I
Karya Ilmiah Hukum Perdata
Analisis Tanah Sengeketa di Pulau Rempang melalui Hukum Pertanahan Sebelum dan Pasca Berlakunya UUPA
Dosen Pengampu:
Albert Tanjung S.H., M.Kn.
Disusun Oleh:
Qeisya Keyla NPM: 233300516159 Aliya Rizki Barokah NPM: 233300516134
UNIVERSITAS NASIONAL
Jl. Sawo Manila No. 61, RT.14/RW.7. Pejaten Barat., Ps. Munggu Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Jakarta 1250
I
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah mata kuliah "Hukum Perdata.”
Selawat serta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad saw. yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur'an dan sunah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan satu di antara tugas mata kuliah Bahasa Indonesia fakultas hukum Unviersitas Nasional.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Albert Tanjung S.H., M.Kn. selaku dosen pembimbing dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan karya ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini maka itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi
kesempurnaan karya ilmiah ini.
Jakarta, 27 Mei 2024
Daftar Isi
Karya Ilmiah Hukum Perdata ... 1
Kata Pengantar ... 2
Daftar Isi ... 3
ABSTRAK ... 4
ABSTRACT ... 5
BAB I ... 7
PENDAHULUAN ... 7
1.1 Latar Belakang ... 7
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian... 9
BAB II ... 10
PEMBAHASAN ... 10
1.5 Tinjauan Pustaka ... 10
1.6 Analisa ... 15
BAB III ... 16
PENUTUP ... 16
1,7 Kesimpulan ... 16
1.7 Saran ... 17
DAFTAR PUSTAKA ... 18
ABSTRAK
Kasus penggusuran paksa di Rempang dengan luas kurang-lebuh 16.583 km2 adalah pulau di wilayah pemerintahan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan rangkaian pulau besar kedua yang dihubungan oleh enam buah jembatan Barelang.
Sampai saat ini kasusnya terus bergulir, belum ada penyelesaian yang memuaskan pihak- pihak yang terlibat sengketa. Kabar terakhir, pemerintahan memberikan waktu hingga tanggal 28 September 2023 kepada penduduk di 16 titik Kampung Tua yang berada di Pulau
Rempang, Batam untuk mengosongkan lahan mereka. Rencananya, di Pulau Rempang akan dibangun Kawasan industry, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Proyek ini bahkan masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintahan pusat. Proyek ini
digarap PT Makmur Elok Graha yang kepemilikannya dikaitkan dengan pengusaha Tommy Winata, konglomerat pemilik Grup Artha Graha.
Dengan adanya Rempang Eco Ciry, ditargetkan bisa menarik investasi hingga 381 triliun rupiah pada tahun 2080. Namun, rencana tersebut mendapat penolakan warga sehingga terjadi bentrokan, bahkan anak sekolah yang masih melakukan aktivitas belajar mengajar terpaksa dihentikan. Bentorkan terjadi antara warga Pulau Rempang dengan tim gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, Direktorat Pengamanan BP Batam dan Satpol PP.
Proyek Rempang Eco City yang salah satunya untuk pariwisata, sangat tepat kalau
melibatkan partisipasi masyarakat pemilik tanah Kampung Tua secara langsung dalam proyek pengembangan wilayah tersebut, bukan dengan cara merelokasi. Posisi mereka berbeda dengan masyarakat Pulau Rempang yang melakukan pendudukan atas berkas Perkebunan HGU, yang memang perlu pendekatan khusus.
Memahami duduk perkara kasus Rempang hari ini bisa dilakukan dengan menelusuri dari awal sejarahnya.
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Batam. Kententuan Pasal 6 Ayat 2 Huruf a Keppres tersebut menyatakan, seluruh areal yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan status hak pengelolaan (HPL) kepada Otorita Batam.
Kepulauan Batam merupakan lokasi yang strategis. Keppres Nomor 41 Tahun 1973 merupakan keputusan untuk mencegah lokasi tanah yang potensial untuk investasi sampai dimiliki investor swasta.
Akibat hukum dari keppres tersebut, hak-hak perseorangan di areal yang ditetapkan menjadi terbatas. Areal yang ditetapkan oleh keppres tersebut harus jelas letak batas-batasnya dan terbebas dari penguasaan, pemanfaatan, atau pemilikan tanah masyarakat. Dan sesuai dengan isi keppres tersebut, keppres ini harus ditindaklanjuti dengan kegiatan pendaftaran tanahnya.
