6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Stroke
a. Definisi
Stroke menurut World Health Organization (WHO) didefinisikan sebagai gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang berlangsung selama lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian disebabkan oleh gangguan peredaran darah di otak (Coupland et al., 2017), Menurut American Heart Association (AHA) stroke merupakan perdarahan intraserebral sebagai tanda-tanda klinis disfungsi neurologis yang berkembang pesat yang disebabkan oleh kumpulan darah fokal di dalam parenkim otak atau sistem ventrikel yang tidak disebabkan oleh trauma dan perdarahan subarachnoid sebagai tanda cepat disfungsi neurologis dan sakit kepala karena perdarahan ke dalam ruang subarachnoid yang tidak disebabkan oleh trauma (Feigin et al., 2018).
Menurut Zhang (2016) stroke adalah kondisi yang rumit dengan berbagai macam gangguan yang muncul dan merupakan salah satu penyebab utama terjadinya disabilitas dalam waktu lama dan menjadi beban hidup oleh penderita karena dapat mempengaruhi kwalitas hidupnya.
b. Prevalensi
Stroke merupakan salah satu penyebab kematian hampir di seluruh dunia menurut menurut American Heart Assosiation pada tahun 2020, terdapat 7.08 juta kematian akibat penyakit serebrovaskular di seluruh dunia 3.48 juta kematian akibat stroke iskemik, 3.25 juta kematian akibat perdarahan intraserebral (ICH), dan 0.35 juta dari perdarahan subarachnoid. Asia Tengah, Tenggara dan Timur, Oseania, dan Afrika sub-Sahara memiliki yang tertinggi tingkat kematian stroke secara keseluruhan. Eropa Timur dan Asia Tengah memiliki tingkat kematian tertinggi yang disebabkan oleh stroke iskemik (American Heart Association, 2021).
Sedangkan berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) Kemenkes RI tahun 2018, menunjukkan menunjukan prevalensi stroke tertinggi di Indonesia Indonesia terdapat di Propinsi Kalimantan Timur (14.7%) dan terendah di Provinsi Papua (4.1%). Prevalensi stroke di Provinsi Sumatera Selatan adalah 10%. Prevalensi penyakit stroke meningkat seiring bertambahnya umur dengan kasus tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (50.2%) dan terendah pada kelompok umur 15 - 24 tahun (0.6%). Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi stroke pada laki-laki (11%) hampir sama dengan perempuan (10.95) (Kemenkes RI, 2018).
c. Etiologi
Stroke terjadi akibat pecahnya pembuluh darah otak atau trombosis dan penyumbatan (emboli) akibat penyakit lain atau karena bagian otak terluka dan menyumbat 2 arteri serebral, bekuan darah tersebut akan masuk ke aliran darah.
Akibatnya fungsi otak terhenti dan fungsi otak menurun (Nasution, 2019).
Stroke iskemik terjadi karena adanya obstruksi pada pembuluh yang mensuplai darah ke otak. Hal yang mendasari terjadinya obstruksi adalah peningkatan deposit lemak yang melapisi pembuluh darah atau biasa disebut sebagai ateroskelrosis. Kondisi ini kemudian menyebabkan dua obstruksi yaitu trombosis serebral dan emboli serebral (Feske, 2021). Trombosis serebral mengacu pada trombus (bekuan darah) yang berkembang di bagian pembuluh darah yang tersumbat. Sebagian dari pecahan bekuan darah lepas, memasuki aliran darah dan berjalan melalui pembuluh darah otak hingga mencapai pada pembuluh darah yang lebih kecil untuk dimasuki oleh plak tersebut. Penyebab penting kedua terjadinya emboli adalah denyut jantung yang tidak teratur, yang dikenal sebagai fibrilasi atrium. Ini menyebabkan kondisi dimana bekuan darah terbentuk di jantung kemudian lepas dan berjalan ke otak (American Heart Association, 2021).
Stroke Hemoragik merupakan akibat dari pembuluh darah yang melemah kemudian pecah dan menyebabkan pendarahan di sekitar otak (McGurgan et al., 2021). Darah yang keluar kemudian terakumulasi dan menekan jaringan sekitar otak. Hal ini disebabkan karena dua hal, yaitu anuerisma dan arteriovenous malformation. Anuerisma merupakan pembuluh darah lemah yang membentuk
balon yang jika dibiarkan akan menyebabkan ruptur dan berdarah hingga ke otak.
Sedangkan arteriovenous malformation merupakan sekelompok pembuluh darah yang terbentuk secara abnormal dan salah satu satu dari pembuluh darah itu dapat mengalami ruptur dan meyebabkan darah masuk ke otak, biasanya terjadi karena hipertensi, aterosklerosis, kebiasaan merokok dan faktor usia. Ada dua tipe stroke hemoragik, yaitu intracerebral hemmorhage dan subarachnoid hemmorhage (Becker, 2016; Ferriero et al., 2019).
Intracerebral hemorrhage (ICH) biasanya disebabkan hipertensi yang meyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah, disfungsi autoregulatori dengan aliran otak yang berlebihan, arteriopati, aneurisma 11 intracranial (biasanya juga terjadi pada pendarahan subarachnoid), arteriovenous malformation ( penyebab pada 60% kasus), trombosis vena sinus serebral dan infark vena, tumor otak (<5% kasus ICH) dan tumor SSP primer, dan penyalahan penggunaan obat (misalnya, kokain dan amfetamin) (de Oliveira Manoel et al., 2016; Liebeskind et al., 2017) Subarachnoid hemorrhage 80% disebabkan karena aneurisma intrakranial, kemudian diikuti oleh arteriovenous malformation sebagai sebab kedua dengan persentase 10%, sisanya disebabkan karena angioma, tumor, dan trombosis kortikal (Feske, 2021).
d. Patofisiologi
Patofisiologi stroke diklasifikasikan sebagai stroke iskemik dan stroke hemoragik.
