• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALEK BATONJONG (ALEK RAJO-RAJO)

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "ALEK BATONJONG (ALEK RAJO-RAJO) "

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ALEK BATONJONG (ALEK RAJO-RAJO)

DALAM TRADISI ADAT PERKAWINAN DI NAGARI SOLOK KUBUANG TIGO BALEH

TAHUN 1988 dan 2015 JURNAL

Oleh:

MUHAMMAD FAJAR HIDAYAT NPM : 13020056

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) PGRI SUMATERA BARAT

PADANG

2017

(2)
(3)

1

Alek Batonjong (Alek Rajo-Rajo) Dalam Tradisi Adat Perkawinan

di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh Tahun 1988 dan 2015

by :

Muhammad Fajar Hidayat1 Nopriyasman2

Zulfa 3

ABSTRACT

This study analized a marriage system of tradition custom for local villagers of Solok Kubuang Tigo Baleh called Alek Batonjong of Alek Rajo-Rajo (Alek Means Party). The study was conducted in subdistrict of IX Korong and KTK of Solok regency. The purposes of the study were 1) to describe the forms and the performance of the party it self, 2) to describe the changes of the process by comparing the party held in 1988 and 2015, and 3) to describe the local society’s response toward the party process. The results showed the shape of implemention Alek Batonjong Dt. Sati Koto Darek in 1988 that 1) the forms of process are baiyo-iyo kaum (relatives meeting), mamutuih etongan (making agreement), baiyo-iyo suku (ethnic group meeting), baiyo-iyo nagari (villagers’ meeting), and until mambuek ari (determine the party day). The performances were killing buffalo and goat (mamantai kabau jo kambiang), dressing the house (mamakaian pakaian rumah) decorating the house by multi color clothes, performing the villagers art (penampilan kesenian nagari), the term for pichingup the pride (maabuih cubadak), the process of big party (baralek gadang), and the first visit of bride relatives to the bridegroom’s house (tunduak). 2) after being compared the party in 1988 and 2015 were found some changes, namely the days used ( in 1988 was 7 days and 7 nights, but in 2015 use only 2 days and 2 nights), and the people involyed (in 1988 was involyed all societys of nagari Solok and community Kubuang Tigo Baleh, but in 2015 was only ninik mamak (ethnic gropup leader), bundo kanduang ( the leader of woman from ethnic group), and the society around IX Korong in Solok. 3) the local society’s response toward the existences of party held in 2015 was musthy positives specially in saving the on of minangkabau culture, related to loss the value of culture in Solok.

Keywords : Alek Batonjong, Tradition, Marriage

1 Students History Education STKIP PGRI West Sumatra

2 Lecturer in History Andalas University

3 Lecturer in History Education STKIP PGRI West Sumatra

(4)

2

Alek Batonjong (Alek Rajo-Rajo) Dalam Tradisi Adat Perkawinan

di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh Tahun 1988 dan 2015

Oleh :

Muhammad Fajar Hidayat4 Nopriyasman5

Zulfa 6

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang Alek Batonjong (Alek Rajo-Rajo) dalam tradisi adat perkawinan pada masyarakat Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan IX Korong dan KTK Nagari Solok (Kota Solok) Kecamatan Lubuk Sikarah Kota Solok. Tujuan penelitian ini untuk 1) mendeskripsikan bentuk dan penampilan Alek Batonjong 2) mendeskripsikan perubahan dan perkembangan yang terjadi pada adat perkawinan Alek Batonjong, serta 3) mendeskripsikan respon masyarakat terhadap pelaksanaan Alek Batonjong di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh. Hasil penelitian menunjukkan bentuk dari pelaksanaan Alek Batonjong Dt.

Sati Koto Darek tahun 1988 dimulai dari prosesi baiyo-iyo kaum, mamutuih etongan, baiyo-iyo suku, baiyo nagari, dan sampai mambuek ari. Setelah prosesi ini dilaksanakan barulah dilakukan peresmian Alek Batonjong yang biasanya dilakukan melalui prosesi mamantai kabau jo kambiang, mamakaian pakaian rumah, malakukan kesenian anak nagari, maabuih cubadak, sampai baralek gadang dan pelaksanaan tunduak. Prosesi yang panjang tersebut ketika ditampilkan kembali tahun 2015 telah terjadi beberapa perubahan dengan pemotongan atau pemendekan pelaksanaan Alek Batonjong seperti yang awalnya pelaksanaan 7 hari 7 malam diringkas menjadi 2 hari 2 malam.

Begitu juga dalam hal personil hanya melibatkan ninik mamak, bundo kanduang ,dan masyarakat IX Korong Kota Solok bukan lagi masyarakat Nagari Solok dan Kubuang Tigo Baleh. Respon masyarakat terhadap kelahiran kembali Alek Batonjong pada tahun 2015 ditanggapi secara positif, khususnya terkait konteks menyelamatkan keberagaman seni budaya tradisi diberbagai daerah di Minangkabau. Apalagi mengingat terdapatnya beberapa indikasi telah bergesernya nilai-nilai adat di berbagai nagari tepatnya di Solok.

Kata Kunci : Alek Batonjong, Tradisi, Perkawinan.

4 Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat

5 Dosen Program Studi Sejarah UNAND

6 Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat

(5)

3

PENDAHULUAN

Kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang berkembang dari generasi ke generasi. Budaya menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, karena menjadi bagian dari praktik kehidupan masyarakat. Budaya juga merupakan identitas suatu kelompok atau masyarakat, yang terus dipertahankan dalam kelompok itu.

