HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN TATA USAHA NEGARA ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA NOMOR
29/G/PILKADA/2015/PT.TUN.JKT
Disusun Oleh:
Kelompok 6 Kelas H
I Gusti Agung Ayu Andira Praminyanti Dinar (2104551446)
I Gusti Bagus Ega Adikara (2104551451)
Ni Komang Noviola Putri Arta Rahayu (2104551465) Kadek Ananda Damarwulan Suwiradana Putra (2104551468) Carolyn Vaniakana Sindinawa Sowolino (2104551474) Chevitavechia Maria Elizabeth (2104551479)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersikap membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik dan kami akan terbuka terhadap saran dan masukan dari semua pihak, akhir kata kami mengucapkan terima kasih.
Denpasar, 12 Desember 2023
Kelompok 6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI...1
BAB I PENDAHULUAN... 2
1.1 Latar Belakang (Noviola_1465)... 2
1.2 Rumusan Masalah (Andira_1446 & Noviola_1465)... 4
1.3 Tujuan Penulisan (Andira_1446 & Noviola_1465)... 4
1.4 Metode Penelitian (Andira_1446 & Noviola_1465)...5
BAB II PEMBAHASAN... 6
2.1 Duduk Perkara Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 29/G/PILKADA/2015/PT.TUN.JKT (Chevita_1479)... 6
2.2 Hasil Analisis Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 29/G/PILKADA/2015/PT.TUN.JKT (Ananda_1468 & Carolyn_1474)... 7
BAB III PENUTUP...14
1.3 Kesimpulan (Ega_1451)... 14
3.2 Saran (Ega_1451)...15
DAFTAR PUSTAKA... ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (Noviola_1465)
Sebagai konsekuensi logis wujud welfare state yang diterapkan Indonesia, maka lembaga negara patut menjalankan amanah mensejahterakan rakyat. Lembaga negara dalam Teori Montesquieu dipisahkan dalam 3 (tiga) model kekuasaan yang terdiri atas kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga kekuasaan ini tentunya dijalankan oleh suatu pemegang cabang kekuasaan untuk menggerakkan roda pemerintahan. Kekuasaan eksekutif dan legislatif secara relatif harus melalui suatu mekanisme, agar individu yang akan masuk di lembaga tersebut merupakan wakil dari suara mayoritas. Mekanisme yang dimaksud akrab disebut dengan Pemilihan Umum (atau selanjutnya disingkat dengan pemilu).
Pemilu merupakan bagian kontestasi politik yang menjadi salah satu wujud dari adanya demokrasi prosedural. Meskipun pemilu tidak boleh dipersamakan dengan demokrasi, tetapi pemilu menjadi gambaran nyata demokratisasi itu sendiri.
Melalui pelaksanaan pemilu, hak-hak politik warga negara dapat disalurkan secara langsung. Terlebih Indonesia mengenal adanya pemahaman bahwa kedaulatan negara berada ditangan rakyat. Bersesuaian dengan paham tersebut, Indonesia dengan sistem pemerintahan presidensial, secara konstitusional melaksanakan pemilihan presiden dan wakil presidennya (sebagai pemegang kekuasaan eksekutif) dengan metode pemilu. Sistem pemilihan tidak berhenti pada tataran nasional saja. Praktek pemilihan nyatanya merambah ke politik lokal yang memanifestasikan demokrasi dalam bentuk pendesentralisasian.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia merupakan amanah langsung dari gerakan reformasi tahun 1998. Menimbang perlunya partisipasi yang kuat dari masyarakat untuk ikut terlibat langsung dalam pemilihan pemimpinnya, maka pemilihan kepala daerah menjadi momentum demokrasi yang paling penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sebagai wujud implementasi demokrasi, pilkada dimaksudkan tidak saja untuk memenuhi hasrat mengganti mekanisme lama pemilihan pemimpin dan wakil rakyat gaya otoriterisme, tetapi juga
secara filosofis ingin menggapai pelaksanaan nilai-nilai demokrasi yang berkelanjutan, yaitu mengembangkan partisipasi dan responsivitas serta akuntabilitas secara menyeluruh
Pada masa Orde Baru praktis implementasi otoriterisme lebih dominan untuk memilih kepala daerah di wilayah propinsi maupun kabupaten/kota madya. Pola-pola top down dan patrimonial begitu mendominasi politik Indonesia, sehingga sangat wajar tuntutan reformasi yang paling esensial adalah mengganti praktek-praktek otoriterisme dengan mekanisme yang lebih demokratis, yaitu mekanisme pilkada. Hal ini sesuai dengan UUD 1945, Pasal 18 ayat (4) yang menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Pada perjalanannya mekanisme pilkada mengalami perubahan dari pemilihan tidak langsung menjadi pemilihan langsung. Dinamika ini dilatar belakangi oleh berbagai alasan seperti ‘perselingkuhan’ wakil rakyat (DPRD) dengan calon Bupati/
Walikota/ Gubernur yang berimbas kepada korupsi politik dan akuntabilitas yang buram karena persekongkolan elit politik meniadakan transparansi tetapi justru menyemarakkan politik uang.1Hal ini dimungkinkan karena DPRD lah yang memilih kepala daerah. Alasan tersebut menjadi puncak ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pilkada tidak langsung. Dengan begitu terjadi perubahan dari UU No. 22/1999 digantikan dengan UU No. 32/2004 yang mengatur pilkada secara langsung.
