• Tidak ada hasil yang ditemukan

. Pemikiran pendidikan dari para tokoh Muslim terdahulu ibarat air mengalir sampai jauh, turun dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, artinya terus dibaca dan dipelajari oleh generasi berikutnya sebagai warisan intelektual yang tak pernah kering. Telah nampak dari uraian terdahulu bahwa ibn Sina mempelajari falsafah Aristoteles dengan pemahaman melalui tulisan al-Farabi, dan tulisan ibn Sina pun ditelaah di masa modern oleh Abduh, al-Abrasyi, maupun Fazlur Rahman. Walaupun dalam perjalanannya, falsafah menghadapi kritik tajam dari al-Ghazali, namun semisal air mengalir, pastilah terbentuk riak gelombang, sehingga menjadikan perkembangan pemikiran tersebut mengalami dinamika, dan darinya muncul aliran baru.

Bagi kita yang hidup pada masa kini, tentulah warisan intelektual pemikiran pendidikan tokoh Muslim tersebut amat berharga, ibarat mutiara yang tersembunyi dari Timur, yang perlu terus digali dan diambil keistimewaannya, karena betapapun hasil karya mereka merupakan bagian dari kekayaan intelektual Muslim yang menjadikan identitas pemikiran pendidikan Islam semakin nampak jelas bersinar terang, mengingat upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan oleh para cendikiawan Muslim saat ini melanjutkan garis kontinuitas pemikiran terdahulu sehingga tidak tercerabut dari akar budayanya. Upaya pembaharuan pemikiran pendidikan Islam yang mengabaikan warisan intelektual Muslim terdahulu sama saja dengan memutus mata rantai kesinambungan intelektual, missing link, dan pada akhirnya berarti tidak menghargai jerih payah mereka yang telah berjasa mencari jalan keluar bagi permasalahan yang mereka hadapi sesuai dengan konteks zamannya. Tradisi intelektual Barat pun sebenarnya merupakan bentuk pengembangan dari khazanah intelektual Yunani, dan tidak berangkat dari nol.

Dalam realitas dunia Islam, eksistensi aliran pemikiran, baik politik, kalam, fiqh, falsafah, tasawuf, pendidikan, maupun lainnya, berjalan seiring dengan konteks geografis, sosial dan budaya yang mengitarinya, kadang kala terjadi persinggungan dan bahkan ketegangan, walaupun lebih sering berjalan berdampingan antara satu dengan lainnya. Aliran Sunni-Syi’ah, misalnya, di berberapa belahan dunia Islam sampai saat ini masih banyak melihat perbedaan identitas daripada kesamaannya sebagai bagian dari spektrum pemikiran Islam. Termasuk dalam hal ini yang terjadi di beberapa daerah di tanah air, Indonesia, soal perbedaan aliran Sunni-Syi’ah masih terganjal oleh berbagai kesalahpahaman dan kurangnya pendekatan saling-pemahaman. Begitu pula halnya dengan corak politik yang dibingkai oleh lembaga, organisasi, atau partai yang berbasis Islam. Problem akut yang dihinggapi oleh aliran politik umumnya bersumber dari interpretasi bahwa kemajemukan adalah rahmat, sementara penekanan pada persatuan umat tidak didahulukan atau belum menjadi fokus utama. Terlebih muatan politik yang sarat dengan kekuasaan, senantiasa mendesak timbulnya kompetisi. Aliran fiqh pun tidak luput dari dinamika,

karena karakter fiqh yang menguraikan persoalan ibadah secara detail dan praktis telah mengakibatkan yang nampak ke permukaan adalah perbedaan tata cara peribadatan, amaliyah- furu’iyah, sehingga menyelimuti inti hukum Islam yang mengutamakan maqashid al-syari’ah.

Dari persoalan aliran politik, kalam, hukum, falsafah, dan seterusnya di atas, kita lanjutkan ke beragam pemikiran tokoh Muslim, khususnya yang terkait dengan pendidikan. Bila ditarik garis lurus, maka semua tokoh yang dibahas dalam buku ini, mulai dari al-Qabisi, ibn Sina, al- Ghazali, ibn Khaldun, Abduh, al-Abrasyi, dan Fazlur Rahman, dimana mereka semuanya hidup sesuai dengan konteks zamannya, telah mencoba untuk memberi kontribusi pemikiran pendidikan melalui karya tulis, kiprahnya secara praktis dalam pendidikan, perjuangan dalam lingkup sosial politik dimana mereka hidup, serta upayanya untuk memahami teks keagamaan yang bersumber dari wahyu dengan konteks keumatan sebagaimana nampak dari realitas kehidupan masyarakat. Oleh karena konteks keumatan masing-masing tokoh berbeda, maka penekanan pada pemikiran pendidikannya pun menunjukkan keistimewaan tersendiri.

