• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Potensi Sampah Laut Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif Masyarakat Daerah Pesisir

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Analisis Potensi Sampah Laut Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif Masyarakat Daerah Pesisir"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POTENSI SAMPAH LAUT MENJADI BRIKET SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF MASYARAKAT DAERAH PESISIR

Vira Safitri1

Prodi Pendidikan Fisika,Universitas Jember1 Email: [email protected]1

Abstrak-Sampah laut merupakan permasalahan serius yang mengancam keanekaragaman makhluk hidup dilaut, ekosistem lingkungan, hingga mengancam kesehatan manusia dan berbagai dampak buruk lainnya. Selain itu kurangnya kesadaran serta kreatifitas dalam pengolahan sampah laut menjadi salah satu alasan dalam penulisan literatur ini.

Tulisan ini merupakan telaah tentang potensi sampah laut yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif dalam bentuk briket. Penulisan artikel ini menggunakan metode kajian dari berbagai literatur melalui analisis berdasarkan sumber data sekunder seperti kajian artikel jurnal nasional dan internasional, prosiding, laporan penelitian yang di fokuskan pada pemanfaatan sampah laut. Parameter yang diukur dalam artikel ini adalah kualitas briket antara lain nilai kalor (heating value) dan nilai proksimat yang meliputi kandungan air (inherent moisture), zat terbang (volatile matter), kadar abu (ash content) dan juga karbon terikat (fixed carbon). Hasil penulisan ini adalah jenis sampah laut dengan berbagai variasi jenis bahan (biomassa dan berbagai jenis sampah plastik seperti LDPE dan HDPE) dapat dimanfaatkan menjadi energi alternatif briket sesuai dengan standart mutu briket. Sehingga dapat mengurangi jumlah sampah di laut maupun di pesisir serta dapat menjadi energi terbarukan dalam menangani permasalahan sampah di laut.

Kata Kunci : Briket, Sampah Laut, HDPE, LDPE, Biomassa

I. PENDAHULUAN

Semakin meluasnya pertumbuhan penduduk, semakin meningkat pula berbagai aktifitas masyarakat yang menyebabkan semakin bertambahnya jumlah sampah yang dihasilkan setiap harinya. Adanya peninngkatan jumlah sampah dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai mata pencaharian, namun tidak sedikit pula sampah menjadi masalah bagi manusia itu sendiri terutama permasalahan lingkungan dan juga masalah kesehatan.

Sehingga diperlukan solusi mengenai pengelolaan yang baik terhadap sampah tersebut, terutama untuk sampah di daerah pemukiman atas laut atau di daerah pesisir yang begitu kurang mendapatkan perhatian lebih.

Pencemaran Pesisir dan laut terjadi melalui berbagai sampah sisa-sisa aktifitas manusia yang ada dipermukaan laut, dalam laut dan juga pantai (selain yang masuk dari alam). Sampah dibawa mengikuti arus yang mengalir menuju ke laut, disebut sebagai sampah laut. Sampah laut atau yang biasa disebut sebagai marine litter atau marine debris berupa

(2)

material solid non-alami yang dibuang atau di tinggalkan oleh manusia baik secara sengaja atau tidak sengaja ke laut, begitu pula material yang dibuang melalui sungai, saluran pembuangan rumah tangga hingga bahan dari industri [4].

Sulisa et al. (2018:4) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dalam aspek teknik operasional penanganan sampah di Pulau Penyengat terdapat 3 tahap yang dilakukan, antara lain pewadahan, pengumpulan dan pemindahan tanpa adanya proses pengangkutan dan pengelolahan atau pembuangan sampah. Proses pewadahan sampah dilakukan tanpa adanya pemilahan karakteristik atau jenis sampah, sehingga terkadang petugas sampah pengumpulkan sampah tersebut kedalam satu wadah dan dalam keadaan masih basah ketika proses pemindahan. Lalu proses pemindahan sampah dilakukan menggunakan jasa pick up yang kemudian dibawa menuju Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) melalui akses laut (boat) berjumlah dua buah. Sampai pada TPS, tidak terdapat proses pemilahan lagi terhadap sampah tersebut, sehingga sampah tercampur dalam satu lahan tersebut.

