Skema 1:
Modernisasi Pendidikan
Skema di atas menunjukkan bahwa modernisasi pendidikan Abduh berangkat dari penafsiran Alquran secara komprehensif. Alquran dan Hadits ditempatkan sebagai sumber hukum paling tinggi dalam setiap pemikiran Abduh. Kemudian, karena manusia dikaruniai akal untuk memahami Islam secara kaffah, dan selalu menghadapi problema kehidupan modern yang semakin kompleks, maka dengan akal itulah manusia mampu mengatasi segala permasalahan dengan jalan berijtihad. Dengan akal pula manusia senantiasa bisa memperbarui keimannya melalui pemahaman yang selalu mendalam tentang Tuhan, manusia dan alam semesta. Dengan bekal keberanian berijtihad dan niat selalu memperbarui iman terebut akan menumbuhkan semangat pembaharuan. Berawal dari pandangan ini lah paradigma pendidikan Abduh lahir untuk memodernisai pendidikan yang selama ini berjalan dikotomik. Pendidikan modern adalah pendidikan yang mempelajari imu alam seperti fisika, sosiologi, falsafah dan lain-lain disamping itu pendidikan juga tidak boleh mengesampingkan ilmu agama seperti tafsir, fiqih, Hadits, aqidah dan lain sebagainya. Dengan penyelenggaraan pendidikan yang demikian, maka siswa akan mempunyai keseimbangan pengetahan yakni pengetahan agama dan umum, yang juga berarti bahwa kseimbangan dunia dan akhirat juga terwujud. Inilah yang sering disebut sebagai humanitas religius dalam berbagai diskursus kontemporer.
AL-QUR'AN & HADITS
Konsep Manusia Muhammad Abduh berambisi untuk
melenyapkan sistem dualisme dalam pen- didikan di Mesir. Dia
menawarkan kepada Sekolah Modern agar menaruh perhatian pada aspek agama dan moral.
Dengan hanya mengandalkan aspek intelektual saja, sekolah
modern hanya akan melahirkan output pendidikan yang merosot
moralnya (Fazlur Rahman, 1995:70).
Sedangkan kepada Sekolah Agama, seperti
al-Azhar, Muhammad Abduh menyarankan agar
dirombak menjadi lembaga pendidikan yang
mengikuti sistem pendidikan modern.
Modernisasi Pendidikan Ilmu Keagamaan dan
Kealaman
Pendidikan Islam
Pendidikan Umum T
afsir
H adits
F iqih
A qidah
F alsafah
S osiologi
B iologi
F isika
Disinilah kiranya letak urgensi pemikiran modernisasi Muhammad Abduh yang diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, yaitu prinsip keseimbangan dalam pendidikan. Muhammad Abduh berusaha menyeimbangkan antara aspek intelek dan aspek moral dalam sebuah sistem pendidikan Islam. Dengan adanya prinsip keseimbangan dalam sistem pendidikan Islam, Muhammad Abduh yakin kaum Muslim akan dapat berpacu dengan Barat untuk menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbanginya dari segi kebudayaan.
Sekiranya hal ini dapat dilakukan, kaum Muslim tidak akan tenggelam lagi dalam dunia kegelapan seperti yang pernah dialami pada abad Pertengahan. Kritik dan pemikiran Abduh tentang pendidikan keseimbangan di atas didasarkan pada asumsinya bahwa ilmu pengetahuan Barat modern yang menekankan aspek rasionalitas tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang mengandung aspek spiritual. Bagi Abduh, keduanya tidak bertentangan, bahkan saling mendukung satu sama lain.
Di samping itu, praksis pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh bisa dicermati melalui pembenahan Al-Azhar. Pembenahan tersebut setidaknya ada lima hal.
Pertama, perubahan kurikulum. Kedua, ujian tahunan dengan memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang lulus. Ketiga, penyeleksian buku-buku yang baik dan bermanfaat.
Keempat, tempo mata kuliah yang primer lebih panjang daripada yang hanya sekunder.
Dan kelima, penambahan matakuliah-matakuliah yang terkait dengan ilmu pengetahuan modern.