Stroke iskemik lebih sering ditemukan daripada stroke hemoragik. Stroke iskemik atau stroke non hemoragik adalah kematian jaringan otak karena gangguan aliran darah ke daerah otak, yang disebabkan oleh tersumbatnya arteri serebral atau di vena serebral (Mutiarasari, 2019), Lesi utama stroke iskemik adalah infark serebral karena suplai darah yang tidak memadai ke otak jaringan, pertama-tama terjadi kehilangan fungsi jaringan yang reversibel dengan waktu lama. infark dengan hilangnya neuron dan struktur pendukung. Iskemia memicu serangkaian peristiwa yang dimulai dengan hilangnya aliran listrik fungsi dan berkembang menjadi gangguan fungsi membran dengan masuknya kalsium yang menyebabkan eksitotoksisitas yang bergantung pada kalsium, pembentukan spesies oksigen reaktif, dan akhirnya penghancuran sel, membran dan sel (Feske, 2021).
Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah didalam otak sehingga darah menutupi atau menggenangi ruang – ruang pada jaringan sel otak, dengan adanya darah yang menggenangi dan menutupi ruang – ruang pada jaringan sel otak tersebut maka akan menyebabkan kerusakan jaringan sel otak dan menyebabkan fungsi kontrol pada otak (Shao et al., 2019). Genangan darah bisa terjadi pada otak sekitar pembuluh darah yang pecah (intracerebral hemoragie) atau juga dapat terjadi genangan darah masuk kedalam ruang disekitar otak (subarachnoid hemoragie) dan bila terjadi stroke bisa sangat luas dan fatal dan bahkan sampai berujung kematian.
Pada umumnya stroke hemoragik terjadi pada lanjut usia, dikarenakan penyumbatan terjadi pada dinding pembuluh darah yang sudah rapuh (aneurisma), pembuluh darah yang rapuh disebabkan oleh factor usia (degenerative), tetapi juga disebabkan oleh factor keturunan (genetik). Biasanya keadaan yang sering terjadi adalah kerapuhan karena mengerasnya dinding pembuluh darah akibat tertimbun plak atau arteriosclerosis bisa akan lebih parah lagi apabila disertai dengan gejala tekanan darah tinggi (Kernich, 2022).
e. Faktor Resiko Stroke
Menurut Boehme (2017) resiko terjadinya stroke dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut, yaitu :
1). Faktor yang tidak dapat dirubah (non reversible)
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi untuk stroke meliputi usia, jenis kelamin, ras-etnis, dan genetik. Secara umum, stroke adalah penyakit penuaan.
Insiden stroke meningkat seiring bertambahnya usia, dengan insiden dua kali lipat untuk setiap dekade setelah usia 55 tahun walaupun sekarang usia muda banyak mengalami stroke, Hubungan jenis kelamin dengan risiko stroke tergantung pada usia. Pada usia muda, wanita memiliki risiko stroke yang tinggi atau lebih tinggi laki-laki, meskipun pada usia yang lebih tua risiko relatifnya sedikit lebih tinggi untuk pria. Risiko stroke lebih tinggi pada wanita pada usia yang lebih muda usia kemungkinan mencerminkan risiko yang terkait dengan kehamilan dan keadaan pasca persalinan, serta faktor hormonal lainnya, seperti penggunaan dari kontrasepsi hormonal. Secara keseluruhan, lebih banyak stroke terjadi pada
wanita daripada pria, karena rentang hidup wanita lebih lama dibandingkan dengan pria.
Sebuah penelitian dilakukan di 8 penelitian yang berbeda Negara-negara Eropa menemukan bahwa risiko stroke meningkat sebesar 9% per tahun pada pria dan 10% per tahun pada wanita. Orang kulit hitam berisiko dua kali lipat terkena stroke jika dibandingkan dengan rekan kulit putih dan memiliki resiko kematian yang lebih tinggi terkait dengan stroke. Sedangkan riwayat keluarga yang mempunyai riwayat stroke mempunyai resiko lebih besar mengalami stroke (American Heart Association, 2021).
2). Faktor yang dapat dirubah (reversible)
Faktor risiko yang dapat dirubah dibagi menjadi kondisi medis dan faktor risiko karena perilaku (Boehme, 2017), sedangkan faktor risiko yang dapat dirubah adalah:
a) Hipertensi
Hipertensi dipandang sebagai faktor resiko utama terhadap kejadian penyakit serebrovaskuler seperti stroke ataupun transientis-chemic attack. Pada beberapa kasus menunjukkan seseorang yang menderita hipertensii berpotensi untuk mengalami kejadian stroke (Feigin et al., 2018). Penyakit hipertensi dipandang sebagai salah satu faktor risiko terjadinya stroke, terlebih lagi jika penderita dalam kondisi stress pada tingkat yang tinggi. Seseorang yang menderita penyakit hipertensi akan mengalami aneurisma yang disertai disfungsi endotelial pada jaringan pembuluh darahnya. Apabila gangguan yang terjadi pada pembuluh darah ini berlangsung terus dalam waktu yang lama akan dapat menyebabkan terjadinya stroke (Nury, 2022).
b) Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan faktor risiko independen untuk stroke dengan peningkatan risiko stroke 2 kali lipat untuk pasien diabetes, dan stroke menyumbang 20% kematian pada penderita diabetes. Pradiabetes juga pada peningkatan risiko stroke. Sekitar 8% orang Amerika menderita diabetes mellitus, dengan hampir setengah dari Amerika 65 tahun pradiabetik (Kamel et al., 2015).
c) Atrial Fibrillation dan Atrial Cardiopathy
AF telah lama dikenal sebagai faktor risiko utama stroke, dan ini hanya meningkat seiring dengan bertambahnya usia penduduk AS. Insiden stroke yang terkait dengan AF hampir tiga kali lipat selama 3 dekade. Hubungan antara AF dan stroke telah lama diasumsikan karena stasis darah di atrium kiri yang berfibrilasi menyebabkan pembentukan trombus dan embolisasi ke otak dan mengakibatkan stroke (Boehme, 2017).
d) Dislipidemia
Hubungan antara dislipidemia dan risiko stroke adalah kompleks, dengan peningkatan risiko stroke iskemik dengan peningkatan kolesterol total dan penurunan risiko stroke iskemik dengan peningkatan kolesterol lipoprotein densitas tinggi, Trigliserida adalah kumpulan lemak. Orang yang ingin hidup sehat dan bermanfaat bagi anggota keluarganya dapat mengubah trigliserida.
