• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekonstruksionisme

anak yang benar.

Beranjak dari uraian di atas, pemikiran edukatif Dewey berupa progressivisme itu menghendaki agar pendidikan diselenggarakan secara integral dengan melibatkan seluruh komponen pendidikan, inklusif peserta didik, agar mampu menghadapi perkembangan dan perubahan zaman. Namun demikian, apa yang dilakukan oleh progressivisme masih dipandang belum cukup jauh dalam melakukan perubahan sosial. Progressivisme mengakui bahwa pendidikan hendaknya mengikuti perkembangan dan perubahan zaman dan masyarakat, namun progressivisme belum sampai pada tatanan masyarakat baru yang dibentuk oleh pendidikan. Aliran yang menghendaki agar pendidikan mampu membangun atau merekonstruksi masyarakat (social reconstruction) merupakan perkembangan lanjutan dari progressivisme yang dinamakan dengan rekonstruksionisme.

vokal aliran ini adalah John Dewey. Secara jelas, kecenderungan Dewey pada rekonstruksionisme dapat diketahui dari pernyataannya:

The essensial contrast of the idea of education as continous reconstruction with the other one-sided conception which have been criticized in this and the previous chapter is that it identifies the end (result) and the process ...Every such continous experience or activity is educative, and all education resides in having such experience. It remain only to point out (what will receive more ample attention later) that the reconstruction of experience may be social as well as personal.

(Perbedaan esensial yang menyolok antara gagasan pendidikan sebagai rekonstruksi dengan konsepsi lainnya yang telah dikritik dalam bab ini dan bab sebelumnya (perennialisme dan essensialisme, pen) adalah bahwa rekonstruksionisme menjelaskan akhir (akibat/hasil) dan proses .... Tiap pengalaman atau aktivitas yang berlangsung secara terus-menerus (berupa rekonstruksi, pen) adalah pendidikan. Semua pendidikan selalu memiliki pengalaman semacam itu. Tinggal perlu ditunjukkan (sebagaimana akan diungkap lebih rinci pada keterangan selanjutnya) bahwa rekonstruksi pengalaman itu bisa terjadi baik pada pribadi (individu) maupun sosial (kolektif) ).

Uraian Dewey di atas menerangkan: pertama, rekonsruksionisme menjelaskan akhir (akibat atau hasil) dan proses. Artinya, pendidikan dalam rekonstruksionisme tidak identik dengan ketidak pastian arah atau tujuan dan tanpa melalui proses. Meskipun rekonstruksionisme menganggap bahwa pengalaman itu mengalami perkembangan dan perubahan, tidak berarti pendidikan yang diselenggarakan kehilangan arah dan tujuan.

Kedua, pengalaman dan kegiatan yang secara kontinu berkembang dan berubah tersebut merupakan bagian dari pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan yang diselenggarakan harus senantiasa berkembang dan berubah, sejajar dengan tuntutan yang dihadapi oleh pendidikan pada saat itu (di sini rekonstrusionisme berjangkauan lebih jauh dari progressivisme. Ketiga, konstruksi pengalaman itu bisa terjadi baik pada individu maupun kolektif.

Konsekuensinya, pendidikan mesti memperhatikan kedua aspek tersebut. Selanjutnya dikatakan: Education is that reconstruction or recorganization of experience which adds to the meaning of experience, and which increases ability to direct the course of subsequent ex- perience (Pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman sedemikian hingga mampu menambah makna pengalaman tersebut, serta dapat meningkatkan kemampuan untuk menentukan arah pada pengalaman berikutnya).

Kaitannya dengan pendidikan, rekonstruksionisme menghendaki tujuan pendidikan untuk meningkatkan kesadaran siswa mengenai problematika sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh manusia secara global, dan untuk membina mereka, membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan dasar agar bisa menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Kurikulum dan metode pendidikan bermuatan materi sosial, politik, dan ekonomi yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Termasuk juga masalah-masalah pribadi yang dihadapi oleh siswanya. Kurikulumnya menggunakan disiplin ilmu-ilmun sosial dan metode ilmiah.

Peranan guru sama dengan pandangan progressivisme. Guru harus menjadikan muridnya siap menghadapi persoalan-persoalan dalam masyarakat, membantu mereka mengidentifikasi permasalahan, lalu meyakinkan bahwa mereka sanggup menghadapi semua itu. Apabila ternyata mereka tidak sanggup, maka tugas guru adalah membimbing mereka

secara tepat. Guru harus tampil dalam membantu siswa menghadapi persoalan dan perubahan. Guru harus memberi semangat terhadap munculnya pemikiran yang berbeda sebagai sarana untuk membentuk alternatif penyelesaian masalah. Karenanya, kepala sekolah sebagai agen utama bagi perubahan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat.

