Biografi Ringkas
Satu-satunya sumber informasi tentang kehidupan awal ibn Sina adalah otobiografinya yang ditulis oleh muridnya yang bernama Juzjani. Dengan tiadanya sumber lain maka tidaklah mungkin dapat memastikan seberapa kuat otobiografinya tersebut akurat. Dikatakan bahwa beliau menggunakan otobiografinya untuk memajukan teori pengetahuannya yang menyatakan bahwa bisa saja seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan dan memahami falsafah ilmu Aristoteles tanpa melalui seorang guru. Dimikian pula dipertanyakan apakah keteraturan peristiwa tersebut lebihb sesuai dengan model Aristoteles. Dengan kata lain, apakah ibn Sina menggambarkan dirinya sendiri pada saat mempelajari sesuatu dalam susunan yang tepat.
Walaupun begitu, catatan ibn Sina amat penting untuk dikemukakan.
Nama lengkap Ibn Sina adalah Abu A’li Al-Husain ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn A’li ibn Sina al-Hakim. Beliau dikenal sebagai Ibn Sina atau Avicienna. Ibn Sina lahir pada 370 Hijrah / 980 Masehi. Beliau dilahirkan di Khormeisan berdekatan Bukhara dan berbangsa Balkha (ahli Balkha), sekarang Uzbekistan, ibu kota Samani, sebuah kota peninggalan dari dinasti Persia di Asia Tengah dan Khorasan. Ibn Sina Wafat pada 428 Hijrah / 1037 Masehi. Ibunya yang bernama Setareh juga berasal dari Bukhara, dan ayahnya, Abdullah, adalah seorang penganut Ismailiyah yang disegani, dan merupakan ilmuwah dari Balkh, sebuah kota penting dari kekuasaan Samani yang sekarang merupakan Provinsi Balkh di Afghanistan. Pada saat ayahnya memiliki putra dirinya, gubenur yang berkuasa di masa itu adalah Nuh ibn Mansur. Ayahnya mendidik putranya dengan sangat hati-hati dengan menyekolahkannya di Bukhara. Kemampuan berpikir ibn Sina yang independen memiliki daya intelek dan memori luar bisaa, sedemikian rupa ia mampu mengambil alih tugas gurunya ketika usia 14 tahun. Seperti yang diakuinya dalam otobiografi, tidak ada yang tidak dia pelajari pada saat usianya mencapai 18 tahun.
Sejumlah teori yang berbeda telah dikemukakan oleh ibn Sina. Ahli sejarah abad tengah, Zahir al-din al-Bayhaqi (w.1169) memandang ibn Sina sebagai pengikut dari Ikhwan al-Shafa.
Selain itu, Shia Faqih Nurullah Shushtari dan Seyyed Hossein Nasr, serta Henry Corbin, menganggap bahwa ia paling menyerupai madzhab Syi’ah dua belas imam. Dimitri Gutas menyatakan bahwa ibn Sina adalah seorang Sunni Hanafi. Perbedaan pendapat seperti itu juga berlaku bagi latar belakang keluarga ibn Sina, ada yang berpendapat Sunni, ada pula yang menganggapnya Syi’ah.
Menurut otobiografinya, ibn Sina telah menghafal seluruh Alquran pada usia 10 tahun.
Beliau belajar lebih banyak dari para ilmuwan pelancong yang memperoleh kehidupan dnegan menyembuhkan orang-orang yang sakit, dan mengajar para kaum muda. Beliau juga belajar fikih melalui guru Ismail al-Zahid yang bermadzhab Hanafi.
Saat usia belasan tahun, dia sudah resah dengan metafisika Aristoteles yang tidak dapat dipahaminya sampai setelah ia membaca komentar al-Farabi. Selama setahun setengah ia mempelajari falsafah dimana ia menjumpai hambatan berat. Momen dimana terjadi perhelatan penemuan tersebut diatasinya dengan meninggalkan buku-bukunya, berwudlu, pergi menuju ke Masjid, dan melaksanakan shalat, sampai muncul cahaya yang mencerahkan kesulitannya tadi.
