i
USULAN PENELITIAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SAUS CABAI YANG DIMODIFIKASI DENGAN PENAMBAHAN PATI GARUT
SEBAGAI BAHAN PENGENTAL
Diajukan oleh :
AMALIA LINTANG HASANAH 21600029
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PANGAN UNIVERSITAS SLAMET RIYADI
SURAKARTA 2024
ii
Mengetahui, a.n. Dekan Komisi Sarjana
Akhmad Mustofa, S.TP., M.Si.
NIPY. 0103.0223 USULAN PENELITIAN
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SAUS CABAI YANG DIMODIFIKASI DENGAN PENAMBAHAN PATI GARUT SEBAGAI
BAHAN PENGENTAL
Diajukan kepada Fakultas Teknologi dan Industri Pangan Universitas Slamet Riyadi
Oleh:
AMALIA LINTANG HASANAH 21600029
Telah didiskusikan dan disetujui untuk dilaksanakan Surakarta, ………
Pembimbing Utama
Dr. Nanik Suhartatik, S.TP., MP.
NIPY. 0106.0226
Pembimbing Pendamping
Akhmad Mustofa, S.TP., M.Si.
NIPY. 0103.0223
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Saus cabai merupakan salah satu produk olahan pangan yang sangat populer dan banyak dikonsumsi di Indonesia. Sebagai negara yang terkenal dengan kekayaan kuliner berbasis cabai, permintaan terhadap produk saus cabai terus meningkat seiring dengan berkembangnya industri makanan (Indrawati et al., 2018). Saus cabai digunakan sebagai pelengkap berbagai jenis makanan, sebagai campuran bumbu,penambah cita rasa dan selera pada makanan serta sebagai pelengkap hidangan seperti bakso, mi ayam dan lainnya, dengan tujuan meningkatkan cita rasa, aroma, dan sensasi pedas yang dihasilkan dari bahan utamanya, yaitu cabai (Nafisafallah, 2015). Selain rasa pedas, kualitas saus cabai sangat dipengaruhi oleh tekstur dan kekentalannya, yang secara langsung berkaitan dengan bahan pengental yang digunakan dalam proses pembuatan (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2014).
Dalam industri pangan, penggunaan bahan pengental bertujuan untuk meningkatkan viskositas dan stabilitas produk. Pati dapat dijadikan sebagai bahan pengental dalam pembuatan saus karena di dalam air panas dapat membentuk gel yang bersifat kental (Mustiningrum, 2012 ; Latifah & Yunianta, 2017). Salah satu bahan sebagai pengental adalah pati garut (Maranta arundinacea) yang merupakan salah satu umbi-umbian yang secara tradisional telah dikonsumsi oleh masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, namun pengolahannya menjadi pangan fungsional masih terbatas. Padahal, umbi ini memiliki kadar serat pangan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 9.78%. Tingginya kandungan serat ini membuat garut memiliki potensi untuk mencegah beberapa penyakit degeneratif, termasuk penyakit jantung koroner, melalui mekanisme penurunan kadar kolesterol dalam darah (Faridah dkk. 2008 ; Faridah et al., 2014). Potensi ini perlu lebih dioptimalkan, terutama melalui inovasi dalam pengolahan garut menjadi produk pangan fungsional yang lebih beragam dan menarik bagi konsumen modern.
Pati garut berasal dari tanaman garut yang banyak tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia, dan dikenal memiliki karakteristik unik, seperti kemampuan pembentukan gel yang baik, viskositas tinggi, dan kestabilan terhadap suhu panas.
2
Penelitian pati garut sebagai bahan pengental pernah dilakukan sebelumnya oleh (Pangesti et al., 2019) yaitu umbi garut efektif sebagai bahan pengental dalam saus karena pati di dalamnya mampu mengikat air, menghasilkan tekstur yang lebih kental dan halus. Pada penelitian sebelumnya, umbi garut membantu menjaga stabilitas emulsi minyak/air dalam saus, mencegah pemisahan cairan, dan memperbaiki penampilan saus.
Rasa dan mutu saus cabai sangat dipengaruhi oleh jenis dan perbandingan cabai yang digunakan dalam pembuatan saus juga berperan besar dalam menentukan kualitas produk akhir. Pada industri pangan seperti saus dan saus, sifat-sifat cabai yang diinginkan adalah mempunyai tingkat kepedasan tinggi, warna merah terang, dan buahnya harus tersedia sepanjang waktu untuk memenuhi kebutuhan industri (Wardana, 2014). Cabai rawit (Capsicum frutescens) dan cabai keriting (Capsicum annuum) adalah dua jenis cabai yang sering digunakan dalam pembuatan saus cabai di Indonesia . Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda dari segi tingkat kepedasan, rasa, aroma, dan kandungan nutrisi.
Penelitian ini menggunakan dua jenis cabai, yaitu cabai rawit merah dan cabai keriting merah, yang dipilih dalam kondisi matang dan berwarna jingga atau oranye. Cabai keriting merah memiliki rasa yang tidak terlalu pedas dan memiliki warna yang merah menyala, sedangkan cabai rawit memiliki rasa yang pedas dan warna orange (Sulistijowati et al., 2022). Berdasarkan penelitian sebelumnya, (Fatmawati, 2022), pembuatan saus cabai dilakukan pada suhu 80˚C dengan lama pemasakan 30 menit. Mengacu pada penelitian tersebut, dalam penelitian ini dilakukan pengolahan saus cabai dengan variasi waktu pemasakan yaitu 15 menit, 30 menit, dan 45 menit. Pada umumnya, produksi saus cabai dimulai dengan membersihkan cabai segar dan merebusnya dengan api sedang hingga empuk.