Ketentuan mengenai dipilih secara demokratis adalah langkah manifestasi daulat rakyat yang kemudian dikonkritkan dalam pengaturan mengenai Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disebut dengan pilkada) langsung. Pilkada langsung ini dimaksudkan sebagai sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi di dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.2 Dalam pelaksanaan pilkada langsung, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan suatu sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik
2Winda Sari,Problematika Kewenangan Penyelesaian Sengketa PILKADA: Antara Kepastian Hukum dan Inkonsistensi, dalam Jurnal Konstitusi & Demokrasi, Vol 3(1), 2023, hlm. 86
1Suyatno,Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia, dalam Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review, Vol 1(2), 2016, hlm. 213
di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU Nomor 5 Tahun 1986).
Berdasarkan ketentuan tersebut, seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara, maka untuk penyelesaiannya dapat ditempuh dengan mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara agar keputusan yang dianggap merugikan tersebut dibatalkan atau dinyatakan tidak sah.3 Sebagaimana yang terjadi dalam kasus Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Pusat Nomor 29/G/PILKADA/2015/PT.TUN.JKT. Para pihak dalam putusan ini adalah pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur peserta pemilihan Gubernur dan Wakill Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015 sebagai penggugat melawan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia sebagai tergugat.
1.2 Rumusan Masalah (Andira_1446 & Noviola_1465)
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana duduk perkara dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 29/G/PILKADA/2015/PT.TUN.JKT ?
2. Bagaimana hasil analisis terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 29/G/PILKADA/2015/PT.TUN.JKT ?
1.3 Tujuan Penulisan (Andira_1446 & Noviola_1465)
Adapun tujuan berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan adalah:
3Herma Yanti,Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu dan Penyelesaiannya Oleh Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Jurnal Legalitas: Jurnal Hukum Unbari, Vol 6(1), 2014, hlm. 77
1. Untuk mengetahui bagaimanakah duduk perkara dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 29/G/PILKADA/2015/PT.TUN.JKT
2. Untuk mengetahui bagaimanakah hasil analisis terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 29/G/PILKADA/2015/PT.TUN.JKT
1.4 Metode Penelitian (Andira_1446 & Noviola_1465)
Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini berfokus kepada penerapan dan pengaturan hukum acara dan praktek peradilan tata usaha negara di Indonesia dilihat berdasarkan perspektif peraturan perundang-undangan.
Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), serta pendekatan analisis (analytical approach). Di dalam penulisan ini menggunakan beberapa sumber bahan hukum, yang terdiri dari Sumber bahan hukum primer, yaitu aturan tertulis yang telah ditetapkan sebagai peraturan perundang-undangan. Sumber bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang membahas atau menjelaskan sumber bahan hukum primer yang berupa buku teks, jurnal hukum, majalah hukum, pendapat para pakar serta berbagai macam referensi yang berkaitan dengan tata usaha negara. Sumber hukum tersier, yaitu bahan bahan penunjang yang menjelaskan dan memberikan informasi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus-kamus hukum, media internet, buku petunjuk atau buku pegangan, ensiklopedia serta buku mengenai istilah istilah yang sering dipergunakan mengenai permasalahan tata usaha negara. Teknik penelusuran bahan hukum menggunakan teknik studi dokumen serta analisis bahan hukum dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Duduk Perkara Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor
29/G/PILKADA/2015/PT.TUN.JKT (Chevita_1479)
Dalam perkara ini, PENGGUGAT, yaitu calon pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015, melawan TERGUGAT, yaitu Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). Objek yang disengketakan merupakan Keputusan KPU Nomor 196/Kpts/KPU/Tahun 2015 Tanggal 18 November 2015 tentang Pembatalan DR. H. Ujang Iskandar, ST, M.SI Dan H.
Jawawi, SP,. S.Hut., M.P. Sebagai Pasangan Calon Gubernur Dan Wakil Gubernur Peserta Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015. Keputusan tersebut diterbitkan TERGUGAT pada tanggal 18 November 2015 dan diterima/diketahui PENGGUGAT pada tanggal 20 November 2015. Maka dengan itu, PENGGUGAT mengajukan permohonan Penyelesaian Sengketa kepada Bawaslu Provinsi Kalimantan Tengah, akan tetapi ditolak karena Bawaslu merasa hal tersebut bukanlah kewenangan Bawaslu dikarenakan keputusan tersebut dikeluarkan oleh KPU RI. Selanjutnya PENGGUGAT mendaftarkan objek sengketa di Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 24 November 2015.
Perlu diketahui bahwa PENGGUGAT telah mengikuti tahapan-tahapan Pilkada selanjutnya hingga terus berlanjut sampai tahapan kampanye dan telah membentuk tim pemenangan, membuat alat peraga kampanye sebagaimana yang diatur menurut peraturan perundang-undangan, mengundurkan diri dari jabatannya masing-masing, melakukan sosialisasi dan kampanye berkeliling ke seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, serta mempersiapkan saksi-saksi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Namun kemudian, hanya tinggal sekitar 21 (dua puluh satu) hari menjelang pemungutan suara, TERGUGAT membatalkan pencalonan PENGGUGAT melalui Keputusan a quo yang didasarkan atas Putusan DKPP RI Nomor : 56/DKPP-PKE-IV/2015 dan 81/DKPP-PKE-IV/2015 tanggal 13 November 2015 yang dipandang oleh PENGGUGAT telah melanggar beberapa peraturan
perundang-undangan yang ada. Akan tetapi, TERGUGAT menjelaskan bahwa objek sengketa tersebut merupakan tindak lanjut dari putusan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), sehingga wajib untuk dilaksanakan putusannya. Amar putusan DKPP sesuai dengan kewenangannya sehingga merupakan kewajiban TERGUGAT untuk mengoreksi keputusan KPU Provinsi Kalimantan Tengah yang menetapkan PENGGUGAT memenuhi syarat sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Tengah Tahun 2015 atas dasar bahwa KPU Provinsi Kalimantan Tengah mengabaikan fakta hukum yang ada, surat dukungan oleh partai politik asal PENGGUGAT yang secara nyata diakui ketua umum dan sekretaris partai politik tersebut menyatakan dibawah sumpah bahwa surat dukungan tersebut tidak pernah ditandatangani. Maka dari itu, PENGGUGAT merasa bahwa hak konstitusionalnya (hak menjadi kandidat/right to be candidate) telah dicabut secara sewenang-wenang oleh tergugat dan telah merasa dirugikan dalam aspek finansial.
2.2 Hasil Analisis Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor
29/G/PILKADA/2015/PT.TUN.JKT (Ananda_1468 & Carolyn_1474)
Dari duduk perkara tersebut, maka dapat disimpulkan dengan analisis yang didasari pada poin-poin sebagai berikut, yaitu:
a. Pihak yang Terlibat
Dalam perkara ini, pihak yang terlibat adalah:
PENGGUGAT
1. DR. H. UJANG ISKANDAR, ST., M.SI 2. H. JAWAWI, SP., S.HUT., MP.
Melawan:
TERGUGAT
1. Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI)
b. Objek Sengketa
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 196/Kpts/KPU/Tahun 2015 Tanggal 18 November 2015 tentang Pembatalan DR. H. Ujang Iskandar, ST, M.SI Dan H. Jawawi, SP,. S.Hut., M.P. Sebagai Pasangan Calon Gubernur Dan Wakil Gubernur Peserta Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015. Keputusan tersebut juga bersifat konkrit, individual, dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009);
1. Konkrit: Objek sengketa tidak abstrak, tetapi berwujud dan nyata-nyata secara tegas menyebutkan pembatalan PENGGUGAT menjadi pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015.