Trigliserida tinggi berbahaya bagi kesehatan, terutama risiko stroke, karena merupakan bahan baku lemak jahat yaitu VLDL (ultra low density lipoprotein) ( Esenwa, 2017).
e) Perilaku
Kurangnya aktivitas fisik dikaitkan dengan banyak efek kesehatan yang buruk, termasuk stroke. Orang yang aktif secara fisik memiliki risiko lebih rendah terserang stroke dan kematian stroke dibandingkan mereka yang tidak aktif.
Hubungan antara aktivitas fisik dan stroke mungkin karena terkait penurunan tekanan darah, pengurangan kadar gula dan penurunan berat badan (Hou et al., 2021). Obesitas meningkatkan risiko stroke dan risiko lainnya seperti diabetes mellitus, hipertensi, dan dislipidemia, sedangkan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak meningkatkan hipertensi dan periaku merokok dapat berisiko lebih besar terserang stroke dibandingkan yang tidak merokok (Boehme, 2017).
f. Rehabilitasi
Program rehabilitasi yang dimulai sejak dini setelah stroke terbukti membantu mengurangi komplikasi, mengurangi gangguan fungsional pasca stroke, menurunkan kecacatan fungsional, serta menghasilkan kualitas hidup yang lebih baik untuk penderita stroke (Whitehead et al., 2019).
Rehabilitasi stroke secara luas didefinisikan sebagai aspek perawatan stroke yang bertujuan untuk mengurangi kecacatan dan meningkatkan partisipasi dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Tujuannya utamanya adalah untuk mencegah kerusakan fungsi, meningkatkan fungsi, dan mencapai level kemandirian setinggi mungkin (fisik, psikologis, sosial, dan finansial) (Belagaje, 2017).
Dengan rehabilitasi yang optimal diharapkan pasien stroke mampu mandiri dalam aktivitas keseharian dan kemampuan fungsional tangan dapat meningkat sehingga mampu melakukan semua kegiatan keseharian.
g. Okupasi Terapi pada Stroke
Okupasi terapi merupakan profesi kesehatan yang memberikan dukungan pada individu untuk melakukan aktivitas yang berarti baginya dengan memberikan intervensi yang mendukung untuk penyandang disabilitas melakukan aktivitas keseharian mereka (Miller et al., 2020). Aktivitas yang bermakna atau berarti meliputi self-care, aktivitas pendukung self-care, istirahat dan tidur, belajar, bekerja, bermain dan leisure, dan bersosialisasi (AOTA, 2014). Tujuan utama dalam rehabilitasi tangan paska stroke adalah untuk mempelajari kembali dasar keterampilan seperti makan, berpakaian, dan berjalan hal tersebut dapat dilakukan oleh Okupasi Terapi dimana Okupasi Terapi bertujuan untuk memungkinkan pasien mencapai kesehatan, kesejahteraan, dan kepuasan hidup melalui partisipasi dalam pendudukan dan secara khusus bertujuan untuk mempromosikan pemulihan melalui penggunaan kegiatan yang bertujuan (Sale et al., 2014).
2. Kemampuan Fungsional Tangan a. Definisi
Tangan merupakan bagian biologis tubuh yang memainkan peran penting dalam hidup (Duruöz, 2019), fungsi tangan untuk menggenggam, merasakan, memegang dan lain sebagainya. Kemampuan fungsional tangan berhubungan dengan taktil, pendengaran dan propioseptif dimana secara motorik meliputi jenis genggaman, pola jangkauan, menjangkau & menggenggam, kemampuan manipulasi, dan pola melepas (Karam, 2020). Fungsi tangan didefinisikan sebagai kemampuan mengunakan tangan untuk melakukan aktivitas sehari-hari dilihat dari anatomi, sensori, kekuatan, ketangkasan dan koordinasi tangan (Duruöz, 2019). Sehingga
dapat disimpulkan kemampuan fungsional tangan yaitu kemampuan menggerakkan tangan untuk melakukan aktivitas keseharian.
Kemampuan fungsional tangan seperti kegiatan mengambil, memegang, dan memanipulasi benda akan sangat sulit dilakukan apabila satu tangan dan lengan tidak dapat bergerak secara memadai (Lum et al., 2012). Pada dasarnya, tangan memiliki kemampuan grip yang diklasifikasikan menjadi 4 yaitu pinch grip, full hand grips, nonprehenson serta bilateral prehension (Duruöz, 2019).
b. Manfaat
Pada masa tumbuh kembang, kemampuan fungsional tangan tidak hanya berpengaruh terhadap ekstremitas atas tetapi juga pada sensori, motor persepsi, kognitif dan perkembangan penglihatan (Duruöz, 2019). Manfaat kemampuan fungsional tangan meliputi :
- Untuk perkembangan kognitif, persepsi, dan komunikasi serta bantuan teknologi digital.
- Membantu mobilitas seperti duduk, berdiri, berjalan dan mengubah posisi tubuh.
- Mengembangkan stabilitasi bahu sebagai dasar untuk kemampuan motorik kasar dan halus.
c. Gangguan fungsional tangan pada stroke
Kelemahan, gangguan dan keterbatasan fungsi motorik, sensorik, persepsi dan kognitif adalah efek setelah stroke, Intervensi rehabilitasi yang efektif penting untuk mendorong proses pemulihan dan meminimalkan kecacatan sehingga fungsi motorik juga berkontribusi pada kepuasan pasien, kemandirian dan meningkatkan kualitas hidup (Franck, Smeets and Seelen, 2017).
