• Tidak ada hasil yang ditemukan

analisis terhadap pertanggungjawaban - UMSU REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "analisis terhadap pertanggungjawaban - UMSU REPOSITORY"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Latar Belakang

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu: Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu: Setiap orang yang dengan sengaja membuat atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak mempunyai izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (dua belas) ( lima belas) ) tahun dan denda paling banyak Rp. Satu miliar lima ratus juta Rupiah).

Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian

Keaslian Penelitian

Kerangka Teori dan/atau Konsep

  • Kerangka teori
  • Kerangka Konsep

Penegakan total, yaitu penegakan hukum yang dirumuskan/ditulis oleh hukum pidana substantif atau hukum pidana substantif (kejahatan substantif). Hukum pidana obyektif (Ius Poenale) adalah hukum pidana yang memuat kewajiban atau larangan disertai ancaman hukuman.

Metode Penelitian

  • Spesifikasi penelitian
  • Metode pendekatan
  • Alat pengumpul data
  • Analisis data

Oleh karena itu, yang menjadi bahan analisis dengan pendekatan kualitatif adalah suatu metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.32. Subyek yang dianalisis dengan pendekatan kualitatif adalah suatu metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan.33.

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

Tindak Pidana Peredaran Obat yang tidak Terdaftar di

Pertanggung jawaban Pidana Terhadap Pelaku Penjualan

Oleh karena itu pertanggungjawaban pidana menyangkut proses pengalihan kesalahan yang ada dalam suatu tindak pidana kepada pelakunya. Barang siapa memproduksi atau memasarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan tanpa izin edar sesuai dengan ayat pertama Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 197 mengatur bahwa barangsiapa dengan sengaja memproduksi atau memasarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak mempunyai izin edar sesuai dengan ayat pertama Pasal 106, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun. sampai dengan 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp satu miliar lima ratus juta).

Tanggung jawab pidana dalam tindak pidana peredaran narkoba, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, antara lain mengenal klasifikasi pelakunya. Topik tindak pidana korporasi terdapat pada Pasal 201 Undang-Undang Nomor 36 Tentang Kesehatan Tahun 2009. Penjelasan pasal tersebut adalah sebagai berikut. Pasal 196 menyatakan: Barangsiapa dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat, kegunaan, dan mutu, dipidana dengan pidana penjara.

Pasal 197 menyatakan: Barangsiapa dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak mempunyai izin edar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak satu miliar lima ratus juta dolar. Rp. ). Badan usaha yang melanggar ayat (1) dan (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut dan wajib menariknya dari peredaran.

PENJATUHAN SANKSI PIDANA PELAKU TERHADAP

Kronologis Kasus

  • Keterangan Saksi
  • Keterangan Terdakwa
  • Alat Bukti
  • Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
  • Amar Putusan

Budi No.157 A Medan pada tanggal 6 Juni 2012 bersama 2 petugas BBPOM lainnya di Medan membawa Surat Perintah Komisi saat menjalankan tugas di Apotek GAMMA; Kemudian diketahui obat-obatan yang tidak memiliki izin edar dan tidak memiliki dokumen resmi berhasil disita petugas dan obat-obatan yang disita sebanyak 52 (enam puluh dua) jenis yang merupakan dari 59 (sembilan lima puluh) jenis keras. narkoba ada, 2 (dua) jenis psikotropika dan 1 (satu) jenis narkotika milik terdakwa Bahwa petugas BBPOM di Medan menyita produk obat keras tersebut karena obat tersebut tidak mempunyai izin edar tidak mempunyai dan tidak mempunyai izin edar. mempunyai dokumen yang sah (faktur pembelian dan surat pemesanan obat) mengenai perolehan obat di bar. Obat yang tidak mempunyai izin edar dilarang untuk diedarkan di wilayah Republik, dalam hal ini perbuatan Terdakwa melanggar pasal 197 jo. Obat yang disita dari terdakwa merupakan obat yang tidak mempunyai izin edar dan bersifat tidak resmi/ilegal sehingga tidak terjamin mutu, khasiat dan keamanannya.

Bahwa kepemilikan terdakwa atas 59 (lima puluh sembilan) jenis obat keras tanpa izin edar dan tanpa dokumen pengadaan yang sah, sebagaimana disita petugas kepolisian BBPOM di Medan, melanggar Pasal 197 jo Pasal 106 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia. UU No. 157 A, Medan dan terdakwa tidak pernah dihukum atau terlibat dalam perkara yang berkaitan dengan peredaran sediaan farmasi tanpa izin edar; Bahwa terdakwa menyimpan obat-obatan yang disita petugas BBPOM di Medan karena sebagian besar tidak memiliki izin edar.

