan selalu
30 Jaläluddin Abdurahmân al-Suyuthi, Asrär Tartib al-Qur'an, terj. Masdar Helmi (Jakarta: Pustaka Amani, 1996) h. 216-217.
menghitungnya lalu merasa angkuh dan kuat lantaran hartanya it. Dia langsung mengkisahkan ashabu al-Fil yang keadaannya lebih kuat, hartanya lebih banyak, dan lebih angkuh dari mereka yang tipu dayanya dijadikan- Nya sia-sia, yang dibinasakan-Nya melalui perantara burung yang amat lemah dan kecil, dan yang dijadikannya bagaikan dedaunan yang dimakan oleh ulat. Ternyata harta, keangkuhan, kekuatan dan gajah-gajah yang mereka miliki itu tidak bernilai apa-apa.
Oleh karena itu barangsiapa yang merasa dirinya angkuh, merasa dirinya hartawan dan suka mengumpat sesama, maka tunggulah saat kehancuran dan kehinaannya. Di sisi lain menurut al-Suyûtì hubungan surah al-Fil dengan al-Ouraisy adalah karena hubungan jar majrür yang ada pada permulaan surah al-Quraisy berkaitan dengan al-Fil yang ada pada akhir surah al-Fil. Oleh sebab itu dalam Mushaf Ubay kedua surah tersebut disatu surahkan.
Sedangkan menurut Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam Tafsir al- Maraghi mengatakan bahwa harta benda sama sekali tidak berguna di hadapan Allah. Kemudian dalam hal ini Allah menurunkan surah yang menunjukkan dalil (bukti) tentang masalah tersebut dengan menceritakan ash¢b al-Fil, yaitu tentara bergajah yang harta, keangkuhannya melebihi dari apa yang digambarkan dalam surah al-Humazah.31
Sedangkan hubungannya dengan surah al-Quraisy bahwa pada surah al-Fil dan al-Quraisy terkandung penjelasan tentang nikmat Allah yang dianugerahkan kepada penduduk Mekah. Pada surah sebelumnya bahwa Allah menghancurkan musuh-musuh mereka yang datang menghancurkan Ka'bah, lambang kebanggaan dan kekayaan mereka. Hubungan antara surah al-Fil dengan surah al-Quraisy amat erat, sampai- sampai Ubay bin Ka'b menganggapnya sebagai satu surah. Hingga terdapat satu riwayat darinya bahwa Nabi (menurut Ubay) tidak pernah memisahkan antar kedua surah secara langsung.32
Adapun menurut Ibrahim al-Biqa' sebagaimana dikutip Muhammad Quraish Shihab bahwa kaitan surah ini dengan surah al-Humazah dan surah al-Quraisy adalah pembuktian kepada mereka yang durhaka dan angkuh.
Dengan demikian hemat penulis hubungan antara surah al-Fil dengan surah sebelumnya, al-Humazah dan surah sesudahnya, al-Quraisy, menekankan bahwa manusia tidak diperkenankan untuk bersifat angkuh dan sombong, baik dengan harta, benda dan tahta.33
31 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, j. 30 h. 422
32 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, j. 30 h. 428
33 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al- Quran (Jakarta: Lentera Hati. 2001) V. 15. h. 533
9. TafsirQ.S al-Fil dalam Perspektif Tafsir al-Manar
Mengenai lafadz alam tara kaifa fa’ala rabbuka biasha bil fil beliau menterjemahkan menjadi, “tidakkah kamu lihat atau tidakkah kamu ketahui bagaimana (keadaan yang terjadi akibat) tindakan Tuhanmu (yang mengatur segala urusanmu) terhadap pasukan bergajah?”34
Muhammad Mutawalli al-Sya' rawì dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat pertama surah al-Fîl megandung isyarat "Perbuatan Tuhan".
Peristiwa tersebut di luar hukum sebab akibat yang lumrah diketahui.