Masalah gangguan fungsional tangan pada umumnya akibat dari spastisitas yang mana mempersulit gerakan motorik halus seperti menggenggam, menulis, dan menggunting (Evrin et al., 2019). Adanya gangguan motorik di salah satu sisi (Hemiparesis) menyebabkan kerusakan ekstremitas atas kronis pada 40%
(Maris et al., 2018). Fungsi ekstremitas atas yang memadai sangat penting untuk secara mandiri melakukan aktivitas hidup sehari-hari (ADL) seperti makan, perawatan diri, mengetik, membawa dan memanipulasi benda. Akibatnya, atas
mengalami disfungsi mungkin memiliki dampak besar pada kualitas pasien hidup dan tingkat kemandiriannya (Hirakawa et al., 2018).
d. Instrumen
Pengukuran kemampuan fungsional tangan dapat menentukan bagaimana seseorang menggunakan tangan terlepas dari adanya keterbatasan dan cacat fungsional (Duruöz, 2019). Selain itu, tes pengukuran tangan penting untuk mengetahui kapasitas fungsional dari ekstremitas atas (Auld et al., 2012; Elvrum et al., 2016).
Fugl-Meyer Assessment of Upper Extremity (FMA-UE) mengukur gerakan, koordinasi dan tindakan refleks bahu, siku, lengan bawah, pergelangan tangan dan tangan, serta manual administrasi memastikan standarisasi skoring (Lundquist and Maribo, 2017). FMA-UE menyediakan sebuah deskripsi rinci tentang prosedur pengujian, instruksi pasien dan penilaian, sejumlah uji klinis telah menggunakan FMA-UE sebagai ukuran dan hasil menunjukkan bahwa fungsional hasil setelah stroke dapat diprediksi dengan peningkatan FMA-UE skor dalam hari-hari dan minggu-minggu pertama pasca-stroke (Hiragami, Inoue and Harada, 2019). Secara praktik klinis FMA-UE direkomendasikan untuk perencanaan pengobatan dan mengevaluasi hasil pengobatan menunjukkan hasil yang luar biasa keandalan validitas bersamaan yang baik bila dibandingkan dengan tes serupa dari fungsi motorik lengan (Hirakawa et al., 2018).
FMA-UE mengukur gerakan, koordinasi, dan refleks gerakan bahu, siku, lengan bawah, pergelangan tangan dan tangan. Skala terdiri dari 33 item, masing- masing diberi skor pada skala ordinal 3 poin (0 tidak dapat melakukan, 1 melakukan sebagian, 2 melakukan sepenuhnya). Skor total berkisar dari minimal 0 (hemiplegia) hingga maksimal 66 poin (Lundquist and Maribo, 2017).
3. Robot Assistive Therapy a. Definisi
Robot Assistive Therapy (RAT) adalah terapi berbasis latihan yang inovatif menggunakan perangkat robot yang memungkinkan penerapan latihan fisik yang berulang, intensif, adaptif, dan terukur. Sejak studi klinis pertama dengan robot aplikasi robotik telah banyak digunakan untuk memulihkan hilangnya fungsi motorik, terutama pada penderita stroke yang menderita paresis ekstremitas atas
dan jenis penyakit lainnya (Duret, Grosmaire and Krebs, 2019). Rehabilitasi berbasis robotik telah berkembang pesat dan jumlah robot rehabilitasi terapeutik terus berkembang luas selama dua dekade terakhir. Terapi rehabilitasi robotik dapat memberikan pelatihan dosis tinggi dan intensitas tinggi, sehingga bermanfaat bagi pasien dengan gangguan motorik yang disebabkan oleh stroke atau penyakit sumsum tulang belakang (Bertani et al., 2017)..
b. Jenis Robot Assistive Therapy
Robot rehabilitasi dapat dibagi menjadi robot terapi dan robot bantu, tujuan dari robot bantu adalah kompensasi gerakan, sedangkan robot terapeutik memberikan pelatihan khusus melalui gerakan-gerakan yang telah diprogram (Won Hyuk Chang and Kim, 2013). Robot untuk rehabilitasi dari stroke dapat diklasifikasikan sesuai dengan gerakan yang mereka terapkan pada tubuh pasien, Menurut gerakan dibagi menjadi dua yaitu : eksoskeleton untuk menggerakkan sendi, seperti pergelangan tangan, siku, dan bahu, sedangkan robot end-effector hanya menggerakkan tangan saja bersama dengan perangkat lunak canggih biasanya dilakukan pengaturan di depan layar (Dure et al., 2019).
Seiring waktu jumlah dan jenis robot yang digunakan dalam rehabilitasi semakin meningkat, perangkat yang berbeda menyediakan latihan rehabilitasi berbeda sesuai kondisi dan pemulihan plastisitas pasien stroke. Terapi dengan bantuan teknologi robotik lebih intensif dan lebih terprogram, program terapi yang diberikan lebih akurat dan terukur daripada terapi konvensional dibantu robot terapi terbukti lebih hemat biaya daripada tradisional sesi terapi rehabilitasi penggunaan RAT dalam terapi akan memungkinkan pasien untuk berlatih secara mandiri dan terapi robotik memberikan bentuk progrm yang sama dan hasil yang terukur.(Morone et al., 2020).
c. Prinsip kerja Robot Assistive Therapy
Terapi robotik untuk stroke didasarkan pada asumsi bahwa latihan aktif dengan intensitas tinggi dibantu oleh robotik dapat merangsang plastisitas otak sehingga diharapkan merangsang juga gerakan motorik anggota gerak atas (Karam et al, 2020). Prinsip lain dari rehabilitasi stroke adalah penetapan tujuan, latihan intensitas tinggi, perawatan tim multidisiplin, dan latihan aktivitas tertentu yang spesifik (Dure et al., 2019).
Robot Assistive Therapy yang sudah diprogram sesuai kondisi pasien bekerja membantu gerakan kearah jangkauan sendi yang maksimal, membantu mengurangi kekakuan otot dan menambah kekuatan otot (Blank, 2017). Fokus terpenting adalah keterlibatan pasien dalam setiap sesi terapi, penelitian menemukan bahwa gerakan pasif gerakan pasif terus menerus ditambah dengan gerakan aktif dapat berkontribusi pada pemulihan motorik, seperti yang ditunjukkan oleh banyak penelitian dengan perangkat terapi robot (Bertani et al., 2017). Studi lain telah menemukan bukti bahwa frekuensi gerakan dan keterlibatan pasien merupakan faktor utama dalam meningkatkan kemampuan fungsional tangan (Karam et al, 2020).
