• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak Terasing di Panti Asuhan

N/A
N/A
Dinda Widi Lestari

Academic year: 2025

Membagikan "Anak Terasing di Panti Asuhan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Arka lahir di sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung. Sejak kecil, ia dipenuhi dengan kenangan tentang orang tuanya yang penuh kasih sayang, tetapi semuanya berubah begitu tragis. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil saat ia masih berusia lima tahun. Kehilangan itu meninggalkan luka mendalam, dan Arka tidak lagi memiliki siapa- siapa selain dirinya sendiri.

Setelah kecelakaan itu, Arka dibawa ke sebuah panti asuhan di desa terdekat. Panti asuhan itu dikelola oleh seorang wanita bernama Ibu Ratna, yang lebih terkenal karena ketegasan dan kekasaran dalam mendidik anak-anak. Walaupun ada banyak anak-anak lain di panti asuhan itu, Arka selalu merasa terasing. Ia merasa seperti orang luar, seperti seseorang yang tidak sepenuhnya diterima di tempat itu. Ibu Ratna tidak pernah memberinya perhatian khusus seperti anak-anak lainnya. Bahkan sering kali ia merasa diperlakukan lebih buruk dibandingkan yang lain. Arka merasa seolah-olah keberadaannya tidak berarti, bahkan di tempat yang seharusnya memberikan rasa aman.

Setiap pagi, Arka terbangun lebih awal untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang diberikan oleh Ibu Ratna. Ibu Ratna sering mengabaikannya, memberikan tugas yang lebih berat dibandingkan yang lain. Ia harus membersihkan dapur, mencuci piring, atau merapikan ruang tamu, sementara teman-temannya yang lain bisa bermain atau belajar. Kadang-kadang, Arka melihat anak-anak lain diperlakukan dengan lebih lembut. Mereka mendapatkan pujian ketika mereka menyelesaikan tugas mereka dengan baik, sementara ia tidak pernah mendapatkan pengakuan atas usahanya.

Suatu hari, saat ia sedang duduk di sudut ruang makan, Ibu Ratna datang dengan wajah marah.

"Arka, kenapa kamu tidak bisa seperti anak-anak lain?" tanyanya dengan nada tinggi. "Kenapa kamu selalu terlihat malas?!" Arka menundukkan kepalanya, merasa sakit hati. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menjawab, tidak bisa membela diri. Setiap kali ia berusaha berbicara atau mengungkapkan perasaan, Ibu Ratna selalu meremehkannya.

Arka merasa seperti ada tembok besar yang membatasi dirinya dari dunia luar. Tidak ada seorang pun yang peduli padanya di panti asuhan itu. Ketika malam datang, ia sering berbaring di ranjang kecilnya, memandangi langit-langit dan membayangkan kehidupan yang berbeda. Ia berharap bisa kembali ke masa-masa kecilnya, saat kedua orang tuanya masih hidup, saat mereka masih berbicara tentang impian-impian besar yang mereka miliki untuk masa depannya.

Namun, hidup di panti asuhan membuat Arka sadar bahwa ia harus belajar untuk bertahan hidup sendiri. Ia tahu bahwa ia tidak bisa bergantung pada orang lain untuk mendapatkan kebahagiaan. Panti asuhan itu mungkin telah menjadi rumah baginya, tapi itu bukan rumah yang penuh dengan cinta dan perhatian yang ia rindukan. Maka, di tengah kesepian dan ketidakadilan yang ia rasakan setiap hari, Arka mulai mencari pelarian. Ia sering melarikan diri

(2)

ke hutan di belakang panti asuhan, tempat yang sepi dan jauh dari tatapan pengasuh atau anak- anak lainnya.

Hutan itu adalah dunia lain bagi Arka—sebuah tempat yang memberi kedamaian. Di sana, ia bisa berjalan di antara pepohonan besar, mendengarkan suara angin yang menyapu daun-daun, dan merasakan ketenangan yang tidak ia temui di panti asuhan. Hutan itu menjadi tempat di mana ia bisa melupakan beban hidupnya, meskipun hanya untuk sementara. Dalam keheningan hutan, Arka merasa seperti dirinya sendiri, bukan hanya seorang anak yatim yang ditinggalkan dunia, tapi seorang anak yang bebas, yang bisa melangkah tanpa ada yang menghakimi.

Hari demi hari, Arka semakin sering menghabiskan waktu di hutan. Ia merasa seperti menemukan sebuah dunia baru, dunia di mana ia bisa bertahan hidup tanpa harus terikat pada peraturan-peraturan yang keras dari panti asuhan. Di hutan, Arka bisa bernafas dengan lega.

Meski hidupnya penuh dengan kesulitan dan ketidakadilan, hutan memberinya kesempatan untuk merasakan kebebasan, meski sesaat.

Suatu hari, setelah berlarian di sekitar pohon-pohon tinggi, Arka melihat sesuatu yang tidak ia duga. Seekor rubah kecil, dengan bulu coklat keemasan, tengah berlari di antara semak-semak.

Rubah itu tampak bebas, berlari dengan lincah, tidak terhalang oleh apapun. Arka memandangi rubah itu dengan rasa kagum. Tanpa sadar, ia mulai mengikuti langkah rubah tersebut, merasa seolah-olah mereka memiliki kesamaan—keduanya mencari kebebasan di tengah kesepian yang menyiksa.