Peristiwa itu bukan "sebab akibat" atau "aksi dan reaksi" akan tetapi semata- mata akibat perbuatan Tuhan. Dengan demikian perbuatan tersebut tidak dapat diukur dengan ukuran yang berlaku dalam kebiasaan para makhluk.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa kata fa dalam surah al-Fîl berbeda dengan kata tsumma, kata fa menunjukkan singkatnya waktu antara peristiwa yang dikemukakan oleh kata sebelum fa. Hal ini berbeda ketika ayat tersebut menggunakana kata tsumma. Ini berarti kemusnahan badan mereka bagaikan dedaunan yang dimakan ulat yang dalam waktu singkat dapat lenyap. Namun apabila yang mereka derita itu adalah wabah penyakit campak dan lepra, tentu proses penghancuran tubuhnya memerlukan waktu yang tidak singkat.
Dengan demikian seharusnya ayat di atas tidak menggunakan huruf fa tetapi tsumma.35 Adapun menurut Tähir In 'Asyur peristiwa pembinasaan itu bukanlah dalam rangka pembelaan Rasul-Nya, akan tetapi lebih kepada peringatan agar kaum musyrikin Mekah tidak menjadikan peristiwa tersebut sebagai bahan untuk menyombongkan diri sebagaimana mereka sombong dalam kedudukan mereka sebagai pelayan Ka'bah dan jamaah haji.36
Terlepas dari itu semua, nampaknya baik untuk diperhatikan pendapat al-Rifa'ì, ia mengatakan bahwa peristiwa itu merupakan irhas dan batu loncatan bagi pengutusan Rasulullah saw. sebab di tahun itulah beliau dilahirkan. Sesungguhnya Allah swt. bukanlah menolong penduduk Quraisy dalam mengalahkan kaum Habsyi karena mereka lebih baik dari kaum Habsyi, tetapi hal ini semata-mata karena hendak memelihara Baitullah yang mulia. Yang selalu dimuliakan Allah swt, diagungkan dan dihormati-Nya dengan diutus-Nya Nabi penutup, Muhammad saw.37
34 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 319.
35 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 529
36 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 530
37 Muhammad Nasib al-Rifa i, Taisir al-'Alivy al-Oadir li Ikhtisär Fi Tafsir Ibnu Katsir. Peneri. Syihabbuddin. (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) h. 1046.
Lafadz alam naj’al kaidahum fitadlil diartikan menjadi, “bukankah dia menjadikan rencana jahat mereka sia-sia, yakni kamu telah menyaksikan bagaimana Tuhanmu telah membatalkan rencana jahat mereka dan menggagalkan usaha mereka.”38
Lafadz wa arsala alaihim tayran ababil diartikan sebagai “Dia kirimkan kepada mereka, burung-burung yang berbondong-bondong.” Kata ababil menurut Muhammad Abduh ialah kawanan burung atau kuda.
Sedangkan yang dimaksud dengan tayran ialah hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh kecil ataupu besar, tampak oleh pengelihatan mata ataupun tidak.39 Pada penafsiran ini Muhammad Abduh nampak berbeda dengan ulama lainnya. Jika ditelaah dari segi bahasa, Muhammad Abduh memaparkan bahwa terminologi tayran adalah bentuk masdar dari tara- yatiru-tayran yang artinya terbang.40 Muhammad Abduh mengambil makna asal dari tayran seingga memiliki arti sesuatu yang terbang dan tidak menafsirkan sebagai burung sepertihalnya mufasir lain.
Berkenaan dengan lafaz thayran ababil, Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah SWT mengirimkan kepada mereka burung dari lautan sejenis burung alap-alap, masing-masing paruh membawa tiga batu; satu di paruhnya, dan dua di masing-masing kakinya. Batu-batu itu sebesar biji kedelai, yang tidak ada seorangpun dari mereka yang terkena batu tersebut melainkan akan binasa.41
Buya Hamka dalam tafsirnya al-Azhar menyebutkan bahwa kata thayran abaabiil tidak perlu dikaji karena itu sudah kehendak Tuhan42 Al- Maraghi menafsirka kata thayran abaabiil dengan nyamuk,43 sedangkan Sayyid Quth menafsirkan kata thayran abaabiil dengan lalat atau nyamuk44. Quraish Shihab cenderung netral dalam menafsirkan kata thayran abaabiil dengan mengompromikan dua pendapat dari Sayyid Quthub dan Muhammad Abduh.
