Prinsip-prinsip tersebut akan dijalin menjadi sebuah konsep pendidikan Islam yang progresif dan beradab (hadhari). Sumber primer diambil dari Al-Qur’an dan Hadits atau tulisan-tulisan para tokoh pendidikan Islam yang dijadikan pusat kajian dalam buku ini.
Esensialisme
Tasawuf modern sebenarnya bertujuan pada inti yang sama yaitu bersuci jiwa, mendekatkan diri kepada Allah, menjalani asketisme dimana hati tidak melekat pada kehidupan dunia, namun cara mengamalkan tasawuf sudah berubah. Bukunya Sufisme Modern menjelaskan amalan tasawuf sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an dan Hadits.
Perenialisme
Sedangkan yang dimaksud dengan nilai dan prinsip umum yang ada pada zaman Yunani kuno adalah prinsip yang diciptakan oleh para filosof pada masa itu, yaitu Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (483-322 SM .Kr.). Yang diperlukan adalah ide yang ditawarkan harus memenuhi kebutuhan permasalahan yang ada untuk dipecahkan.
Rekonstruksionisme
Mempelajari produk masa lalu tidak akan membantu untuk memahami masa kini karena masa kini bukan disebabkan oleh produk tersebut tetapi dipengaruhi oleh kehidupan yang menghasilkan produk tersebut. Lebih lanjut dikatakan masa lalu adalah masa lalu apa adanya karena pada saat itu tidak mempunyai ciri-ciri yang dimiliki masa kini.
Humanisme
Dengan kata lain, pendidikan dapat ditelusuri sebagai suatu proses penyesuaian masa depan dengan masa lalu, atau menggunakan masa lalu sebagai sumber pembangunan di masa depan. Jika teori ini diterapkan, maka secara logis berarti doktrin takdir manusia sudah ditetapkan sejak lahir, sebagaimana dipahami oleh ajaran Ilahi yang paling kokoh.
Eksistensialisme
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sekolah pragmatis yang dicanangkan oleh Ibnu Khaldun merupakan wacana baru dalam pemikiran pendidikan Islam. Begitu pula dengan nama rasionalisme yang digunakan untuk menyebut mazhab dalam pendidikan Islam oleh beberapa tokoh Islam.
AL-QABISI (324H/935M) - (403H/1012M) Etika Mendidik Anak
Apa yang dipelopori oleh ibn Sahnun diteruskan oleh al-Qabisi pada abad ke-4 Masihi. Menentang kritikan itu, Al-Qabisi tetap berpegang pada pandangannya berdasarkan ayat al-Quran:
IBN SINA (370H/980M – 428H/1037M)
Integrasi Nilai Keislaman dan Falsafah dalam Pendidikan
Ibnu Sina menulis sejumlah karya yang berkaitan dengan teologi Islam, termasuk tentang para nabi. Ibnu Sina konon mempunyai karya tulis dalam bahasa latin berjudul De Conglutineation Lagibum. Tn. Ibnu Sina adalah seorang pekerja di sektor kesehatan di kota terdekat Bukhara (Kharmaisan).
Ibnu Sina juga mengatakan bahawa hidup itu berakhlak, tidak ada kehidupan tanpa akhlak (perilaku individu). Ibnu Sina berkata: "Kamu hendaklah memberi perhatian kepada anak-anak jika kamu ingin menjadikan anak itu berakhlak."
Al-GHAZALI (450H/1048M – 550H/1111M) Pendekatan Teosufistik dalam Pendidikan
Menariknya, kritik al-Ghazali terhadap filsafat lebih bersifat filosofis dibandingkan teologis dan dilakukan dari sudut pandang akal. Al-Ghazali mengkritik argumen ini, dan juga menyerang teori kausalitas yang dianut para filosof. Minhaj al-Abidin (Metodologi Jamaah). memuat ringkasan sistem teologi al-Ghazali, yang kemudian dipadukan dengan Ihya').