Budaya sebagai hasil pikiran manusia, yang akan menjadi suatu kebiasaan yang sulit untuk diubah. Sesuatu yang menjadi kebiasaan dalam masyarakat biasanya diwariskan secara turun temurun, dan apabila masih dipertahankan keberadaannya dalam masyarakat akan menjadi sebuah tradisi.

Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dipertahankan keberadaanya dalam masyarakat. Tradisi dalam masyarakat biasanya berwujud upacara kelahiran, peringatan kematian, upacara bertanam dalam masyarakat agraris, alat musik dan permainan tradisional dan sebagainya.

Salah satu tradisi masyarakat yang telah membudaya adalah tradisi dalam helat perkawinan. Sebelum perkawinan, menjelang perkawinan, bahkan setelah perkawinan masyarakat mengadakaan upacara atau perayaan (tradisi) yang dilaksanakan secara turun temurun dalam bentuk perayaan dan prosesi-prosesi, tarian-tarian yang diiringi dengan musik tradisional.

Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang majemuk, salah satu akibat dari kemajemukan tersebut adalah terdapat beraneka ragam ritual adat dan tradisi yang dilaksanakan dan dilestarikan oleh masing-masing pendukungnya, sesuai dengan ungkapan adat “Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain bilalangnyo, lain nagari lain adatnyo”. Setiap daerah memiliki kebiasaan yang berbeda termasuk dalam melaksanakan suatu tradisi dalam masyarakat. Ritual upacara adat dan tradisi tersebut mempunyai bentuk atau cara melestarikan serta maksud dan tujuan yang berbeda-beda antara kelompok masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan tempat tinggal, adat serta tradisi yang di wariskan secara turun temurun. Upacara adat dan tradisi dalam kebudayaan suku Minangkabau biasanya merupakan unsur kebudayaan yang paling

tampak lahir. Adat dan tradisi merupakan kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi kebudayaan, norma dan aturan- aturan yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau pengaturan tradisional.

Masyarakat Minangkabau dikenal mempunyai keunikan budaya sebagai identitas diri. Salah satu keunikan itu adalah sistem matrilineal dalam pewarisan suku, harta pusaka, dan gelar kebesaran adat. Kearifan lokal Minangkabau tampak nyata dari pola hidup masyarakat yang menjujung tinggi adat dan agama, sehingga muncul ungkapan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Hal ini merupakan identitas diri masyarakat Minangkabau yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Dari tradisi yang dimiliki daerah Minangkabau tersebut salah satunya adalah “Alek Batonjong” di Kubuang Tigo Baleh.

Upacara dan tradisi perkawinan masyarakat Kubuang Tigo Baleh Solok mempunyai adat dan kebiasaan yang sama dengan masyarakat Minangkabau lainnya yang sama-sama tersimpul dalam “Adat Nan Ampek” di Minangkabau. Akan tetapi ada hal yang unik dari masyarakat Solok Selajo yang merupakan induak atau payung panji dari Alam Kubuang Tigo Baleh yang telah mereka peroleh dari generasi ke generasi. Keunikan tersebut yaitu orang Solok Selajo yang keturunannya dari orang Ampek Jiniah, dan orang yang berfungsi di dalam adat kaum atau keluarganya, selalu mengadakan suatu upacara adat tradisi yang sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Solok. Tradisi itu bernama Alek Batonjong (Alek Rajo-Rajo)/ Alek Tujuah Hari Tujuah Malam.

Menurut sejarah di Kota Solok baru dua kali dalam awal abad 20 yang melakukan Alek Batonjong yakni pada tahun 1928 oleh kaum Dt.

Bandaro/Dt.Bagindo Saripado dan pada tahun 1988 oleh Kaum Dt. Sati. Menurut cerita dari ninik mamak tetua adat Nagari Solok Alek Batonjong pada tahun 1928 semua benda-benda pusaka kaum dan nagariatau kesenian rakyat dikeluarkan (ditampilkan) dan dipertunjukan ditengah masyarakat Kubuang Tigo Baleh, seperti tradisi pidato panjang, tunduak jambua alai, marapaulai indak babaju bakudo gadang, adegan samun-manyamun (silat menyilat) memberantas perampok dalam

(6)

4

mencuri saluak ameh rajo (penutup kepala

raja) di tengah jalan, dan lain-lain.7

Perkembangan penduduk Alam Kubuang Tigo Baleh yang pesat serta waktu dan biaya untuk pengeluaran helat ini sangat besar, maka Alek Batonjong yang merupakan hasil kebudayaan masyarakat Solok sudah mulai terkikis oleh pengaruh zaman dan sudah mulai hilang keberadaannya ditengah masyarakat. Alek Batonjong setelah tahun 1988 tidak pernah lagi digelar dan ditampilkan ditengah masyarakat Solok.

Pada akhir tahun 2015, Alek Batonjong yang merupakan salah satu identitas diri masyarakat Solok Kubuang Tigo Baleh.

Berkat dengan kerjasama masyarakat suku Caniago Koto Darek Solok dengan Organisasi Lembaga Adat Kota Solok (LKAAM, KAN Solok dan Bundo Kanduang Kota Solok) menggelar dan menampilkan lagi Alek Batonjong ke permukaan masyarakat Solok, yang mana tradisi ini telah hampir 28 tahun terakhir tidak pernah lagi ditampilkan, tepatnya tanggal 25 Desember 2015 Alek Batonjong digelar dan ditampilkan secara umum di Kota Solok. Tujuan dengan menampilkan tradisi ini sebagai bentuk wujud pelestarian budaya lokal bagi generasi muda Kota Solok supaya nantinya budaya ini tidak hilang dan tenggelam oleh perkembangan zaman.