Lafadz tarmihim bihijarotin min sijjil diartikan sebagai “yang melempari mereka dengan batu-batu dari tanah yang membatu.” Beliau
38 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 319
39 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 320
40 Ahmad Warson Munawir. Kamus Munawir (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 876
41 Ibn Katsir, Tafsiir Ibn Katsir
42 Hamka, Tafsir al-Azhar juz xxx, hlm. 290
43 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi
44 Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhīlal al-Quran
menjelaskan bahwa kata sijjil berasal dari bahasa Persia yang bercampur dengan bahasa arab, yang berarti tanah yang membatu.45
Lafadz faj’alahum kaasfin ma’kul diartikan sebagai, “maka Diajadikan mereka seperti dain-daun yang telah dimakan.” yakni dimakan oleh ulat atau rayap atau yang sebagiannya telah dimakan oleh hewan ternak dan sebagiannya lagi berhamburan dari sela-sela giginya”.46
Jalaludin al-Mahali menjelaskan dalam tafsir jalalain bahwa mereka bagaikan daun tanaman yang dimakan oleh ternak, kemudian diinjak-injak dan dicabik-cabiknya. Allah telah membinasakan setiap orang dari mereka dengan batu yang padanya telah tertulis nama orang yang dikenainya. Setiap batu bentuknya lebih besar sedikit daripada biji ‘adasah dan agak kecil daripada biji kacang Humsh; batu itu dapat menembus topi baja tentara yang berjalan kaki dan gajah yang dibawanya, kemudian batu itu jatuh ke tanah setelah menembus badan mereka.47.
Muhammad Abduh mengatakan bahwa surah yang mulia ini mengajarkan kepada kita bahwa Allah swt. hendak mengingatkan Nabi-Nya serta siapa saja yang sampai kepadanya dakwah beliau yaitu, berkenaan dengan sebuah tindakan di antara tindakan-tindakan penting Allah swt., yang menunjukkan betapa besar kuasa-Nya, dan bahwa segala macam kemampuan dipastikan lebih kecil daripada kemampuan-Nya. Karena setiap kemampuan tunduk dibawah kekuasaan-Nya. Dan Ia Maha Kuasa atas hamba-hamba- Nya terhadap mereka dan tak ada kekuatan apa pun yang dapat menghambat tindakan-Nya.48
Menurut Muhammad Abduh, tindakan amat penting yang dimaksud berkenaan dengan suatu kelompok manusia yang hedak menunjukkan keperkasaan mereka dengan tentara gajahnya. Pasukan bergajah ini berencana mengganggu mereka dengan suatu tindakan kejahatan. Maka Allah swt. menghancurkan mereka, dan menggagalkan rencana jahat mereka, sebelum itu mereka merasa yakin atas keunggulan mereka, dalam kuantitas kualitas. Namun semua itu ternyata tidak berguna sedikitpun bagi mereka.49
45 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 319.
46 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 319.