2. Individual: Objek sengketa tersebut tidak ditujukan kepada umum, tetapi berwujud dan nyata-nyata secara tegas menyebut nama PENGGUGAT sebagaimana ditulis.
3. Final: Keputusan tidak tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi tertentu lagi baik bersifat horizontal maupun vertikal.
c. Tenggang Waktu & Kewenangan Pengadilan Tinggi TUN
Objek sengketa diterbitkan TERGUGAT pada tanggal 18 November 2023 dan diterima PENGGUGAT pada tanggal 20 November 2015. Awalnya PENGGUGAT mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke Bawaslu Provinsi Kalimantan Tengah, tetapi ditolak karena dirasakan bukan kewenangan Bawaslu. Hal tersebut dikarenakan objek sengketa diterbitkan oleh KPU RI. Maka dari itu, PENGGUGAT mengajukan gugatan atas perihal tersebut dan didaftarkan pada 24 November 2015. Sesuai dengan Pasal 154 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2015, pengajuan gugatan tersebut masih dalam tenggang waktu 3 (tiga) hari
setelah dikeluarkannya Surat Bawaslu Provinsi Kalimantan tersebut tertanggal 22 November 2015.
Pengadilan Tinggi TUN berwenang untuk mengadili sengketa tersebut berdasarkan Pasal 154 UU No. 1 Tahun 2015 dan telah memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 9 dan angka 12 UU No. 51 Tahun 2009 untuk menjadi objek sengketa, yaitu:
1. Keputusan a quoadalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisikan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final, sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 9)
2. TERGUGAT adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 12)
d. Alat Bukti
Dalam melakukan analisis ini, kami mengambil beberapa alat bukti yang relevan dengan amar putusan yang telah dikeluarkan oleh Majelis Hakim dalam putusana quo, yaitu:
1. Bukti P-1/T-13: Surat Keputusan KPU RI Nomor 196/Kpts/KPU/Tahun 2015
2. Bukti P-4: Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 30/Kpts/KPU-Prov-020/2015 Tentang Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sebagai Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Tengah Tahun 2015.
3. Bukti P-5/T-1: Putusan DKPP Nomor 56/DKPP-PKE-IV/2015 dan Putusan DKPP Nomor 81/DKPP-PKE-IV/2015
4. Bukti T-5: Keputusan DPP PPP No. 416/KPT/DPP/VI1/2015 tertanggal 7 Juli 2015 tentang Persetujuan Pengajuan DR. Ujang Iskandar, ST., MSI sebagai Calon Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Periode 2015-2020
5. Bukti T-7: Form B-1 KWK Partai Politik PPP yang tidak sah secara hukum.
6. Saksi Ahli Penggugat: Bambang Eka Cahaya Widodo, SIP 7. Saksi Ahli Penggugat: Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H.
8. Saksi Fakta Tergugat: H. Djan Faritz
e. Amar Putusan
Maka dalam sengketa ini, Majelis Hakim mengeluarkan amar putusan sebagai berikut:
1. Dalam Penundaan
- Mempertahankan Penetapan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor : 29/G/PILKADA/2015/PT.TUN.JKT tanggal 2 Desember 2015 Tentang Penundaan Pelaksanaan Surat keputusan Objek Sengketa.
2. Dalam Pokok Perkara
- Mengabulkan gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya;
- Menyatakan batal Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (TERGUGAT) Nomor 196/Kpts/KPU/Tahun 2015 Tanggal 18 November 2015 tentang Pembatalan DR. H.
Ujang Iskandar, ST, M.Si dan H. Jawawi, SP,. S.Hut., M.P. Sebagai Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Peserta Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015;
- Mewajibkan TERGUGAT untuk mencabut Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 196/Kpts/KPU/Tahun 2015 Tanggal 18 November 2015 tentang Pembatalan DR. H.Ujang Iskandar, ST, M.Si dan H. Jawawi, SP,.