Apabila terdapat hak kepunyaan atau kepemilikan tanah adat di areal tersebut, sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tanah adat yang sudah dikuasai secara individu akan dikonversi menjadi “ha katas tanah hak milik”, sementara hak milik tidak mungkin ada pada areal hak pengelolaan.
Kata kunci: UUPA; hak pengelolaan
ABSTRACT
The case of forced eviction in Rempang, with an area of approximately 16,583 square kilometers, is an island in the government area of Batam City, Riau Islands Province, which is the second major island chain connected by six Barelang bridges.
Until now, the case has not been resolved to the satisfaction of the parties involved in the dispute. The latest news is that the government has given residents of 16 old villages on Rempang Island, Batam, until September 28, 2023 to vacate their land. The plan is to build an industrial, service and tourism area on Rempang Island called Rempang Eco City. This
project is even included in the National Strategic Project (PSN) of the central government.
The project is being developed by PT Makmur Elok Graha, whose ownership is linked to businessman Tommy Winata, the conglomerate owner of the Artha Graha Group.
Rempang Eco Ciry is targeted to attract investment of up to 381 trillion rupiah by 2080.
However, the plan was rejected by residents, resulting in clashes, even school children who were still conducting teaching and learning activities were forced to stop. The clash occurred between the residents of Rempang Island and a joint team consisting of the TNI, Police, BP Batam Security Directorate and Satpol PP.
The Rempang Eco City project, one of which is for tourism, is very appropriate if it involves the participation of the Kampung Tua landowners directly in the area development project, not by relocating them. Their position is different from the people of Rempang Island who are occupying the HGU Plantation file, which requires a special approach.
Understanding the current Rempang case can be done by tracing its history.
Presidential Decree (Keppres) No. 41 of 1973 granted management rights to the Batam Authority. Article 6 Paragraph 2 Letter a of the Decree states that all areas located in Batam Island are handed over with the status of management rights (HPL) to the Batam Authority.
Batam Island is a strategic location. Presidential Decree No. 41 of 1973 was a decision to prevent potential land locations for investment from being owned by private investors.
As a legal consequence of the decree, individual rights in the designated area were limited.
Areas designated by the presidential decree must have clear boundaries and be free from the control, utilization, or ownership of community land. And in accordance with the contents of the decree, this decree must be followed up with land registration activities.
If there are customary land ownership or tenure rights in the area, in accordance with the provisions in the Basic Agrarian Law (UUPA), customary land that has been controlled individually will be converted into "ha katas tanah hak milik", while hak milik cannot exist in the management rights area.
Key words: UUPA; management rights
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Diketahui penduduk Pulau Rempang diketahui sudah mendiami tempat tersebut selama raturan tahun. Dapat dilihat dari sejarahnya, dikutip dari Kitab Tuhfat An-Nafis1dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang adalah keturunan dari prajurit-prajurit atau Lasykar
Kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami pulau-palau tersebut sejak tahun 1720 M. Di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.
Selama Perang Riau I (1782 – 1784) melawan Belanda, mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah2. Kemudian, dalam Perang Riau II, juga melawan Belanda (1784 – 1787) mereka menjadi prajurit yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Ketika kemudian Sultan Mahmud Riayat Syah hijrah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik – Lingga pada tahun 1787, pulau Rempang dijadikan basis pertahanan terbesar dari Kesultanan Riau Lingga.
Kuatnya basis pertahanan di Pulau Rempang, Galang dan Bulang, sehingga pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga. Anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami pulau Rempang secara turun menurun.
Tidak hanya perihal sejarah bagaimana masyarakat Pulau Rempang menetap di tanah mereka selama ratusan tahun. Melainkan ada pula sejarah bagaiaman konflik lahan Rempang Eco City dapat terjadi.