Hingga larut malam ia melanjutkan studinya, bahkan dalam mimpinya pun banyak problem menghampirinya dan ia pun berupaya keras menyelesaikan problem tersebut. Ibn Sina dengan kekuatan logikanya -sehingga dalam banyak hal mengikuti teori matematika bahkan dalam kedokteran dan proses pengobatan- dikenal pula sebagai filosof tak tertandingi. Menurutnya, seseorang baru diakui sebagai ilmuan, jika ia menguasai falsafah secara sempurna. Ibn Sina sangat cermat dalam mempelajari pandangan-pandangan Aristoteles di bidang falsafah. Ketika menceritakan pengalamannya mempelajari pemikiran Aristoteles. Dikatakan bahwa ia telah membaca buku metafisika Aristoteles sebanyak 40 kali, sehingga ia berhasil menghafal semua kata dalam memorinya, namun maknanya tetap janggal, sampai suatu hari ketika menemukan pencerahan dari sedikit komentar yang ditulis oleh al-Farabi yang bukunya ia beli dari toko buku seharga tiga dirham. Ia pun menjadi sangat senang saat menemukan bantuan dari sebuah karya yang sebelumnya dikira sekedar misteri. Beliau menguasai maksud dari kitab itu secara sempurna setelah membaca syarah atau penjelasan ‘metafisika Aristoteles’ yang ditulis oleh Farabi, filosof muslim sebelumnya. Ia pun bergegas kembali melaksanakan syukur kepada Allah serta memberi sedekah kepada kaum miskin.
Ibn Sina mempelajari ilmu Kedokteran sejak usia 16 tahun, dan ia pun tidak hanya belajar teori medis melainkan juga dengan mengunjungi pasien, yang menurut catatannya, hal itu dapat menemukan cara memberi perlakuan (penyembuhan). Ibn Sina meraih status penuh sebagai ahli fisika yang berkualitas pada usia 18 tahun, dan menyatakan bahwa kedokteran bukanlah ilmu yang berat, seperti matematika atau metafisika, sehingga ia pun mencapai kemajuan pesat. Ibn Sina menjadi dokter yang handal dan mulai melayani pasien dengan menggunakan penyembuhan yang tepat. Popularitasnya langsung berkembang dengan cepat dan ia telah melayani banyak pasien tanpa meminta bayaran (www.wikipedia.org).
Pada awalnya ibn Sina diangkat sebagai tabib bagi penguasa pada waktu itu yang berhutang budi karena telah disembuhkan dari penyakit yang berbahaya. Hadiah yang diterima oleh ibn Sina atas layanannya tersebut adalah kemudahan akses terhadap perpustakaan istana dinasti Samani yang mendukung para ilmuwan dan beasiswa belajar. Berkat itu, Ibn Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani yang besar. Ibn Sina mengenai perpustakan itu mengatakan demikian: “Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya... Ketika usiaku menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.” Ibn Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Saat perpustakaan tersebut dilalap api, musuh-musuh ibn Sina menuduhnya membakar perpustakaan, dan yang demikian itu dilakukan mereka untuk menyembunyikan sumber-sumber pengetahuan selamanya. Selain itu, ibn Sina membantu ayahnya dari hasil upah kerjanya, betapapun begitu ia pun masih sempat menulis beberapa karya tulis.