Al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menjamin masa depan anak di akhirat (qu anfusakum wa Ahlikum naran). Oleh karena itu, al-Ghazali menganjurkan untuk memulai pendidikan akhlak dengan mengajarkan kebiasaan makan (adab) yang baik.
IBN KHALDUN (733H/1332M -808H/1404M) Pendidikan Islam Sosiologis-Empiris
Ibnu Khaldun mewarisi beberapa karya tulis selain bukunya yang berjudul al-Kitab al-Ibar. Ibnu Khaldun mengimbau para guru untuk mengubah strategi, metode dan pendekatan dalam belajar mengajar. Ibnu Khaldun menekankan bahwa jiwa rasional (al-nafs al-nathiqah, jiwa rasional) yang terdapat pada diri manusia hanya bersifat potensial.
Ibnu Khaldun memaknai tadrij tidak hanya mengalami kemajuan atau peningkatan secara kuantitas, namun juga dibarengi dengan kualitas. Ibnu Khaldun menganjurkan penggunaan metode kunjungan, dimana melalui metode ini guru dapat memberikan pengalaman kepada siswa.
Muhammad Abduh
Neo-Mu’tazilah dan Reintegrasi Keilmuan Pendidikan Islam
Pemikiran Kalam
Keterbatasan yang dimaksud adalah karena kelalaian (taqshir) dan karena sebab alamiah (al-asbab al-kauniyah), yaitu kejadian alam yang tidak diduga-duga. Dengan demikian, kegagalan akibat taqshir terjadi karena manusia tidak memperhatikan sebab-sebab yang ditetapkan Allah sebagaimana Sunnatullah yang berlaku di alam ini. Abduh menggambarkan peristiwa alam tersebut seperti angin topan yang menenggelamkan kapal pengangkut barang dan hewan ternak yang mati karena tersambar petir.
Dalam kejadian tersebut, masyarakat seolah-olah tidak berdaya mengetahui dan mengontrol peristiwa alam yang akan terjadi. Ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan peristiwa alam tersebut menghalangi manusia untuk mewujudkan apa yang diinginkannya, atau dengan kata lain peristiwa alam tersebut membatasi kemampuan, kebebasan, dan kekuasaannya.
Pemikiran Syari’ah
Seperti yang dikatakan Abduh, jika Tuhan masih membutuhkan sesuatu di luar hakikat-Nya yaitu alam, berarti ada yang lebih tinggi dari hakikat Tuhan. Untuk mengkaji kecenderungan madzhab yang dianutnya, perlu dilihat pada masa jabatannya sebagai hakim, mufti dan penafsirannya terhadap Al-Qur'an. Yang diutamakan adalah keadilan atas putusan hukum yang diberikannya dan baginya tidak menjadi soal apakah putusan itu sesuai dengan ketentuan undang-undang atau tidak.
Tugas utama mufti ialah mengeluarkan fatwa sebagai jawapan kepada isu-isu undang-undang yang datang di hadapannya. Pandangannya terhadap al-Quran sebagai sumber undang-undang Syariah yang paling penting memastikan bahawa dia menjadikannya sumber pertama dalam menetapkan undang-undang.
Pemikiran Pendidikan
Pertama, Muhammad Abduh menekankan perlunya peran agama dalam kehidupan manusia, yang mutlak merupakan wahyu yang bersumber dari Al-Qur'an dan Al Hadits. Kedua, Muhammad Abduh menekankan perlunya memanfaatkan bagian terbaik dari peradaban Barat yang telah mencapai kemajuan tersebut. Dengan pendekatan ini, Muhammad Abduh ingin menegaskan bahwa Islam adalah agama rasional yang dapat menjadi landasan kehidupan modern.
Dalam modernisasi pendidikan yang bertumpu pada konsep ilmu pengetahuan dan manusia akan ditemukan tujuan dan metode modernisasi pendidikan Muhammad Abduh. Dengan cita-cita tersebut, Muhammad Abduh meyakini perlunya pengajaran ilmu pengetahuan modern di lembaga pendidikan Islam seperti Al-Azhar, serta perlunya penguatan ilmu-ilmu agama (Harun Nasution, 1990:67).