Setelah itu, saus cabai dihaluskan hingga lembut, lalu dimasak bersama beberapa bahan lain seperti gula, air, cuka, pati, dan bahan tambahan lainnya, kemudian dipanaskan perlahan hingga mendidih. Setelah selesai, saus cabai dimasukkan ke dalam tangki pengolahan untuk dikemas (Liong et al., 2016). Ketika belum dikemas dan diberi label, saus cabai mungkin terlihat serupa dengan merek lain, namun cara persiapan dan jumlah bahan dalam resep tertentu bisa berbeda.
3
Menurut (Smith & Emmanuel, 2018), variasi ini tidak hanya mempengaruhi aspek kualitas produk seperti tampilan, aroma, kekentalan, dan rasa, tetapi juga nilai gizinya.Peneliti berharap, dengan penggunaan jenis cabai dan durasi pemanasan yang tepat, dapat dihasilkan saus cabai dengan kualitas terbaik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan kombinasi jenis cabai dan waktu pemasakan yang optimal, sehingga menghasilkan saus cabai yang memiliki cita rasa, tekstur, dan warna yang paling baik.
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh jenis cabai terhadap karakteristik kimia, fisik, dan sensori pada saus cabai yang dihasilkan,
2. Mengetahui pengaruh lama pemasakan terhadap karakteristik kimia, fisik, dan sensori pada saus cabai yang dihasilkan.
3. Mengetahui pengaruh interaksi antara jenis cabai dan lama pemasakan terhadap karakteristik kimia, fisik, dan sensori pada saus cabai yang dihasilkan.
C. Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan terkait penggunaan pati garut sebagai pengental alami dan pengaruh teknik pengolahan terhadap karakteristik saus cabai.
2. Memanfaatkan penggunaan pati garut sebagai bahan pengental alternatif, 3. Menghasilkan formulasi saus cabai dengan kualitas lebih baik, tekstur stabil, dan rasa yang sesuai dengan preferensi konsumen.
4 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Saus Cabai
Saus cabai adalah saus yang diperoleh dari bahan cabai, yang diolah dengan penambahan bumbu-bumbu dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan yang diizinkan (SNI 01-2976-2006). Saus cabai diperoleh dari proses pengolahan cabai yang matang dan berkualitas baik dengan tambahan bahan-bahan lain yang digunakan sebagai pembantu. Bahan-bahan tambahan yang digunakan sangat bervariasi, tetapi yang umum ditambahkan adalah garam, gula, bawang putih dan bahan pengental seperti pati jagung (maizena) dan tapioka (Badan POM, 2014). Prinsip pembuatan saus cabai atau adalah penghancuran buah cabai untuk memisahkan daging dari kulit dan bijinya dan dilakukan pemanasan sampai suhu tertentu untuk menghasilkan saus cabai dengan kadar padatan terlarut dengan nilai yang diinginkan. Saus yang berkualitas baik yaitu yang diolah dengan penambahan bumbu–bumbu dan bahan tambahan pangan yang diijinkan (SNI 01– 2976–2006). Menurut (SNI 01-2976-2006), standar mutu saus cabai yaitu memiliki kenampakan bau, rasa dan warna yang normal. Mutu saus cabai ditentukan berbagai parametar yaitu derajat keasaman (pH), kadar air, jumlah padatan terlarut dan cemaran mikroba.
B. Cabai
Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko kemudian menyebar ke daerah Amerika selatan dan Amerika Tengah serta ke Eropa. Cabai dikonsumsi dalam bentuk segar, kering atau olahan sebagai sayuran dan bumbu. Selain sebagai penyedap makanan, cabai juga banyak digunakan dalam industri farmasi. Cabai mengandung zat-zat gizi antara lain protein 1.0 g, lemak 0.3 g, karbohidrat 7.3 g, kalsium 29 mg, fosfor, besi, vitamin C 18 mg, vitamin B1 0.005 mg, dan senyawa alkaloid antara capsaicin (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999). Cabai merupakan salah satu tanam yang penting bagi masyarakat Indonesia. Nilai produksi tanaman cabai di Indinesia cukup tinggi, berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2021-2022, jumlah produksi cabai di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 1.360.571 - 1.475.821 ton cabai besar dan 1.386.447 - 1.544.441 ton cabai rawit. Angka peningkatan
5
poduksi cabai ini cukup sikgnifkan yaitu sebesar 115.250 ton untuk cabai besar dan 157.994 ton untuk cabai rawit.
Cabai adalah jenis tanaman yang termasuk genus Capsicum, yang pada umumnya memiliki rasa pedas. Cabai dengan jenis ini berbeda dengan cabai jawa (Piper retrofractum) yang termasuk genus Piper, family Piperaceace (Pracaya, 1993). Sedangkan klasifikasi cabai merah adalah sebagai berikut.