Bahwa terdakwa menyediakan obat-obatan tanpa izin edar untuk membantu orang sakit yang mencari obat tersebut di apoteknya. Menyatakan terdakwa DARWIS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak mempunyai izin edar”.

Analisa Kasus

  • Pertimbangan Hukum
  • Fakta Hukum
  • Pendapat Hukum

Karena seluruh unsur Pasal 197 juncto Pasal 106(1) Undang-Undang Republik Indonesia no. 36/2009, harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana. bertindak sesuai dengan dakwaan awal; Bahwa sejak dakwaan pokok telah terbukti, maka tidak perlu lagi mempertimbangkan dakwaan tambahan dan seterusnya; Hakim menyetujui dan dapat menerima tuntutan pidana dari penuntut umum, dalam hal ini hakim akan menyesuaikan lamanya pidana dengan berat ringannya perbuatan terdakwa dalam tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana tersebut merupakan akibat dari perbuatan terdakwa, yang menurut putusan majelis pengadilan, tindak pidana “Peredaran Sediaan Farmasi yang tidak mempunyai izin edar” telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan terbukti secara meyakinkan.

Terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi yang tidak mempunyai izin edar. Hakim dalam putusannya juga mendengarkan dan mempertimbangkan keterangan saksi dan sanksi hukum yang diberikan karena terbukti melanggar tindak pidana sebagaimana mestinya. Sebab korporasi menerapkan doktrin strictliabilty dan vicarious liabilitas sebagai konsekuensi pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan pengurusnya.59.

Asas pertanggungjawaban obyektif dan pertanggungjawaban tidak langsung menentukan perusahaan sebagai subyek tindak pidana yang bertanggung jawab. Dalam hal tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif, cukup hanya kecurigaan atau pengetahuan pelakunya saja, dan itu cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana darinya. Oleh karena itu, tidak berlaku untuk semua kejahatan, tetapi hanya untuk kejahatan tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.

Dalam rancangan KUHP yang baru saat ini, dimasukkan sistem vicarious liabilitas sebagai sebuah keniscayaan, yang menyerap pertimbangan perlindungan sosial terhadap perbuatan bisnis para pedagang.68 Doktrin vicarious liabilitas diatur dalam rancangan KUHP, pasal 38, ayat (2) yang menyatakan: “jika ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.”

Sanksi Hukum yang Berorientasi Pada Dampak yang

Sanksi pidana bagi pemalsuan obat dengan cara memproduksi obat yang tidak sesuai standar. Tindak pidana pemalsuan obat diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa pelaku usaha dilarang produksi dan/atau peredaran obat yang tidak memenuhi standar sesuai peraturan perundang-undangan. Ketentuan terkait produksi obat palsu yang merugikan konsumen diatur dalam Pasal 19 ayat (1), UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang menyatakan bahwa. Unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 19 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, yaitu: .. b) tanggung jawab pemberian ganti rugi.

Pengaturan mengenai tindak pidana pemalsuan obat dengan produksi dan peredaran obat yang tidak memenuhi standar obat tertuang dalam Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan: Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau. alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kegunaan dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp satu miliar rupiah). Obat yang diproduksi atau diedarkan yang tidak mempunyai izin edar atau obat tiruan yang telah mempunyai izin edar adalah obat palsu dan pengaturannya terdapat pada Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan. “Sediaan obat dan/atau alat kesehatan yang tidak mempunyai izin edar berdasarkan Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak satu miliar lima ratus juta rupee. “Pengaturan mengenai tindak pidana pemalsuan obat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan lebih spesifik dan luas dibandingkan dengan KUHP.

Setiap orang yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. Setiap orang yang dengan sengaja membuat atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak mempunyai izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp satu juta. miliar lima ratus. juta rupiah).

Kesimpulan

Hukum pidana merupakan suatu instrumen hukum yang bersifat pamungkas, yaitu sebagai upaya terakhir yang harus digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Terhadap tindak pidana di bidang perlindungan konsumen, hukum pidana juga digunakan untuk menegakkan norma-norma hukum yang dilanggar oleh pelaku tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. Penggunaan hukum pidana tidak lagi sekedar sebagai alat retribusi saja, melainkan juga sebagai alat retribusi. perlindungan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan lain, perbuatan-perbuatan yang anti sosial dan merugikan masyarakat, maka penggunaan hukum pidana dalam penegakan hukum perlindungan konsumen dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk membimbing masyarakat menuju penyelenggaraan hukum yang lebih baik dan terciptanya lingkungan yang kondusif, aman dan nyaman. suasana bagi konsumen. Penggunaan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan konsumen akan menciptakan rasa keadilan dan keamanan hukum bagi konsumen dan masyarakat.