Penggalian (penelitian dan seminar) dan penulisan serta kerja ilmiah lainnya bertujuan untuk tugas pelestarian. Banyak kalangan mengkhawatirkan bagian dari kekayaan warisan budaya ini akan lenyap sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi sekarang, sehingga menimbulkan langkanya adat dan teller history sebagai life teks (pencerita sejarah sebagai isi kehidupan) di Alam Kubuang Tigo Baleh Solok

Berdasarkan uraian diatas tergambar bahwa daerah Alam Kubuang Tigo Baleh memiliki sejarah kebudayaan dan keunikan yang berbeda dengan daerah lain. Oleh sebab itu penulis sebagai bagian dari keturunan orang Kubuang Tigo Baleh tertarik melihat lebih jauh sejarah kebudayaan rakyat. Maka untuk itu penulis memberi judul penelitian ini: Alek

7Wawancara dengan H.R. Dt.

Khatib Sulaiman (67 tahun) pada tanggal 22 November 2015 di Gelanggang Pudung IX Korong Solok.

Batonjong (Alek Rajo-Rajo) dalam Tradisi Adat Perkawinan di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh tahun 1988 dan 2015”

Batasan dan Rumusan Masalah

Pembatasan masalah pada dasarnya merupakan upaya untuk membatasi ruang lingkup persoalan mana yang termasuk dalam sasaran penelitian, sehingga fokus permasalahan akan menjadi lebih jelas sehingga menjadi lebih mudah untuk dirumuskan. Tahun 1988 diambil sebagai batasan temporal karena pada tahun ini Alek Batonjong pernah digelar secara seremonial dengan helat besar oleh kaum Dt. Sati selaku “ Penghulu suku Caniago Koto Darek Solok” yang merupakan orang berpangkat adat (bajiniah dalam adek), dan tahun 2015 diambil sebagai batasan akhirnya, karena pada tahun ini Alek Batonjong dipertunjukan kembali kepada masyarakat Solok sebagai bentuk pelestarian kearifan lokal masyarakat Solok setelah hampir 28 tahun tidak pernah digelar di daerah Solok setelah tahun 1988.

Batsan spatial penelitian adalah Nagari Solok Lubuk Sikarah (IX Korong dan KTK) Kubuang Tigo Baleh, pemilihan lokasi ini disebabkan karena Alek Batonjong dilakukan di daerah ini yakni pada tahun 1988 dan 2015.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka rumusan masalah peneliti adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk dan penampilan adat perkawinan Alek Batonjong di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh?

2. Bagaimana perubahan dan perkembangan adat perkawinan Alek Batonjong pada tahun 1988 dan 2015 ?

3. Bagaimanakah respon masyarakat terhadap pelaksanaan Alek Batonjong di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh

?

Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mendeskripsikan bentuk dan penampilan adat perkawinan Alek Batonjong di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh.

b. Mendeskripsikan bentuk perubahan dan perkembangan yang terjadi pada

(7)

5

adat perkawinan Alek Batonjong

pada tahun 1988 dan 2015

c. Mendeskripsikan respon masyarakat terhadap pelaksanaan Alek Batonjong di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh.

Bahan dan Metode

Metode yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan penggabungan metode historis-etnografi. Bentuk pengungkapan lewat studi ini akan menghasilkan penulisan yang deskriptif- analisis yang sesuai dengan akidah norma- norma yang dikehendaki oleh ilmu sejarah,8yaitu :

1. Heuristik adalah tahap pengumpulan sumber-sumber sejarah dengan sasaran utamanya sumber-sumber primer dan sekunder. Sumber primer berupa arsip, naskah dokumen (manuskrip), surat-surat yang ditulis pada saat pelaku sejarah ada dan sedangkan sumber primer lisan adalah melalui wawancara dengan pelaku maupun saksi sejarah9. Sasaran objek wawancara hanyalah para tetua-tetua adat dan yang lebih mengetahui (pernah mendengar) cerita mengenai Alam Kubuang Tigo Baleh dan Alek Batonjong Nagari Solok seperti para ninik mamak ataupun elit lainnya.

2. Verifikasi adalah tahap penyelesaian sumber-sumber sejarahmelalui kritik eksteren dan kritik interen. Kritik eksteren ini dilakukan untuk menguji tingkat keabsahan sumber (otentisitas sumber) sedangkan kritik interen dilakukan untuk menguji tingkat kepercayaan sumber (krediblitas sumber)10. Tahapan ini, melakukan kritik terhadap pendapat yang berbeda baik melalui tulisan sejarahwan dengan tambo ataupun sumber lisan berupa wawancara antara pencerita yang satu dengan yang lainnya. Hal ini bisa juga melakukan studi komparatif melalui

8Louis Gotschal.Mengerti Sejarah.

(Terjemahan Nugroho Notosusanto).

(Jakarta: Yayasan. Penerbit Universitas Indonesia, 1973), hal 41

9Mestika Zed. Metodologi Sejarah.

( Padang:FIS UNP, 2003), hal 23

10Mestika Zed. Metodologi Sejarah , (Padang:FIS UNP,2003),hal.37

foto atau lukisan masa lampau lewat benda-benda peninggalan yang ada di IX Korong Nagari Solok mengenai akan tentang Alek Batonjong.

3. Interpretasi adalah tahap penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah diseleksi melalui upaya analisa dan sintesa fakta-fakta sejarah.Tahapan ini, melakukan analisa berdasarkan fakta sejarah (walaupun untuk ukuran sejarah Alam Kubuang Tigo Baleh dan Alek Batonjong Nagari Solok sudah agak sulit) namun melalui benda-benda peninggalannya dapat dianalisa dan disesuaikan dengan gambaran hasil tutur (lisan) para sesepuh adat Nagari Solok.