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta ( Tumbuhan Berpembuluh) Super Devisi : Spermatophyte ( Menghasilkan Biji) Divisi : Magnoliophyte ( Tumbuhan Berbunga) Kelas : Magnoliopsida (Berkeping Dua/Dikotil) Sub Kelas : Asteriade
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae ( Suku Terung-Terungan) Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annum L
Cabai merah memiliki akar tunggang, akar cabang serta akar serabut ke semua arah. Batang tanaman cabai memiliki struktur yang keras dan berkayu, bercabang banyak dan tumbuh tegak kuat. Cabang tanaman beruas-ruas, setiap ruass ditumbuhi daun dan tunas (cabang) (Cahyono, 2003). Tanaman cabai memiliki kandungan vitamin C dan vitamin A yang cukup besar serta mengandung minyak atsiri berupa capsaicin, capsaicin inilah yang menimbulkan rasa pedas dan memberi sensasi hangat/panas apabila dingunakan sebai rempah- rempah (bumbu dapur). Tanaman cabai sendiri sangat mudah ditanam dirumah, sehingga dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa harus membelinya di pasar (Harpenas, 2014). Dikutip dari website hallosehat.com cabai memiliki banyak kandungan gizi didalamnya. Kandungan gizi yang ada dalam 100 g cabai merah segar adalah sebagi berikut:
Kandungan Gizi Jumlah
Air 90,9 g
6
Energi 36 kal
Protein 1 g
Lemak 0,3 g
Karbohidrat 7,3 g
Serat 1,4 g
Kalsium 29 mg
Fosfor 24 mg
Zat Besi 0,5 mg
Natrium 23 mg
Kalium 272 mg
Seng 0,2 mg
Beta-karoten 5.800 mcg
Niacin 3 mg
Vitamin C 18 mg
Sumber : Hellosehat.com
C. Cabai Rawit Merah
Cabai rawit merah digunakan dalam pembuatan saus pedas karena varietas ini yang banyak dijumpai di pasaran, ukurannya yang lebih besar dan rasanya yang sangat pedas. Buah cabai rawit merah mempunyai panjang 2-5 cm dengan diameter 0,4-0,7 serta mempunyai rasa yang cukup pedas. Variasi warna cabai rawit dari kuning, oranye dan merah. Varietas cabai rawit juga dinamakan berdasarkan asal cabai diperoleh. Kandungan-kandungan cabai rawit meliputi capcaisin, kapsantin, karotenoid dan alkoloid. Kandungan gizi cabai rawit merah / 100 gram diantaranya adalah energi 103 kal, protein 4,7 gram, lemak 2,4 gram, karbohidrat 19,9 gram, kalsium 45 mg, fosfor 85 mg, Vitamin A 11, 050 SI, Vitamin C 70 mg. Selain itu cabai rawit kaya akan vitamin A,B,C dan mineral
7
yang sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Capcaisin cabai rawit merah (Capsicum frutescens ) yaitu 13, 5 mg/g (Komposisi Pangan Indonesia, 2008).
Kondisi matang penuh dan berstruktur bagus diperlukan agar saus cabai yang dihasilkan mempunyai aroma yang kuat dan tekstur yang baik. Menurut Piay et al., (2010) cabai merah memiliki kandungan kadar air yang tinggi (55-85%).
Setelah panen cabai masih mengalami proses respirasi dan kelayuan. Sifat fisiologis tersebut yang menyebabkan cabai merah memiliki tingkat kerusakan mencapai 40%. Selain itu, penyebab kerusakan pada cabai karena adanya aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme yang terdapat pada cabai umumnya adalah jamur. Persyaratan mutu yang terdapat dalam SNI cabai merah segar meliputi keseragaman, bentuk, kadar kotoran, tingkat kerusakan serta presentase buah busuk.
D. Cabai Keriting
Cabai merah keriting (Capsicum annum L.) merupakan komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Tanaman cabai merah keriting termasuk ke dalam famili solanaceae. Tanaman cabai merah keriting sekerabat dengan kentang (Solanum tuberosum L.), terung (Solanum melongena L.), leunca 7 (Solanum nigrum L.), takokak (Solanum torvum), dan tomat (Lycopersicon esculentum) (Tarigan dan Wiryanta, 2003). Semua jenis cabai termasuk cabai merah keriting memiliki rasa pedas. Rasa pedas tersebut terutama disebabkan oleh kandungan capsaicin dan dihidrocapsaicin (Lukmana, 2004). Secara umum cabai merah keriting memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat, vitamin C, vitamin B1 dan vitamin A. Tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, di lahan sawah maupun lahan tegalan. Sifat inilah yang menyebabkan tanaman cabai merah keriting dapat dijumpai hampir di semua daerah (Sunarjono, 2006).
E. Umbi Garut
Indonesia merupakan negara dengan sumber kekayaan hayati terbesar kedua setelah Brazil. Salah satu sumber kekayaan hayati tersebut adalah tanaman umbi-umbian. Garut (Marantha arundinacea) merupakan jenis umbi komoditas lokal Indonesia. Tanaman garut terdiri atas dua jenis kultivar yang penting, yaitu
8
creole dan banana. Umbi garut kultivar creole merupakan sumber karbohidrat, yaitu sebagian besar karbohidrat penyusunnya adalah pati. Kadar pati umbi kultivar creole sedikit lebih tinggi (20,96%) dibandingkan dengan kultivar banana (19,40%). Kedua kultivar umbi garut tersebutUmbi garut merupakan bahan pangan sumber karbohidrat, dan yang dominan adalah pati. Umbi garut berwarna putih ditutupi dengan kulit yang bersisik berwarna coklat muda, berbentuk silinder. Umbi garut dapat dijadikan sumber karbohidrat alternatif untuk menggantikan tepung terigu karena kandungan patinya yang tergolong besar, terutama yang berumur 10 bulan setelah tanam. Rimpang segar mengandung air 69–72%, protein 1,0–2,2%, lemak 0,1%, pati 19,4–21,7%, serat 0,6–1,3% dan abu 1,3–1,4% (Sastra, 2003).