Ketika ibn Sina beranjak usia 22 tahun ia kehilangan ayahnya. Penguasa Dinasti Samani berakhir pada Desember 1004 M. Agaknya ibn Sina menolak tawaran Mahmud dari Ghazni lalu melanjutkan perjalanan ke arah Barat menuju ke Urgench di kota modern Turkmenistan, dimana wazirnya menganggap ibn Sina sebagai kawan dari kalangan ilmuwan, dan bahkan ia memberinya upah sedikit gaji bulanan. Meskipun gaji bulanan tersebut sedikit, ibn Sina mampu melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain melintasi wilayah Nashapur dan Merv hingga sampai pada perbatasan Khurasan, untuk menemukan dan membuka bakatnya. Qabus, seorang penguasa Dailam dan Persia pusat yang murah hati, dimana ia juga merupakan seorang ahli syair dan ilmuwan, mendukung ibn Sina yang berniat untuk memperoleh suaka. Namun, bersamaan dengan itu (tahun 1012) Qabus terbunuh oleh para tentaranya yang memberontak..
ibn Sina sendiri pada saat yang sama menderita sakit keras. Akhirnya, di Gorgan, dekat dengan Laut Kaspia, ibn Sina berjumpa dengan seorang kawan yang bersedia membelikannya tempat tinggal di dekat rumahnya, dimana ibn Sina dapat mengajar Logika dan Astronomi. Beberapa karya tulis ibn Sina ditulis atas dukungan kawan tersebut, dan awal dari tulisannya yang berjudul Qanun fi al-Thib (Undang-Undang Kedokteran) juga bermula dari tinggalnya di Hyrcania.
Selanjutnya ibn Sina menetap di Rai, sekitar kota Teheran (sekarang ibu kota Iran), kota dimana Al-Razi tinggal dan kekuasaan Majid al-Daulah, putra dari dinasti Buwaihi yang terakhir terpilih sebagai penguasa di bawah pimpinan kabupaten yang dipegang oleh ibunya Sayidah Khatun. Sekitar 30 karya tulis pendek ibn Sina disusun di kota Rai ini. Perseteruan terus-menerus antara bupati dan anaknya yang kedua, Syams al-Daulah, mengakibatkan terusirnya para ilmuwan untuk meninggalkan tempat tersebut. Setelah singgah sebentar di Qazwin, ibn Sina melanjutkan perjalanan menuju Selatan ke kota Hamadan dimana Syam al-Daulah, penguasa Dinasti Buwaihi yang lain menerimanya. Semula, ibn Sina melayani seorang gadis bangsawan, namun setelah penguasa di wilayah tersebut mendengar kedatangannya maka ia memanggil ibn Sina sebagai dokter dan memberinya bermacam hadiah ke rumahnya. Ibn Sina bahkan diangkat untuk bekerja di kantor wazir, sehingga akhirnya sang Emir pun memutuskan agar ibn Sina meninggalkan negeri tersebut. Ibn Sina tidak langsung meninggalkan negeri tersebut dan bersembunyi selama 40 hari di rumah Syekh Ahmad Fadlil, sampai sang Emir tadi menderita sakit yang memaksanya berhenti dari jabatan. Walaupun pada masa yang membingungkan tersebut, ibn Sina tetap melakukan kajian dan mengajar. Tiap sore, ringkasan dari karya monumentalnya, Qanun fi al-Thib, didektekan dan dijelaskan pada para muridnya. Saat sang Emir wafat, ibn Sina berhenti menjadi wazir dan sembunyi di rumah seorang apoteker dimana dengan ketekunan yang mendalam ia melanjutkan menyusun karya tulisnya.
Dalam pada itu, ibn Sina menulis surat sebagai bentuk layanannya kepada Abu Jakfar tentang kesempurnaan kota Isfahan yang dinamis. Emir baru di Hamadan mendengar korenspondensi tersebut dan menemukan dimana ibn Sina bersembunyi, maka ibn Sina pun dipenjara ke dalam sebuah benteng. Saat berada di dalam penjara, Ibn Sina menyibukkan diri dengan menggubah bait-bait syair, atau menulis perenungan agamanya dengan metode yang indah. Sementara itu terjadi perang antara penguasa Isfahan dan Hamadan pada tahun 1024, dimana penguasa Isfahan akhirnya menaklukkan Hamadan beserta kotanya seraya mengusir tentara bayaran Tajik. Setelah badai perang berlalu, ibn Sina kembali bersama Emir menuju Hamadan dengan membawa karya sastranya. Kemudian, ia ditemani oleh saudara lelakinya, seorang murid pilihan dan dua orang budak ibn Sina melarikan diri dari kota tersebut dengan
berpakaian layaknya seorang sufi. Setelah melalui perjalanan berbahaya, mereka sampai ke Isfahan dan diterima dengan terhormat oleh pangeran.