Adapun berdasarkan inisiatif warga, akhirnya cara pengolahan sampah adalah dengan cara di bakar.

Masyarakat pemukiman atas laut

atau daerah pesisir mengatakan bahwa mereka tidak pernah mendapatkan penyuluhan terkait masalah sampah dari pemerintah membuat masyarakat akhirnya melakukan inisiatif sendiri tanpa melakukan pemilahan dalam mengelola sampah sehingga sampah tersebut langsung di buang ke laut. Sebenarnya sampah memiliki keuntungan yakni efisiensi sampah yang dirubah menjadi sesuatu baru yang bermanfaat [1].

Berdasarkan hasil analsisis dari data angket yang dilakukan oleh Rosnawati, dari rata-rata volume sampah sebesar 1,9 kg per hari, diketahui sebesar 90,47%

responden tidak menyediakan tempat penampungan sampah di rumah, dan hanya 9,53% yang menyediakan tempat penampungan sampah di dalam rumah.

Lalu dari segi pemanfaatan, sebanyak 2,38% saja masyarakat yang dapat memanfaatkan sampah kering/plastik namun 97,62% responden tidak dapat memanfaatkan sampah tersebut. Begitu pula pemilahan sampah, hanya 9,53%

responden melakukan pemilahan sampah sedangkan 90,47% responden tidak melakukan pemilahan sampah. Sehingga disimpulkan bahwa pengelolaan sampah oleh masyarakat pemukiman atas laut masih tergolong rendah [11].

Meningkatnya volume sampah yang dihasilkan memicu kerusakan alam

(3)

terutama ekosistem laut dan juga mengganggu kenyamanan masyarakat di pemukiman atas laut. Untuk itu diperlukan solusi yang lebih baik selain itu juga memiliki manfaat dan menghasilkan daya guna bagi masyarakat.

II. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam studi artikel review yang dibahas ini adalah menggunakan kajian dari berbagai literatur melalui analisis yang luas dan juga mendalam mengenai permasalahan sampah berdasarkan keadaan di daerah pesisir. Studi ini dikaji berdasarkan sumber data sekunder seperti kajian artikel jurnal nasional dan internasional, prosiding, laporan penelitian yang di fokuskan pada pemanfaatan sampah laut (utamanya jenis plastik) menjadi briket.

Parameter yang diukur dalam artikel ini adalah kualitas briket antara lain nilai kalor (heating value) dan nilai proksimat diantaranya meliputi kandungan air (inherent moisture), zat terbang (volatile matter), kadar abu (ash content) dan juga karbon terikat (fixed carbon).

III. Hasil dan Pembahasan

3.1. Distribusi Sampah di Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut.

Wilayah pesisir berdasarkan arah dibagi menjadi 2 bagian, yaitu wilayah ke arah

darat yang meliputi daerah kering yang arahnya menjauh dari lautan atau daerah yang terendam air namun masih dipengaruhi oleh angin laut, pasang surut air laut, merembesnya air asin dan berbagai sifat laut lainnya. Sedangkan wilayah ke arah laut dipengaruhi oleh aktifitas manusia dan kegiatan yang ada di darat seperti penggundulan hutan atau pencemaran dan juga proses alami akibat sedimentasi seta aliran air tawar [13].

Wilayah pesisir merupakan daerah yang sangat rawan apabila mendapatkan permasalahan sampah laut, dikarenakan keindahan dari laut akan berkurang. Selain itu adanya sampah laut selain merugikan masyarakat daerah pesisir, sampah juga mencemari ke dalam laut yang dapat merusak ekosistem bawah laut. Komposisi sampah di tempat wisata dan pemancingan terdiri dari 6 jenis sampah diantaranya yaitu sampah plastik, logam, kaca, olahan kayu, karet, dan jenis-jenis sampah lainnya. Begitu tingginya komposisi sampah di wilayah pesisir dengan jumlah totalnya mencapai 15.931 buah sampah yang mencemari daerah pesisir [7].