Jika merunut ke balakang, konflik lahan di Pulau Rempang sudah terjadi sejak puluhan tahun silan. Kawasan ini sejatinya sudah dihuni masyarakat local dan pendatang jauh
sebelum terbentuknya BP Batam. Namun, masyarakat yang tinggal di pulau tersebut selamma ini tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan. Ini karena sebagian besar lahan di pulau tersebut awalnya merupakan kawasan hutan di bawah Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
BP Batam sendiri baru terbentuk pada Oktober 1971 yang diinisisasi BJ Habibie dengan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973. Kala itu, Habibie
1 Karya Raja Ali (terbit perdana tahun 1890)
2 Salah satu pahlawan nasional (1725- 1784) Raja Haji Fisabilillah - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
mencetuskan konsep Barelang (Batam Rempang Galang). Yang dimana ketiga pulau besar itu saling terhubung untuk menggeliatkan ekonomi, terlebih Kepulauan Riau Nantinya
memisahkan diri dari Provinsi Riau. Ketiga pulau ini letaknya sangat strategis karena berada di Selat Malaka.
Pada awalnya, Barelang digadang-gadangkan bisa menyaingi Singapura sebagai pusat perdagangan dan industri, meski dalam perkembangannya Kawasan ini justru malah menjadi pendukung dan pelengkap penggerak ekonomi Singapura.
Agar pengelolaannya bisa lebih professional, pemerintah pusat memutuskan membenttuk Otorita Batam yang terpisah dengan pemerintahan daerah, kini berubah menjadi BP Batam.
Badan inilah yang kemudian mengelola Kawasan Batam dan pulau sekitarnya, termasuk Pulau Rempang. Dibandingkan Pulau Batam yang ekonominya tumbuh pesat, perkembangan Rempang dan Gallang memang lebih lambat. Namun, kedua pulau ini mulau menggeliat terutama sejak dibangunnya Jembatan Barelang pada 1998.
Konflik lahan di Pulau Rempang mulai terjadi pada tahun 2001. Kala itu pemerintahan pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada Perusahaan swasta.
HPL itu kemudian berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha.
Praktis masalah status kepemilikan lahan masyarakat yang sudah terlanjur menempati Kawasan tersebut semakin pelik. Sementara masyarakat nelayan yang puluhan tahun menempati Pulau Rempang sulit mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan.
Konflik lahan memang belum muncul kala itu hingga beberapa tahun kemudian, karena perushaan menerima HPL belum masuk untuk mengelola bagian Pulau Rempang. Konflik mulai muncul saat pemerintah pusat, BP Batam, dan Perusahaan pemegang HPL Pt Makmur Elok Graha mulai menggarap proyek bernama Rempang Eco City, proyek yang digadang- gadang bisa menarik investasi besar ke Kawasan ini.
Mengutip Antara, mantan Menko Polhukam Moh. Mahfud MD menegaskan kasus di Rempang 3itu bukan penggusuran, tetapi pengosongan lahan. Karena ha katas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002. Namun, pada tahun 2004 hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain. Moh. Mahfud MD juga
3 Begini penjelasan Mahfud MD soal status tanah di Pulau Rempang Batam - ANTARA News Kepulauan Riau - Berita Kepulauan Riau Terkini
melanjutkan situasi menjadi rumit Ketika investor mulai masuk ke Pulau Remoang pada 2022.
Oleh karena itu, kekeliruan tersebut pun diluruskan sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh Perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menegaskan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).
Hadi menjelaskan, lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektar ini merupakan Kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektar merupakan HPL dari BP Batam. Hadi juga mengatakan, sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat. Namun yang terjadi adalah ketiadaan bukti kepemilikan warga terhadap sertifikat tidak seharusnya menjadi legitimasi relokasi atau menjadi dasar untuk mengusir mereka.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana perbedaan mekanisme peralihan hak atas tanah melalui perjanjian-perjanjian baik sebelum dan sesudah diberlakukannya UUPA?
1.3 Tujuan Penelitian
Memahami perbandingan sebelum dan pasca adanya UUPA dalam kasus sengketa tanah Pulau Rempang.
1.4 Manfaat Penelitian
Mengulik kembali legalitas tanah adat dalam hukum pertanahan sebelum dan pasca adanya UUPA.
BAB II
PEMBAHASAN 1.5 Tinjauan Pustaka
1.5.1 Hukum Agratia Sebelum Berlakunya UUPA
Hukum tanah yang Dualistik dan Pluralistik sebagaimana halnya dalam hukum perdata yang bersumber pada KUH Perdata, hukum agrarian lama mempunyai sifat dualistis sebagai akibat politik hukum dari pemerintah kolonial Belanda dahulu.