Sisa usia sepuluh atau dua belas tahun berikutnya dari kehidupan Ibn Sina digunakan untuk melayani Jakfar Ala al-Daulah, dimana ia menemaninya sebagai seorang dokter dan sasterawan serta penasehat akademik. Selama tahun-tahun tersebut ia mulai mempelajari masalah sastra dan falsafah. Lalu, ia terserang sakit perut dan ditawan oleh tentara saat hendak menyerang Hamadan, ketika diperiksa sakitnya sangat keras sehingga ia nyaris tak bisa berdiri.
Pada saat yang sama, penyakitnya kambuh dan dengan susah payah ia pun tiba di Hamadan dimana penyakitnya semakin parah, namun ia menolak untuk bertahan dengan cara hidupnya yang dipaksakan dan berserah pada nasib.
Para sahabatnya menasehitinya untuk tenag dan hidup sederhana. Namun ia menolak dengan menyetakan bahwa “saya lebih suka hidup singkat dengan lebar untuk memendekkan seseorang dengan panjang” di atas tempat tidurnya ia merasa menyesal, lalu ia mensedekahkan barang-barang miliknya kepada kaum miskin, membebaskan para budak, dan membaca Alquran tiap tiga hari sampai ajal merengut nyawanya pada Juni 1037 M dalam usia 58 tahun pada bulan Ramadlan dan dimakamkan di Hamadan, Iran.
Falsafah Ibn Sina
Ibn Sina menulis secara ekstensif falsafah Islam masa awal, khususnya tentang Logika, Etika dan Metafisika, termasuk karyanya yang berjudul Logika dan Metafisika. Kebanyakan karya tulisnya ditulis dalam bahasa Arab yang merupakan baha de facto pada masa tersebut di Timur Tengah, namun sebagian ditulis dalam bahasa Persia yang sampai saat ini masih merupakan bahasa penting, misalnya bukunya yang berjudul Danishnama-i ‘ala’i (Falsafah bagi Ala’ al-Daulah). Komentar ibn Sina terhadap Aristoteles sering dibenarkan oleh filosuf yang memberinya dorongan untuk melalukan debat langsung dengan semangat ijtihad. Di Abad Tengah dunia Islam, karena keberhasilan ibn Sina untuk merekonsiliasi antara paham Aristoteles dengan neo-Platonisme dengan Ilmu Kalam, menyebabkan ibn Sina menjadi perintis aliran falsafah Islam terkemuka pada abad ke-12 dengan dirinya sebagai pusat otoritas falsafah.
Paham ibn Sina tersebut juga berpengaruh di abad tengah Eropa, khususnya doktrinnya tentang alam jiwa dan perbedaan antara eksistensi dan esensi, bersama dengan perdebatan seputar celaan yang mereka angkat pada masa Skolastik di Eropa. Kasus ini khususnya terjadi di Paris dimana paham ibn Sina (Avicennism) akhirnya dilarang pada tahun 1210 M. Pengaruh pemikiran falsafah Ibn Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Walaupun demikian, psikologinya dan teori pengetahuannya telah mempengaruhi William dari Auvergne, seorang pendeta Paris, dan Albertus Magnus, ilmuan asal Jerman dari aliran Dominique yang hidup antara tahun 1200- 1280 Masehi, ia adalah orang Eropa pertama yang menulis penjelasan lengkap tentang falsafah Aristoteles. Ia dikenal sebagai perintis utama pemikiran Aristoteles Kristen. Dia lah yang mengawinkan dunia Kristen dengan pemikiran Aristoteles. Dia mengenal pandangan dan pemikiran filosof besar Yunani itu dari buku-buku ibn Sina. Falsafah metafisika Ibn Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat. Sedang metafisikanya berpengaruh pada pemikiran Thomas Aquinas.