4. Historiografi adalah melakukan penulisan dalam bentuk karya ilmiah setelh didapatkan data fakta yang akurat dan valid, barulah di tulis dalam bentuk skripsi. Historiografi juga merupakan tahap terakhir dalam penulisan sejarah yang bertujuan untuk menciptakan kembali totalitas peristiwa masa lampau yang sesungguhnya terjadi. Kombinasi data yang digunakan adalah sumber lisan dan tulisan. Sumber lisan dapat didapat dari hasil wawancara dengan saksi serta pelaku. Sedagkan sumber tertulis akan didapatkan berupa hasil studi kepustakaan dan hasil tulisan sejarahwan yaitu tambo, laporan mengenai sejarah Alam Kubuang Tigo Baleh.

Hasil dan Pembahasan

Alek Batonjong merupakan tradisi yang berkembang di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh semenjak zaman nenek moyang dan termasuk salah satu bentuk perwujudan adat nan taradat11. Menurut Hakimi, adat nan taradat adalah peraturan yang dibuat secara bersamaan oleh para ninik mamak dan pemangku adat dalam suatu nagari, baik dibidang politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan lain- lain yang dituangkan dalam bentuk pepatah-petitih, mamangan, bidal, pantun, dan gurindam. Tata cara, bentuk, dan pelaksanaan adat nan teradat juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi nagari serta memenuhi kebutuhan nagari

11Wawancara dengan Y. Dt. Khatib Pamuncak (70 tahun) pada tanggal 21 Desember 2016 di Panawan IX Korong Solok

(8)

6

itu sendiri. Begitupula dalam pelaksanaan

Alek Batonjong di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh12.

Alek Batonjong di Nagari Solok merupakan sebagai wujud identitas jati diri masyarakat Solok dalam mengagungkan alam yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Alek Batonjong yang dikenal sebagai bagian budaya tak benda di Nagari Solok sudah jarang bahkan tidak lagi ditampilkan di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh13. Menurut keterangan informan Alek Batonjong terakhir ditampilkan atau diselenggarakan di Nagari Solok pada tahun 1988 oleh kaum Dt. Sati selaku penghulu adat suku Caniago Koto Darek, dan menurut sejarah Kota Solok Alek Batonjong baru 2 kali dalam awal abad 19 ditampilkan di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh yakni pada tahun 1928 oleh kaum Dt. Bandaro suku Caniago Tabu dan pada tahun 1988 oleh kaum Dt. Sati Suku Caniago Koto Darek14. Alek Batonjong pada tahun 1988 diselenggarakan oleh kaum Dt. Sati yang merupakan penghulu suku Caniago Koto Darek Solok, ketika itu beliau menikahkan anak kemenakan beliau yang bernama Dra.

Puti Rosavella dengan seorang pemuda dari Nagari Kinari Kab. Solok bernama Drs. Syahrul Efendi. Pernikahan ini dilangsungkan pada tanggal 20 Mei 1988, Dra. Puti Rosavella merupakan anak dari Bapak Darmawan Sairin dan Ibu Puti Yohana, yang merupakan kemenakan kontan (kandung) dari Dt. Sati15.

Alasan Alek Batonjong pada tahun 1988 dilaksanakan karena sudah lama alek ini tidak ditampilkan lagi di Nagari Solok kurang lebih sudah 28 tahun tidak dipertunjukan ke masyarakat Solok. Selain itu Dra. Puti Rosavella merupakan keturunnan langsung dari penghulu suku

12Idrus Hakimi, Dt Rajo Penghulu.1988. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau.

(Bandung.Penerbit: CV Rosda Karya) hal 42.

13Wawancara dengan Fauzi Nizar Dt. Rajo Intan (62 tahun) pada tanggal 21 Desember 2016 di Kandang Aua Simpang Rumbio Solok.

14Wawancara dengan Djanawir Dt.Pandeka Mudo (61 tahun) pada tanggal 13 Desember 2016 di Kandang Aua Simpang Rumbio Solok.

15Wawancara dengan Andri. Dt.

Sati (54 tahun) pada tanggal 21 Desember 2016 di Bawah Jambu KTK Solok.

Caniago Koto Darek yang dalam adat Solok merupakan keturunan langsung dari Dt. Sembilan di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh. Oleh sebab itu makanya Alek Batonjong diselenggarakan pada tahun 1988 ketika perkawinanan anak kemenakan Dt. Sati di Nagari Solok tepatnya dirumah kediaman Dt. Sati di Lubuk Sikarah Koto Darek Solok. Alek Batonjong Rosavella dilaksanakan pada tanggal 14-21 Mei 1988, alek ini dikenal sebagai alek nan paling gadang (terbesar) di Nagari Solok16.

1. Bentuk dan Penampilan Alek Batonjong di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh

Pada tahun 1988 ini Alek Batonjong diselenggarakan dengan persiapan yang matang, dimulai dengan memilih orang-orang yang terlibat langsung dalam helat ini.

Orang yang terlibat langsung dalam Alek Batonjong tahun 1988 seperti memilih orang yang akan pergi mamanggia (memanggil), pergi tunduak (menjelang mertua), pergi mencari perlengkapan-perlengakapan Alek Batonjong seperti mencari tabia, banta tinggi, tuduang nasi, dulang, dalamak, talang (bambu), daun pisang, kayu, cubadak (cempedak), rebung, batang pisang,yang akan nantinya dijadikan sebagai jamuan dalam helat.