Hukum Tanah yang Dualistik dan Pluralistik adalah konsep yang menggambarkan sifat kompleks dan dinamis dari hukum agraria di Indonesia. Dalam konteks ini,
"dualistik" merujuk pada adanya dua sumber hukum yang berbeda, yaitu hukum adat dan hukum Barat, yang mempengaruhi pengaturan dan penerapan hukum agraria. "Pluralistik"
mengacu pada adanya beragam budaya, suku, dan bahasa di Indonesia yang
mempengaruhi perkembangan hukum agraria dan berbagai hukum adat yang berkembang di setiap daerah.4
Dalam hukum agraria Indonesia, sifat dualistik dan pluralistik tercermin dalam beberapa aspek. Pertama, hukum agraria Indonesia memiliki sumber hukum yang berasal dari hukum adat dan hukum Barat. Hukum adat, yang telah ada sebelum kolonialisme, mempengaruhi cara masyarakat Indonesia mengelola tanah dan sumber daya alam.
Sementara itu, hukum Barat, yang diperkenalkan oleh penjajah Belanda, juga mempengaruhi struktur dan isi hukum agraria Indonesia. Kedua sumber hukum ini memiliki prinsip dan cara yang berbeda, namun keduanya mempengaruhi hukum agraria Indonesia.5
Kedua, hukum agraria Indonesia juga memiliki sifat pluralistik karena adanya beragam budaya, suku, dan bahasa di Indonesia. Masing-masing daerah memiliki hukum adat yang berbeda, yang mempengaruhi cara masyarakat setempat mengelola tanah dan sumber daya alam. Oleh karena itu, hukum agraria Indonesia harus dapat mengakomodasi
4 https://www.hukumonline.com/berita/a/konsep-pluralisme-dalam-hukum-pertanahan-lt64738292be5b2/
5 http://spada.unprimdn.ac.id/course/view.php?id=5277
keberagaman ini dengan cara mengintegrasikan hukum adat dengan hukum Barat, serta memperhatikan kepentingan masyarakat setempat.
Dalam praktiknya, sifat dualistik dan pluralistik hukum agraria Indonesia dapat dilihat dalam beberapa contoh. Misalnya, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang
diterbitkan pada tahun 1960 mengakomodasi keberagaman hukum adat dan hukum Barat dalam pengaturan hukum agraria. UUPA juga memperhatikan kepentingan masyarakat setempat dengan cara memberikan hak-hak yang lebih luas kepada masyarakat dalam mengelola tanah dan sumber daya alam.6
Dalam sintesis, hukum tanah yang dualistik dan pluralistik di Indonesia menggambarkan kompleksitas dan dinamika hukum agraria yang dipengaruhi oleh beragam sumber hukum dan budaya. Untuk mengembangkan hukum agraria yang lebih efektif dan berkeadilan, penting untuk memahami dan mengintegrasikan sifat dualistik dan pluralistik ini dalam pengaturan hukum agraria.
Dalam kasus dari tanah sengketa Pulau Rempang, itu termasuk pada Hukuk Agraria Adat yang dimana sumberpada hukum adata sifatnya tidak tertulis. Jiwanya gotong royong dan kekeluargaan sesuai dengan sifat hukum adat. Meskipun hukum agrarian adata
tersebut pokok-pokok dan asas-asasnya sama, tetapi menunjukkan juga adanya perbedaan- perbedaan berdasarkan daerah atau masyarakat tempat berlakunya hukum agrarian adat itu. Oleh sebab itu, Nampak bahwa hukum agrarian adat itu isinya beraneka ragam sehingga disebut pluralistis. Kelemahannya di samping formulasinya tidak tertulis, mempunyai kelemahan tidak tegas juga tidak memberikan jaminan kepastian hukum.
Berlakunya asas “tanah itu mempunyai status hukum tersendiri yang terlepas dan tidak dipengaruhi oleh status atau hukum dari subyek yang menghendaki.” Membuat tanah adat tetap tunduk pada hukum agraria adat.
Asas hukum agraria antar golongan seperti yang di atas, bukan merupakan kententuan hukum tertulis, tetapi diperkuat atau dipertegas dalam berbagai putusan pengadilan.
Bertitik tolak dari pemungutan kepentingan masyarakat (komonalitas) yang berakibat senantiasa mempertimbangkan antara kepentingan umum dan kepentingan perorangan.