Dokrin Metafisika
Falsafah dan metafisika Islam pada periode awal, sebagaimana halnya teologi Islam, telah mengilhami adanya perbedaan yang lebih tegas dengan falsafah Aristoteles tentang perbedaan antara esensi dengan eksistensi, dimana eksistensi merupakan domain dari kesatuan wujud (contingent) dan kebetulan (accidental), sedang esensi berlangsung dalam sebuah benda di luar kebetulan (accidental). Falsafah ibn Sina, khususnya yang terkait dengan bagian metafisika tersebut, banyak terpengaruh oleh al-Farabi. Dengan mengikuti al-Farabi, ibn Sina mengawali pencarian penuh menuju pada pertanyaan tentang sesuatu (being). Ia berargumen banwa kenyataan eksistensi tidak bisa disimpulkan dari atau diperhitungkan untuk esensi dari sesuatu yang ada, dan bahwa bentuk (form) dan materi (matter) itu hakikatnya tidak bisa berinteraksi dan menghasilkan pergerakan alam atau aktualisasi progressif, memberi, menerima, atau menambah eksistensi pada esensi. Untuk dapat melakukan hal tersebut, penyebabnya mestilah berupa sesuatu yang ada dan ada bersamaan dengan efeknya.
Pertimbangan ibn Sina tentang pertanyaan atribut esensi dapat dijelaskan dengan istilah dari analisis ontologisnya terhadap cara sesuatu dilakukan, yakni ketidakmungkinan wujud, kemungkinan wujud (contingency), dan wajib adanya sesuatu (necessary). Ibn Sina berargumen bahwa sesuatu yang tidak mungkin adalah sesuatu yang tidak bisa ada, sementara sesuatu yang mungkin dalam dzatnya (mumkin bi dzatihi) memiliki potensi untuk ada atau tidak ada tanpa memerlukan kontradisi. Ketika diaktualisasikan, kemungkinan tersebut menjadi sebuah keniscayaan sesuatu yang ada karena yang lainnya darinya (wajib al-wujud bi-ghayrihi). Jadi, kemungkinan itu sendiri adalah sebuah potensi keberadaan sesuatu yang pada akhirnya bisa diaktualisasikan oleh penyebab eksternal yang lain dari dirinya. Struktur metafisika dari keniscayaan dan kemungkinan adalah berbeda. Wajib adanya sesuatu disebabkan karena dzatnya (wajib al-wujud bi dzatihi) adalah benar dalam dzatnya, sedang kemungkinan sesuatu adalah salah dalam dzatnya dan benar karena sesuatu yang lain dari dzatnya. Wajib adanya sesuatu adalah sumber dari sesuatu itu sendiri tanpa meminjam eksistensi. Itu adalah yang senantiasa ada. Wajib adanya sesuatu itu ada karena dzatnya sendiri dan tidak memiliki intisari/esensi (mahiyya) selain daripada eksistensi (wujud). Lagi pula, adalah yang Maha Satu (wahid ahad) pasti ada karena tidak bisa ada lebih dari satu “wajib adanya sesuatu, dan eksistensi karena dzatnya” tanpa penyela (fasl) untuk membedakan satu dengan yang lain. Sekarang, untuk mengharuskan penyela tadi perlu, maka yang ada karena dzat mereka sendiri juga karena selain dzat mereka sendiri, dan ini adalah bertentangan satu sama lain. Walaupun demikian, jika tidak ada penyela yang membedakan satu dengan lainnya, maka tidak ada pemahaman bahwa keberadaan adalah tidak satu dan sama. Ibn Sina menambahkan bahwa “wajib wujudnya sesuatu karena dzatnya” tidak memiliki jenis (jins), atau definisi (had), atau rekan (nadd), atau lawan (didl), dan ia adalah terpisah (bari’) dari materi (maddah), sifat (kayf), jumlah (kam), tempat (ayna), keadaan (wadl’i), dan waktu (waqt).