Penggunaan terapi robotik akan membantu proses neuroplastisitas otak sehingga meningkatkan rangsangan motorik tangan, melalui aktivitas latihan yang terprogram memberikan pengaruh terhadap kemampuan fungsional tangan dan peningkatan kontrol motorik (Dure et al., 2019).
4. Meta-analysis dan Systematic Review
a. Definisi Meta-analysis dan Systematic Review
Meta-analysis ialah suatu analisis kuantitatif dengan menggunakan beberapa data dalam jumlah besar serta menggunakan metode statistik dengan cara mengelompokkan informasi dari sampel besar yang digunakan untuk melengkapi atau menggali informasi sebanyak mungkin dari data yang telah didapat serta menjadi suatu teknik untuk menganalisis kembali hasil dari penelitian yang telah diproses secara statistik menggunakan data primer (Nieuwenstein et al., 2015;
Paldam, 2015; Murti, 2018). Meta-Analysis merupakan suatu penelitian yang memungkinkan peneliti untuk menganalisis hasil dari berbagai eksprerimen atau percobaan yang dilaksanakan pada demografi yang berbeda tetapi memiliki jenis variabel atau subjek yang sama (Makowski et al., 2019).
Meta-Analysis merupakan suatu alat yang penting guna mensintesis bukti yang diperlukan untuk memberikan informasi tentang pengambilan keputusan dan kebijakan klinis. Kondisi tersebut mengarah pada analisis data statistik yang didapat dari penelitian primer yang mendiri yang berfokus pada pembahasan yang sama serta bertujuan untuk mendapatkan perhitungan kuantitatif dar suatu kejadian yang diteliti sebagai suatu contoh efektivitas intervensi (Mikolajewicz et
al., 2019). Meta-analisis bukan hanya analisis statistik dari sekumpulan data eksperimen yang diperoleh dalam kondisi berbeda; ini mencakup langkah awal, yang mana tujuannya adalah untuk memperoleh kembali kemungkinan terbesar dari hasil suatu penelitian yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan yang penelitian (Makowski et al., 2019).
Meta-analisis merupakan instrumen penting yang dipakai untuk mensintesis bukti yang diperlukan untuk memperjelas pengambilan keputusan dan kebijakan klinis. Meta analisis menggabungkan analisis statistik dengan sytematic review. Hal tersebut memberikan 2 keuntungan yaitu dapat membatasi risiko terjadinya bias dengan memperbaiki seluruh studi relevan berdasarkan protokol eksplisit dan mampu memberikan hasil dalam bentuk kuantitatif (Piraux et al., 2019). Sytematic review memiliki fungsi sebagai metode dalam merangkum literatur yang sudah ada menggunakan parameter pencarian yang spesifik serta dinilai secara kritis, sintesi dan logis dari beberapa studi primer. Analisis ini tidak memberikan kekuatan kuantitatif mengenai kekuatan hubungan sebab akubat, ukuran efek yang dipelajari atau tingkat ketidakpastian (Makowski et al., 2019).
b. Prinsip Systematic Review 1) Search strategy
Strategi pencarian mempunyai tujuan untuk mengidentifikasi semua kemungkinan sumber informasi yang relevan,sehingga dapat berkontribusi pada ringkasan penelitian.
2) Deduplication
Duplikasi banyak muncul saat melakukan pencarian artikel pada beberapa database, sehingga identifikasi duplikasi artikel dibutuhkan saat mencari artikel pada database.
3) Protocol registration and publication review
Review yang kompleks perlu untuk mempertimbangkan naskah publikasi sehingga memberikan kesempatan untuk menjabarkan dengan lebih rinci latar belakang penelitian dan pendekatan yang akan digunakan. Beberapa artikel telah menggunakan registered report, dimana protokol dipakai untuk memeriksa kualitas metodologi dengan upaya untuk menerima naskah akhir terlepas dari hasil selama metodologi yang dijelaskan dalam protokol telah dijalankan.
4) Menghasilkan review yang up to date
Tinjauan sistematis membutuhkan waktu kurang lebih 2 tahun untuk menyelesaikannya, tergantung pada sumber data yang tersedia. Mengingat cepatnya artikel ilmiah dapat terpublikasi, sehingga dimungkinkan suatu temuan hasil penelitian sudah kadaluwarsa sebelum diterbitkan. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan ialah memperbarui pencarian setelah ekstrasi data dari penelitian yang diidentifikasi sebelumnya selesai, tetapi harus dilakukan sebelum data dianalisis.
5) Citation screening
Suatu alat otomatis untuk mengekstrasi karakteristik dari teks seperti frekuensi kata dan topik yang didalamnya, menetukan representasi karakteristik tersebut dalam 25 kutipan yang disertakan versus dikecualikan dan membuat prediksi kemungkinan bahwa setiap kutipan yang diberikan harus dimasukkan.
6) Text mining
Untuk pemisah dan pemberian keterangan literatur pada review yang luas dan dangkal, sering muncul kepentingan untuk menggelompokkan studi contohnya disesuai dengan model penyakit, intervensi eksperimental atau ukuran hasil yang dilaporkan pada keseluruhan ulasan, hal ini mungkin bermanfaat untuk melakukan anotasi studi sesuai dengan laporan tindakan seperti blinding atau randomisasi yang dapat mengurangi risiko bias. Hal tersebut dapat mempertimbangkan teks lengkap jika tersedia. Dasar pendekatan yaitu dengan menggunakan pendekatan berbasis kamus, menentukan frekuensi kemunculan kata atau frasa tertentu.
7) Review yang luas-dangkal serta review sempit-mendalam
Review dilakukan dengan banyak tujuan, contohnya pemeriksaan yang berfokus pada efek intervensi tertentu sampai menghasilkan ulasan yang lebih luas dari bidang penelitian. Pada umumnya, hal tersebut cenderung sulit untuk membuat review yang luas dan dalam, tetapi ulasan yang luas dan dangkal dapat menampung tujuan penting dalam menunjukkan suatu bidang penelitian, melaporkan berbagai hasil yang dilaporkan, dan pelaporan risiko bias, tanpa meta analisis terperinci.
c. Prinsip Meta-analysis 1) Pengukuran Effect-size
Effect size didefinisikan sebagai log ratio dari rerata hasil observasi untuk suatu untuk kelompok treatment dan dari kelompok kontrol (Makowski et al., 2019).