Sejak saat itu, Arka dan rubah itu mulai bertemu lebih sering. Mereka tidak berbicara, tetapi Arka merasa seolah rubah itu memahami perasaannya. Setiap kali Arka merasa tertekan atau sedih, ia tahu bahwa ia bisa pergi ke hutan dan bertemu dengan rubah itu, yang selalu hadir tanpa tuntutan atau penilaian. Sebuah persahabatan yang sederhana, namun memberi Arka kekuatan untuk menghadapi hari-hari penuh kesulitan di panti asuhan.

Setiap kali Arka melangkah ke dalam hutan, ia merasa seolah-olah dunia di luar sana berhenti sejenak. Udara yang sejuk, bau tanah yang lembap, dan suara alam yang mengalun lembut membuatnya merasa tenang. Tidak ada pengasuh yang memarahi, tidak ada anak-anak yang mengejek, dan yang paling penting, tidak ada Ibu Ratna yang selalu memperlakukannya dengan dingin. Di hutan, Arka bisa bebas menjadi dirinya sendiri.

Pada awalnya, Arka hanya berkeliling mencari buah-buahan liar untuk dimakan. Ia belajar mengenali buah yang bisa dimakan dan yang harus dihindari. Terkadang, ia menemukan jamur, daun muda, atau akar-akaran yang bisa dijadikan makanan. Selalu ada sesuatu yang bisa dimakan di hutan, cukup untuk mengenyangkan perutnya. Meskipun sering merasa lapar, Arka

(3)

merasa lebih damai saat berada di sana, jauh dari rutinitas panti asuhan yang melelahkan dan menekan.

Suatu pagi yang cerah, saat Arka tengah berjalan menyusuri jalan setapak di hutan, ia kembali melihat rubah yang sebelumnya ia temui. Kali ini, rubah itu tidak berlari cepat seperti sebelumnya, tetapi tampak lebih santai, seolah-olah ia sudah mengenali keberadaan Arka dan tidak takut padanya. Arka berhenti sejenak, memandangi rubah yang sedang bermain di antara semak-semak.

Tanpa sadar, ia melangkah lebih dekat, hati-hati agar tidak menakuti rubah itu. Arka duduk di atas batu besar yang ada di dekatnya dan hanya mengamati. Rubah itu, dengan bulu coklat keemasan yang berkilau di bawah sinar matahari, tampak sangat bebas. Ia tidak terburu-buru, tidak peduli dengan apapun di sekitarnya, dan sepertinya menikmati hidupnya sepenuhnya.

Arka merasakan kedamaian yang sama, seolah rubah itu adalah cerminan dari dirinya yang juga berusaha untuk hidup bebas dari tekanan dan kesulitan.

Hari-hari berikutnya, Arka mulai datang ke hutan lebih sering. Setiap kali ia datang, rubah itu selalu ada, seakan-akan menunggunya. Lama-kelamaan, mereka mulai terbiasa dengan kehadiran satu sama lain. Arka tidak merasa perlu berbicara atau melakukan apapun untuk menarik perhatian rubah itu. Mereka hanya berbagi waktu, menikmati kedamaian yang ada di sekitar mereka.

Suatu hari, saat Arka sedang duduk di bawah pohon besar, ia melihat rubah itu berlari ke arahnya sambil membawa sesuatu di mulutnya. Rubah itu meletakkan sesuatu di depan Arka.

Ternyata, itu adalah buah beri yang segar. Arka terkejut dan memandang rubah itu dengan heran. “Kau ingin memberi ini padaku?” gumam Arka, merasa bingung sekaligus tersentuh.

Rubah itu hanya duduk di depan Arka, dengan mata tajam yang seolah-olah mengerti apa yang ia rasakan.

Arka tersenyum kecil. Meskipun ia tidak bisa berbicara dengan rubah itu, ia merasa seolah mereka bisa saling memahami. Ia mengambil buah beri tersebut dan mencicipinya. Rasanya manis dan segar, memberi energi yang sangat ia butuhkan. Ia tidak tahu mengapa rubah itu memberinya buah beri tersebut, tapi ia merasa itu adalah tanda persahabatan. Di dunia yang kadang terasa sangat keras dan tidak adil, Arka merasa bahwa ada satu makhluk yang peduli padanya, bahkan tanpa kata-kata.

Sejak saat itu, Arka mulai membawa beberapa potongan roti atau makanan ringan yang ia ambil dari panti asuhan untuk diberikan pada rubah itu. Walaupun rubah itu tidak pernah mengambil makanan dari tangannya, Arka merasa bahagia bisa berbagi. Ini adalah cara kecil yang ia

(4)

temukan untuk menunjukkan terima kasih atas kebaikan rubah itu. Makanan itu mungkin tidak banyak, tetapi cukup untuk membangun sebuah ikatan, ikatan yang semakin kuat setiap hari.

Arka dan rubah itu mulai melakukan lebih banyak kegiatan bersama. Mereka berburu bersama, meskipun Arka lebih sering menjadi pengamat, mempelajari cara-cara rubah itu berburu dengan lincah. Di sisi lain, Arka juga mulai belajar tentang alam, mengenal berbagai jenis tanaman dan hewan yang ada di hutan. Hutan, yang tadinya hanya tempat pelarian, kini menjadi tempat yang penuh dengan petualangan dan pengetahuan baru.