Bagaimana sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana penjualan obat yang tidak terdaftar di Badan Poms dalam Keputusan No. Apa sanksi hukum terhadap pelaku peredaran obat yang tidak terdaftar di Badan POM? Ini adalah prinsip yang terkandung dalam hukum perdata, yang kemudian diserap ke dalam KUHP tentang pertanggungjawaban pidana korporasi. Dimana kemudian putusan hakim tingkat banding pada Divisi Pengadilan Tinggi merupakan yurisprudensi yang berkembang menjadi landasan nilai-nilai hukum tidak hanya pada aspek lingkungan hidup saja, namun juga pada permasalahan-permasalahan lain yang sangat pelik apabila berkaitan dengan lingkungan hidup. perkembangan kehidupan yang berbeda-beda, dan digunakan bahkan dalam hukum pidana.

Jadi tidak perlu diragukan lagi adanya mens rea karena yang menjadi unsur utama dalam strictliabilty adalah actus reus (tindakan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus (tindakan), bukan mens rea (kesalahan).

Saran

Kesadaran akan peran aktif masyarakat perlu ditingkatkan dalam meningkatkan kinerja aparat penegak hukum dalam penegakan hukum terhadap peredaran sediaan farmasi tanpa izin edar berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, karena tindak pidana ini sulit dibuktikan dan Seringkali luput dari pengawasan, oleh karena itu peran masyarakat sangat diperlukan. Amarullah S, “Illegal Fishing”, melalui: http://hadapbahariku.blogspot.com/2013/05/solu si-alternatif-mengatasi-over_12.html, diakses 20 Januari 2014. Bahaya Pesisir, “TNI TNI Angkatan Laut dan Pengorganisasian Keamanan at Sea”, melalui: http://coastal-hazard.blogspot.com/2008/02/tni-al-dan-pengelenggara-security-di.html, diakses 23 Januari 2013.

Edi Sutrisno, “Hukum Pengaturan Illegal Fishing”, melalui: http://lioneledykuliahbrawija yauniversity.blogspot.com/2012/12/ Hukum-peraturan-perikanan-ilegal.html, diakses 15 Mei 2013. Tiger Trawl”, melalui : http: //www.iftfishing.com/fishing-guide/pemu la/pukat-harimau-trawl, diakses 11 November 2013. Soegierie, “Upaya Pemberantasan Beberapa Tindak Pidana di Zona Maritim Indonesia”, via: http: / /lawforjustice.wordpress .com upaya memberantas sejumlah tindak pidana di wilayah perairan laut Indonesia melalui optimalisasi peran TNI Angkatan Laut di bidang penegakan hukum, diakses pada 2 Januari 2014.

Siradel, “Tentara Nasional Indonesia”, melalui: http://siradel.blogspot.com/2011/03/tent ara-nasional-indonesia-angkatan.html, diakses 19 April 2014. Poberson Naibaho, “Kerusakan Karang Ekosistem Perairan Terumbu Karang karena metode penangkapan ikan ilegal”, melalui: http://pobersonaibaho.wordpres.

Referensi

Dokumen terkait

Ketentuan Pasal 46 ayat (2) tersebut memperlihatkan bahwa korporasi dapat dikatakan melakukan tindak pidana ketika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang, baik

Setelah mengetahui bagaimana hubungan hukum tersebut, maka doktrin tanggung jawab pengganti (vicarious liability) dapat dipakai di dalam menetapkan pertanggungjawaban pidana

Penerapan asas strict liability terhadap korporasi tercermin dari bunyi Pasal 116 ayat (1) UUPPLH yang menyatakan bahwa “apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan

57 Nur’azmi,ِ F.ِ R., 2022, Penerapan Teori Direct Corporate Criminal Liability Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Perpajakan

One of them is the scope of employment principle (menurut doktrin vicarious liability dalam hukum pidana, seseorang mungkin dikenakan kewajiban berdasarkan atribusi padanya

Konsekuensi belum diaturnya korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam ketentuan hukum pidana (Buku I KUHP) ini adalah pertama, apabila korporasi melakukan tindak

Sesuai Pasal 443 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, penjatuhan sanksi pidana kepada korporasi dapat dibebankan kepada pengurusnya yaitu pidana penjara dan

Mencermati ketentuan pasal 59 KUHP dimaksud, yang dianggap pelaku tindak pidana dilakukan oleh korporasi adalah mereka sebagai pengurus korporasi, sedangkan korporasi