Pada prinsipnya, sampah dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu sampah padat, sampah cair dan gas.

Namun sampah laut (dalam Marine Debris Survey Monitoring Of NOAA, 2015) membagi sampah menjadi beberapa

(4)

tipe atau jenis lagi, antara lain plastik, logam atau metal, kaca, karet, kayu, pakaian atau fiber dan sebagainya. Dari beberapa jenis sampah laut yang ditemukan, sampah berbahan plastik merupakan sampah yang paling banyak ditemukan yakni sekitar 1194 buah atau 26,17%. Kemudian sedotan (straw) pada urutan kedua sebanyak 794 buah dan pembungkus makanan 684 buah dipresentasekan menjadi 17,36% dan 14,95% dengan rata-rata sampah yang dihasilkan adalah 39.8, 26.5, dan 22.8 perhari. Disimpulkan bahwa komposisi sampah laut kebanyakan adalah berupa sampah plastik, gelas plastik, sedotan dan pembungkus makanan [8].

3.2. Karakteristik Sampah Sebagai Bahan Briket

a. Low Density Polyethylene (LDPE) Low density polyethylene (LDPE) atau polietilena berdensitas rendah merupakan salah satu jenis thermoplastik yang berbahan dasar minyak bumi, dengan rumus molekul (-CH2-CH2-)n.

LDPE termasuk resin yang paling baik dan memiliki mutu paling tinggi dibanding plastik polyethylene lain karena bersifat kuat, keras dan tidak tidak mudah bereaksi dengan zat kimia atau senyawa lainnya. Nilai kalor LDPE adalah sebesar 11.172 kalori/gram yang mana merupakan nilai paling optimal dalam pembuatan

bahan baku biobriket. Namun memiliki kekurangan pada nilai volatile matternya yang sangat tinggi, yaitu sebesar 99%

membuat thermoplastik ini lebih cepat terbakar habis. Sehingga diperlukan campuran dengan bahan lainnya [3].

LDPE memiliki densitas antara 0,910 – 0,940 g/cm3, dapat bertahan pada temperatur 90˚C namun tidak dalam waktu lama, dalam temperatur kamar tidak reaktif kecuali oleh oksidator kuat dan beberapa pelarut dapat menyebabkan kerusakan. LDPE memiliki titik leleh sebesar 248˚F atau 120˚C, kekuatan tensile 1700 psi dan 0,92 specific gravity [2]. Contoh dari plastik LDPE seperti kantong susu, karung atau tas plastik, pelapis tempat sampah dan kosmetik, deterjen botol dan sebagainya.

b. High Density Polyethylene (HDPE)

HDPE merupakan senyawa polimer berantai lurus dengan tingkat kekerasan yang tinggi dan tidak mudah terdegradrasi oleh cuaca maupun oleh paparan sinar matahari. Jenis sampah plastik ini memiliki sebesar 18-30% dari total volume limbah padat sampah rumah tangga [5]. Dalam hasil penelitian, dapat diketahui dalam prose pembakaran suhu yang digunakan berkisar 300-400˚C dalam reaktor fluidized-bed memperoleh bahan bakar cair sebesar 60% sampai 70%, bahan

(5)

bakar gas sebesar 20% sampai 30% dan residunya termasuk berat yakni sampai 10%. Contoh dari plastik HDPE adalah tas, tutup botol, botol sampo, barang rumah tangga yang terbuat dari plastik tebal, dan sebagainya [6].

c. Polyethylene Terephthalate (PET atau PETE)

Monomer produksi Poly ethylene terephthalate (PET) adalah ethylene teryphthalate yang terdiri dari molekul etilen (-CH2 – CH2-), dua molekul ester (-COO-), dan molekul cincin teryphthalate. Pembakaran PET hanya menghasilkan karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). PET memiliki ketahanan kimia yang baik, sehingga peleburan PET tidak akan mengakibatkan pelepasan gas-gas berbahaya. Sifat PET ditunjukkan pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Sifat PET Koefisien Ekspansi

Termal 7 x 10-3/˚C Suhu Jangka Panjang 115˚C - 170˚C

Titik Lebur 260˚C

Berat Jenis 1,3 - 1,4 Penyerapan Air 0,07% - 0,10%

Contoh plastik jenis PET antara lain botol air minum, plastik pada kemasan minuman, minyak goreng, sambal, dan sejenisnya. PET biasa berwarna bening atau tembus pandang dan hanya digunakan sekali pakai.