Umbi garut memiliki kandungan karbohidrat 25-30%, kandungan pati 20%, tepungnya dapat digunakan sebagai bahan baku pengganti terigu. Umbi garut memiliki manfaat kesehatan karena indeks glikemiknya rendah (14), lebih rendah dari beras, terigu, kentang, dan ubi kayu masing-masing sebesar 96, 100, 90, dan 54. Indeks glikemik umbi-umbian lainnya, seperti gembili, kimpul, ganyong, dan ubi jalar masing-masing 90, 95, 105, 179 (Suhartini dan Hadiatmi, 2011). Garut merupakan salah satu penghasil pati, dimana umbi garut merupakan penghasil pati yang potensial dengan hasil pati berkisar antara 1,92 2,56 t/ha. Pati garut dapat digunakan sebagai bahan substitusi terigu hingga 50 100% (Djaafar dan Pustika, 2016)
F. Pati Garut
Pati garut mudah dicerna, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai makanan bayi atau makanan bagi orang yang mengalami gangguan pencernaan. Pati garut juga dapat dijadikan sebagai makanan bagi anak yang menyandang penyakit autis dan makanan diet bagi orang tua lanjut usia dan pasien yang dalam masa penyembuhan (Ariesta dkk., 2004). Pati garut merupakan salah satu bentuk karbohidrat alami yang memiliki kekentalan tinggi. Kekentalan ini sangat dipengaruhi oleh keasaman air yang digunakan dalam proses pengolahannya (Kay, 1973). Rendemen pati yang didapatkan dari umbi garut sebesar 16-18%
(Villamayor dan Jukema, 1996).
9
Pengolahan pati garut adalah proses yang dilakukan untuk memisahkan granulagranula pati dari umbinya. Granula-granula pati berikatan dengan bahan lain seperti protein, karbohidrat terlarut, lemak, dan lainnya di dalam sel sehingga diperlukan pemisahan melalui proses pemurnian atau pencucian menggunakan air.
Pengolahan yang dilakukan meliputi beberapa tahapan yaitu persiapan dan ekstraksi, pemurnian, pemisahan air, pengeringan, dan finishing. Pada tahap persiapan dan ekstraksi terjadi penghancuran dinding seldan pemisahan granulagranula pati dari bahan terlarut seperti kotoran. Selanjutnya, di tahap pencucian dilakukan substitusi air terhadap cairan yang mengelilingi granula- granula pati sehingga mempermudah pemisahannya. Tahap pemisahan air dan pengeringan dilakukan untuk membuang air hingga kering dan didapatkan kadar air tertentu. Tahap finishing merupakan tahap penghancuran gumpalan pati dan pengayakan (Grace, 1997).
G. Pemanasan
Pada pengolahan pangan, proses pemanasan sangat banyak digunakan.
Menurut Fitriani (2008), proses pemanasan menyebabkan penguapan air lebih banyak sehingga kadar air didalam bahan semakin rendah. Proses pemanasan bertujuan untuk mematikan mikroba patogen (penyebab penyakit) dan mikroba pembusuk (jamur dan bakteri) yang terdapat pada saus. Selain itu pemanasan juga bertujuan untuk menginaktifkan enzim–enzim yang menyebabkan reaksi pencoklatan secara alami pada saus sehingga aman dikonsumsi dan tahan lama.
Proses pemanasan akan meningkatkan kualitas, baik nutrisi, rasa dan warna dari saus. Waktu pemanasan yang terlalu lama dapat mengakibatkan nutrisi dan vitamin yang terkandung dalam cabai menjadi berkurang.
Lama pemanasan menjadi faktor penting karena proses pemasakan akan memodifikasi sifat fisik bahan untuk menghasilkan tekstur produk yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kusuma (2016), yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu dan lama pemanasan dapat menurunkan nutrisi dan vitamin yang terkandung dalam buah cabai. Disisi lain jika suhu pemanasan terlalu rendah atau waktu pemanasan yang terlalu singkat, dikhawatirkan jumlah mikroba yang terdapat dalam saus masih cukup tinggi. Umunya pemanasan dilakukan dengan suhu 80˚C-100˚C selama 30 menit. Saus mengandung air yang
10
dapat menumbuhkan mikroba, sehingga jika saus tidak di lakukan pemanasan dan dikemas dengan baik maka sangat mudah terkontaminasi oleh mikroba.
Pengaturan suhu pada proses pembuatan saus dapat memperbaiki nilai gizi, cita rasa dan daya simpan yang tahan lama (Nursari, 2016).
H. Hipotesis
Penggunaan pati garut sebagai bahan pengental, perbandingan jenis cabai dan lama waktu pemasakan akan berpengaruh pada karakteristik fisik, kimia, dan organoleptik saus yang dihasilkan.
11 BAB III
METODE PENELITIAN A. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan model Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan desain faktorial yang melibatkan dua faktor utama. Faktor pertama adalah perbandingan cabai keriting dan cabai rawit, yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu 100 g cabai keriting : 50 g cabai rawit, 75 g cabai keriting : 75 g cabai rawit, 50 g cabai keriting : 100 g cabai rawit.