Effect size dapat diukur dengan menghitung standard mean difference yang mana perbedaannya dianggap sebagai proporsi dari pooled standard deviation (Cohen’s D), atau dengan faktor koreksi untuk memperhitungkan small group sizes (Hedges G). Kemudian jika kelompok cukup besar, ukuran pooled standard deviation menggambarkan variabilitas sebagai dasar dari suatu kejadian yang diteliti dan tidak tergantung pada skala yang digunakan.
2) Memberikan pembobotan yang berbeda pada studi yang berbeda.
Penilaian dari ringkasan efek menyajikan efek median atau nilai rata-rata dari efek atau hasil yang diamati. Tahapan ini memberikan bobot atau nilai yang sama untuk studi kecil dan besar, serta untuk studi yang tepat dan tidak tepat.
3) Menetapkan perbedaan antar penelitian.
Tujuan utama Meta-Analysis yaitu menyampaikan interpretasi yang lebih baik tentang perbedaan ukuran efek antara berbagai jenis studi. Langkah awal yang wajib dilakukan yaitu memaparkan pendekatan yang berbeda dan selanjutnya memperhitungakan antara kelebihan dan kekurangan masing-masing pendekatan.
4) Mengidentifkasi bias publikasi.
Saat melakukan meta analysis, keuntungan yang diperoleh yaitu mampu meluhat berbagai jenis publikasi. Ketika diperoleh efek yang melandasi, maka akan nampak distribusi perkiraan di sekitar efek dasar yang sesungguhnya dan studi yang lebih sesuai menghasilkan perkiraan yang lebih sesuai dengan efek sebenarnya, dan studi yang kurang sesuai menghasilkan lebih banyak perhitngan variabel. Funnel plot yaitu gambaran grafis dari ukuran efek yang kemudian diplot terhadap ukutan presisi, selain inspeksi visual, berpotensi untuk menganalisis secara matematis memakai regresi Egger atau literatif “trim and fill”
(Murti, 2018).
d. Kelebihan Meta-analysis
Beberapa kelebihan penelitian meta analisis seperti:
1) Meminimalisir subjektivitas dan judgement dibanding 3 metode lain yang telah dikenal.
2) Karena termasuk pendekatan kuantitatif, maka menggunakan banyak sampel, sehingga hasil studi lebih representatif. Hasil akhirnya dinamakan “effect size”.
3) Meta-Analysis dimungkinan melakukan kombinasi dari berbagai jenis penelitian yang telah ada.
4) Metode ini berfokus pada penghimpunan dampak dari berbagai hasil yang tidak signifikan sehingga menghasilkan hasil yang signifikan.
5) Metode ini mampu memberikan jawaban tentang ketimpangan hasil dari berbagai macam studi.
6) Pada penelitian bidang bisnis, meta-analysis membuat organizational behaviour yang baik.
e. Kelemahan Meta-analysis
Beberapa kelemahan meta analisis seperti:
1) Metode ini memiliki bias publikasi yang cukup besar. Terdapat tendensi dari editor dan peneliti untuk mempublikasi hasil yang positif saja serta tidak mempublikasi hasil yang tidak sesuai atau tidak signifikan.
2) Adanya akses dan ekses data. Akses data yaitu akses atau saluran kepada keseluruhan penelitian relevan sedang ekses data yaitu penggandaan data.
3) Bermacam kesalahan sistematis yang dibuat dari peneliti, contohnya kegagalan untuk menunjukkan dan menangani bermacam isu metodologis dasar, kelalaian untuk melaksanakan screening hasil penelitian, kegagalan dalam mengestimasi kovariat atau confounding factor dan kegagalan dalam menghindari bias pada penelitian meta analisis sendiri. (Bailar dalam Murti, 2018)
f. Pelaporan Meta-analysis
Review Manager (RevMan) merupakan suatu perangkat lunak (software) dari The Cochrane Collaboration yang diciptakan untuk menyiapkan dan mengupayakan analisis Cochrane. RevMan (gambar 2.1) menyediakan fasilitas protokol perancangan dan analisis lengkap, memberikan fasilitas persiapan protokol dan ulasan lengkap, seperti teks, karakterisitk penelitian, tabel pembanding, fan data penelitian. RevMan dapat digunakan untuk melakukan Meta-Analysis dari data yang diinput, dan memberikan hasil secara grafis (Cochrane, 2011).
Gambar 2.1. Tampilan Awal Aplikasi Review Manager 5.3 Sumber : Cochrane (2011)
Beberapa aspek yang wajib disampaikan dan diperhatikan untuk menyampaikan hasil penelitian meta-analysis yaitu :
1) Forest Plot
Forest plot mampu menyediakan informasi berupa tabel dan grafik tentang perkiraan perbandingan, ketepatan dan signifikasi data statistik (Li et al., 2020).
Forest Plot dipakai untuk menunjukkan data epidemiologis dan digunakan dalam kajian sistematis untuk merangkum hasil penelitian sebelumnya.
Gambar 2.2. Grafik Forest Plot Sumber : Aplikasi Rev Man 5.3
Forest plot (Gambar 2.2) dapat menunjukkan effect size dan 95%
confidence intervals atau menampilkan hasil dari penelitian meta-analysis (Makowski, Piraux dan Brun, 2019). Pada grafik forest plot terdapat titik estimasi, interval kepercayaan, bobot studi dan nilai signifikansi statistik (Woodall, 2014).
Forest plot memperlihatkan dalam bentuk visual dari besaran variasi (heterogenitas) antar hasil studi (Akobeng (2005) dalam Murti, 2018).
2) Funnel plot
Funnel plot mennunjukkan effect size dan presisi dari effect size serta memungkinkan untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya bias publikasi dalam bentuk grafis segitiga simetris (Makowski et al., 2019; Li et al., 2020). Pada umumnya, uji coba dengan menggunakan ukuran sampel yang kecil dapat menghasilkan perkiraan yang kurang sesuai. Pada saat terjadi peningkatan ukuran sampel, dimungkinkan presisi efek meningkat dan bias akan berkurang (Sedgwick, 2013).