S.Hut., M.P. Sebagai Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015;
- Menghukum TERGUGAT membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp.166.000,- ( Seratus Enam Puluh Enam Ribu Rupiah).
Maka dari poin-poin yang telah kami jabarkan, dapat diambil analisis mengenai penyelesaian sengketa TUN dalam Pilkada tersebut. Dengan melihat pihak yang terlibat dan objek sengketa yang dipermasalahkan, dapat ditemukan bahwa memang benar hal ini merupakan sengketa TUN. Selain itu, berdasarkan alat-alat bukti yang ada, dapat disimpulkan bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh TERGUGAT merupakan putusan yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b UU Nomor 9 Tahun 2004, yaitu:
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Selain asas kepastian hukum, terdapat beberapa asas-asas umum pemerintahan yang baik lain yang dilanggar, di antara lain:
a. Asas keadilan dan kewajaran;
b. Asas kebijaksanaan;
c. Asas kemanfaatan;
d. Asas perlindungan terhadap pihak yang beritikad baik; dan e. Asas kedaulatan rakyat.
TERGUGAT sebagai bagian dari pemerintahan tidak mempertimbangkan tugas utamanya, yaitu perlindungan hak konstitusional semua pihak, termasuk hak untuk menjadi kandidat (right to be candidate) maupun hak untuk memilih (right to vote). TERGUGAT juga tidak mempertimbangkan dampak dari keputusan TERGUGATa quoberkaitan dengan keberlangsungan demokrasi karena keputusan TERGUGAT a quo mengakomodir praktek menghalangi hak seseorang menjadi kandidat (right to be candidate). Maka dari itu, surat keputusan objek sengketa harus dibatalkan.
Berkaitan dengan bukti P-4, yaitu Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 30/Kpts/KPU-Prov-020/2015, harus dipandang bahwa penetapan pasangan PENGGUGAT sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Tengah Tahun 2015 masih berlaku karena yang mencabut adalah TERGUGAT, dimana TERGUGAT mengambil alih mengambil alih pelaksanaan tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan mengeluarkan Keputusan KPU Nomor : 193/Kpts/KPU/Tahun 2015 Tentang Pengambilalihan Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemilihan Umum Provinsi Kalimantan Tengah yang berakhir dengan penerbitan Surat Keputusan Objek Sengketa. Sementara itu, KPU Provinsi Kalimantan Tengah sebelumnya telah menerbitkan Surat Keputusan KPU Kalimantan Tengah Nomor : 30/Kpts/KPU-Prov-020/2015, tanggal 24 Agustus 2015 Tentang Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sebagai Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Tengah Tahun 2015 (Bukti P-4) yang pada kenyataannya juga tidak pernah mengeluarkan produk hukum berupa Keputusan KPU Provinsi Kalimantan Tengah sebagai tindak lanjut dari Putusan DKPP RI. Selain itu, harus dipahami bahwa DKPP tidak mempunyai tugas dan
wewenang untuk menggugurkan calon Pilkada. Hal tersebut diatur dalam Pasal 155-Pasal 166 UU No. 7 Tahun 2017. Pada intinya, tugas DKPP berfokus pada subjek penyelenggara Pemilu. Maka dari itu, seharusnya bukan menindaklanjuti putusan yang dikeluarkan DKPP, melainkan dikoreksi, sehingga tidak membatalkan pencalonan PENGGUGAT. Selain itu, dikatakan juga oleh TERGUGAT bahwa surat keputusan objek sengketa dikeluarkan karena merupakan tindak lanjut dari dikeluarkannya bukti P-5 (Putusan DKPP Nomor 56/DKPP-PKE-IV/2015 dan Putusan DKPP Nomor 81/DKPP-PKE-IV/2015). Akan tetapi, tidak ditulis secara tegas dalam putusan DKPP tersebut mengenai KPU membatalkan PENGGUGAT dalam kepesertaan dalam pilkada berkaitan. Selanjutnya juga setelah diterbitkannya putusan DKPP RI, PENGGUGAT tidak diverifikasi kembali oleh TERGUGAT dan TERGUGAT langsung mengeluarkan keputusan a quo yang membatalkan pencalonan PENGGUGAT.