Faktor kedua adalah lama waktu pemasakan, yang juga terdiri dari tiga tingkat yaitu15 menit, 30 menit, 45 menit.
Dengan demikian, kombinasi dari kedua faktor ini menghasilkan 9 perlakuan (3 perbandingan cabai x 3 lama waktu pemasakan). Masing-masing kombinasi faktor ini merupakan satu satuan percobaan dalam penelitian.
Tabel 3. 1. Rancangan Percobaan Perbandingan cabai
keriting : rawit (K)
Lama Waktu Pemasakan (T)
15 menit (T1) 30 menit (T2) 45 menit (T3)
100 : 50 (K1) K1T1 K1T2 K1T3
75 : 75 (K2) K2T1 K2T2 K2T3
50 : 100 (K3) K3T1 K3T2 K3T3
Keterangan :
1. K1T1 : Cabai keriting 100 g : cabai rawit 50 g dan lama pemasakan 15 menit 2. K2T1 : Cabai keriting 75 g : cabai rawit 75 g dan lama pemasakan 15 menit 3. K3T1 : Cabai keriting 50 g : cabai rawit 100 g dan lama pemasakan 15 menit 4. K1T2 : Cabai keriting 100 g : cabai rawit 50 g dan lama pemasakan 30 menit 5. K2T2 : Cabai keriting 75 g : cabai rawit 75 g dan lama pemasakan 30 menit 6. K3T2 : Cabai keriting 50 g : cabai rawit 100 g dan lama pemasakan 30 menit 7. K1T3 : Cabai keriting 100 g : cabai rawit 50 g dan lama pemasakan 45 menit 8. K2T3 : Cabai keriting 75 g : cabai rawit 75 g dan lama pemasakan 45 menit 9. K3T3 : Cabai keriting 50 g : cabai rawit 100 g dan lama pemasakan 45 menit
Berdasarkan pada tabel di atas, maka jumlah total perlakuan yang diperoleh adalah 9 kombinasi perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 2 kali pengulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji sidik ragam pada tingkat signifikansi 5%. Apabila terdapat beda nyata, maka akan dilanjutkan dengan Up Tukey untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan pada tingkat signifikansi 5%.
12 Tabel 3. 2. Formulasi Saus
No. Bahan Perlakuan
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
1
Cabai Keriting (g)
100 75 50 100 75 50 100 75 50
2 Cabai
Rawit (g) 50 75 100 50 75 100 50 75 100
3 Tomat (g) 50 50 50 50 50 50 50 50 50
4 Bawang
Putih (g) 50 50 50 50 50 50 50 50 50
5 Gula (g) 6 6 6 6 6 6 6 6 6
6 Garam (g) 7 7 7 7 7 7 7 7 7
7 Pati Garut
(g) 5 5 5 5 5 5 5 5 5
8 Asam
Cuka (g) 4 4 4 4 4 4 4 4 4
9 Air (ml) 200 200 200 200 200 200 200 200 200 Total Adonan 522 522 522 522 522 522 522 522 522
B. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat masak, blender, thermometer, dan timbangan analitik. Sedangkan alat yang digunakan untuk analisis fisikokimia adalah viskometer, colorimetri, hand refractometer, cawan porcelin, botol timbang, pHmeter, spektrofotometri, vortex, kompor listrik, oven (memert), desikator, tanur (muffle), rak tabung reaksi, kertas saring, labu takar, pipet filler, pipet ukur, pipet tetes, tabung reaksi, erlenmeyer dan timbangan analitik.
2. Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini yaitu cabai keriting, cabai rawit, tomat, bawang putih, pati garut, gula, garam, asam cuka dan air.
13 C. Cara Penelitian
1. Buah cabai dan tomat disortir dengan memilih yang matang merata, berwarna merah, dan tidak cacat. Setelah dipilih, keduanya dicuci menggunakan air bersih yang mengalir untuk menghilangkan kotoran yang menempel.
2. Dilakukan pemanasan awal (blanching) pada buah cabai dan tomat selama 3 menit pada suhu 80°C.
3. Cabai dan tomat yang telah di-blanching kemudian dihaluskan menggunakan blender, bersama bawang putih dan 200 ml air, hingga berbentuk bubur yang lembut.
4. Selanjutnya, sari cabai dimasak dengan tambahan bumbu-bumbu (garam, gula, asam cuka, dan larutan pati garut sebagai pengental saus cabai) selama 15, 30, dan 45 menit menggunakan api kecil dengan suhu 80°C sambil terus diaduk.
5. Sebelum pengemasan, botol dan tutup botol direbus dalam air mendidih selama 15 menit untuk sterilisasi.
6. Saus cabai diisikan ke dalam botol, lalu disterilisasi dengan merebus botol berisi saus dalam air mendidih selama 15 menit dengan posisi botol terbalik.
7. Setelah itu, botol diangkat dan didinginkan, kemudian dianalisis dari segi kimia, fisik, dan organoleptik.
Cabai keriting, cabai merah, tomat
Dibersihkan dan disortasi
Penimbangan
Diblanching
Blender
Pemasakan
Sterilisasi botol saus - Garam
- Gula - Maizena - Asam cuka - Bawang putih - Air
14
Masukkan saus ke dalam botol
Sterilisasi saus
Dinginkan
Saus cabai
Gambar 3. 1. Diagram Alir Pembuatan Saus
D. Parameter Penelitian
Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi : 1. Analisis Fisik
a. Analisis warna metode Colorimetri (Nurbaya, Hudi, Nurmalasari, &
Amalia, 2021).
b. Analisis Viskositas menggunakan Viskometer cup and bob (Apriliyan et al, 2015).
c. Analisis Total Soluble Solid menggunakan Hand refractometer (Ismawati, 2016).