Rekonstruksionisme memiliki dua perspektif, masa kini yang banyak mengandung progressivisine dan masa depan yang bersifat futuristik. Itulah sebabnya futurisme dalam pendidikan sering dianggap sebagai perkembangan dan bagian tak terpisahkan dari rekonstruksionisme.

5. Futurisme

Masa kini bukanlah sekedar sesuatu yang muncul setelah masa lalu secara tiba-tiba;

melainkan sedikit atau banyak dipengaruhi olehnya. Masa kini adalah kelanjutan dari kehidupan yang ditinggalkan pada masa sebelumnya. Mengkaji produk masa lalu tidak akan membantu untuk memahami masa kini, sebab masa kini bukanlah ditimbulkan dari produk, melainkan dipengaruhi oleh kehidupan yang menghasilkan produk. Pengetahuan mengenai masa lalu beserta warisannya amat berarti saat memasuki masa kini, bukan sebaliknya.

Kesalahan dalam memahami dan melestarikan materi pendidikan pada masa lalu merupakan pemotongan terhadap hubungan yang vital antara masa kini dan masa lampau, akibatnya cenderung menjadikan masa lalu sebagai rival bagi masa kini, dan masa kini sedikit banyak merupakan imitasi masa lampau.

Selanjutnya dikatakan bahwa masa lalu adalah masa lalu sebagaimana adanya, karena pada masa tersebut tidak memiliki karakteristik yang dimiliki masa kini. Keadaan yang sedang berkembang pada masa kini meliputi dan/atau dipengaruhi oleh masa lalu dengan syarat menggunakan masa lalu untuk mengarahkan perkembangan/pergerakan masa kini.

Masa lalu merupakan sumber imajinasi yang berharga; ia menambah dimensi baru dalam kehidupan masa kini dengan syarat bahwa hal itu dipandang sebagai masa lalu yang mempengaruhi masa kini, bukan sesuatu yang lain dan dunia yang tak berhubungan satu sama lain. Prinsip yang memperkecil peranan masa kini bagi kehidupan dan terjadinya perkembangan, merupakan perkara yang selalu ada, secara alami nampak seperti masa lampau karena tujuan masa depan yang terbentuk adalah masih jauh dan kosong.

Dewey, dengan uraian di atas, menganggap bahwa masa lalu, di samping tidak memiliki relevansi jika ditinjau dari segi substansinya, tetap berkaitan dan mempunyai mata rantai yang tak terpisahkan dengan kehidupan masa kini dan mendatang. Kaitan itu bukan terletak pada produk, melainkan kehidupan yang menghasilkan produk itu sendiri. Jelas bahwa peranan waktu bagi pembentukan masa depan amat penting. Hal ini sejalan pula dengan analisis W.T. Feldinann (1968:60), mengenai paradigma filosofis Dewey. Ia mengatakan: If Dewey means merely that the, future is more important, more significant than the past, no reasonable man would dissent. What is going to be does press more urgently upon our attention than the experience which; we have already passed through (Jika Dewey samata-mata mengartikan bahwa masa depan lebih penting dan lebih berarti dari pada masa lalu, tak ada alasan rasional bagi orang untuk tidak menyetujuinya. Apa yang akan dikerjakan pada masa datang memberikan tekanan perhatian yang lebih urgent dari pada pengalaman yang telah kita lalui).

Dalam kaitannya dengan prospek pendidikani di masa depan, Dewey menyebutkan:

Education may be conceived either retrospectively or prospectively. That is to say it; may be

treated as process of accomodating of the future to the past, or as an utilization of the past for a resource in a developing the future. The former finds its standards and pattern in what has gone before (Bahwa pendidikan itu bisa dijelaskan baik dengan melalui pemikiran masa lalu (retrospek) maupun mendatang (prospek). Dengan kata lain, pendidikan itu bisa dilacak sebagai proses akomodasi masa depan terhadap masa lalu, atau sebagai pendayagunaan masa lalu bagi sumber pengembangan masa depan. Pendidikan masa depan menemukan standart dan polanya melalui apa yang sudah terjadi sebelumnya.