Di setiap petualangan, Arka merasa semakin terhubung dengan alam. Ia mulai menyadari bahwa hidupnya, meskipun penuh kesulitan, tidak sepenuhnya kosong. Ada keindahan dan kedamaian di dunia ini yang tidak bisa diambil oleh siapapun. Di hutan, bersama rubah itu, Arka merasa dirinya hidup, merasa ada tempat di dunia ini yang bisa menerimanya tanpa syarat.

Pada suatu sore yang tenang, setelah berburu dan makan bersama rubah, Arka duduk di atas sebuah batu besar, menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga keemasan. Ia merasa sangat damai, meskipun di dalam hatinya, ada rasa rindu yang mendalam kepada orang tuanya. "Aku pasti bisa bertahan hidup," pikirnya, "Aku tidak sendirian. Aku punya teman."

Mungkin ia tidak memiliki keluarga manusia lagi, namun dengan rubah itu, Arka merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kesepian. Ia memiliki persahabatan yang tak terucapkan, sesuatu yang memberi Arka kekuatan untuk terus melangkah, menjalani hari-harinya dengan penuh harapan meskipun dunia di luar sana terkadang terasa sangat keras dan tidak adil.

Ibu Ratna selalu memperlakukan Arka dengan cara yang berbeda. Setiap kali ia berusaha untuk berbicara atau melakukan sesuatu, ada rasa ketegangan di udara, seolah-olah Arka selalu berada di bawah pengawasan ketatnya. Bahkan saat ia melakukan hal-hal kecil yang dianggap biasa oleh anak-anak lain, Ibu Ratna selalu menemukan kesalahan. Jika anak-anak lain mengerjakan tugas dengan cepat, mereka mendapat pujian, sedangkan Arka—meskipun telah berusaha sebaik mungkin—hanya mendapatkan tatapan dingin dan kata-kata pedas.

Satu hari, Arka diminta untuk membersihkan ruang makan, sebuah tugas yang biasanya dibagi di antara anak-anak lain. Namun, karena Ibu Ratna memutuskan bahwa Arka harus lebih banyak belajar disiplin, ia diberi tugas untuk mengerjakannya sendirian. Sepanjang hari itu, Arka merasa kelelahan. Ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah yang lebih berat daripada yang lain, tetapi kali ini, perasaan kecewa dan kesal semakin menumpuk. Kenapa harus selalu dirinya yang dipilih untuk pekerjaan yang berat? Kenapa anak-anak lain bisa bermain sementara ia hanya sibuk membersihkan?

(5)

Saat ia sedang menyapu lantai dengan tangan yang terasa sakit, Arka mendengar suara Ibu Ratna masuk. Dengan langkah berat, Ibu Ratna mendekat, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Arka menunduk, berharap Ibu Ratna tidak akan mengomentari pekerjaannya.

Namun, ia salah. “Kamu tahu, kalau kamu tidak bekerja dengan serius, kamu hanya akan terus menghabiskan waktu di sini,” kata Ibu Ratna dengan nada tajam, menambahkan, “Seharusnya kamu bisa melakukan lebih baik daripada ini.”

Arka menelan ludahnya, perasaan hatinya hancur. Ia merasa seperti tidak pernah bisa memenuhi harapan Ibu Ratna, tidak peduli seberapa keras ia berusaha. Ketika ia mencoba mengangkat kepalanya dan menjawab, suaranya tertahan, seakan ada sesuatu yang berat menghalangi tenggorokannya. Tidak ada yang bisa ia katakan untuk membela diri. Ia tahu bahwa setiap kali ia berbicara, Ibu Ratna hanya akan lebih marah.

Perlakuan yang semakin kasar ini membuat Arka merasa semakin terasing. Ia merasa bahwa ia tidak pernah bisa mendapatkan perhatian yang layak dari panti asuhan itu. Anak-anak lain tampaknya lebih disayangi dan dihargai, dan meskipun mereka tidak pernah memintanya untuk melakukan banyak hal, mereka selalu mendapat pujian atas apa yang mereka lakukan.

Sementara itu, Arka, yang selalu berusaha dengan sungguh-sungguh, merasa seperti tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk membuktikan dirinya.

Pada malam hari, saat semua anak-anak lain sudah tidur, Arka terjaga di tempat tidurnya yang sempit. Ia memikirkan segala sesuatu yang terjadi di hari itu. Rasa frustasi semakin memenuhi hatinya. Seandainya ia bisa mengubah semua ini. Seandainya ia bisa melarikan diri dari kenyataan yang menghimpitnya. Tetapi ia tahu, tidak ada tempat lain untuk pergi selain panti asuhan itu. Ia terjebak.

Hari demi hari berlalu, dan perlakuan tidak adil itu semakin membebani perasaan Arka. Ia merasa seperti terperangkap dalam dunia yang penuh dengan peraturan yang tidak pernah adil.

Namun, setiap kali ia merasa hampir putus asa, ada satu tempat yang selalu ia tuju untuk menenangkan pikirannya—hutan.