2. Analisis Kimia
a. Analisis kadar air metode Thermogravimetri (Triastuti et al., 2024).
b. Analisis kadar abu metode Thermogravimetri (Arsyad & Habi, 2021).
c. Analisis nilai pH menggunakan pH meter Ohaus-AB23PH-F (Tsegay &
Lemma, 2020).
d. Analisis Total Asam Tertitrasi menggunakan buret (Thalib, 2019).
e. Analisis aktivitas antioksidan metode DPPH (Handayani et al., 2014).
f. Analisis Total Flavonoid metode Spektrofotometri UV-Vis (Untari, 2017).
1. Analisis Fisik : a. Uji warna b. Uji Viskositas c. Total Soluble Solid (TSS) 2. Analisis Kimia :
a. Kadar air b. Kadar abu c. Nilai pH d. Total Asam Tertitrasi (TAT) e. Aktivitas Antioksidan f. Total flavonoid 3. Uji Organoleptik :
a. Warna b. Aroma c. Rasa d. Kekentalan e. Keseluruhan
15
3. Uji Organoleptik dengan metode hedonik dengan 15 orang panelis tidak terlatih (Fatmawati, 2022).
a. Warna b. Aroma c. Rasa d. Tekstur e. Keseluruhan E. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa, Laboratorium Uji Sensoris, dan Laboratorium Kimia dan Biokimia Fakultas Teknologi dan Industri Pangan, Universitas Slamet Riyadi Surakarta.
F. Jadwal Penelitian Tabel 3. 3. Jadwal Penelitian
No. Jenis Kegiatan Bulan ke-
1 2 3 4 5 6
1. Persiapan Orientasi 2. Penyusunan Proposal 3. Seminar Proposal 4. Penelitian
5. Analisa Data 6. Laporan Hasil 7. Publikasi
16
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, M., & Habi, S. H. B. (2021). Analisis Kimia Dan Organoleptik Terhadap Formulasi Sambal Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis L.) Asap. Gorontalo
Agriculture Technology Journal, 4(1), 11.
https://doi.org/10.32662/gatj.v4i1.1463
Nurbaya, S. R., Hudi, L., Nurmalasari, I. R., & Amalia, A. R. (2021). the Effect of Addition of Polysaccharide on Characteristics of Low Sugar Cucumber Sorbet. Jurnal Pangan Dan Agroindustri, 9(2), 83–88.
https://doi.org/10.21776/ub.jpa.2021.009.02.2
Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2014). Produk Pangan Untuk Industri Rumah Tangga : Saus Cabai. Bpom.
Badan Standarisasi Nasional-BSN. 2006. Standar Nasional Indonesia Saus Cabai.
(SNI 01-2976-2006).
Faridah, D.N., Prangdimurti, E. dan Adawiyah, D.R. 2008b. Pangan Fungsional dari Umbi Suweg dan Garut: Kajian Daya Hipokolesterolemik dan Indeks Glikemiknya. Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Faridah, D. N., Fardiaz, D., Andarwulan, N., & Sunarti, T. C. (2014).
Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Garut. Agritech, 34(1), 14–21.
Fatmawati, D. (2022). Pengaruh Penggunaan Jenis Cabai dan Lama Pemanasan Terhadap Karakteristik Sensori, Kimia, dan Mikrobiologi Saus Cabai. , ץראה 8.5.2017, 2003–2005. https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/angka- konsumsi-ikan-ri-naik-jadi-5648-kgkapita-pada-2022
Handayani, V., Ahmad, A. R., Sudir, M., Etlingera, P., & Sm, R. M. (2014). Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Bunga dan Daun Patikala ( Etlingera elatior ( Jack ) R . M . Sm ) Menggunakan Abstrak. Pharm Sci Res, 1(2), 86–
93.
Harpenas, A., dan Dermawan, R. 2014. Budidaya Cabai Unggul. Penebar Swadaya. Bogor.
Indrawati, S., Lahming, & Sukainah, A. (2018). Analisis sifat fisiko kimia cabai fortifikasi labu siam dan labu kuning. Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, 4, 113–123. http://eprints.unm.ac.id/id/eprint/30921
17
Ismawati, N. (2016). Nilai Ph, Total Padatan Terlarut, Dan Sifat Sensoris Yoghurt Dengan Penambahan Ekstrak Bit (Beta Vulgaris L.). Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 5(3), 89–93. https://doi.org/10.17728/jatp.181
Komposisi Pangan Indonesia. 2008. Kompas Gramedia. PT Alex Media Komputindo. Jakarta.
Koswara, S. 2009. Pengolahan Aneka Saus. Ebook Pangan: Jakarta.
Kusuma. 2016. Penggunaan Ekstrak Kasar Polisakarida Larut Air dari Biji Buah Durian (Durio zibethinus Murr.) pada pembuatan saus tomat agritech, Vol. 36, No. 3
Latifah, H., & Yunianta. (2017). Modifikasi pati garut (Marantha arundinacea) metode ganda (ikatan silang – substitusi) dan aplikasinya sebagai pengental pada pembuatan saus cabai. Jurnal Pangan Agroindustri, 5(4), 31–41.