47 Jalaludin al-Mahalli, Tafsir Jalalain
48 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 320
49 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 320
Selanjutnya Muhammad Abduh mengatakan sebetulnya kita dapat mencukupkan diri dengan makna seperti itu dalam menafsirkan ayat-ayat di atas, tanpa harus menguraikan lagi secara lebih rinci. Penafsiran singkat seperti telah kami kemukakan rasanya sudah cukup untuk mengambil pelajaran darinya. Seperti halnya ketika kami mencukupkan diri ketika mengemukakan kisah ashab al-ukhdud.Akan tetapi tentang kisah ashab al- fil (tentara bergajah) dalam surat ini, kami beranggapan tak ada salahnya juga kamu menguraikan secara lebih luas. Hal ini mengingat bahwa peristiwa tentara bergajah, sebagaimana disebutkan dalam surat ini, cukup dikenal secara meluas dan diriwayatkan secara mutawatir. Sedemikian rupa sehingga dijadikan sebagai awal penanggalan untuk menentukan saat-saat terjadinya berbagai peristiwa. Mereka biasa mengatakan, “Beliau ini dilahirkan pada Tahun Gajah.” Atau, “terjadinya peristiwa ini, dua tahun setelah Tahun Gajah.” Dan lain sebagainya.50
Muhammad Abduh dalam tafsirnya menyatakan bahwa disebutkan dalam riwayat yang mutawatir tentang peristiwa ini, bahwa seorang panglima dari Habasyah (Ethiopia) –yang pada waktu itu telah menjajah negeri yaman- berencana menghancurkan bangunan Ka’bah, agar dapat mencegah bangsa Arab melaksanakan ibadah haji ke sana. Atau semata-mata karena ingin menundukkan dan menghinakan mereka. Ia berangkat menuju Makkah dengan membawa pasukan tentara yang amat besar jumlahnya, dan mengikutsertakan sejumlah gajah, guna lebih menimbulkan ketakutan dalam hati penduduk sekitar Ka’bah. Dalam perjalanannya itu, ia selalu memperoleh kemenagan dari kabilah-kabilah yang mencoba merintangi pasukannya. Dan ketika sampai ke suatu tempat bernama Al-Maghmas, dekat kota Makkah, ia mengirim utusan yang memberitahu pendududk Makkah bahwa ia datang bukan untuk memerangi mereka, tetapi semata-mata untuk menghancurkan Ka’bah. Mendengar ancamannya itu, mereka menjadi ketakutan, dan lari mengungsi ke gunung- gunung sekitar Makkah, sambil menunggu apa yang akan diperbuat oleh pasukan tersebut.51
Muhammad Abduh mengatakan pada hari kedua, tersebarlah wabah cacar di antara anggota pasukan dari Habasyah itu. Muhammad Abduh menukil pendapat Ikrimah bahwa ‚ “ini adalah wabah cacar yang pertama kali muncul di Jazirah Arab.” Demikian pula Ya’qub bin ‘Utbah berkata tentang peristiwa ini. Pertama kali terlihat wabah cacar di Jazirah Arab adalah
50 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 320
51 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 321
pada tahun itu.52 Riwayat yang digunakan Muhammad Abduh nampak berbeda dengan mufasir lainnya. Riwayat yang digunakan Muhammad Abduh ini mendapat kritik dari Sayyid Quthb. Sayyid Quthb mengatakan riwayat yang digunakan Muhammad Abduh yang dianggap tidak ada kaitannya dengan peristiwa yang diceritakan dalam surat al-fil.53 Ketika diidentifikasi memang tidak adanya kaitan yang pasti pada riwayat yang digunakan Muhammad Abduh dengan kejadian pada surat al-Fil
Muhammad Abduh melanjutkan dalam penafsirannya bahwa wabah tersebut telah menyebabkan tubuh-tubuh mereka mengalami suatu penyakit yang jarang sekali terjadi seperti itu. Daging-daging mereka berjatuhan, membuat pasukan itu beserta panglimanya amat ketakutan, sehingga mereka lari terbirit-birit. Namun panglima mereka telah terjangkit penyakit tersebut sehingga membuat daging tubuhnya berjatuhan, sepotong demi sepotong, sehingga sampainya di San’a( Ibukota Yaman) ia mati.54 Bagian inilah letak perbedaan yang mencolok dari penafsiran Abduh dengan mufasir lain.