3.3. Briket

Briket adalah suatu sumber energi

alternatif, biasa digunakan sebagai bahan bakar yang didapatkan melalui proses konversi limbah padat menjadi hasil kompaksi yang lebih efiisien. Dalam prosesnya, biasa limbah yang digunakan dapat berupa limbah organik, limbah rumah tangga, limbah pabrik dan sebagainya yang dicampurkan dan dihaluskan kemudian ditempa menjadi bentuk padatan. Briket digunakan sebagai pengganti minyak dan gas. Menurut jenisnya, briket dibagi menjadi dua yaitu briket non karbonosasi dan briket karbonisasi. Briket dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan kategori bahan baku yang digunakan, briket dapat dibagi menjadi briket batu bara, briket biobatubara (biocoal) dan briket biomassa [2].

a. Analisis Kualitas Briket

Standart kualitas briket sebagai bahan bakar alternatif dikarenakan disandingkan dengan batubara, maka analisanya merujuk pada kualitas batubara. Beberapa analisis nilai kalor (heating value) dan nilai proksimat diantaranya meliputi kandungan air (inherent moisture), zat terbang (volatile matter), kadar abu (ash content) dan juga karbon terikat (fixed carbon).

Nilai Kalor

Nilai kalor menunjukkan jumlah panas yang dilepaskan ke lingkungan saat

(6)

briket terbakar. Penghitungan kalori memengaruhi pembakaran briket dengan membuat makanan matang lebih cepat dan memasak atau membakar lebih pendek.

Semakin tinggi nilai kalornya, semakin tinggi kualitas bahan pemanggang dan semakin sedikit material yang dibutuhkan selama proses pemanggangan.

Perhitungan nilai dapat dilakukan dengan menggunakan metode ASTM-2015 dan ASTM D-5885-03 menggunakan pompa kalorimeter.

Kandungan Air (inherent moisture Kelembaban (moisture) dalam batubara adalah sebagai inhenrent moisture (kelembaban intrinsik), surface atau free moisture, air terikat di mineral matter dan dekomposisi moisture.

Inhenrent moisture adalah kelembapan yang menempel pada pori-pori bahan.

Surface atau free moisture berarti tidak ada air di atas material. Air terikat di mineral adalah air yang berasosiasi dengan batubara / briket. Dan dekomposisi moisture adalah air yang terjadi saat lingkungan batubara / briket membusuk atau mengalami dekomposisi pada senyawa-senyawanya.

Secara umum kadar air yang diuji pada sampel briket merupakan Inherent Moisture (IM). Metode pengujian MI lainnya adalah ASTM D-3173. Ini menarik sampel briket dalam oven pada

suhu 105°C selama 1 jam. Kadar air yang tinggi mengurangi nilai kalori briket dan meningkatkan energi yang menyulitkan dalam membuat api yang dibutuhkan untuk proses pembakaran, serta menghasilkan asap.

Zat Terbang (volatile matter)

Zat terbang (volatile matter) adalah senyawa yang dihasilkan dengan pembakaran pada suhu tertentu di bawah kondisi dengan sedikit oksigen (mudah menguap). Perubahan terminologi karena proses dekomposisi hidrokarbon biasanya dengan gas yang sangat mudah terbakar seperti hidrokarbon rantai pendek, metana dan etana, lalu senyawa lain seperti H2O, karbon oksida, hidrogen, hidrogen sulfida, tar, sulfur oksida, nitrogen, hidrogen sulfida dan senyawa gas lainnya.