Gambar 2.3. Grafik Funnel Plot Sumber : Murti B (2018)
Menurut Murti (2018) funnel plot adalah suatu diagram yang menampilkan kemungkinan terjadinya bias publikasi. Funnel plot menggambarkan effect size studi i dan besar sampel atau standard error dari effect size dari beragam penelitian yang diteliti. Jika diagram berbentuk simetris berarti tidak terdapat bias publikasi, tetapi sebaliknya jika bentuk diagram asimetris maka terjadi bias publikasi (Brun et al., 2019) seperti yang terlihat pada gambar 2.3.
3) Metode fix effect dan random effect
Perbedaan antara fixed effect model dan random effect model (gambar 2.4) terletak pada terma yang berhubungan dengan pengaruh eksperimen dan interaksi antara perlakuan dan eksperimen (Makowski et al., 2019). Model efek tetap (fixed effect model) dianggap sebagai karakteristik yang memastikan bahwa keseluruhan studi dalam meta analisi mempunyai ukuran efek yang sama. Munculnya perbedaan antara ukuran effect size yang diperiksa diakibatkan oleh kesalahan pada pengambilan sampel. Sedangkan model efek random (random effect model) dianggap bahwa terdapat variasi effect size antar penelitian. Perbedaan pada ukuran efek serta variasi dalam effect size sebenarnya yang diketahui sebagai heterogenitas (Nikolakopoulou et al., 2014).
Gambar 2.4. Fix Effect Model dan Random Effect Model Sumber : Aplikasi Rev Man 5.3
Penjelasan Murti (2018) tentang pengertian fixed effect model sebagai model statistik yang dimanfaatkan dalam menggabungkan efek dari berbagai studi dalam meta-analisis, yang menganggap homogenitas pengaruh antar studi yang digabungkan. Sedangkan random effect model merupakan model statistik yang dimanfaatkan dalam menggabungkan efek dari berbagai studi dalam meta analisis dimana heterogenitas antar studi diinput ke dalam penghitungan gabungan dengan cara menginput variasi antar studi.
4) Heterogenitas
Heterogenitas pada studi meta analisis adalah variasi dari pengaruh antar studi yang diteliti. Umunnya memakai lambang I² untuk menerangkan presentase dari variasi estimasi pengaruh yang disebabkan oleh variasi antar studi dan untuk
mengkuantifikasi dispersi effect size dalam sebuah meta analisis dengan rentang nilai 0%-100%.
Heterogenitas bisa diperoleh dari beberapa kemungkinan yaitu perbedaan karakteristik populasi studi, variasi dalam desain studi (sumber informasi, prosedur seleksi subjek penelitian, jenis desain, teknik pengumpulan informasi), perbedaan metode statistik, danserta perbedaan kovariat (Delgado et al., 2001 dalam Murti 2018).
Gambar 2.5. Tes Heterogenitas Sumber : Aplikasi Rev Man 5.3 5) Bias Publikasi
Bias publikasi (Publication bias) merupakan suatu tendensi dari editor dan peneliti untuk mempublikasi hasil yang positif saja seperti temuan “spektakuler”
atau “baru”, dibandingkan mepublikasikan hasil yang “tidak signifikan”. Bias publikasi adalah sumber bias terpenting pada meta-analisis (Murti, 2018). Hal tersebut dikarenakan validitas penelitian meta analisis melibatkan analisis risiko dari bias publikasi (Makowski et al., 2019).
Variabel yang dapat memengaruhi terjadinya bias publikasi yaitu (Murti, 2018) :
- Besar sampel (lebih sering terjadi pada studi kecil).
- Jenis desain (lebih sering terjadi pada studi observasional).
- Sponsporship.
- Konflik kepentingan.
- Prasangka tentang hubungan yang teramati.
Sehingga untuk memperkecil terjadinya bias publikasi dapat dilakukan dengan membatasi besar sampel, memeriksa kepentingan sponsor atau konflik serta memasukkan penelitian yang tidak diterbitkan.
B. Penelitian yang Relevan
1. Aprile, Germanotta M et al. (2020) penelitian berjudul “Upper Limb Robotic Rehabilitation After Stroke: A Multicenter, Randomized Clinical Trial”
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi kemajuan proses rehbilitasi pasien stroke subakut menggunakan robotik untuk Upper Limb standar menggunakan satu set 4 robot dan perangkat berbasis sensor dan dibandingkan dengan terapi konvensional Upper Limb. Penelitian melibatkan uji coba terkontrol secara acak terhadap 247 subjek dengan stroke subakut diberikan terapi rehabilitasi robotik (menggunakan satu set 4 perangkat) masing-masing terdiri dari 30 sesi. Subyek dievaluasi sebelum dan sesudah pengobatan, dengan penilaian tindak lanjut setelah 3 bulan. Ukuran hasil utama adalah perubahan dari baseline dalam skor Fugl-Meyer Assessment (FMA). Seratus sembilan puluh subyek menyelesaikan penilaian pasca perawatan, dengan subset (n = 122) kembali untuk evaluasi tindak lanjut dan hasilnya terdapat peningkatan rata rata nilai skor FMA pada kelompok robotik.
2. Carpinella, Lentioni T et al. (2020) penelitiannya berjudul “Effects of robot therapy on upper body kinematics and arm function in persons post stroke: a pilot randomized controlled trial”
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui untuk menilai efek penggunaan Robot Assistive Therapy khusus lengan pada orang pasca stroke pada strategi motorik yang berasal dari analisis kinematik terinstrumentasi tubuh bagian atas, dan pada fungsi lengan yang diukur dengan skala klinis. Penelitian melibatkan 116 orang dewasa pasca stroke dari Departemen Neurorehabilitasi IoRCCS Yayasan Don Carlo Gnocchi Milan, Italia. Kemampuan fungsional tangan dinilai dengan skala Fugl-Meyer Motor Assessment of Upper Extremity (FM-UE). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan intervensi kontrol, pelatihan robotik menghasilkan peningkatan yang lebih besar dalam koordinasi antara sendi bahu dan siku, dan perbaikan yang sebanding dari fungsi lengan yang
diukur oleh FM-UE, pengurangan spastisitas terbesar pada otot proksimal dan efek positif dari rehabilitasi robotik tampak lebih menonjol pada pasien kronis.
