• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Singkat Terkait Pasal Krusial Dalam UU Narkotika

N/A
N/A
Tahan Ldr

Academic year: 2023

Membagikan "Analisis Singkat Terkait Pasal Krusial Dalam UU Narkotika"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Singkat Terkait Pasal Krusial Dalam UU Narkotika

Pemerintah dan DPR mesti memberi penegasan dalam membedakan antara pengedar atau bandar dengan penyalah guna. Selain itu, penegak hukum diminta lebih mengedepankan rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika ketimbang penjatuhan pidana. Semakin

tingginya peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia menjadi alasan berbagai pihak mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merampungkan Revisi Undang Undang (RUU) No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Revisi tersebut diperlukan karena payung hukum yang berlaku saat ini belum mampu menekan peredaran barang “haram” tersebut.

Menurut saya,salah satu poin yang perlu direvisi yakni Pasal 112 UU Narkotik.

Pemerintah dan DPR perlu menjelaskan lebih rinci dalam pasal tersebut. Sebab, pasal tersebut tidak membedakan antara penyalah guna dengan pengedar atau bandar narkotika.

Faktanya, penegak hukum seringkali menggunakan pasal tersebut untuk menjerat penyalah guna narkotika. Padahal, menurut saya, seharusnya pasal tersebut hanya berlaku bagi pengedar atau bandar narkotika. Sebab, Pasal 112 UU Narkotika memuat frasa “memiliki, menyimpan, menguasai” narkotika. Karenanya, penyalah guna narkotika lebih tepat dijerat dengan Pasal 127 UU Narkotika. “Keberadaan unsur ‘memiliki, menyimpan, menguasai’

penyalah guna akan mudah dijerat pidana penjara. Sebab, secara otomatis penyalah guna pasti memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika. Meski unsur delik itu tidak memuat unsur mens area yaitu tujuan atau maksud jahat dari kepemilikan narkotika tersebut.

Selengkapnya, Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika menyebutkan setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar. Sedangkan, Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika menyebutkan setiap orang penyalah guna narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Kemudian, pengguna narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun. Terakhir, pengguna narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun. Kemudian, Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika menyebutkan jika penyalah guna narkoba terbukti hanya menjadi korban, maka

(2)

individu terkait wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sesuai isi dari undang-undang tersebut. Bila membandingkan pasal-pasal tersebut, seharusnya terdapat perlakuan berbeda antara pengedar dan penyalah guna narkotika. Sayangnya, penegak hukum lebih banyak menjerat Pasal 112 terhadap penyalah guna karena lebih mudah pembuktiannya.

Kondisi tersebut berakibat penyalah guna narkotika tidak memiliki kesempatan memulihkan ketergantungannya. Dengan tidak pulihnya ketergantungan tersebut, berpotensi penyalah guna menggunakan/memakai narkotika kembali di dalam penjara. Akibatnya, praktik jual beli narkotika semakin subur, bahkan di dalam penjara sekalipun. Selain itu, UU Narkotika lebih mengedepankan penjatuhan sanksi pidana penjara yang menimbulkan permasalahan lain yaitu daya tampung penjara yang saat ini sudah melebihi kapasitas (over kapasitas).

Penjara yang penuh menyebabkan terganggunya kondisi kesehatan bagi warga binaan dan petugas penjara. Selain itu, sesaknya penjara juga berpotensi tingginya konflik di dalam penjara.

Perlu diketahui sebelumnya bahwa sesungguhnya peredaran narkotika di Indonesia ini pada dasarnya dilarang terutama bagi golongan I. Namun apabila ditinjau dari aspek yuridis berdasarkan Undang-undang ini adalah sah keberadaannya apabila diadakan dan digunakan untuk tujuan kepentingan medis dan ilmu pengetahuan, seperti yang tertuang dalam Pasal 7 Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu: Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disamping itu pemerintah juga memiliki tanggung jawab dalam penyediaan narkotika bagi kebutuhan nasional dan juga pemerintah harus menyusun rencana kebutuhan tahunan narkotika, yang hal tersebut dituangkan dalam Pasal 9 Undang–undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu:

1) Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2) Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun rencana kebutuhan tahunan Narkotika.

3) Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan Narkotika secara nasional.

(3)

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.

Yang jelas dalam pasal ini dalam pasal 112 epistimologi yang mengarahkan hal ambigu yang seakan-akan pasal ini pasal kaeret yang bisa membuat hal-hal yang tidak di inginkan terjadi.

Referensi

Dokumen terkait

Multicultural Global Mother’s Class 2017 Going beyond the boundaries of nations and culture, working together to raise happy children Agency for Cultural Affairs Japanese

Bertujuan menjamin untuk pelayanan kesehatan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk melindungi, mencegah, dan menyelamatkan Warga negara Indonesia dari