Al-Qabisi, misalnya, hidup dalam lingkup keluarga dan masyarakat yang agamis, sehingga hal tersebut mewarnai corak pemikirannya yang bersifat religius dan pendidikan yang mengutamakan nilai-nilai keimanan dan akhlak. Etika mendidik anak di masa dini bagi al-Qabisi amat penting dilakukan oleh keluarga, sehingga nilai-nilai keagamaan akan terus dimiliki oleh si anak hingga akhir hayatnya. Bagi al-Qabisi, kurikulum pendidikan Islam meliputi yang wajib diberikan (ijbari) yakni ilmu-ilmu keagamaan dengan fokus pada Alquran dan Hadits, dan kurikulum yang tidak wajib diberikan (ikhtiyari) yakni menyangkut ilmu-ilmu non-keagamaan.

Namun demikian, al-Qabisi memandang perlunya integrasi antara ilmu dengan ibadah.

Dalam konteks yang berbeda, ibn Sina dikenal sebagai cendikiawan Muslim yang multidisipliner karena kontribusi keilmuannya menyebar bukan hanya di bidang keagamaan saja, namun populer dalam ilmu kedokteran, psikologi, falsafah, astronomi, musik dan lainnya.

Gagasannya tentang pendidikan banyak termuat dari konsepsinya tentang potensi atau quwwah manusia dan nilai-nilai keagamaan yang ada di dalamnya. Ibn Sina termasuk di antara yang menginspirasi tokoh Muslim yang datang berikutnya, termasuk bagi para sarjana Barat yang menggunakan buku Qanun fi al-Thibb sebagai buku rujukan kedokteran. Figur ibn Sina jelas memberikan bukti bagi kita yang hidup saat ini bahwa hakikat ilmu itu sebenarnya adalah integral, utuh, dan yang disebut ulama itu berimplikasi pada ilmuwan yang mumpuni disiplin ilmu agama tanpa pemisahan dan penyempitan makna dengan ilmu non-agama. Ibn Sina mendalami falsafah Yunani melalui metafisika Aristoteles yang dibacanya hingga 40 kali, namun baru dipahami setelah ia membaca penjelasan dari tulisan al-Farabi. Pengaruh Aristoteles terhadap ibn Sina berdampak pada disiplin ilmu lain yang dikembangkannya.

Sampai kepada masa al-Ghazali, pemikiran falsafah yang telah berkembang sebelumnya di kalangan cendikiawan Muslim, menghadapi kritik tajam, karena al-Ghazali berhasil mengkritisi falsafah dengan menggunakan logika falsafah itu sendiri. Akal, sebagai kekuatan utama dalam falsafah, bagi al-Ghazali memiliki keterbatasan karena ia dibatasi oleh kemampuan indera, dan

kekuataan indera itu sendiri terbatas, semisal indera menangkap adanya air di kejauhan padang pasir yang panas, namun kenyataannya adalah fatamorgana. Tongkat yang lurus bila dicelup dalam air akan ditangkap oleh indera penglihatan sebagai tongkat bengkok, padahal aslinya adalah lurus. Demikian pula akal dalam falsafat, bagi al-Ghazali, memiliki kerancuan (tahafut) dan tidak bisa disandarkan secara mutlak untuk mencapai ma’rifatullah. Ma’rifatullah dapat dicapai melalui pengalaman rohani dan pembersihan jiwa melalui kehidupan sufistik. Pola pikir al-Ghazali tersebut mewarnai seluruh pemikirannya, termasuk dalam masalah pendidikan yang bercorak sufistik dengan tujuan sentral taqarrub ila Allah.

Dari corak filosofis dalam pemikiran ibn Sina, lalu tasawuf al-Ghazali, beralihkan tipologi pendidikan Islam ketika kita membahas pemikiran ibn Khaldun. Dalam konteks geo-politik dimana ibn Khaldun hidup, dengan transisi kekuasaan raja-raja di wilayah Arab dan Afrika, ia mampu mengembangkan konsep sosiologi pendidikan berbasis teoretik maupun praktis. Karena kemampuannya menangkap fenomena gerak zaman tersebut, maka ibn Khaldun berhasil merintis historiografi dan prinsip-prinsip ekonomi dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan yang digunakan oleh ibn Khaldun adalah empiris, karena ia melakukan pengamatan pada peristiwa yang terjadi. Hal menarik bila dikaitkan dalam pemikiran pendidikannya adalah konsepnya tentang teori fitrah, metode tadrij (gradual), malakah (penguasaan), serta tahapan teknik pembelajaran. Bisa dikatakan bahwa teori-teori tersebut tergolong modern dan dibahas sebelum persoalan tadi dikemukakan oleh para sarjana Barat yang datang belakangan.