Dalam Alek Batonjong juga menentukan orang yang akan mamantai kurban untuk Alek Batonjong, karena dalam Alek Batonjong pelaksanaanya harus mamantai kerbau selama tujuh hari berturut-turut. Selain itu hal yang paling penting dalam Alek Batonjong menunjuk seeorang yang bisa nanti mengelola helat ini yang dikenal dengan pitunggua alek17. Ketika itu yang menjadi pitunggua Alek Batonjong pada tahun 1988 ini adalah

16Wawancara dengan Andri Dt. Sati (54 tahun) pada tanggal 21 Desember 2016 di Bawah Jambu KTK Solok.

17Arsip mengenai Alek Batonjong tahun 1988 (Orang yang terlibat dalam pelaksanaan Alek Batonjong Suku Koto Darek Nagari Solok).

(9)

7

Djabar Dt. Bagindo Sati dan Fauzi

Nizar. Dt. Rajo Intan18

Kelahiran kembali Alek Batonjong berawal dari hasil pemikiran anak kemenakan Dt. Tan Langik selaku Urang Tuo suku Caniago Koto Darek yang bernama FH.Dt. Rangkayo Marajo. FH Dt. Rangkayo Marajo melihat keadaan eksistensi Alek Batonjong di Nagari Solok sudah berkurang dan memudar dari diri generasi muda anak Nagari Solok, khususnya generasi-generasi muda yang berasal dari keturunan urang nan bajiniah baik urang nan ampek jinih19. Maka dari itu diambil kesepakatan oleh ninik mamak suku Caniago Koto Darek yang dipelopori oleh Candra. Dt.

Bandaro Sati selaku manti suku Caniago Koto Darek supaya diadakannya pertunjukan Alek Batonjong ditengah masyarakat Kota Solok dalam bentuk bararak (parade).

Alek Batonjong pada tahun 2015 tidak sama dengan seperti yang mana dilakukan pada tahun 1988, sudah banyak perubahan- perubahan yang dilakukan. Beberapa perubahan yang terjadi adalah yang dulunya pelaksanaan memakan waktu kurang lebih 7 hari berturut-turut, pada pelaksanaan 2015 ini Alek Batonjong dilakukan cuma 2 hari, dengan melihat efektifitasan waktu dalam pelaksanaannya20

Tujuan ninik mamak suku Caniago Koto Darek mengangkat dan menampilkan Alek Batonjong ini kembali adalah tak lain dan tak bukan sebagai bentuk wujud pelestarian kebudayaan lokal, karena sekarang telah dilihat banyak dari generasi penerus yang nantinya merupakan pemegang peranan dalam Nagari Solok yang sudah tidak mengenal lagi kebudayaan lokal. Padahal dalam kebudayaan lokal tersebut banyak

18Wawancara dengan A. Dt. Sati (54 tahun) pada tanggal 21 Desember 2016 di Bawah Jambu KTK Solok

19Wawancara dengan Masrizal Dt.

Tan Langik (45 tahun) pada tanggal 28 November 2016 di Gelanggang Pudung IX Korong Solok

20Wawancara dengan C. Dt.

Bandaro Sati (58 tahun) pada tanggal 27 November 2016 di Gelanggang Pudung IX Korong Solok.

mengandung nilai-nilai dan makna kehidupan seperti Alek Batonjong ini.

Selain itu diselenggarakannya Alek Batonjong ditengah masyarakat Kota Solok pada tahun 2015 ini didorong oleh sudah banyak memudarnya dan melunturnya eksistensi jati diri masyarakat Solok terhadap kebudayaan lokal, yang mana masyarakat Solok saat ini lebih cinta menggunakan kebudayaan asing daripada kebudayaan negeri sendiri. Masyarakat saat ini cendrung tidak bisa menfilter (menyaring) kebudayan asing tersebut yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka, kalau dibiarkan begitu saja sampai seterusnya pasti nantinya kebudayaan lokal hilang dari diri masyarakat Solok khususnya Alek Batonjong tersebut.

Prosesi ini dilakukan pada hari sabtu tanggal 24 Desember 2015 dalam bentuk rarak (parade) mengelilingi Kota Solok. Setelah itu, keesokan harinya tanggal 25 Desember 2015 dilanjutkan dengan acara intinya pergi tunduak (mengunjungi kerumah mertua) dengan membawa juadah (jamba) sebanyak 47orang pergi Tunduak Alek Batonjong mengelilingi pusat kota di Pasar Raya Solok, baru dilanjutkan dengan acara inti melakukan pidato pasambahan dan pidato panjang di Kelurahan IX Korong. Disini dapat terlihat perbedaannya yang sangat jauh pelaksanaan Alek Batonjong tahun 2015 dengan Alek Batonjong yang dilakukan sebelumnya yakni pada tahun 1988.

Alek Batonjong yang dilakukan oleh Dt. Sati pada tahun 1988, ketika menikahkan anak kemakan beliau Dra.

Puti Rosavella dengan pendamping hidupnya Drs. Syahrul Efendi yang diselenggarakan tanggal 21-28 Mei 1988, memiliki tahapan-tahapan/

tatacara yang harus dilakukan dalam pelaksanaan Alek Batonjong tersebut.