Liong, C. Y., Hamid, S. H. A., & Ibrahim, I. M. (2016). Improving the performance of chili sauce manufacturing process using simulation approach.
AIP Conference Proceedings, 1750. https://doi.org/10.1063/1.4954562 Mulaty Dwi Untari. (2017). Penetapan kadar flavonoid total pada jus tomat
(Lycopersicum esculentum Mill.) menggunakan spektrofotometer uv-vis. 2–
4.
Nafisafallah, F. (2015). Pengaruh Penggunaan Jenis dan Perlakuan Cabai yang Berbeda Terhadap Kualitas Saus Pedas Jambu Biji Merah. Skripsi.
Universitas Negeri Semarang, 139.
Nurbaya, S. R., Hudi, L., Nurmalasari, I. R., & Amalia, A. R. (2021). the Effect of Addition of Polysaccharide on Characteristics of Low Sugar CucumberSorbet. Jurnal Pangan Dan Agroindustri, 9(2), 83–88.
https://doi.org/10.21776/ub.jpa.2021.009.02.2
Pangesti, W. D., Priyo Bintoro, V., & Hintono, A. (2019). Karakteristik Es Krim Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.) dengan Penambahan Pati Garut (Maranta arundinacea) Sebagai Bahan Penstabil Characteristics of Purpel Sweet Potato (Ipomea batatas L.) Ice Cream with Addition of Garut Starch (Maranta arundinacea) As. Jurnal Teknologi Pangan, 3(2), 1–6. www.ejournal- s1.undip.ac.id/index.php/tekpangan.
18
Pracaya. 1993. Budidaya Tanaman Cabai Merah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Priasty,
Rizqullah, M.R dan Syamsuddin, T. 2020. Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Merah Di Desa Talang Kemang Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Jurnal Ilmu Pertanian Agonitas Vol. 2 No.1 : 54-62.
Smith, G. N., & Emmanuel, O. A. (2018). Quality attributes of homemade tomato sauce stored at different temperatures. African Journal of Food Science, 12(5), 97–103. https://doi.org/10.5897/ajfs2017.1678
Sulistijowati, R., Ali, M. K., & Suherman, S. P. (2022). Karakteristik Kimia Dan Total Bakteri Saus Sambal Dari Serbuk Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap. Jambura Fish Processing Journal, 4(1), 37–45.
https://doi.org/10.37905/jfpj.v4i1.12526
Thalib, M. (2019). Pengaruh Penambahan Bahan Tambahan Pangan dalam Pengolahan Sayur-Sayuran menjadi Produk Saus Tomat. Jurnal Penelitian Dan Pengembahan Agrokompleks, 2(1), 78–85.
Triastuti, I., Hartati, S., & Asmoro, N. W. (2024). Karakteristik Saus Tomat dengan Berbagai Variasi Konsentrasi Pati Sukun ( Artocarpus communis ) sebagai Pengental Alami Characteristics of Tomato Sauce with Various Concentrations of Breadfruit Starch ( Artocarpus communis ) as a Natural Thickener Pendahu. Journal of Food and Agricultural Product, 4(1), 27–34.
Wiryanta, B.T.W. 2002. Bertanam Cabai Musim Hujan. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
19 LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis warna metode Colorimetri (Nurbaya, Hudi, Nurmalasari, & Amalia, 2021).
a. Nyalakan Alat colorimeter dengan menekan tombol ON.
b. Letakkan wadah warna hitam di bagian bawah alat colorimeter, Lakukan kalibrasi warna hitam dengan menekan tombol "black".
c. Letakkan wadah warna putih di bagian bawah alat colorimeter, Lakukan kalibrasi warna putih dengan menekan tombol "white",
d. Tekan "cancel" pilih "measure" untuk memulai pengukuran sampel.
e. Pilih parameter yang ingin dipakai di bagian ujung kanan kolom.
f. Letakkan sampel di bagian bawah alat, lalu tekan "Test". Hasil yang muncul berupa L, a*, b*. Catat hasil pengukuran.
g. Bersihkan alat bagian bawah dengan tisu setelah selesai pemakaian lalu tekan tombol OFF
Lampiran 2. Analisis Viskositas menggunakan Viskometer cup and bob (Apriliyan et al, 2015).
a. Sampel uji dimasukkan kedalam mangkuk b. Rotor dipasang.kemudian alat dihidupkan.
c. Viskositas sampel dapat langsung dibaca pada skala.
Lampiran 3. Analisis Total Soluble Solid menggunakan Hand refractometer (Ismawati, 2016).
a. Sampel dimasukan kedalam beker glass sebanyak 5 gr dan ditambahkan 20 ml aquades.
b. Hand Refractometer ditetesi aquadest 1 tetes pada lensa dan segera dibilas tissue.
c. Diambil satu tetes larutan dan diletakan diatas lensa.
d. Lalu dilihat batas terang dan gelap. Angka yang tertera pada batas tersebut merupakan nilai total padatan terlarut. Dihitung total padatan terlarut dengan rumus:
20
Total padatan terlarut (°Brix) = angka handrefactometer x faktor pengencer
Lampiran 4. Analisis kadar air metode Thermogravimetri (Triastuti et al., 2024).
a. Botol timbang yang telah dibersihkan dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C dengan tutup terbuka selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam eksikator dalam kondisi tertutup, setelah dingin botol ditimbang.