Selain itu, Abduh juga menyoroti keadaan dan sistem pendidikan di Al-Azhar dan menatanya kembali pada seluruh struktur kelembagaaan yang berlaku di Al-Azhar, dari mulai cara mempelajari suatu ilmu dengan hafalan diubahnya secara bertahap dengan cara memahami dan menganalisis. Oleh karena itu, selain memang perlu dihafal, siswa juga dapat mengerti apa yang dipelajarinya. Bahasa Arab yang selama ini hanya menjadi bahasa baku tanpa pengembangan, oleh Abduh dikembangkan dengan jalan menerjemahkan teks-teks pengetahuan modern pada bahasa Arab, terutama istilah-istilah baru yang muncul yang mungkin tidak ditemukan padanannya pada kosa kata Arab kuno (Abdul Sani, 1998:54). Dengan demikian pengetahuan umum dapat lebih mudah dipahami oleh para mahasiswa di Al-Azhar.
Langkah-langkah yang ditempuhnya dalam bidang administrasi adalah penentuan gaji yang layak bagi ulama Al-Azhar dan staf pengajar yang ada. Sarana-prasarana yang sebelumnya tidak ada pun diprioritaskan. Abduh sangat memperhatikan kesejahteraan para dosen, para pegawai, dan juga para mahasiswa di Al-Azhar. Selain itu Abduh juga memperbaharui sarana fisik, seperti asrama mahasiswa, perpustakaan, dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi mahasiswa (Arbiyah Lubis, 117).
Dampak positif dari pembaharuan yang dilakukannya antara lain tampak dari jumlah murid yang diuji setiap tahunnya. Kalau sebelumnya murid yang bersedia diuji setiap tahun hanya lebih kurang enam orang, maka setelah pembaharuan itu digerakkan jumlah tersebut meningkat menjadi sembilan puluh lima orang dan sepertiganya berhasil lulus. Ini menunjukkan kualitas para siswa meningkat tajam, dengan semakin lengkapnya sarana dan prasarana di Al-Azhar.
Meski tak dapat disangkal bahwa pembaharuan-pembaharuan yang ditempuh oleh Abduh tersebut banyak memberikan manfaat, tetapi itu bukan berarti tidak ada hambatan
sama sekali. Usaha-usahanya dalam mengadakan pembaharuan di Al-Azhar terbentur pada tatanan kaum ulama konservatif yang belum dapat melihat faedah perubahan yang dianjurkannya (Harun Nasution, 67). Beberapa pemimpin terkemuka di Al-Azhar mengaku perlunya perubahan itu, dan selalu mendukung Muhammad Abduh. Chedive Abbas, penguasa Mesir pada saat itu, yang selama ini mendukung Abduh, tiba-tiba berubah menentang perubahan-perubahan yang diusulkan oleh Abduh. Karena Abduh dianggap sebagai penghalang bagi Chedive yang akan menggunakan Al-Azhar sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan menguatkan kedudukannya. Maka usaha-usaha pembaharuannya di Al-Azhar tidak bisa berjalan sebagaimana yang diinginkannya, sampai beliau meninggal dunia (Charles Adam, 76).
Ternyata Muhammad Abduh tidak saja mengadakan perbaikan di Al-Azhar, tapi ia menaruh perhatian pula pada sekolah-sekolah pemerintah untuk diberi pendidikan agama dan sejarah Islam, sebab ia sudah melihat bahaya-bahaya yang akan timbul dari sistem pendidikan yang dualistis, yaitu sistem madrasah yang akan mengeluarkan ulama-ulama tanpa memiliki ilmu umum, dan sekolah-sekolah pemerintah yang akan mengeluarkan ahli-ahli yang tidak mengerti agama (Harun Nasution, 66). Maka Abduh berusaha memadukan antara keduanya, agar generasi-generasi yang dihasilkan memiliki keahlian dalam ilmu pengetahuan umum dan dasar agama yang kuat. Dari gerakan modernisasi Abduh diatas, jelaslah apa yang hendak dicapai dalam pendidikan modern, yaitu peserta didik menguasai ilmu alam dan agama secara seimbang. Dengan penguasaan kedua ilmu tersebut, maka peserta didik akan merasa lebih mudah dalam menyelesaikan problem yang sealalu muncul di dunia modern ini.