Tingginya kandungan volatile pada briket menyebabkan briket lebih mudah menyala dan api dapat membentuk api yang panjang dengan waktu nyala yang cukup lama, sayangnya dapat briket akan cepat habis dan mengeluarkan banyak asap.

Kadar Abu (ash content)

Abu merupakan zat atau bahan sisa dari pembakaran yang berasal dari bahan- bahan mineral bercampur dengan unsur lain seperti tanah atau pasir. Unsur lain tersebut tercampur ketika proses pembakaran berlangsung. Mineral sisa ini

(7)

akhirnya akan menjadi pengotor serta memunculkan kerak (scale) dan juga dapat menyebabkan korosi pada peralatan yang digunakan. Sehingga, semakin sedikit abu yang dithasilkan maka semakin baik kualitas briketnya.

Karbon Terikat (fired carbon)

Karbon terikat (fixed carbon) adalah unsur karbon solid yang terikat pada bahan sebagai unsur sisa. Pada briket karbonisasi, kandungan fixed carbon lebih tinggi daripada briket nonkarbonisasi.

Karena dalam proses proses pembakaran pada briket karbonisasi merupakan pembakaran tak sempurna, sehingga senyawa-senyawa karbon pada bahan akan membentuk unsur karbon dan meningkatkan kadar fixed carbon pada bahan.

b. Pengolahan Briket

Pada prinsipnya, pembuatan briket arang adalah memadatkan bahan atau material ydang diubah menjadi bentuk tertentu. Briket dibuat dengan cara pirolisis, dipanaskan pada suhu tertentu kemudian dicetak dengan alat cetak khusus dengan rangka kokoh yang terbuat dari besi dengan ukuran tertentu. Hasil dari briket yang sudah jadi akan dilakukan pengujian nilai kalor dan nilai proksimat yang terdiri dari kandungan air, kadar abu, volatile matter dan fixed carbon [10].

tabel dibawah ini :

Tabel 2. Syarat Mutu Briket Arang No. Parameter Satuan Kisaran

1. Caloric Value cal/kg Min. 5000 2. Moisture % Maks. 8 3. Ash Content % Maks. 8 4. Volatile

Matter % Maks. 15

5. Fixed Carbon % Min. 77

(Sumber: Standart Nasional Indonesia no. SNI 01-6235-200)

Pengolahan sampah menjadi briket dapat dilakukan dengan mudah. Sampah sampah tersebut di keringkan terlebih dahulu, kemudian dicacah dalam ukuran kecil-kecil terlebih dahulu supaya cepat ketika proses pengeringan [12]. Dalam percobaan yang dilakukan oleh Mangalla, dkk. [9], bahan yang sebelumnya dikarbonasi (pengarangan) yang dilakukan dengan menggunakan oksigen terbatas.

Tujuan dari proses karbonasi adalah untuk membebaskan zat-zat volatile, meningkatkan kandungan karbon dan mengurangi kadar air. Perlu diketahui bahwa proses karbonasi tidak melebihi 300˚C supaya briket tidak terlalu rapuh dikarenakan rantai selulosa yang pecah.

Kemudian diberi bahan perekat (berupa kanji) sebanyak 10 10% dari berat adonan briket dengan campuran air panas hingga menjadi seperti lem supaya materialnya

(8)

pembakaran. Pembriketan dilakukan menggunakan rangka besi berbentuk silindris berukuran 5cm x 2cm. Setelah briket kering, dilanjutkan dengan proses penekanan. Hasil cetakan tersebut dikeringkan dalam oven selama 24 jam dengan suhu 60˚C atau bisa juga dengan sinar matahari secara langsung selama 3 hari. Hal ini bertujuan untuk menurunkan kadar air sehingga briket dapat menyala dan tidak berasap [12].