Hutan itu menjadi lebih dari sekadar pelarian baginya. Itu adalah dunia di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus merasa takut atau disalahpahami. Di sana, tidak ada yang menilai atau memberi tugas-tugas yang harus diselesaikan. Di sana, hanya ada alam, kedamaian, dan rubah yang setia menemani. Arka mulai menghabiskan lebih banyak waktu di hutan, karena hanya di sana ia merasa benar-benar hidup.

(6)

Suatu sore, setelah menyelesaikan tugas di panti asuhan yang membuatnya merasa semakin lelah, Arka memutuskan untuk pergi ke hutan lebih cepat dari biasanya. Ketika ia berjalan melewati gerbang kayu yang menghubungkan panti asuhan dengan hutan, Arka merasa seolah beban di bahunya mulai sedikit ringan. Ia tahu, di depan sana, ada tempat yang bisa memberinya ketenangan.

Namun, meskipun hutan memberikan kedamaian, kenyataan di panti asuhan tetap menghantuinya. Suatu hari, ketika ia sedang berada di hutan bersama rubah, Arka mendengar suara yang familiar. Itu adalah suara langkah kaki Ibu Ratna, yang tampaknya sedang mencarinya. Arka merasa terkejut dan panik. Ia tahu, jika Ibu Ratna menemukannya, ia akan mendapatkan teguran yang lebih keras lagi. Namun, ia tidak ingin kembali ke panti asuhan, ke tempat yang selalu membuatnya merasa terasing dan tidak dihargai.

“Kenapa aku selalu merasa seperti ini?” pikir Arka, duduk di bawah pohon besar, sambil memandangi rubah yang duduk di depannya. Rubah itu menatapnya dengan mata yang tajam, seolah mengerti perasaan Arka. “Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku akan terus seperti ini, menjalani hidup yang penuh dengan ketidakadilan?”

Rubah itu tiba-tiba berdiri dan berlari ke arah semak-semak, menarik perhatian Arka dari pikirannya. Arka bangkit dan mengikuti rubah itu, berharap bisa melupakan sejenak segala perasaan dan ketidakadilan yang ia alami. Namun, jauh di lubuk hatinya, Arka tahu bahwa sesuatu harus berubah. Ia tidak bisa selamanya hidup di bawah bayang-bayang ketidakadilan dan kesendirian. Suatu saat nanti, ia harus menemukan cara untuk memperjuangkan kebahagiaannya, meskipun itu berarti harus menghadapi tantangan yang lebih besar.

Seiring berjalannya waktu, Arka semakin sering mengunjungi hutan untuk melupakan beban yang menimpanya di panti asuhan. Di sana, ia merasa bebas—seolah-olah dunia luar yang penuh dengan aturan dan kekangan tidak lagi ada. Hutan adalah tempat di mana ia bisa melepaskan segala rasa sakit dan kekecewaan. Tidak ada yang menghakimi, tidak ada yang memaksanya untuk menjadi sesuatu yang bukan dirinya.

Hari itu, setelah beberapa minggu berlalu sejak kunjungannya terakhir, Arka memutuskan untuk meluangkan waktu lebih lama di hutan. Ia tahu, di sana, ia tidak hanya menemukan ketenangan, tetapi juga kekuatan. Ia sudah mulai terbiasa berburu dengan rubah, meskipun awalnya ia merasa canggung dan tidak berpengalaman. Namun, rubah itu mengajarinya hal-hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya—bagaimana melacak jejak hewan, bagaimana memilih tempat untuk bersembunyi, dan bagaimana mengatur napas agar tidak mengganggu alam sekitar.

(7)

Pagi itu, ketika matahari baru saja muncul dari balik pepohonan, Arka dan rubah mulai melakukan perburuan mereka. Mereka bergerak diam-diam melalui semak-semak, dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian binatang buruan. Arka merasa bersemangat. Baginya, perburuan ini bukan hanya soal mendapatkan makanan, tetapi juga soal merasakan kedekatan dengan alam. Setiap langkah yang diambilnya seolah membawanya lebih dekat dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya—sesuatu yang memberikan rasa puas yang lebih dari sekadar perasaan lapar yang dipuaskan.

Rubah itu bergerak cepat dan lincah, memimpin Arka ke tempat-tempat yang ia sendiri tidak pernah terpikirkan untuk dijelajahi. Dengan keahlian alami rubah itu, mereka menemukan jejak seekor kelinci di tanah yang lembap. Arka berhenti sejenak, mengamati jejak kaki kecil itu.

Rubah itu menunggu, memperhatikan Arka, seolah memberi isyarat untuk melanjutkan.

Mereka bergerak perlahan, mengikuti jejak kelinci yang melintasi padang rumput kecil, hingga akhirnya mereka melihat kelinci itu bersembunyi di balik semak-semak.

Arka berbisik pelan kepada dirinya sendiri, berusaha mengingat semua yang telah diajarkan rubah. Ia mengambil posisi, memastikan bahwa angin tidak datang dari arah yang bisa membahayakan. Rubah itu sudah berada di posisi siap, menunggu perintah. Arka merasa cemas, tapi ia tahu bahwa inilah yang harus dilakukannya jika ingin bertahan hidup—belajar untuk menjadi bagian dari alam ini, belajar bagaimana beradaptasi dengan lingkungan yang keras ini.