Dalam hukum tanah adat, hak ulayat yang merupakan Persekutuan hukum atas tanah, hak
6 https://www.academia.edu/32388061/Makalah_Sejarah_Sebelum_Berlakunya_UUPA_docx
persskutuan hukum atas tanah, pusat pengaturan7. Hak perorangan warga masyarakat adat, memperoleh hak milik garapannya, setelah memperoleh izin dari penguasa adat. Apabila warga tersebut terus menggarap bidang tanah secara efektif, maka hubungan hak miliknya menjadi intensif dan dapar turun temurun. Akan tetapi, apabila warga tersebut
menghentikan kegiatan menggarapnya, maka tanah itu kembalikedalam cakupan hak ulayat persekutuan hukumnya dan hak miliknya melebur.
Dualisme dalam hukum agraria mengandung banyak sekali masalah-masalah yang sulit untuk memecahkannya, meskipun hukum agrarian antar golongan akhirnya mampu untuk memgatasinya.
Landasan filsafat yang berlainan antara hukum perdata barat dengan:
Hak-hak atas tanah yang terpenting menurut hukum perdata barat adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kedudukan tanah-tanah sebelum berlakunya UUPA. Perlu diketahui terlebih dahulu macam-macam hak atas tanah zaman kolonial yang dikenal dengan hak-hak barat diatur dalam Burgerlijk Wetboek yang diantaranya Hak Eigendom, Hak Postal, Hak Erfpacht, dan sebagaimanya. 8
1.5.2 Hak Ulayat yang Disempurnakan
Hukum pertanahan pasca adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 mengalami perubahan signifikan. UUPA ini berisi prinsip-prinsip dasar hukum agraria yang berlaku di Indonesia, termasuk pengaturan hak atas tanah dan penguasaan tanah.
Dalam UUPA, hak atas tanah didefinisikan sebagai hak yang diberikan oleh negara kepada seseorang untuk menggunakan tanah, yang dapat berupa hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan. Hak atas tanah ini dijamin oleh negara dan tidak dapat diambil alih secara sewenang-wenang.9
7 ttps://eskripsi.usm.ac.id/files/skripsi/A11A/2011/A.131.11.0050/A.131.11.0050-05-BAB-II- 20190130022436.pdf
8 Diktat Hukum Agraria 2017 Universitas Denpasar
9
https://jdih.mahakamulukab.go.id/common/dokumen/NASKAH%20AKADEMIK%20DAN%20RANPERDA%20TEN TANG%20STANDAR%20HARGA%20TANAH%20DAN%20TANAM%20TUMBUH%20DALAM%20WILAYAH%20KABU PATEN%20MAHAKAM%20ULU.pdf
Pengaturan hak atas tanah dalam UUPA juga memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat. Hak Ulayat, yang didefinisikan sebagai hak dari persekutuan hukum untuk menggunakan dengan bebas tanah-tanah yang masih merupakan hutan, dijamin oleh UUPA. Hak Ulayat ini mempengaruhi cara masyarakat Indonesia mengelola tanah dan sumber daya alam, serta mempengaruhi struktur dan isi hukum agraria Indonesia.10
Dalam praktiknya, UUPA juga mempengaruhi cara pemerintah daerah mengatur hak atas tanah. Misalnya, Rancangan Peraturan Daerah tentang Penetapan Standar Harga Tanah dan Tanam Tumbuh di Kabupaten Mahakam Ulu berisi komitmen pemerintah daerah untuk mewujudkan pemenuhan perlindungan hak atas kepastian hukum terutama di bidang pertanahan.
Namun, UUPA juga menghadapi beberapa tantangan. Misalnya, adanya konflik antara masyarakat hukum adat dengan pengusaha dan penguasa terkait pemberian HGU atau HPH. Penguasa dan pengusaha cenderung menafikan hak masyarakat hukum adat yang secara obyektif memiliki kedudukan masyarakat hukum adat yang lebih kuat. Oleh karena itu, adanya kriteria persyaratan eksistensi hak ulayat dan adanya batasan tentang
kepentingan nasional dan negara sangat penting dalam mengatur hak atas tanah.
Dalam sintesis, UUPA 1960 mempengaruhi cara masyarakat Indonesia mengelola tanah dan sumber daya alam, serta mempengaruhi struktur dan isi hukum agraria Indonesia. UUPA juga memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat dan menghadapi beberapa tantangan dalam implementasinya.