Gambar 1. Skema Proses Pembriketan c. Data Hasil Pengujian Briket

Berikut komposisi bahan dalam pembuatan briket dari berbagai sumber yang berbeda (Tabel 3):

Jenis Bahan

Suhu Waktu Ref

Biomassa < 140 ˚C 20 menit [9]

Tutup Botol

450 ˚C 60 menit [10]

Kemasan

makanan 280 ˚C 60 menit [10]

HDPE 300 ˚C 2 jam [12]

Biomassa +

LDPE 400 ˚C - [2]

Sifat briket yang dihasilkan dari jenis biomassa yang paling efektif dan efisien adalah dengan komposisi perekat

20%. Dalam variasi perekat 10%

menyebabkan briket rapuh dan rusak sedangkan pada variasi perekat 30% briket yang dihasilkan sangat kuat namun tidak memberikan hasil pembakaran terbaik.

Briket biomassa dengan perekat 20%

memenuhi parameter proksimat: kadar air sebesar 5,56%, kadar abu 8,09%, volatile matter 15,13%, fix carbon 71,22% dan nilai kalor 4989,71 kal/gr.

Selanjutnya untuk jenis tutup botol dan kemasan makanan memenuhi parameter proximat briket plastik yaitu kadar air tutup botol sebesar 2% kemasan makanan ringan 6,5%, kadar abu tutup botol 6,9% dan kemasanan makanan 7,2%. Lalu untuk campuran keduanya (Tabel 4) adalah sebagai berikut:

Analisis Proksimat

Campuran Tutup Botol dan Kemasan

Makanan 1:9 5:5 9:1 Kadar Air (%) 6 5,5 5,5 Kadar Abu (%) 5,7 7,1 4,9 Volatile Matter (%) 14,7 10,9 13 Fixed Carbon (%) 73,7 80,5 76,6 Nilai Kalor (kal/gr) 8565,9

Kemudian untuk jenis bahan HDPE dalam pembuatan briket memenuhi parameter antara lain kadar air yang mengalami penurunan dari 13,99%

menjadi 13,88%, kadar abu juga mengalami penurunan dari 25% menjadi 23%, nilai karbon bertambah dari 4703,27 kal/gr menjadi 5009,16 kal/g yang secara

(9)

keseluruhan telah memenuhi standart mutu briket. Terakhir, untuk jenis biomassa dengan tambahan plastik LDPE memenuhi parameter kadar air sebesar 4,30%, kadar abu sebesar 3,95%, volatile matter sebesar 26,78%, fixed carbon sebesar 64,97% dan nilai kalornya sebesar 7508 kal/gr.

IV. Kesimpulan

Artikel ini berisi tentang berbagai jenis sampah laut dengan berbagai variasi jenis bahan (biomassa dan berbagai jenis sampah plastik seperti LDPE dan HDPE) yang dapat dimanfaatkan menjadi energi alternatif briket sesuai dengan standart mutu briket berdasarkan analisis nilai kalor dan nilai proksimat. Selain itu dikarenakan kurangnya sumber mengenai kreatifitas dalam pengolahan sampah laut. Dengan adanya pengolahan sampah menjadi briket dapat mengurangi jumlah sampah di laut maupun di pesisir, dapat menjadi energi terbarukan dengan proses pembuatan yang cukup mudah, biaya ekonimis serta dapat menjadi sumber pendapatan untuk masyarakat daerah pesisir.

V. Referensi

[1] Alfiandra. 2009. Kajian partisipasi masyarakat yang melakukan pengelolaan persampahan 3R di Kelurahan Ngaliyan, Kalipancur Kota Semarang. Tesis : Universitas

Diponegoro.

[2] Asip, F., T. anggun dan N. Fitri.

2014. Pembuatan Briket Dari Campuran Limbah Plastik LDPE, Tempurung Kelapa Dan Cangkang Sawit. Jurnal Teknik Kimia. 2 (20):

46-48.

[3] Faizal, M. A. D. Rifky dan I.

Sanjaya. 2018. Pembuatan Briket drai Campuran Limbah Plastik LSPE dan Kulit Buah Kapuk Sebagai Energi Lternatif. Jurnal Teknik Kimia. 1 (24): 9.