Dengan gerakan cepat dan presisi, rubah itu melompat ke depan dan menerkam kelinci yang ketakutan. Dalam beberapa detik, perburuan itu selesai. Arka berdiri di sana, terdiam sejenak, merasa terkesan dengan kecakapan rubah. Kelinci yang baru saja diburu tergeletak di tanah, dan rubah itu mulai mengunyah mangsanya. Arka memandangnya, merasa kagum akan kemampuan alam untuk bertahan hidup.

Namun, Arka merasa sedikit canggung, tidak tahu apakah ia diperbolehkan untuk ikut serta. Ia merasa tidak pantas. Tetapi, rubah itu menoleh padanya sejenak, seakan mengajak Arka untuk turut menikmati hasil perburuan mereka. Tanpa ragu, Arka mengambil sepotong kecil dari kelinci tersebut dan mulai memakannya, merasakan rasa yang kaya dan memuaskan. Ia tersenyum kecil, merasa ada sesuatu yang benar-benar nyata di dunia ini, di tengah ketidakpastian hidupnya.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Arka dan rubah itu segera berhenti dan memperhatikan. Suara itu semakin mendekat.

Arka merasa cemas dan gelisah. Mereka harus bersembunyi. Jika ada orang yang menemukan mereka di sini, semuanya akan berakhir buruk. Arka mengangkat tangan dan memberi isyarat kepada rubah untuk bergerak lebih cepat.

(8)

Rubah itu berlari ke semak-semak, sementara Arka mengikuti dengan cemas. Mereka bersembunyi di balik pohon besar, dengan hati yang berdebar-debar. Suara langkah kaki semakin dekat, dan Arka merasakan ketegangan yang luar biasa. Namun, setelah beberapa saat, langkah itu berhenti, dan suara itu mulai menjauh. Mereka berdua perlahan keluar dari persembunyian, memastikan bahwa tidak ada bahaya lagi.

Arka menghela napas panjang, merasa lega. "Siapa itu?" gumamnya. Ia tidak tahu apakah orang itu adalah warga desa, pengasuh dari panti asuhan, atau siapa pun yang bisa mengancam kebebasannya. Tetapi satu hal yang pasti—ia tidak ingin orang lain tahu tentang keberadaannya di hutan ini. Hutan adalah tempat pelariannya, tempat di mana ia bisa merasa aman dan bebas dari segala tekanan.

Mereka melanjutkan perjalanan, dengan hati-hati dan lebih waspada dari sebelumnya. Arka dan rubah itu bergerak lebih jauh ke dalam hutan, menjauh dari jejak orang yang hampir saja menemukan mereka. Di sepanjang perjalanan, Arka merenung. Ia menyadari bahwa kehidupannya semakin sulit. Walaupun hutan memberi kebebasan dan kedamaian, ia tidak bisa terus bersembunyi di sana selamanya. Dunia luar, dunia di mana pengasuh dan warga desa tinggal, pasti akan mencarinya suatu hari nanti.

Namun, untuk saat ini, Arka tahu satu hal: ia tidak sendiri. Rubah itu ada bersamanya, menjadi teman setia yang tidak pernah menghakimi atau mengecewakannya. Mereka berdua adalah makhluk yang sama-sama berjuang untuk bertahan hidup, berjuang untuk kebebasan mereka.

Kehidupan Arka di hutan bersama rubah semakin hari semakin menjadi satu-satunya hal yang memberi arti dalam hidupnya. Setiap pagi, ia bangun lebih awal dari biasanya, bergegas ke hutan, dan menghabiskan hari dengan berburu, memetik buah, atau sekadar duduk di bawah pohon besar, menikmati kedamaian yang langka. Hutan itu telah menjadi rumah kedua baginya, dan rubah itu bukan hanya teman, melainkan sahabat sejati yang menemaninya dalam perjalanan hidup yang penuh dengan kesendirian dan ketidakpastian.

Namun, seiring berjalannya waktu, perubahan besar mulai terjadi di luar hutan. Keberadaan Arka yang sering pergi ke hutan mulai menarik perhatian orang-orang di desa. Ibu Ratna, yang mulai merasa curiga dengan kebiasaan Arka yang sering menghilang, akhirnya memutuskan untuk mengikuti anak itu, dengan harapan bisa menemukan alasan di balik sikapnya yang aneh.

Suatu hari, setelah memastikan bahwa Arka meninggalkan panti asuhan, Ibu Ratna diam-diam mengikuti langkahnya, tidak terlalu jauh, tetapi cukup untuk mengawasinya.

Arka yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang diikuti, terus berjalan menuju hutan, menuju tempat yang selalu memberinya ketenangan. Setelah beberapa waktu, ia sampai di tempat biasa, di mana ia bertemu dengan rubah setiap harinya. Ia duduk di atas batu besar, sementara

(9)

rubah itu datang mendekat dan duduk di sampingnya, seolah menyambut kedatangannya.

Mereka tidak berbicara—hanya berbagi momen hening yang penuh dengan kedamaian.