Hak Ulayat sendiri sudah disempurnakan dan digunakan sebagai pelengkap hukum tertulis. Sistem ini mempengaruhi cara masyarakat Indonesia mengelola tanah dan sumber daya alam, serta mempengaruhi struktur isi hukum agrarian Indonesia. Dalam
penggunaannya, norma hukum adat menurut Pasal 5 UUPA juga akan mengalami pemurnian atau saneering dari unsur-unsur yang tidak asli. Dalam pembentukan hukum tanah nasional yang digunakan sebagai bahan utama adalah konsepsi dan asal-asanya. 11
10 https://jurnal.usk.ac.id/kanun/article/download/6287/5178
11
https://jdih.mahakamulukab.go.id/common/dokumen/NASKAH%20AKADEMIK%20DAN%20RANPERDA%20TEN
1.5.3 Peralihan Hak atas Tanah
Peralihan hak atas tanah melalui perjanjian di Indonesia merupakan yang unik, karena dapat melibatkan berbagai peraturan perundang-undangan sekaligus, yakni antara
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pertanahan. Keunikan ini sebenarnya dimulai pada zaman kolonial Belanda ketikan Belanda memberlakukan berbagai ketentuan hukum di wlayah Nusantara melalui penggolongan penduduk 131 IS (Indiche
Staatregeling). Dalam peraturan tersebut, setiap golongan penduduk diberlakukan hukum yang berebda sesuai dengan karakteristik masyarakatnya.
Di bidang pertanahan hal ini semakin kompleks karena Ketika terjadi hubungan hukum maka tidak hanya dilihat subyek hukum yang melakukan hubungan hukum tersebut, melainkan pula jenis ha katas tanahnya. Inilah yang membedakan hubungan hukum keperdataan pada umumnya dengan hubungan hukum keperdataan di bidang pertanahan. Khususnya pada saat tersebut.
Oleh karena itu, jika dalam hubungan hukum tanpa memperdulikan obyeknya makan khusus terkait dengan hubungan hukum yang obyeknya tanah juga harus diperhatikan obyek hukumnya.
Setelah diundangkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960 terjadilah unifikasi hukum, pluralisme pemberlakuan hukum yang berlaku sebelumnya dihilangkan. Diganti dengan ketentuan baru dan mengacu seleuruhnya kepada aturan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Meskipun demikian, persoalan baru kemudian muncul karena ternyata ketentuan dalam undang-undang tidak lengkap.
Misalnya, ketentua mengenai keabsahan dan cara peralihan hak atas tanah yang didasarkan kepada perjanjian tidak memiliki pengaturan yang jelas dan terperinci.
TANG%20STANDAR%20HARGA%20TANAH%20DAN%20TANAM%20TUMBUH%20DALAM%20WILAYAH%20KABU PATEN%20MAHAKAM%20ULU.pdf
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 hanya mengungkapkan bahwa setiap peralihan hak harus dibuktikan dengan akta PPAT yang berarti ketentuan ini hamper mirip dengan konsep lavering dalam BW. Meskipun di satu sisi UUPA sendiri menegaskan bahwa ketentuannya dibentuk berdasarkan hukum adat dan bukan berdasarkan BW.
1.6 Analisa
Dari tinjauan pustaka, penulis dapat menganalisa kasus sengketa tanah di Pulau
Rembang dengan analisis hukum jika sesungguhnya pemberian lahan seluas satu pulau atau sekitar 17.000 hektar untuk satu investor Rempang Eco City juga melanggar UU No 5 Taahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi bahwa penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7), dan dipertegas bahwa pemerintah wajib mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agrarian dari organisasi- organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta (Pasal 13 Ayat 2).
Tetapi yang terjadi justru pemerintah malah memfasilitasi investor swasta tersebut dengan mendidikreditkan penduduk asli Rempang sebagai penduduk liar yang menyerobot lahan negaraa, sehingga boleh saja diusir, atau direlokasi secara paksa. Padahal kebanyakan dari mereka merupakan penduduk setempat secara turun menurun sejak ratusan tahun yang lalu.
Dalam kaitan ini nampaknya pejabat pemerintah terkait seperti Mahfud MD, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia telah gagal merekrontruksi status lahan di Rempang.
Mereka gagal mengkontruksi masalah ini seolah izin investasi kepada perushaan bisa mengelinimasi hak-hak rakyat atas tanahnya. Seba batas dasar apa warga harus diusir dari tanah leluhur yang selama ini telah menghuni kampung halamannya hingga ratusan tahun lamanya.