Muhammad Abduh menyatakan di dalam tafsirnya, "Maka tak ada salahnya bila mempercayai burung tersebut dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa benih penyakit tertent u. Bahwa batu-batu it u berasal dari tanah kering yang bercampur dengan racun, dibawa oleh angin lalu menempel dikaki-kaki binatang tersebut. Apabila tanah bercampur racun itu menyentuh tubuh seseorang, racun itu masuk kedalamnya melalui pori-pori, dan menimbulkan bisul-bisul yang pada akhirnya menyebabkan rusaknya tubuh serta berjat uhannya daging dari tubuh itu Dan wabah tersebut menyebabkan tubuh mereka mengalami penyakit, yaitu cacar. Yang sebelumnya penyakit tersebut belum ada di masyarakat jazirah Arab.”55 Maka dari itu, Muhammad Abduh menyepakati batu tersebut ditafsirkan sebagai virus
Disamping mengikuti isi dari riwayat yang digunakan, Abduh juga melihat dari segi bahasa pernyataan tentang ukurannya yakni baik yang bertubuh kecil ataupun besar, tampak oleh penglihatan mata ataupun tidak.
Fokus disni adalah pembahasan tentang ukurannya yang mana Muhammad
52 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 321
53 Sayyid Quthb, FiZhilal al-Quran, Jilid 12, Trj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insai Press,2001 ), 349
54 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 322
55 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 322
Abduh ingin menekankan bahwa sebenarnya tidak ada penjelasan tentang ukuran dalam ayat tersebut sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa sesuatu yang kecil pun bisa yang menjadi maksud dari lafadh tayran disini.
Pernyataan tersebut Muhammad Abduh berlandaskan pada kaidah sebagian kata benda dalam al-Qur’an. bila disebut tersendiri, mengandung makna umum yang cocok baginya. apabila digabung dengan kata lain, mencakup sebagian makna dari kata itu, dan makna yang lain terkandung dalam kata lainnya itu. Dan karena itu lafadh tayran ini disebutkan sendiri, maka tayran ini bersifat umum yang kemudian ditafsirkan sesuai dengan konteksnya yang mana menurut Muhammad Abduh tidak salah apabila tayran ababil ini disifati memiliki wujud yang kecil. Sehingga ditafsirkan oleh muhammad Abduh menjadi lalat atau nyamuk. Hal ini juga sesuai dengan kaidah tafsir yakni semakin banyak sifat maka semakin sedikit yang disifati. Atau mafhum mukhalafahnya semakin sedikit sifat, maka semakin banyak yang disifati.
Jika dikaitkan dengan pembahasan ini, lafadh tayran ababil tidak ada sifat padanya. Sehingga ukuran besar dan atau kecil termasuk pada lafadh tersebut. Kemudian Muhammad Abduh mengambil kemungkinan bahwa lafadh tersebut memiliki sifat ukuran yang kecil.
Muhammad Abduh melanjutkan tafsirnya bahwa dalam kenyataannya, banyak di antara jenis 'burung-burung' yang lemah ini, dapat danggap sebagai tentara Allah untuk membinasakan siapa saja di antara manusia yang hendak dibinasakan oleh-Nya. Sudah barang tentu , binatang kecil - yang sekarang disebut mikroba- termasuk di dalamnya. la merupakan kumpulan besar yang tak ada yang mampu menghitung jumlahnya kecuali sang pencipta. Maka munculnya kuasa Allah swt. dalam membinasakan kaum tiran, tidaklah harus melalui burung sebesar puncak-puncak gunung atau dari jenis burung garuda dari Maghrib, atau yang berwarna tertentu saja, atau bergantung pada pengetahuan tentang batu yang digunakan serta sejauh mana pengaruhnya. Sebab, Allah swt. Memiliki 'tentara dari ienis apa saia.56
Penafsiran Abduh berbeda dengan mufasir lain dikarenakan corak pada penafsirannya. Abduh sebagai peletak dasar-dasar pada corak adabi ijtima'i menggunakan corak tersebut pada tafsirnya. Mengingat Tafsir adabi ijtimaiadalah corak tafsir yang lebih menekankan kepada beberapa aspek, Pertama, menekankan pada makna-makna dari sasaran yang dituju Alquran.