Teologi
Ibn Sina adalah seorang Muslim yang taat dan berupaya mempertemukan falsafah rasional dengan teologi Islam. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa eksistensi Tuhan dan maklukNya yang ada di alam dunia ini secara ilmiah dan melalui penalaran dan logika. Ibn Sina menulis sejumlah karya yang terkait dengan teologi Islam, termasuk tentang para Nabi yang
dia pandang sebagai “para filosuf yang member inspirasi”, dan juga tentang berbagai interpretasi Alquran secara filosofis dan ilmiah, semisal bagaimana kosmologi Alquran berkaitan dengan sistem falsafahnya sendiri. Ibn Sina menghafal Alquran sejak usia 7 tahun dan ketika dewasa he menulis lima karya yang menjelaskan tentang berbagai surat dalam Alquran. Salah satu naskahnya adalah Bukti Kenabian, dimana ia menjelaskan beberapa ayat Alquran dan memegangi Alquran dengan penuh penghormatan. Ibn Sina berargumen bahwa para Nabi selayaknya dipandang lebih tinggi daripada para filosuf.
Di antara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibn Sina, kitab al-Syifa’ dalam falsafah dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran dikenal sepanjang massa. Al-Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu falsafah, mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’
saat ini dikenal sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi
bahan telaah.
Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibn Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 Masehi, kitab Al-Qanun karya Ibn Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Al- Qanun adalah kitab kumpulan metode pengobatan purba dan metode pengobatan Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di universitas-universitas Eropa.
Ibn Sina juga memiliki peran besar dalam mengembangkan berbagai bidang keilmuan. Beliau menerjemahkan karya Aqlides dan menjalankan observatorium untuk ilmu perbintangan. Dalam masalah energi Ibn Sina memberikan hasil penelitiannya akan masalah ruangan hampa, cahaya dan panas kepada khazanah keilmuan dunia.
Dikatakan bahwa Ibn Sina memiliki karya tulis yang dalam bahasa latin berjudul De Conglutineation Lagibum. Dalam salah bab karya tulis ini, Ibn Sina membahas tentang asal nama gunung-gunung. Pembahasan ini sungguh menarik. Di sana Ibn Sina mengatakan,
“Kemungkinan gunung tercipta karena dua penyebab. Pertama menggelembungnya kulit luar bumi dan ini terjadi lantaran goncangan hebat gempa. Kedua karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir. Proses mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi. Sebab sebagian permukaan bumi keras dan sebagian lagi lunak. Angin juga berperan dengan meniup sebagian dan meninggalkan sebagian pada tempatnya. Ini adalah penyebab munculnya gundukan di kulit luar bumi.”
Buku Qanun fi al-Thib
Ibn Sina menulis sekitar 100 karya tulis, sebagian di antaranya ditemukan dalam beberapa lembar halaman, sementara karya lainnya ditulis sampai beberapa jilid. Bukunya yang berjudul Qanun fi al-Thib (Undang-Undang Kedokteran) berisi 14 jilid dan menjadi buku teks standar kedokteran di Eropa dan dunia Islam sampai abad ke-18 M. dalam buku ini dibahas bagaimana menguji obat-otaban secara efektif, yaitu:
1. Obat tersebut hendaknya bebas dari sifat benda asing yang masuk secara kebetulan.
2. Obat tersebut hendaknya digunakan pada penyakit yang sederhana, bukan gabungan.
3. Obat tersebut haruslah diuji dengan dua bentuk penyakit yang berbeda, karena kadang kala sebuah obat dapat menyembuhkan satu penyakit karena sifat esensi obatnya dan yang lain karena sifat kebetulan.