Pasca al-Ghazali (w.1111 M) dan berlanjut ke masa ibn Khaldun, dunia Islam menghadapi infiltrasi asing karena masuknya negara-negara Eropa ke negara-negara Islam. Al-Ghazali sendiri hidup di ambang masa transisi tersebut, dimana pada 1258 M Baghdad sebagai simbol pusat Pemerintahan Khilafah Abbasiyah telah diserang oleh Tartar dengan dampak yang cukup intens terhadap warisan peradaban dan intelektual Muslim abad tengah. Setelah itu, dunia Islam mengalami masa penjajahan. Prancis datang menduduki Mesir, Inggris menguasai beberapa negara termasuk India dan Malaysia, sementara Belanda selama tiga setengah abad menjajah Indonesia dan dilanjutkan dengan pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun. Masa-masa ini menyebabkan secara politik kekuasaan negara-negara dengan penduduk maayoritas beragama Islam mengalami kemunduran, ditambah lagi akibat ketertinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemiskinan. Akibatnya, kemajuan peradaban Islam yang telah diraih pada abad tengah (Medieval Islam), terus menerus menurun.

Upaya kebangkitan kembali dunia Islam sebenarnya tidak pernah berhenti, namun selama masa infiltrasi asing secara politik-militer ke dunia Islam tersebut, menjadikan lambatnya gerak pembaharuan. Abad ke-18 M bisa dikatakan awal dari kesadaran untuk kebangkitan dan pembaharuan, karena pada masa tersebut mulai hadir upaya rethinking Islam. Gerakan Pan Islamisme Jamaluddin al-Afghani, sebagai contoh dari salah satu kesadaran tersebut, hingga pengaruhnya kepada tokoh lain, semisal Muhmmad Abduh. Abduh yang memiliki pengalaman jurnalistik, gerakan politik, dan menjabat sebagai hakim serta mufti, pada akhirnya harus berjuang melalui bidang pendidikan. Pengalaman mengajar di berbagai institusi pendidikan,

termasuk al-Azhar, Mesir, digunakan untuk memberi andil lebih jauh terhadap upaya reformasi kurikulum, metode pembelajaran dan keilmuan. Karya tulisnya yang berjudul Risalah Tauhid jelas menggambarkan posisinya yang mendukung pendayagunaan akal seoptimal mungkin dalam pendidikan, sehingga ia oleh sementara pihak dimasukkan dalam tipe neo-Mu’tazilah. Keilmuan yang digagas oleh Abduh sebenarnya tak lain adalah integrasi ilmu-ilmu agama dengan ilmu- ilmu non-agama, yang dulunya telah dikembangkan oleh umat Islam namun mengalami penyempitan karena hanya mengutamakan ilmu-ilmu keagamaan saja. Gerakan tajdid Abduh juga menyentuh bidang aqidah melalui upaya pemurnian nilai-nilai tauhid dari unsur-unsur tahayul dan khurafat.

Cendikiawan Muslim Mesir berikutnya yang menguraikan tema-tema sentral pendidikan bisa kita masukkan di sini adalah Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, dimana tulisan dan buku- bukunya cukup populer di kalangan Fakultas Tarbiyah di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam, dan bahkan di beberapa pondok pesantren, ide-ide al-Abrasyi cukup dikenal. Gagasan utama al-Abrasyi sebenarnya bertumpu pada pendidikan Islam idealis-moralis dengan Alquran dan Hadits sebagai sumber utama inspirasi teori pendidikan Islam, sementara jiwanya adalah kemajuan peradaban Islam sebagaimana telah dirintis oleh cendikiawan Muslim terdahulu. Al- Abrasyi lebih rinci dalam menjelaskan hak dan kewajiban atau kode etik guru dan murid serta struktur keilmuan yang mesti dipelajari dengan inti muatannya pada pengembangan keperibadian dan pembinaan akhlak.