Kedua mengungkap hukum alam dan tatanan kemasyarakatan. Ketiga, mengedepankan petunjuk Alquran yang dapat memecahkan problematika umat islam khususnya dan manusia pada umumnya. Keempat, memadukan
56 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 322
al-Qur’an dan teori ilmiah yang benar. Selanjutnya, menegaskan bahwa al- Qur’an salih likuli zaman wa al-makan. Kelima, menolak argumen-argumen yang menggiring atau bertujuan untuk melemahkan al-Qur’an, sehingga jelas bahwa Alquran itu benar.57 Pada perihal corak pada penafsiran surat Al-Fil ini, Muhammad Abduh terlihat memadukan Alquran dan teori ilmiah.
Maksudnya adalah terminologi tayran ababil yang dipadukan dengan sains sehingga ditafsirkan dengan penyakit cacar. Dan mengenai corak ini juga, bisa didentifikasi bahwa Muhammad Abduh dalam menafsirkan terkait terminologi tayran ababil juga bertujuan memecahkan problematika umat islam disekitarnya dan menolak argument yang bertujuan untuk melemahkan al-Qur’an.
Sayid Quth memberi komentar terhadap penafsiran Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berada lingkungan Madrasah Aqliyah tempat Muhammad Abduh bertugas. yang mana Madrasah Aqliyah cenderung mengedepankan rasio dan berusaha untuk menghilangkan khufarat-khufarat dan dongeng-dongeng dalam agama. Hal ini disebabkan ilmu-ilmu pengetahuan yang baru ditemukan yang sehingga membuat keraguan terhadap agama. Jadi di sini bisa dilihat bahwa masyarakat di sekitar Muhammad Abduh sedang dilanda masalah yang menyebabkan munculnya keraguan terhadap Alquran yang dianggap tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.58Berlandaskan itulah yang menyebabkan Muhammad Abduh berusaha menghilangkan keraguan itu.
C. Kesimpulan
Tafsir al-Manar adalah karya fenomenal pada awal abad dua puluh.
Peran yang di emban pada saat itu sedikit banyak mempengaruhi perubahan yang terjadi di elemen masyarakat umum dan pembelajar secara khusus.
Dengan corak Adabi Ijtimai yang menitikfokuskan kepada penyelesaian problematika masyarakat, Syekh Muhammad Abduh berhasil melawan kejumudam Umat dan taqlid yang berkepanjangan. Akan tetapi pembaharuan yang diusungkan menuai sisi positif dan sisi negatif dari beberapa kalangan.
Gaya perubahan yang dihasilkan seaakan membuka lobang dan menutup lobang dengan tanah galian lobang yang baru, membuat tafsiran ini menjadi bias terhadap sains modern. Ketika ditelisik kembali, epistimologi yang digunakan Syekh Abduh sangatlah relevan dan jitu untuk digunakan dalam penafsiran, akan tetapi kecondongannya terhadap akal dan meninggalkan kaidah-kaidah mufasir sekali lagi tidak dapat dibenarkan.
57 Shihab, Studi Kritis..,. h. 25-26
58 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran, Jilid 12, Trj. As' ad Yasin, (Jakarta: Gema Insai Press,2001), h.349
Dari cara Syekh Abduh menafsirkan pun cukup berbeda daripada mufasir yang lain. Kecakapannya pada ilmu kontemporer dan di padu dengan teori pembaharuannya sangat berpotensi melahirkan penafsiran yang baru dan juga berpotensi besar untuk salah. Tanpa berpangku pada penafsiran orang zaman dahulu, dengan ilmu yang dimilikinya serta dorongan masyarakat untuk menuntaskan masalahnya, penafsiran beliau cukup digandrungi dan digemari oleh kalangan tertentu.