Pendapat yang berbeda (dissenting opinion) yang diberikan oleh Saksi Ahli Penggugat (Bambang Eka Cahaya Widodo, SIP dan Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H.) pada pokoknya menyatakan bahwa seharusnya sanksi yang diberikan kepada PENGGUGAT atas “ketidak absahan” pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, adalah pemberhentian tetap yang tidak dikaitkan dengan perubahan status pasangan calon. Oleh karena itu, dari segala analisis yang ditemukan dapat dipercaya bahwa PENGGUGAT memang berhak memenangi sengketa ini.
BAB III PENUTUP 1.3 Kesimpulan (Ega_1451)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung bermaksud memberikan wadah bagi rakyat untuk turut berpartisipasi di dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Namun, dalam realita pelaksanaannya masih ada kemungkinan timbul suatu sengketa Tata Usaha Negara. Salah satu sengketa yang terjadi terdapat pada Putusan Nomor : 29/G/PILKADA/2015/PT.TUN.JKT. Yang menjadi Penggugat dalam putusan ini adalah pasangan calon Gubernur dan Wakill Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015 melawan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia sebagai Tergugat. Objek sengketa dari putusan ini yaitu Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 196/Kpts/KPU/Tahun 2015 tentang Pembatalan DR. H.Ujang Iskandar, ST, M.SI Dan H. Jawawi, SP,. S.Hut., M.P.
Sebagai Pasangan Calon Gubernur Dan Wakil Gubernur Peserta Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015 yang dikeluarkan Tergugat pada tanggal 18 November 2015 dan diterima Penggugat pada tanggal 20 November 2015. Penggugat sebagai pemohon telah mengajukan Permohonan Penyelesaian Sengketa ke Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Kalimantan Tengah. Selanjutnya Surat Keputusan yang dikeluarkan tergugat sudah jelas bersifat konkret, individual dan final sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka (9) dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dengan dasar bersifat konkret karena yang disebutkan dalam surat keputusan Tergugat tersebut tidak abstrak, bersifat individual karena tidak ditujukan kepada umum, bersifat final karena tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi tertentu lagi baik bersifat horizontal maupun vertikal, dan berakibat hukum, yaitu Penggugat nyatanya harus mengalami terjadinya pembatalan pencalonan Penggugat dalam Pilkada sehingga terjadi hilangnya hak konstitusionalnya serta konsekuensi biaya yang ditanggung pada saat pendaftaran, sosialisasi, dan kampanye. Dari analisis yang kami temukan, dapat disimpulkan bahwa KPU RI disini salah mengambil langkah dalam menindaklanjuti putusan DKPP yang berakibat fatal terhadap keberlangsungan
demokrasi, maupun hak konstitusional individu. Terdapat beberapa kesalahan yang dilakukan oleh KPU RI dalam mengeluarkan surat keputusan objek sengketa a quo, seperti bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik serta pembatalan secara sepihak dan melaksanakan tugasnya secara sewenang-wenang berdasarkan penjabaran yang telah kami berikan dalam analisis kasus kami.
3.2 Saran (Ega_1451)
Dari segala pertimbangan yang ada dan analisis yang kita lakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa TERGUGAT memang terbukti melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Seharusnya, pihak pemerintahan (dalam hal ini TERGUGAT) mengingat kembali asas-asas umum pemerintahan yang baik serta menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Pemerintahan sebaiknya melakukan analisis terhadap putusan yang dibuat sebelum dilakukan/diterbitkan, guna mencegah dampak-dampak fatal yang dapat merugikan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Jurnal
Suyatno. 2016. “Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia”. Dalam Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review. Volume 1 (2).
Universitas Negeri Semarang.
Sari, Winda. 2023. “Problematika Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pilkada: Antara Kepastian Hukum Dan Inkonsistensi”. Dalam Jurnal Konstitusi & Demokrasi. Volume 3(1). Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Yanti, Herma. 2014. “Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu Dan Penyelesaiannya Oleh Peradilan Tata Usaha Negara”. Dalam Jurnal Legalitas: Jurnal Hukum. Volume 6 (1). Universitas Batanghari.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Putusan
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 196/Kpts/KPU/Tahun 2015