Namun, tanpa mereka sadari, Ibu Ratna yang mengintip dari balik semak-semak melihat semuanya. Ia melihat Arka duduk bersama rubah itu, tampak seperti sedang berbincang meskipun tidak ada suara yang terdengar. Satu hal yang jelas bagi Ibu Ratna: Arka berada di hutan terlalu lama, dan hubungannya dengan rubah itu semakin mencurigakan. Ia merasa bahwa anak itu telah melanggar aturan panti asuhan, dan kini sedang bergaul dengan hewan liar yang bisa menimbulkan masalah.

Kepulangannya ke panti asuhan disertai dengan sebuah niat buruk. Ibu Ratna mulai menyebarkan desas-desus yang tidak benar tentang Arka. Ia mulai mengisukan bahwa Arka dan rubah itu sering mencuri buah-buahan dan sayuran dari kebun milik warga desa. “Anak itu berkelana ke hutan setiap hari dan kembali dengan barang-barang yang tidak jelas asalnya,”

katanya kepada siapa saja yang mau mendengarkan, “Pasti dia dan rubah itu mencuri dari kebun milik warga.”

Cerita yang disebarkan Ibu Ratna cepat menyebar ke seluruh desa. Warga yang mendengarnya mulai merasa khawatir. Mereka tahu betul bahwa hasil kebun mereka adalah satu-satunya sumber penghidupan, dan jika ada orang atau hewan yang mencuri, itu bisa merusak perekonomian mereka. Hati mereka dipenuhi dengan kemarahan, tetapi tidak ada yang benar- benar memastikan kebenaran cerita itu. Warga tidak berpikir untuk mengecek kebun mereka sendiri, atau bahkan mencari tahu lebih jauh tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya mempercayai apa yang dikatakan oleh Ibu Ratna.

Beberapa hari kemudian, cerita tentang Arka dan rubah itu semakin berkembang. Warga desa mulai membicarakan mereka dengan ketakutan dan kebencian. Mereka membicarakan

“pencurian” yang diduga dilakukan Arka dan rubah, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di hutan. Mereka menjadi marah, dan akhirnya, mereka memutuskan untuk mengambil tindakan.

Dengan semangat yang berkobar, beberapa orang dari desa berkumpul untuk menangkap Arka dan rubah itu. Mereka membawa parang, tongkat, dan alat-alat lain, siap untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara mereka sendiri. Semua orang merasa bahwa ini adalah tindakan yang benar, tanpa tahu bahwa mereka sedang dikelabui oleh sebuah kebohongan.

Saat itu, Arka dan rubah sedang berada di hutan, seperti biasa. Mereka sedang beristirahat setelah berburu, menikmati makanan yang mereka dapatkan dari alam. Arka tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar sana—bahwa desas-desus tentangnya telah menyebar, dan kini ia dan rubah berada dalam bahaya. Namun, saat suara langkah kaki semakin mendekat, Arka

(10)

merasa sesuatu yang aneh. Ia mendengar bisik-bisik yang tidak biasa, suara orang-orang yang sedang berbicara dengan suara keras.

Rubah yang mendengar suara itu lebih dulu menyadari bahaya. Ia segera berlari ke arah semak- semak dan memberi isyarat kepada Arka untuk mengikuti. Arka yang panik segera berlari, berusaha menyembunyikan diri, tetapi mereka tahu bahwa mereka tidak akan bisa bersembunyi. Warga desa yang kini semakin dekat mulai berteriak memanggil-manggil, mencari mereka di setiap sudut hutan. Mereka tidak hanya mencari dari satu arah, tetapi mereka membaginya menjadi beberapa arah sehingga di sinilah, di balik lubang yang ada di pohon besar, Arka dan rubah itu ditemukan.

"Di sini! Aku menemukan mereka di sini!" Teriak salah seorang warga yang mencarinya.

Warga yang lain pun bergegas untuk mengepung Arka dan rubah itu.

Ketika mereka mulai mendekat, Arka merasa ketakutan yang luar biasa. Wajahnya pucat, dan jantungnya berdebar kencang. Tidak ada jalan keluar. Mereka mulai menyalahkan Arka dan rubah itu, seolah-olah mereka adalah penjahat yang pantas dihukum.

"Katakan pada kami. Apa saja yang kau curi selama ini dengan rubahmu itu!" desak Pak Ramzi yang merasa kebunnya dicuri.

"Kami tidak mencuri apapun milik kalian Pak, Bu. Kami hanya mencari buah-buahan liar untuk dimakan karena aku merasa lapar saat di panti." jawab Arka dengan ketakutan.

"Maksudmu apa berbicara seperti itu?! Kau pikir aku tidak memberimu makan selama ini?!

Kau sengaja mau menjelekkan namaku di depan semua warga padahal sudah jelas kau yang berkelakuan tidak benar. Sudah untung pantiku mau menampungmu. Kau malah membuat masalah." Tindak Bu Ratna.

"Kita tangkap saja rubah ini lalu kita jual di pasar desa agar dibawa ke kota untun dipelihara orang kota daripada berteman dengan Arka hanya bisa mencuri," ucap salah seorang warga.

Dirasa benar, warga yang lain pun setuju atas perkataan tersebut.