Alek Batonjong pada tahun 1988 yang dikenal oleh masyarakat Solok dengan Alek Rosavella Koto Darek terdiri dari beberapa bentuk dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh ninik mamak Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh berdasarkan aturan-aturan yang telah ditentukan. Tatacara berikut terdiri dari sebagai berikut :

a. Tahapan prosesi sebelum Alek Batonjong yang terdiri dari

prosesi

(10)

8

baiyo-iyo kaum, mamutuih etongan,

baiyo-iyo suku, baiyo nagari, dan sampai mambuek ari.

b. Tahapan prosesi peresmian Alek Batonjong yakni setelah prosesi pada sebelum Alek Batonjong dilaksanakan barulah dilakukan peresmian Alek Batonjong yang biasanya dilakukan melalui mamantai kabaug, mamakaian pakaian rumah, jago-jago, maabuih cubadak, malapeh marapulai, bakuruang, baralek gadang, dan tunduak/manjakang mintuo.

c. Tahapan ketika prosesi setelah upacara perkawinan Alek Batonjong terdiri dari prosesi maanta cikaran, manjalang induak bako, mambuka gulang-gulang.

Dalam penyelenggaraan Alek Batonjong di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh, maka disiapkanlah dan ditentukan perlengkapan-perlengkapan apa saja yang diperlukan dalam helat tersebut, rumah yan merupakan tempat menyelenggarakan Alek Batonjong menurut adat yang berlaku di Nagari Solok harus dilengkapi. Rumah yang dianggap sebagai tempat berdiam ketika dilakukan Alek Batonjong perlu diberi pakaian adat. Selain itu rumah juga perlu dilengkapi dengan berbagai macam-macam perlengkapan, supaya nantinya pelaksanaan Alek Batonjong dapat terlaksana dengan baik menurut syarak dengan adat yang berlaku di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh21. Berikut ini perlengkapan yang digunakan selama Alek Batonjong dilaksanakan, menurut salah seorang informan yang diwawancari oleh peneliti. Perlengkapannya terdiri dari sebagai berikut :

a.

Pakaian Rumah, perlengkapan yang termasuk dalam pakaian rumah menurut adat antara lain : tabie, langgik-langik, banta, payuang gadang, dan marawa.

b. Pakaian Kebesaran Alek Batonjong, Adapun pakaian kebesaran Alek Batonjong di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh adalah pakaian marapulai yang melambangkan pakaian raja dan

21Silvia Rosa, dkk. Adat dan Budaya Kota Solok. (Solok. Penerbit:

DPORKP Kota Solok.2013). hal 45

pakaiananakdaroyang melambangkan pakaian puteri (puti).

c. Perlengkapan saat Bararak Tunduak (Mengunjungi Mertua), Pada saat baarak maanta nasi tunduak dalam Alek Batonjong jumlah pengiring yang pergi sebanyak kurang lebih 40 orang pengiring.Bararak maanta nasi tunduak ibarat pepatah adat

“membawa nasi sebungkus, air selebu, lada yang sepatah, garam yang sececah”

.

2. Perubahan dan Perkembangan Alek Batonjong di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh

Perkembangan Alek Batonjong dari masa ke masa telah banyak mengalami perubahan, dimana dalam pelaksanaannya yang pernah terjadi beberapa kali di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh yakni pada tahun 1988 dan tahun 2015 mengalami kontinuitas baik diskontinuitas. Kontinuitas dan diskontinuitas maksudnya dalam pelaksanaannnya Alek Batonjong tersebut apakah ada pelaksanaanya yang masih berlanjut dan tidak berlanjut dari pelaksanaannya pada tahun 1988 sampai tahun 2015.

Kontinuitas dan diskontinuitas terjadi akibat dari telah terjadi difusi (penyebaran) budaya dalam pelaksanaan alek tersebut, sehingga tahun 2015 pelaksanaan Alek Batonjong telah banyak yang berubah akibat dari difusi kebudayaan. Contoh Kontinuitas dan Diskontinuitas yang terjadi pada Alek Batonjong akibat dari difusi kebudayaan dari tahun 1988 dan tahun 2015 salah satunya yang mana pelaksanaan terjadi perubahan pemotongan atau pemendekan pelaksanaan Alek Batonjong seperti yang awalnya pelaksanaan 7 hari 7 malam diringkas menjadi 2 hari 2 malam. Selain itu dalam hal personil hanya melibatkan ninik mamak, bundo kanduang ,dan masyarakat IX Korong Kota Solok bukan lagi masyarakat Nagari Solok dan Kubuang Tigo Baleh.

3. Respon dan Pandangan Masyarakat terhadap pelaksanaan Alek Batonjong di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh

Berdasarkan menurut keterangan Djanawin. Dt. Pandeka Mudo selaku ninik mamak Nagari Solok yang merupakan sebagai saksi

(11)

9

sejarah dalam Alek Batonjong tahun

1988 bahwa di Nagari Solok ini masih mempertahankan kebudayaan dan tradisi yang mereka dapatkan dari warisan nenek moyang mereka, dan ada sebagian kelompok yang mengangap budaya tersebut sebagai hal yang kolot dan kekunoan. Budaya yang dahulu ternilai harganya, kini justru menjadi budaya yang tak bernilai dimata masyarakat salah satunya tradisi Alek Batonjong dalam upacara perkawinan di Nagari Solok.

Menurut keterangan salah seorang generasi muda Kota Solok yang merupakan pelaku dalam Alek Batonjong tahun 2015 yakni Nurul Fitri Aulia dan Fitri Ramadhani, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan beragam seni budaya yang terdapat disetiap daerah khususnya di Kota Solok, supaya seni budaya yang masih ada tersebut tidak punah. Dalam upaya pelestarian budaya lokal sangatlah penting karena pada era globalisasi seperti nilai-nilai budaya indonesia atau budaya kita malah direbut oleh bangsa lain. Budaya lokal sangatlah penting seperti Alek Batonjong ini karena budaya merupakan suatu identitas dan kehormatan suatu bangsa. Ada pepatah yang mengatakan, “jika suatu bangsa kehilangan budayanya maka sama saja kehilangan identitas, kepribadiann,dan kehormatannya”. Untuk itu diperlukan upaya yang konkrit untuk mengurangi dampak dari globalisasi terhadap nilai- nilai budaya lokal yang kita miliki dan seperlunya melestarikan budaya tersebut.