4. Sifat obatnya mestilah berkaitan dengan kekuatan penyakit. Misalnya, ada beberapa obat yang panasnya lebih rendah daripada dinginnya beberapa penyakit, sehingga obat tersebut tidak menimbulkan efek padanya.
5. Waktu tindakan perlu diperhatikan sehingga esensi obat dan peristiwanya tidak saling membingungkan.
6. Efek obat harus dilihat untuk penyesuaian secara tetap, atau dalam banyak kasus jika obat tersebut tidak terjadi efek, maka hal itu termasuk efek kebetulan.
7. Percobaannya harus dilakukan dengan tubuh manusia, sebab menguji obat pada tubuh singa atau kuda tidak bisa membuktikan apa-apa tentang efeknya pada manusia.
Kitab Qanun fi al-Thib tersebut dalam edisi bahasa Arab dijumpai di Roma pada tahun 1593 dan dalam versi bahasa Hebrew di Naples pada tahun 1491. Sementara versi bahasa Latin dijumpai sebanyak 30 edisi yang ditemukan dalam bentuk terjemahan asli oleh Gerard de Sabloneta. Pada abad ke-15, sebuah komentar tentang naskah buku Qanun fi al-Thib telah disusun. Selain itu, buku-buku lain yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin adalah the Medicamenta Cordialia, Canticum de Medicina, dan the Tractatus de Syrupo Acetoso. Adalah fakta bahwa sejak abad ke-12 M sampai abad ke-18 M ibn Sina menjadi petunjuk bagi kajian kedokteran di universitas-universitas Eropa seraya memudarkan nama-nama seperti al-Razi, Ali ibn Abbas, dan ibn Rusyd. Sampai kurang lebih tahun 1650 buku Qanun fi al-Thib masih digunakan sebagai buku teks di Universitas Leuven dan Montpellier. Karyanya tidak begitu berbeda dari apa yang dilakukan oleh pendahulunya al-Razi, mengingat ia menyampaikan doktrin Ghalen, dan melalui doktrin Ghalen tersebut menyampaikan doktri Hippokrates yang merupakan modifikasi dari sistem berpikir Aristoteles. Namun demikian, buku Qanun fi al-Thib dari ibn Sina amat berbeda dari buku Al-Hawi (Pengendalian Diri) yang ditulis oleh al-Razi, atau ringkasan dari buku al-Razi dengan metode yang lebih besar, mungkin hal ini disebabkan karena kajian logika dari tokoh sebelumnya.
Di museum Bukhara dipamerkan beberapa tulisan ibn Sina, alat-alat bedah dari masanya dan lukisan-lukisan para pasien yang sedang diberi perawatan dan tindakan. Ibn Sina tertarik dalam kajian tentang efek akal terhadap tubuh, dan ia menulis banyak masalah tentang psikologi sedemikian rupa hal tersebut mempengaruhi ibn Tufail dan ibn Bajjah. Ia juga memperkenalkan pengobatan herbal. Ibn Sina mengembangkan teori temperamen dalam bukunya Qanun fi al-Thib untuk mengarahkan aspek emosi, kapasitas mental, sikap moral, kesadaran diri, gerakan dan mimpi.
Falsafah Sains
Dalam bukunya al-Burhan bagian Bab Penyembuhan, Ibn Sina mengkaji falsafah sains dan menjelaskan awa munculnya metode ilmiah inkuiri. Ia membahas analisis posterior Aristoteles dan menunjukkan perbedaan secara siknifikan dalam beberapa poin. Ibn Sina mencermati masalah metodologi yang tepat bagi penemuan ilmiah (scientific inquiry) dan pertanyaan “bagaimana seseorang memerlukan prinsip pertama dari sebuah sains? Ia bertanya bagaimana seorang ilmuwan akan sampai pada “awal axioma atau hipoteses dari sains deduktif