Namun, tepat saat suasana semakin memanas, ada satu suara yang muncul dari kerumunan warga. Itu adalah suara Bu Marni, seorang tabib desa yang dikenal bijaksana dan dihormati oleh semua orang. Bu Marni selalu mencari dedaunan, akar-akaran, dan tumbuhan liar di hutan untuk obat-obatan herbalnya. Ia sering kali menjelajahi hutan dan sering melihat Arka dan rubah itu dari kejauhan, namun ia tidak pernah merasa khawatir.

(11)

Dengan langkah mantap, Bu Marni maju di depan warga desa dan berkata dengan suara yang tenang namun tegas, “Cukup sudah. Apa yang kalian dengar tentang Arka dan rubah itu tidak benar. Mereka tidak mencuri apa pun.”

Warga desa terdiam sejenak, terkejut dengan ucapan Bu Marni yang tiba-tiba. Namun, Bu Marni melanjutkan, “Saya sering melihat Arka dan rubah itu di hutan, dan mereka hanya berburu atau memetik buah-buahan liar untuk makan. Mereka tidak pernah mengganggu kebun kalian.”

Bu Marni kemudian menceritakan pengalamannya tentang sering berkeliling di hutan untuk mencari bahan obat, dan bagaimana ia selalu melihat Arka dan rubah yang hidup damai tanpa merusak apapun. “Mereka tidak bersalah,” kata Bu Marni, “Mereka hanya berjuang untuk bertahan hidup, sama seperti kita.”

Warga desa yang mendengar kesaksian Bu Marni mulai meragukan cerita yang mereka dengar.

Mereka merasa malu karena sudah cepat percaya pada rumor yang tidak jelas kebenarannya.

Perlahan-lahan, mereka mulai mundur, menyadari bahwa mereka telah salah langkah.

"Sebetulnya aku juga tidak tahu apakah kebunku betulan dicuri atau tidak, selama ini aku menjaganya dan kupikir kebunku baik-baik saja. Tetapi aku hanya mencoba mempercayai ucapan Bu Ratna. Maafkan aku Arka jika telah salah menilaimu." ucap Pak Ramzi atas tuduhan yang ia lontarkan tadi ke Arka. Bu Ratna yang merasa terpojok pun hanya bisa diam menahan malu karena telah membuat keributan.

Akhirnya, setelah mendengar kesaksian Bu Marni, warga desa memutuskan untuk membebaskan Arka dan rubah itu. Mereka meminta maaf atas kebingungannya, meskipun Arka tetap merasa terluka oleh cara mereka memperlakukannya. Namun, yang lebih penting adalah bahwa ia tahu kini ia tidak sendirian—ada orang seperti Bu Marni yang peduli padanya, yang tahu kebenaran dan berani membela yang lemah. Warga pun meninggalkan hutan menyisakan Arka dan rubat itu dengan bisik-bisik tentang Bu Ratna yang tega memfitnah anak pantinya.

Setelah kejadian di hutan, Arka merasa bingung, tetapi juga sedikit lega. Warga desa akhirnya pergi, dan mereka tidak lagi mengejar dirinya atau rubah itu. Namun, meskipun kebenaran telah terungkap, ada perasaan yang mengganjal di hati Arka. Ia merasa malu dan kecewa dengan sikap orang-orang yang begitu mudah mempercayai kebohongan yang disebarkan oleh Ibu

(12)

Ratna. Ia tidak tahu apakah dirinya akan bisa melihat desa dan orang-orang di dalamnya dengan cara yang sama lagi.

Hari-hari setelah insiden itu berjalan perlahan. Di panti asuhan, suasana menjadi lebih sunyi dari biasanya. Ibu Ratna tidak lagi berbicara banyak kepada Arka. Ia hanya melototinya dengan tatapan dingin setiap kali mereka berpapasan, seolah-olah Arka adalah seseorang yang telah mengecewakan semua orang. Arka tidak peduli. Apa yang terjadi di desa bukan lagi urusannya.

Ia hanya ingin hidup damai, jauh dari segala intrik dan kebohongan yang menyakitkan.

Namun, meskipun ia merasa terluka, Arka tidak sepenuhnya bisa menahan perasaan marahnya.

Ia merasa seperti telah kehilangan sesuatu yang berharga—kepercayaan. Kepercayaan pada orang-orang yang seharusnya menjaga dan merawatnya. Ibu Ratna dan warga desa tidak pernah benar-benar mengenal dirinya, tidak pernah memahami perasaannya. Semua itu hanya berdasarkan asumsi dan prasangka semata.

Sore itu, setelah semua anak di panti asuhan kembali ke ruang tidur mereka, Arka pergi lagi ke hutan. Ia merindukan kedamaian yang hanya bisa ditemukan di sana. Ketika ia tiba di tempat biasa, ia melihat rubah yang sedang duduk di atas batu besar, menunggu kedatangannya.

Mereka tidak perlu banyak berbicara; keduanya hanya duduk bersebelahan, merasakan kenyamanan dalam kebersamaan yang sederhana. Hutan itu selalu mengingatkan Arka bahwa ada dunia di luar sana yang lebih besar daripada kebohongan atau kesulitan hidup di panti asuhan.

Namun, malam itu, Arka merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada ketenangan yang datang lebih dalam, seolah hutan juga tahu bahwa segalanya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Arka mulai berpikir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia sudah mulai merasa seperti ia tidak bisa terus hidup seperti ini—terus bersembunyi, terus melarikan diri dari kenyataan. Ia tidak bisa terus-menerus menghindari konflik, dan yang lebih penting, ia tidak bisa terus-menerus merasa seperti seorang penyendiri.