Pada hakikatnya pelaksanaan Alek Batonjong yang diterapkan dalam masyarakat di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh adalah adat yang berlaku di Minangkabau, namun karena penyebaran budaya tersebut akibat dari dampak globalisasi dan modernisasi yang masuk ke Solok, berakibat lahirnya budaya modifikasi dan terjadinya pergeseran nilai-nilai adat dalam adat perkawinan selain akibat dari perpaduan antara dua buah budaya (akulturasi). Tergambar pada pelaksanaan proses Alek Batonjong pada tahun 2015 yang prosesinya telah banyak yang mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman dan kecanggihan teknologi.

Hal yang menjadi pendorong mengapa bergesernya nilai-nilai budaya dan terjadi perubahan dalam diri masyarakat di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh disebabkan22 :

a.

Melemahnya penerapan pendidikan agama.

b.

Faktor sosial ekonomi

c.

Faktor budaya

.

Menurut Dasril Dt. Magek Kayo selaku sekretaris LKAAM Kota Solok yang juga merupakan salah satu pelaku Alek Batonjong tahun 1988, pergeseran nilai-nilai adat dalam perkawinan Alek Batonjong pada tahun 2015 tidak begitu jelas, hanya berubah dari segi pelaksanaannya saja yang berubah, Hal ini ditutur oleh Dasril Dt.

Magek Kayo “Ibarek papatah adek hukum adek dapek barubah manuruik kaadoaan, wakatu, dan tampek “Sakali aia gadang sakali tapian baranjak, sakali rajo baganti sakali adek barubah” yang maksudnya dimasa sekarang ini hukum adat telah banyak disesuaikan dengan perkembangan zaman. Contohnya pelaksanaan Alek Batonjong tahun 2015 ini”.

Maka dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya perubahan Alek Batonjong ini juga disebabkan oleh sifat masyarakat sekarang ini yang ingin serba instan cepat dan mudah, sebab masyarakat sudah memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi dan terbuka terhadap perubahan yang datang dari luar.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya maka dalam hal ini penelitian menyimpulkan bahwa :

Bentuk dari pelaksanaan Alek Batonjong tahun 1928 dan 1988 dimulai dengan beberapa tahapan pelaksanaan seperti tahapan prosesi sebelum, tahapan ketika peresmian, dan tahapan setelah upacara Alek Batonjong. Tahapan sebelum Alek Batonjong dimulai dari prosesi baiyo- iyo kaum, mamutuih etong, baiyo-iyo suku, baiyo-iyo nagari, maagiah makan janang sarato malapeh urang mamangia, akek nikah, dan mambuek ari. Setelah prosesi

22Wawancara dengan H.R. Dt.

Khatib Sulaiman (66 tahun) pada tanggal 24 Desember 2016 di Piliang Sinapa Piliang Solok.

(12)

10

ini dilaksanakan barulah dilakukan

tahapan peresmian Alek Batonjong yang biasanya melalui prosesi mamantai kabau, malakekan pakaian rumah, jago-jago, maabuih cubadak, malapeh marapulai, bakuruang, baralek gadang, sampai pelaksanaan tunduak. Dan setelah pelaksanaan tunduak dilakukan, barulah dilaksanakan tahapan prosesi setelah upacara Alek Batonjong seperti maanta cikaran, manjalang induak bako, dan terakhir acara mambuka gulang-gulan.

Perubahan yang terjadi pada Alek Batonjong, ketika Alek Batonjong ditampilkan kembali pada tahun 2015.

Perubahan yang terjadi pada Alek Batonjongadalahpemotongan/pemendekan pelaksanaan Alek Batonjong yang mana pada tahun 1988 pelaksanaannya 7 hari 7 malam ketika ditampilkan tahun 2015 diringkas menjadi 2 hari 2 malam. Selain itu prosesi adatAlek Batonjong pada tahun 2015 hanya melakukan rarak tunduak dan pidato panjang saja. Dan begitupun dengan personil yang terlibat pada Alek Batonjong tahun 1988 masih melakukan panggilan kawasan Kubuang Tigo Baleh, karena Alek Batonjong dianggap sebagai Alek Nagari Solok. Sangat berbeda dengan tahun 2015 panggilan tidak lagi kawasan Kubuang Tigo Baleh hanya panggilan Nagari Solok saja, karena tahun 2015 Alek Batonjong dianggap sebagai pertunjukan rakyat bukan lagi sebagai Alek Nagari.

Respon masyarakat terhadap pelaksanaan Alek Batonjong di Nagari Solok Kubuang Tigo Baleh, hakikatnya pelaksanaan Alek Batonjong yang diterapkan dalam masyarakat di Nagari Solok Kubuang Tigo Balehadalah adat yang berlaku di Minangkabau, namun karena penyebaran budaya tersebut akibat dari dampak globalisasi dan modernisasi yang masuk ke Solok, berakibat lahirnya budaya modifikasi dan terjadinya pergeseran nilai-nilai adat dalam adat perkawinan selain akibat dari perpaduan antara dua buah budaya (akulturasi).

Tergambar pada pelaksanaan proses Alek Batonjong pada tahun 2015 yang prosesinya telah banyak yang mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman dan kecanggihan teknologi.

Adapun aspek-aspek yang menjadi pendorong bergesernya nilai-nilai adat di NagariSolok: melemahnya penerapan pendidikan agama, faktor sosial ekonomi, dan faktor budaya.