BAB III
PENUTUP 1,7 Kesimpulan
Apabila terdapat hak kepunyaan atau kepemilikan tanah adat di areal tersebut, sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tanah adat yang sudah dikuasai secara individu akan dikonversi menjadi “ha katas tanah hak milik”, sementara hak milik tidak mungkin ada pada areal hak pengelolaan.
Ketiadaan bukti kepemilikan warga terhadap sertifikat tidak seharusnya menjadi
legitimasi relokasi atau menjadi dasar untuk mengusir mereka. Pasalnya, ada bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa warga sudah tinggal sejak lama dan menguasai tanahnya. Buktinya misalnya bisa dilihat dari catatan kependudukan.
Dalam hal ini penelusuran riwayat tanah melalui sejarah penting yntuk memahami hak kepemilikan tanah itu sendiri. Sejarah dapat menjadi dasar untuk menentukan hak-hak yang akan mereka dapatkan manakala tanah yang digarapnya itu pada akhinya harus diambil pihak lain untuk pentingan proyek PSN.
Pada akhirnya negara hanyalah dijadikan alat yang lebih mengedepankan kepentingan pemilik modal dalam perumusan norma hukumnya. Selaras dengan gerak yang sedemikian, berikutnya agar alat (negara) ini dapat bekerja dengan maksimal, maka dibutuhkanlah hukum yang dapat melegalkan hak menguasai negara terhadap sumber daya alam yang lebih besar dibandingkan dengan hak menguasai rakyat, bahkan jika dimungkinkan menihilkannya sama sekali.
Padahal makna yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yakni bahwa negara diberikan hak menguasai oleh konstitusi untuk memanfaatkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bahwa konsep-konsep kebijakan yang melatarbelakangi ketimpangan struktur penguasaan tanah dan melahirkan sengketa tanah serta sumber daya alam lainnya harus diubah mengarah pada konsep kebijakan yang berorientasi kerakyatan, mengedepankan keadilan, bersifat integratif, berkelanjutan dan lestari dalam pengelolaannya.
Pelajaran yang dapat kita ambil dari kasus Rempang adalah hukum formal yang
ditegakan melalui hukum positif di Indonesia yang dikatakan menjunjung tinggi rule of law, ternyata belum mampu mewujudkan keadilan yang substansial bagi rakyatnya
1.7 Saran
Untuk penduduk asli yang tinggal di 16 Kampung Tua, saat ini mereka tidak atau belum diberikan sertifikat oleh pemerintah, tetapi tidak berarti mereka bukan pemelik lahan yang mereka tempati. Mereka seharusnya, secara otomatis, diberikan hak milik atas lahan yang mereka tempati secara turun-temurun. Seperti Pasal 1 bagian kedua UUPA, dimana
dinyatakan bahwa hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.hukumonline.com/berita/a/konsep-pluralisme-dalam-hukum-pertanahan- lt64738292be5b2/
http://spada.unprimdn.ac.id/course/view.php?id=5277
https://repository.penerbitwidina.com/media/publications/563970-hukum-agraria-dan- pendaftaran-tanah-di-i-a8d14050.pdf
https://www.academia.edu/32388061/Makalah_Sejarah_Sebelum_Berlakunya_UUPA_docx http://repository.uki.ac.id/9123/1/BMPHukumAgraria.pdf
https://jdih.mahakamulukab.go.id/common/dokumen/NASKAH%20AKADEMIK%20DAN%20RAN PERDA%20TENTANG%20STANDAR%20HARGA%20TANAH%20DAN%20TANAM%20TUMB UH%20DALAM%20WILAYAH%20KABUPATEN%20MAHAKAM%20ULU.pdf
https://jurnal.usk.ac.id/kanun/article/download/6287/5178
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/204391/PERBUP%2027%202021.pdf https://www.hukumonline.com/berita/a/konsep-pluralisme-dalam-hukum-pertanahan- lt64738292be5b2/
https://web.okukab.go.id/blog/2021/12/01/plh-bupati-oku-drs-h-edward-candra-m-h-menghadiri- kegiatan-sosialisasi-pencegahan-kasus-pertanahan-di-lingkungan-kantor-pertanahan-kabupaten-ogan- komering-ulu-provinsi-sumatera-selatan-tahun-2021/