Adapun penafsiran surah al-fiil, dalam permulaanya, beliau telah menegaskan pembebasan definisi dari burung tersebut, yang mana para mufasir akan sebebas-bebasnya menghubungkan antara ayat dengan realitas yang ada. Tapi perlu ditegaskan kembali bahwa sumber yang dirujuk untuk penafsiran yaitu al-Quran tidak akan pernah menuai polemik, kesalahan itu bersumber pada pemahaman, hasil dari buah pikiran sang mufasir.Pada zaman sekarang, pemikiran kritis sangatlah dibutuhkan untuk ditajamkan kembali, pasalnya banyak hal yang jelas akan tetapi belum tentu benar, dan ada hal yang benar akan tetapi belum tentu jelas. Dengan pembacaan konstruksi pemikiran ini kita bisa mengetahui basis filosofis yang digunakan sang mufasir dalam penafsirannya. Itu semua membutuhkan akal yang sehat.
Wallahu a’lam bishawaab.
Dafter Pustaka
al-Indunisi, Muhammad Afifiuddin Dimyathi Ramli, 2016. Ilmu Tafsir Ushuluhu wa Manahijuhu. Kairo: Dar al-Shaleh.
al-Najdi, Abi Abdillah Muhammad al-Hamud, 1412. Al-Qoul al-Mukhtashar fii manahij al- Mufassirin. Daar Imam Dzahabi.
al-Dzahabi, 2012. Muhammad Hussain al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Daar al-Hadis.
al-Rumi, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman, 1983. Manhaj al-Madrasah al-Aqliah al- Hadistah fi al-Tafsir Jilid 1. Riyadh: Muassasah al-Risalah.
al-Suyuthi, Jaläluddin Abdurahmân, 1996. Asrär Tartib al-Qur'an, terj. Masdar Helmi.
Jakarta: Pustaka Amani.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi, juz 30
al-Rifa i, Muhammad Nasib, 2000. Taisir al-'Alivy al-Oadir li Ikhtisär Fi Tafsir Ibnu Katsir.
Peneri. Syihabbuddin. Jakarta: Gema Insani Press.
al-Zurqaani, Muhammad Abdu al-Azhim, 2017. Manahil Irfan fi al-Ulum al-Quran. Beirut:
Daar Ibn Hazm.
al-Awari, Abdul Fattah Abdul Ghani. Raudhah al-Thalibiin fi Manahij al-Mufassirin (Kairo:
Maktabah Iman
al-Muhtasib, Abdul Majiid Abdussalam, 1982. Ittijahat al-Tafsir fi al-Ashri al-Rahin . Amman: Maktabah al-Nahdoh al-Islamiah.
Abbas, Fadl Hasan, 2015. al-Tafsir wa al-Mufassirun asasiyatuhu wa ittijahatuhu wa manahijuhu fi al-ashri al- hadist. Urdun: Daar al-Nafais.
Abduh, Muhammad, 1998. Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir.
Bandung: Mizan.
Hamka, Tafsir al-Azhar juz xxx
Imarah, Muhammad, 2009. Al-Manhaj al-Ishlahi lil Imam Muhammad Abduh. Kairo:
Darussalam.
Katsir, Ibn, Tafsiir Ibn Katsir
Lubis, A. Y. 2016. Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Munawir, Ahmad Warson, 1997. Kamus Munawir (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), h.
876
Ma’rifah, Muhammad Hadi. Tafsir wal mufasirun fi tsaubihi al-Qusayyab Jilid 2. Saudi: al- Jamiah al- Radawiah lil Ulum al-Islamiah.
Nurlelah, Abbas, Juni 2014, "Muhammad Abduh: Konse Rasionalisme Dalam Islam" Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15. No. 1,
Nasution, Harun, 2003. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang.
Quthb, Sayyid, 2001. Fi Zhilal al-Quran, Jilid 12, Trj. As' ad Yasin. Jakarta: Gema Insai Press.
Shihab, M. Quraish, 2001. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati. Vol. 15
Shihab, M. Quraish, 2006. Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kelas Atas Tafsir Al-Manar