Saran

Selain itu dari kesimpulan hasil penelitian ini, maka penulis ingin memberikan saran:

1. Kepada masyarakat Solok untuk tetap melestarikan budaya Alek Batonjong dalam kehidupan masyarakat Solok.

2. Generasi muda untuk senantiasa membiasakan diri agar dapat menjaga dan melestarikan budaya tradisi khususya Alek Batonjong dalam masyarakat Solok agar tidak pudar walaupun banyak kebudayaan modern yang lebih bagus.

Daftar Pustaka Arsip :

Arsip Alek Batonjong tahun 1988 (Orang yang terlibat dalam pelaksanaan Alek Batonjong Suku Koto Darek Nagari Solok)

Arsip Alek Batonjong tahun 1988 (Panggilan Alek Batonjong Koto Darek Solok Datuak Nan Sambilan Panghulu Nan Duo Baleh Dalam Lingkaran Nagari Solok)

Arsip Alek Batonjong tahun 1988 (Kegiatan Salamo Pelaksanaan Alek Batonjong Koto Darek Tanggal : 21/28 Mei 1988)

Arsip Alek Batonjong tahun 1988 (Urang nan Talibek dalam pelaksanaan Tunduak Alek Batonjong Koto Darek Nagari Solok tahun 1988).

Arsip Solok dalam Angka 1988 Arsip Kota Solok dalam Angka 2010 Arsip Kota Solok dalam Angka 2015 Buku :

Ahmad, F Saifudin. (2005). Antropologi Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Basri.MS. (2006). Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta.

Bratawidjaya, dkk. (1988). Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan.

Clifforrd Geertz.(1992).Tafsir Kebudayaan.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Ermanto.(2007). Seluk Beluk Kebudayaan Minangkabau. Padang:Penerbit Museum Adityawarman.

(13)

11

Mursal Esten.(1993). Minangkabau

Tradisi dan Perubahan. Padang : Angkasa Raya.

Noviyanti.(2009). Baarak Dalam Upacara Di Minangkabau. Padang. Penerbit UPTD Museum Nagari Sumatera Barat.

Irwan.(2013). Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ismar Maadis Dt. Putieh. (2008). Risalah Kubuang Tigo Baleh; Panghulu/

Ampek Jinih “ Nan Basaluak Deta Bacincin”.Padang : CV. Bintang Grafika,.

Ismaun. (2005). Sejarah Sebagai Ilmu.Bandung: Historia Utama Press.

Koentjaningrat.(1985). Manusia dan kebudayaan di Indonesia.Jakarta:

Djambatan

. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Louis Gotschalk. (1973). Mengerti Sejarah. (Terjemahan Nugroho Notosusanto). Jakarta: Yayasan.

Penerbit Universitas Indonesia.

Mestika Zed.(2003).Metodologi Sejarah.

Padang: FIS UNP.

Mudji Sutrisno.(2009).Ranah-Ranah Kebudayaan. Yogyakarta : Penerbit Kanisus.

T.O,Ihromi,. Pokok-pokok Antropologi Budaya.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

R.Soekarno.(1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Jakarta:

Kanisius.

Sartono Kartodirdjo.(1993). Pendekatan Ilmu Sosial Metodologi Sejarah.

Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.

Silvia Rosa, dkk. (2013). Adat dan Budaya Kota Solok. Solok.Penerbit:

DPORKP Kota Solok.

Strauss, Okctavia Pas Levi.(1997). Empu Antropologi Struktural.

Yogyakarta: LKIS

Sulasman.(2007) Teori-Teori Kebudayaan.Bandung:CV Pustaka Setia Bandung.

Skripsi :

Indah Dewi Sartika. Tradisi Bakau dalam Helat Perkawinan dan Pelaksanaannya di Kenagarian Supayang Kab Solok suatu tinjauan Historis.Skripsi.

(Padang:STKIP, 2008).

Irsan Wahyudi. Tradisi Ritual Alek Simarajo Lelo Pada Masyarakat Nagari Cupak Kec.Gunung Talang Kab Solok. Skripsi. (Padang: UNP, 2007).

Maslidayeni. Akulturasi Kebudayan Mandailing dengan Kebudayaan Minangkabau Studi Tentang Adat Perkawinan Disimpang Tonang Kabuten .Pasaman. Skripsi, (Padang:UNP, 2001)

Jurnal :

Ernatip. (2010) “Tradisi

Lisan”Pasambahan”dalam Upacara Adat Perkawinan Minangkabau”. Jurnal.SULUAH.

Volume 10 No 13 Desember 2010.

Zulfa. (2012) ”Pewarisan Tradisi Basiacuang di Kabupaten Kampar- Riau.Jurnal.Sosio-Cutura.Volume 1 No 1 Oktober 2012.

Tambo :

Tambo Naskah Tjuraian Asal Mula Negeri Solok-Selajo

Tambo Adat Alam Minangkabau A.Dt.Batuah dan Dt. Majo Indo Tambo Adat Alam Kubuang Tigo Baleh

Solok Salayo J.Dt. Putieh

Referensi

Dokumen terkait

Dựa trên quá trình phân tích những ưu và nhược điểm của các sản phẩm hiện có, ứng dụng những thành tựu của khoa học kĩ thuật, đặc biệt là công nghệ vi điều khiển và kết nối không dây,

Kungachazwa nezinto ezisetshenziswa ngabalingiswa ezibenza bagqame futhi bamukeleke ngandlela thize, njengezimoto, impahla yasendlini kanye nokunye okwenza ukuthi inoveli igcine isiba