Pemikiran yang tergolong “extraordinary” adalah apa yang dilakukan oleh Fazlur Rahman, karena ia memandang Islam dalam konteks kemodernan (modernity). Gagasan Rahman tersebut walaupun tidak mendapat responds besar dari sebagian masyarakat Pakistan dimana ia berasal, namun cukup diterima oleh para akademisi, khususnya yang mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi, terutama alumni Barat. Sekali lagi, masalah pemberdayaan akal untuk pengembangan keilmuan, menjadi perhatian serius bagi Rahman, agar umat Islam ini dapat dimodernisir. Uraian secara spesifik tentang pendidikan, sebenarnya tidak banyak disinggung oleh Rahman, namun aktivtitas mengajarnya di berbagai Terguruan Tinggi baik di Inggris, Kanada maupun Amerika, serta penekanan pada modernitas, menjadikan apa yang disampaikannya amat berharga bagi pengembangan pemikiran pendidikan Islam.

Sampai di sini saya menyatakan bahwa munculnya aliran pemikiran dan pembaharuan pendidikan Islam pada kenyataannya adalah hasil interaksi internal dan eksternal peradaban Islam, dan menggelinding terus secara berkesinambungan saling mengisi untuk memberi kontribusi bagi kemajuan umat Islam. Kontekstualisasi terhadap ide-ide para tokoh Muslim tersebut masih tetap penting kita lakukan, dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang telah kadaluarsa, karena walaupun kasusnya berbeda namun pola permasalahannya bisa jadi sama, yaitu ketertinggalan ilmu pengetahuan, kemiskinan, konflik politik, pergeseran budaya, transformasi sosial, krisis akhlak, dan lain sebagainya.

Peradaban keilmuan (hadharah al-‘ilm) yang telah diukir oleh para tokoh Muslim terdahulu tersebut menjadi bekal agar upaya pembaharuan pendidikan Islam saat ini mempunyai akar sejarah, tidak terputus dan hilang jati diri, sebagaimana hal itu dilakukan oleh peradaban Barat karena menerima dan mengembangkan peradaban Yunani. Bahkan pembaharuan pendidikan Islam pun perlu mencermati dan mengkritisi capaian kemajuan peradaban Barat, bila sesuai kita pakai, bila tak sesuai dengan nilai-nilai keislaman maka kita cerna dan tidak dipakai.

Prinsip ini bisa dibilang sebagai asimilasi ilmu, karena ilmu itu sendiri hakikatnya adalah terbuka, namun karena identitas keislaman yang bersumber dari Alquran dan Hadits, maka ibarat makanan tidaklah semua dikonsumsi, ada yang halal namun ada pula yang haram. Sikap menerima dan mengritisi seluruh aliran pemikiran dan pembaharuan pendidikan Islam dari berbagai pihak tersebut dilakukan melalui tahapan: memadukan (integrative approach), menyaring yang sesuai dengan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam (filtering and refining attitude), merajut dan membentuknya menjadi sesuatu yang baru dari unsur-unsur yang positif dan bermanfaat (syntheses method), dan menguji serta menerapkan dalam dunia praktis pendidikan Islam (evaluation and implementation in practical dimensions of Islamic education), semuanya penting dilakukan sebagai upaya pembaharuan pendidikan Islam kontemporer yang bertumpu pada kemajuan peradaban Islam (hadharah al-Islamiyah), dan karenanya model pembaharuan pendidikannya saya sebut dengan pendidikan hadhari (pendidikan yang berperadaban atau berkemajuan).

Hemat saya, akhir dari tulisan ini bukanlah untuk menguak perbedaan di sana sini dari berbagai aliran pemikiran Islam beserta para tokohnya, apalagi membongkar kesalahan dan kelemahan, karena hal itu jelas akan memperlambat gerak laju kemajuan peradaban Islam.

Kajian terhadap aliran pemikiran para tokoh Muslim terdahulu tersebut dilakukan dalam rangka akademis dan pengembangan keilmuan, sehingga upaya pembaharuan berikutnya dapat mengambil hikmah dan i’tibar dari hasil pemikiran terdahulu. Setiap pemikiran tentulah mengandung kelebihan dan kekurangan, dan pemikiran yang berangkat dari niat untuk berupaya melalui syarat dan segenap daya untuk memahami Islam bisa dikategorikan sebagai ijtihad, kalau benar dapat dua pahala, yakni pahala ia melakukan ijtihad, ditambah dengan pahala hasil ijtihadnya yang benar. Kalau hasil ijtihadnya salah, hasil usahanya masih dihargai satu pahala.

Tulisan dalam buku ini juga saya niatkan sebagai sumbangsih keilmuan, semoga termasuk dalam ijtihad, dan tentu saja mengandung banyak kekurangan dan kelemahan. Pembaca yang budimanlah yang lebih arif untuk menimbang dan memberi masukan. Semoga bermanfaat.