b. Sampel dihaluskan dan ditimbang sebanyak 5 gram dalam botol timbang yang telah diketahui beratnya.
c. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100°C 105°C selama 3-6 jam tergantung bahannya. Kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang.
d. Dipanaskan kembali dalam oven selama 30 menit, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulangi hingga tercapai berat konstan dengan selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0,2 mg.
e. Pengurangan berat merupakan banyaknya air dalam bahan.
f. Menghitung besarnya kadar air pada bahan dengan rumus : Kadar air = W1 - W2/ W x 100%
Lampiran 5. Analisis kadar abu metode Thermogravimetri (Arsyad & Habi, 2021).
a. Cawan porselin yang telah dibersihkan dikeringkan dalam oven dengan suhu 105°C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam eksikator dan setelah dingin cawan ditimbang.
b. Sampel dihaluskan dan ditimbang sebanyak 2 gram dalam cawan porselin yang telah diketahui beratya.
c. Sampel selanjutnya dipanaskan di atas kompor listrik hingga tidak terbentuk asap. selanjutnya abukan dalam tanur dengan suhu 600°C selama 6 jam atau hingga sampel terbentuk abu yang sempurna.
21
d. Pindahkan cawan dalam oven bersuhu 105°C selama 1 jam dan
didinginkan dalam eksikator. Ulangın hingga berat konstan dengan selisih maksimal 0.2 mg
e. Setelah dingin cawan porselin ditimbang.
f. Dihitung kadar abu dalam bahan dengan rumus : Kadar abu = W1-W2/W x 100%
Lampiran 6. Analisis nilai pH menggunakan pH meter Ohaus-AB23PH-F (Tsegay & Lemma, 2020).
a. Dibersihkan terlebih dahulu elektroda dengan menggunakan aquades.
b. Kemudian dilakukan kalibrasi dengan menggunakan larutan buffer dengan pH 4 dan 7.
c. Pengujian pH dilakukan dengan mencelupkan ujung elektroda dalam sampel dan dibaca hasil pengukurannya.
Lampiran 7. Analisis Total Asam Tertitrasi menggunakan buret (Thalib, 2019).
a. Ditimbang sampel sebanyak 2 gr, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan ditambah aquades sampai tanda tera.
b. Larutan dipindahkan ke erlenmeyer 500 mL dan ditambahkan indikator PP dan dititrasi dengan larutan NaOH 0,01 N.
c. Reaksi dinyatakan berhenti apabila larutan berubah warna menjadi magenta yang konstan selama 30 detik.
Rumus : % 𝑇𝐴𝑇 = 𝑉 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 𝐹𝑃 𝑥 𝐵𝑀 / 𝑊 𝑥 100% (2) N NaOH = normalitas NaOH
FP = faktor pengencer
BM =berat molekul asam tartarat (150) W = bobot sampel (mg)
22
Lampiran 8. Analisis aktivitas antioksidan metode DPPH (Handayani et al., 2014).
1. Pembuatan Blanko :
a. Mengambil methanol sebanyak 0,2 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
b. Kemudian ditambahkan 3,8 ml larutan DPPH dan divortex.
c. Menutup tabung reaksi menggunakan alumunium foil.
2. Penetapan Aktivitas Antioksidan :
a. Mengambil sampel sebanyak 0,2 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
b. Menambahkan larutan DPPH sebanyak 3,8 ml pada masing-masing tabung berisi sampel.
c. Menutup tabung reaksi menggunakan alumunium foil.
d. Diinkubasi pada ruangan gelap selama 30 menit.
e. Ditambahkan 5 ml methanol.
f. Absorbansi ditera menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm.
Hasil analisa dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
% Antioksidan = Abs. blanko - Abs.sampel / Abs. blanko x 100%
Lampiran 9. Analisis Total Flavonoid metode Spektrofotometri UV-Vis (Untari, 2017).
a. Penyiapan sampel.
b. Ekstraksi sampel.
c. Pembuatan larutan standar quercetin.
d. Penentuan Panjang gelombang maksimum pada larutan standar quercetin.
e. Penentuan kurva baku quercetin.
f. Peneraan dengan spektrofotometer UV-Vis dengan Panjang gelombang maksimum.
23
Lampiran 10. Uji Organoleptik dengan metode hedonik dengan 15 orang panelis tidak terlatih (Fatmawati, 2022).
a. Disiapkan sampel donat.
b. Masing-masing sampel dimasukkan ke dalam wadah.
c. Diberi kode tiga digit angka yang berbeda pada setiap sampel.
d. Sampel diletakkan di atas nampan secara acak.
e. Sampel disajikan kepada panelis beserta borang penilaian dan air mineral.
f. Panelis diminta untuk memberikan penilaian pada borang penilaian yang tersedia sesuai instruksi.
BORANG UJI ORGANOLEPTOIK
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SAUS CABAI YANG DIMODIFIKASI DENGAN PENAMBAHAN PATI GARUT
SEBAGAI BAHAN PENGENTAL Nama Panelis :
Umur :
Jenis Kelamin : Tanggal :
Instruksi : Dihadapan anda terdapat 9 sampel saus cabai. Berilah penilaian terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan kesukaan keseluruhan dari masing – masing sampel dengan memberi tanda silang (X) pada garis sesuai respon yang didapat setelah menguji sampel yang disajikan dengan ketentuan berikut : 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = netral, 4 = suka, 5 = sangat suka.
24