Ia memandang langit malam yang penuh dengan bintang-bintang. Seperti bintang-bintang itu, ia merasa seperti dirinya adalah titik kecil di dunia yang luas ini, tak terlihat, tak penting.

Namun, ia tahu bahwa ia masih memiliki kesempatan untuk membuat perbedaan—untuk memperjuangkan haknya, untuk menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Rubah yang duduk di sampingnya tampak seperti teman sejati yang bisa mengerti perasaannya tanpa kata-kata. Arka merasa, meskipun dunia di sekitarnya kadang tak adil, ia masih memiliki kesempatan untuk mengubah takdirnya, dengan caranya sendiri.

Keputusan itu datang tiba-tiba, tetapi Arka tahu itu adalah keputusan yang tepat. Ia tidak akan membiarkan dirinya terus menjadi korban dari kebohongan dan ketidakadilan. Ia harus

(13)

melawan, meskipun itu berarti ia harus menghadapi Ibu Ratna, atau bahkan menghadapi masyarakat desa yang telah menilai dirinya dengan cara yang salah. Ia merasa harus berani berbicara, harus berani menghadapi kenyataan yang telah lama ia hindari.

Dengan tekad yang baru, Arka kembali ke panti asuhan keesokan harinya. Ketika ia melangkah masuk ke dalam panti, ia merasakan suasana yang penuh ketegangan. Anak-anak lain tampaknya sudah tahu apa yang terjadi, dan meskipun mereka tidak mengucapkan apa-apa, Arka bisa merasakan tatapan mereka. Mereka mungkin tidak tahu seluruh kisahnya, tetapi mereka tahu bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.

Ibu Ratna, seperti biasa, hanya duduk di mejanya dengan wajah datar, tidak memperhatikan Arka. Namun, Arka tidak bisa lagi diam. Ia memutuskan untuk menghadapi Ibu Ratna, untuk berbicara langsung dengannya. Ia harus memberitahunya bahwa ia tidak akan lagi ditindas atau dihina, bahwa ia tidak akan lagi menjadi korban dari kebohongan yang tak berdasar.

"Bu Ratna," suara Arka terdengar tegas meskipun ia merasa gemetar di dalam, "aku ingin berbicara."

Ibu Ratna menatapnya dengan sinis, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Arka tahu bahwa ini bukanlah saatnya untuk mundur. Ia melanjutkan, "Apa yang Ibu katakan tentang saya dan rubah itu tidak benar. Saya tidak pernah mencuri apapun dari kebun warga desa. Saya hanya berjuang untuk bertahan hidup. Kami tidak merugikan siapa pun."

Ibu Ratna tetap diam, tetapi tatapannya semakin tajam. "Kamu hanya seorang anak Arka. Tidak ada tempat bagi orang seperti kamu untuk hidup bebas. Kamu harus tahu tempatmu."

Arka menahan napasnya, merasa seluruh tubuhnya bergetar. Namun, ia tidak mundur. "Tetapi aku bukan seorang anak yang bisa diperlakukan dengan tidak adil Bu."

Kata-kata Arka menggema di ruangan itu, membuat keheningan yang tegang. Ibu Ratna tidak tahu harus berkata apa. Untuk pertama kalinya, Arka merasa seolah ia telah menemukan suaranya, menemukan keberanian untuk berbicara.

Namun, meskipun Arka merasa sedikit lega, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanan yang lebih panjang. Ini baru permulaan dari perubahan yang harus ia perjuangkan. Arka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang ia yakin: ia tidak akan menyerah bersama rubah yang telah membantunya bertahan selama ini.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Panti Asuhan Yatim Piatu Cabang Muhammadiyah Juwiring Klaten telah melaksanakan Pendidikan Islam Non formal. Pelaksanaanya

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Panti Asuhan Yatim Piatu Cabang Muhammadiyah Juwiring Klaten telah melaksanakan Pendidikan Islam Non formal. Pelaksanaanya

Panti asuhan adalah lembaga atau yayasan yang bergerak di bidang sosial dengan tujuan untuk membantu anak yatim piatu atau anak-anak yang tidak memiliki orang

Dengan begitu, maka hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara kemandirian dengan asertivitas pada remaja yang tinggal di panti asuhan yatim piatu ternyata

seseorang tersebut dengan Tuhan. Hasil temuan penelitian ditelusuri fungsi utama Panti Asuhan Bunda Pengharapan adalah menampung anak-anak yatim piatu, menyelamatan anak yatim

Kesimpulan dari kegiatan pengabdian ini adalah terealisasinya target dari pelaksanan kegiatan bantuan sosial bagi anak-anak yatim piatu di Panti Asuhan Yayasan

Panti Sosial Asuhan Anak Harapan Kota Samarinda berdiri untuk meningkatkan kesejahteraan sosial anak yang tidak mempunyai ayah (yatim), tidak mempunyai ibu (piatu),

Kesimpulan Berdasarkan hasil pene;itian yang dilakukan oleh penulis tentang perencanaan karir pada anak yatim piatu di panti asuhan putri muhammadiyah Purwokerto, maka di ambil