Bersandar pada Kekuatan Religiusitas
Karena keterbatasan atau kelemahan akal dan indera, Islam merancang ilmu pengetahuan berdasarkan kekuatan spiritualitas atau religiusitas yang muncul dari wahyu atau Allah. Penggunaan metode yang beragam tersebut merupakan konsekuensi logis dari realitas yang dianut oleh ilmu pengetahuan Islam. Di wilayah yang tak terbayangkan ini, ilmu pengetahuan dalam Islam sebagian besar ditemukan melalui metode spiritual yang belum pernah digunakan oleh ilmu pengetahuan modern.
Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan Islam adalah wahyu Tuhan yang ditempatkan di atas akal. Singkatnya wahyu merupakan wadah bimbingan dan konsultasi ilmu pengetahuan dalam Islam, sehingga wahyu mempunyai kedudukan yang paling terhormat di antara sumber-sumber ilmu yang ada.
Konsep Manusia
Dari tujuan Tuhan menciptakan manusia pada ayat di atas, maka proses pendidikan harus membentuk jiwa peserta didik yang selalu tunduk pada petunjuk agama, tanpa mengabaikan dimensi intelektual. Selain itu, manusia juga mempunyai tanggung jawab dalam modernisasi pendidikan sebagai pemimpin di muka bumi ini. Merujuk ayat di atas, tujuan diciptakannya manusia selain untuk beribadah, juga sebagai khalifah di muka bumi.
Sebagai senjata untuk menjadi khalifah dan membawa manfaat bagi bumi, Allah memberikan akal sebagai pembeda antara yang baik dan yang jahat, baik dan buruk, serta apa yang dilarang dan apa yang diperintahkan. Penggunaan akal pada ayat di atas menunjukkan bahwa Islam menaruh perhatian yang besar terhadap perkembangan akal manusia.
Teori Modernisasi Pendidikan
Gerakan modernisasi Islam di bidang pendidikan dalam segala bentuk dan coraknya, baik konservatif, reformis, sekuler maupun fundamentalis, mempunyai implikasi yang serius terhadap modernisasi pendidikan. Oleh karena itu, aspek visi dan misi suatu lembaga dalam modernisasi pendidikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Diantaranya ada yang berpendapat bahwa modernisasi pendidikan melalui transformasi modern ilmu pengetahuan sebaiknya dibatasi hanya pada bidang teknologi saja.
Jadi, terjadi pertarungan pendapat dan argumentasi modernisasi pendidikan Islam dari sudut pandang filosofis dengan penekanan pada aspek cita-cita dan institusi. Atas dasar gerakan reformasi yang dilakukan oleh Muhammad Abduh, isu modernisasi pendidikan dan reformulasi hukum mendapat penekanan yang kuat.
HUMANITAS RELIGIUS
Abduh sangat prihatin terhadap kebajikan pensyarah, pegawai dan juga pelajar di Al-Azhar. Ini menunjukkan bahawa kualiti pelajar telah meningkat dengan banyak dengan kemudahan dan prasarana yang lebih lengkap di Al-Azhar. Usahanya untuk melaksanakan pembaharuan di Al-Azhar bertembung dengan perintah ulama konservatif yang belum dapat melihat kebaikan perubahan yang dianjurkannya (Harun Nasution, 67).
Beberapa tokoh terkemuka di Al-Azhar menyadari perlunya perubahan dan selalu mendukung Muhammad Abduh. Sehingga upaya reformasinya di Al-Azhar tidak bisa berjalan sesuai keinginannya hingga ia meninggal (Charles Adam, 76).
Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi
Idealis-Moralis dalam Pendidikan Islam
Pandangan Al-Abrasyi yang memandang manusia sebagai makhluk liberal-individualistik tidak menyurutkan perhatiannya terhadap manusia sebagai makhluk homo-sosial. Fokus Al-Abrasyi pada teosentrisitas tercermin dalam pandangannya tentang manusia sempurna (al-insan al-Kamil). Ungkapan di atas membuktikan betapa besar penekanan yang diberikan al-Abrasyi terhadap pandangannya tentang manusia sebagai makhluk yang beretika-religius.
Menurut al-Abrasyi, idealisme bersifat permanen dan mutlak, berdasarkan nilai-nilai agama dan moral. Menurut al-Abrasyi, pendapat al-Ghazali dianggap sebagai pendapat yang paling penting dalam metode pendidikan modern pada abad ke-20.
Fazlur Rahman
21 September 1919 - 26 Juli 1988)
Modernisasi dan Demokratisasi Pendidikan Islam
Analisis ini menyoroti pendidikan bernuansa demokrasi, Fazlur Rahman dan relevansi demokratisasi pendidikan dalam pendidikan Islam. Seperti yang dikatakan Fazlur Rahman, “Jika proses penafsiran (berpikir) terhenti lagi, maka jelas masyarakat akan terhenti atau malah mengambil jalur sekularisme (Ibid, 188). Fazlur Rahman berpendapat bahwa pendidikan harus diselenggarakan oleh peserta didik untuk mengembangkan pemikirannya. kebebasan, karena tanpa kebebasan kreativitas siswa tidak dapat berkembang.
Dengan kata lain, Fazlur Rahman ingin pendidikan mampu berhubungan dengan masyarakat, sehingga diharapkan peserta didik mampu mengembangkan kapasitasnya dalam masyarakat. Fazlur Rahman menekankan pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta didik sekaligus memimpin amal (ibadah).
Simpulan
Bagi al-Qabisi, kurikulum pendidikan Islam meliputi yang wajib diajarkan (ijbari), yaitu ilmu-ilmu agama yang menitikberatkan pada Al-Qur'an dan Hadits, dan kurikulum yang tidak wajib diajarkan (ikhtiyari), yaitu yang tidak wajib diajarkan (ikhtiyari). tidak - ilmu agama. Dari corak filsafat pemikiran Ibnu Sina, kemudian tasawuf al-Ghazali, lanjut ke tipologi pendidikan Islam bila kita membahas pemikiran Ibnu Khaldun. Peradaban keilmuan (hadharah al-'ilm) yang diukir oleh tokoh-tokoh Islam terdahulu menjadi bekal agar upaya pembaharuan pendidikan Islam saat ini mempunyai akar sejarah, tidak terputus dan tidak kehilangan jati diri seperti yang dilakukan oleh Barat. peradaban karena menerima dan mengembangkan peradaban, Yunani.
Pembaharuan pendidikan Islam pun harus mencermati dan mengkritisi capaian peradaban Barat, bila pantas kita manfaatkan, jika tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam maka kita cerna dan jangan kita manfaatkan. Sikap menerima dan mengkritisi semua mazhab serta pembaharuan pendidikan Islam dari berbagai pihak dilakukan melalui tahapan: kombinasi (pendekatan integratif), menyaring apa yang sesuai dengan apa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam (filtering and Refining). sikap), merajut dan membentuknya menjadi sesuatu unsur baru yang positif dan bermanfaat (metode sintesis), serta menguji dan menerapkannya dalam dunia praktis pendidikan Islam (evaluasi dan implementasi dalam dimensi praktis pendidikan Islam), yang kesemuanya penting sebagai upaya pembaharuan pendidikan Islam modern yang bertumpu pada kemajuan peradaban Islam (hadharah al-Islamiyah), oleh karena itu saya menyebut model pembaharuan pendidikan tersebut dengan pendidikan Hadhari (pendidikan yang beradab atau progresif).
DAFTAR PUSTAKA
2004 “Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi; Pemikiran Filsafat, Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya”, Yogyakarta: Presma Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.
Biodata Penulis
PERSONAL INFORMATION
Country of Citizenship : Indonesia
Office Adress : Sunan Ampel State Islamic University