3. Daunoraviciene, Adomaviciene A et al. (2018) penelitian berjudul “Effects of robot-assisted training on upper limb functional recovery during the rehabilitation of poststroke patients”
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh latihan menggunakan robot pada pemulihan fungsional lengan pasien stroke menggunakan peralatan robotik “Armeo Spring” untuk melatih Upper Limb yang terganggu. Armeo Spring adalah orthosis lengan berinstrumen dengan lima derajat kebebasan yang memungkinkan gerakan pasif serta berisi mekanisme pegas untuk penopang berat lengan yang dapat disesuaikan di ruang kerja 3D besar yang dapat digunakan sebagai perangkat input data dilengkapi tujuh sensor sudut untuk mengukur ROM aktif, gerakan aktif dalam ruang 3D dan kualitas gerakan dalam
%. Sebanyak 34 pasien stroke 12 wanita dan 22 pria berusia 60 -74 tahun pernah mengalami stroke iskemik atau hemoragik serta mengalami paresis lengan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi robotik dengan Armeo Spring mengurangi gangguan motorik pada anggota gerak atas lebih efektif daripada terapi konvensional, penilaian dengan Fugl Meyer Assesment menunjukan peningkatan yang signifikan terhadap kemampuan fungsional tangan.
4. Dehem, Gilliaux M et al. (2019) penelitian berjudul “Effectiveness of upper- limb robotic-assisted therapy in the early rehabilitation phase after stroke: A single-blind, randomised, controlled trial”
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas Robot Assistive Therapy (RAT) pada anggota gerak atas pada fase awal rehabilitasi stroke. Pasien direkrut dari Mei 2014 hingga Mei 2017 di tiga pusat rehabilitasi rawat inap Belgia: Cliniques universitaires Saint-Luc (Brussels), Centre Hospitalier Valida (Brussels) dan Centre Hospitalier Neurologique William Lennox (Ottignies). Usia minimum 18 tahun mereka diacak menjadi 2 group terapi konvensional dan terapi RAT. Kedua kelompok menjalani sesi rehabilitasi selama 45 menit 4 sesi setiap minggu selama 9 minggu. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan RCT untuk rehabilitasi awal paska stroke apabila digabungkan dengan latihan konvensional
menunjukaan peningkatan kemampuan funsional tangan lebih baik diukur dengan Fugl Meyer Upper Extremity.
5. Hesse, Werner C et al. (2014) penelitian berjudul “Effect on arm function and cost of robot-assisted group therapy in subacute patients with stroke and a moderately to severely affected arm: a randomized controlled trial”
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efek terapi kelompok menggunakan bantuan robot dan terapi lengan individu dengan terapi lengan individu intensitas yang sama pada pasien subakut dengan stroke dan paresis ekstremitas atas sedang sampai berat. Penelitian diikuti oleh lima puluh pasien subakut pertama dengan stroke dan tangan yang tidak berfungsi, pasien berlatih selama 30 menit RAGT + 30 menit IAT (kelompok A) atau 2x30 menit IAT (kelompok B), per hari kerja selama empat minggu. Hasil penelitian ini perbaikan nilai Skor Fugl-Meyer yang dibutakan selama intervensi dan periode tindak lanjut tidak berbeda antar kelompok, terjadi perbaikan Skor Fugl-Meyer yang buta dari waktu ke waktu signifikan pada kedua kelompok.
6. Ranzani, Lambercy O et al. (2020) penelitian berjudul “Neurocognitive robot- assisted rehabilitation of hand function: a randomized control trial on motor recovery in subacute stroke”
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi terapi dengan bantuan robot untuk fungsi tangan yang mengikuti pendekatan neurokognitif (yaitu, menggabungkan pelatihan motorik dengan tugas somatosensori dan kognitif) menghasilkan penurunan yang setara pada gangguan motorik ekstremitas atas dibandingkan dengan terapi neurokognitif konvensional. Penelitian diikuti Tiga puluh tiga pasien stroke 14 subjek dalam kelompok yang dibantu robot dan 13 subjek dalam kelompok terapi konvensional menyelesaikan studi. Pada akhir intervensi, minggu ke-8 dan minggu ke-32, kelompok terapi menggunakan robot/konvensional masing-masing terjadi peningkatan skor pada FMA-UE.
C. Kebaruan Penelitian
Kebaruan penelitian ini mencakup pada tujuan penelitian, ruang lingkup (variabel penelitian), dan penelitian primer dilibatkan dimana penelitian ini belum pernah dilakukan di Indonesia dan menjadi salah satu penelitian meta analisis tentang pengaruh suatu penerapan teknologi robotik dalam rehabilitasi pasca stroke.
Tujuan dari penelitian ini yaitu melakukan meta-analisis untuk mengkaji lebih dalam pengaruh penggunaan Robot Assistive Therapy terhadap peningkatan kemampuan fungsional tangan pasien stroke. Sehingga penelitian dapat menghasilkan bukti ilmiah yang kuat karena menggunakan desain penelitian yang menempati hierarki tertinggi dalam piramida penelitian. Variabel yang dikaji sebagai outcome intervensi yaitu peningkatan kemampuan fungsional tangan.
Pada systematic review dan meta analysis ini, peneliti hanya melibatkan studi- studi primer eksperimental dengan metode randomized controlled trial (RCT) dengan jenis data continu.
D. Kerangka Berpikir
Gambar 2.6 Kerangka Berpikir E. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah :
Penggunaan Robot Assistive Therapy pada tangan pasien stroke memberikan efek positif terhadap peningkatan kemampuan fungsional tangan.
Stroke
Gangguan Motorik Tangan
Robot Assistive Therapy
Peningkatan Kemampuan Fungsional Tangan
Gangguan Fungsional Tangan
Neuroplastisitas
Rangsang Motorik Meningkat
Pengulangan dan Penyempurnaan Gerakan