[4] Galgani, F., D. Fleet, J.V. Franeker, S. Katsanevakis, T. Maes, J. Mouat, L. Oosterbaan, I. Poitou, G. Hanke, R. Thompson, E. Amato, A. Birkun, dan C. Janssen. 2010. Marine Strategy Framework Directive – Task Group 10 Report Marine Litter. European Commission Joint Research Centre. Ispra. Available on JRC Publications Repository - Marine Strategy Framework Directive - Task Group 10 Report Marine Litter (europa.eu)

[5] Herliati, S. B. Prasetyo dan Y.

Verinaldy. 2019. Potensi Limbah Plastik dan Biomassa Sebagai Sumber Energi Terbarukan Dengan Proses Pirolisis. Jurnal Teknologi.

Vol. 6. Edisi 2. Hlm. 87-88.

[6] Hiremath, P. M., D. Shanmukha, N.

Rai dan Prathima. 2014. Utilization Of Waste Plastic In Manufacturing Of Plastic-Soil Bricks. International Journal Of Technology Enhancements And Emerging Engineering Research. 4 (2) : 102.

[7] Kusumawati, I., M. Setyowati dan I.

Y. Salena. 2018. Identifikasi Komposisi Sampah Laut Di Pesisir Aceh Barat. Jurnal Perikanan Tropis. 5 (1) : 66.

[8] Kusumawati, I., M. A. Nasution dan Alamsyah. 2019. Distribusi Dan Komposisi Sampah Laut Pesisir Di Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten

(10)

1 (1) : 43.

[9] Mangalla, L. K., J. Delly dan Saprianto. 2017. Karakteristik Mekanik Dan Thermal Dari Briket Sampah Kota. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin. 8 (2) : 6-7.

[10] Ningsih, E. dan K. Udyani. 2020.

Potential Of Plastic Waste For Making Brickets: The Effect Of Composition On Progcsimate Analysis. Konversi. 9 (2) : 99.

[11] Rosnawati, W.O., Bahtiar dan H.

Ahmad. 2017. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Masyarakat Pemukiman Atas Laut DI Kecamatan Kota Ternate. Jurnal Techno. 6 (2) : 52.

[12] Septhiani, S. dan E. Septiani. 2015.

Peningkatan Mutu Briket dari Sampah Organik dengan Penambahan Minyak Jelantah dan Plastik High Density Polyethylene (HDPE). Jurnal Kimia Valensi:

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Ilmu Kimia. 1 (2) : 93.

[13] Slamet, B. 2007. Studi Kualitas Lingkungan Perairan Di Daerah Budidaya Perikanan Laut Di Teluk Kaping Dan Pegametan Bali. Riset Perikanan Laut. Gondol. Bali.

Referensi

Dokumen terkait

Limbah hasil industri pengolahan rumput merupakan sumber biomassa yang potensial untuk dikembangkan menjadi alternatif sumber energi terbarukan di Indonesia. Tujuan dari

Briket dari sampah plastik dibuat dengan menggunakan alat teknologi briket sampah plastik yang mana prinsip kerja alat ini adalah dengan pemanasan pada suhu yang

Sebagian penduduk di Kecamatan Pengasih telah melakukan pembuatan briket dari tempurung kelapa yang merupakan sampah rumahtangga menjadi produk yang lebih

Briket yang dikenal oleh masyarakat adalah briket yang dibuat dari bahan batubara fosil yang sifatnya tidak dapat diperbaharui, kemudian briket alternative lain

Briket dari sampah plastik dibuat dengan menggunakan alat teknologi briket sampah plastik yang mana prinsip kerja alat ini adalah dengan pemanasan pada suhu yang

Penelitian yang telah dilakukan oleh Encep (2016) “Analisis Karakteristik Elektrik Air laut Sebagai Sumber Energi Listrik Terbarukan” menggunakan variasi

Rancang bangun alat cetak briket mempertimbangkan alat sederhana, mudah pembuatan, mudah perawatan, dan mudah dibawa menjadi dasar desain alat cetak briket untuk

Pengolahan limbah pertanian dan peternakan menjadi biogas yang dapat dikonversi jadi energi listrik sebagai alternatif energi