ANALISIS TIPOLOGI FISIK KAWASAN PESISIR PANTAI BERPASIR: KARAKTERISTIK, POTENSI, DAN
TANTANGAN PENGELOLAAN
MAKALAH PENGELOLAAN ESTUARI DAN PENATAAN RUANG LAUT
MAULANA RIFKY ERAHMAN 2210716310016
RENO APRILIANDI
RIO FALDI TARIHORAN 2210716110003
NUR SANTI AMELIA
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2025
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia_Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
“Makalah Pengelolaan Estuari dan Penataan Ruang Laut” tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para Dosen Pengampu Mata Kuliah Pengelolaan Estuari dan Penataan Ruang Laut Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Lambung Mangkurat.
Dalam penyusunan Makalah ini, penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangannya baik dari segi teknik penulisan maupun isi materinya, oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan saran serta kritik yang bersifat membangun demi perbaikan laporan praktek lapang ini.
Akhir kata, dengan segala keterbatasan yang ada, mudah-mudahan Laporan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, Amin.
Banjarbaru, Desember 2024
Mahasiswa
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Pengertian
Pantai berpasir merupakan salah satu bentuk ekosistem pesisir yang paling umum dijumpai di berbagai belahan dunia. Pembentukan pantai berpasir dipengaruhi oleh interaksi antara proses geologi, oseanografi, dan klimatologi yang kompleks. Karakteristik fisik pantai ini cenderung dinamis karena terus-menerus dipengaruhi oleh aktivitas gelombang, arus laut, dan pasang surut. Menurut Bird (2008), pantai berpasir cenderung memiliki morfologi yang berubah secara musiman dan sangat rentan terhadap gangguan alami maupun antropogenik.
Dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir, pantai berpasir memiliki nilai strategis yang tinggi baik dari aspek ekologis maupun ekonomi. Tipologi fisik pantai seperti kemiringan, komposisi sedimen, dan tingkat stabilitas garis pantai memengaruhi potensi dan kendala dalam pengelolaannya. Komar (1998) menjelaskan bahwa proses-proses seperti sedimentasi dan erosi pantai harus dipahami secara mendalam untuk mendukung perencanaan ruang pesisir yang berkelanjutan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan analisis mendalam terhadap tipologi fisik pantai berpasir sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik fisik pantai berpasir, mengevaluasi potensi pemanfaatannya, dan mengidentifikasi tantangan- tantangan yang dihadapi dalam pengelolaannya. Kajian ini didasarkan pada literatur akademik dan hasil studi terdahulu, seperti yang dilakukan oleh Kusmana (2015), yang menekankan pentingnya pendekatan terpadu dalam pengelolaan wilayah pesisir. Dengan memahami kondisi fisik dan tantangan pengelolaan, diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi terhadap upaya konservasi dan pemanfaatan pantai berpasir secara berkelanjutan.
1.2. Tujuan
1. Mendeskripsikan karakteristik fisik pantai berpasir 2. Mengkaji potensi pemanfaatan kawasan tersebut 3. Mengidentifikasi tantangan pengelolaan yang dihadapi
BAB 2. ISI
2.1. Geomorfologis dan Proses Pembentukannya Pantai Berpasir 2.1.1. Geomorfologi Pantai
Geomorfologi pantai merupakan cabang dari geomorfologi yang mempelajari bentuk dan dinamika wilayah pesisir yang dipengaruhi oleh proses- proses laut dan darat. Pantai berpasir adalah salah satu tipe pantai yang secara dominan tersusun atas sedimen pasir, baik yang berasal dari daratan (fluvial), erosi tebing pantai, maupun hasil aktivitas biogenik (seperti pecahan karang dan cangkang organisme laut).
Geomorfologi pantai berfokus pada bentuk lahan dan proses-proses yang bekerja di wilayah pesisir, terutama interaksi antara laut dan daratan. Pantai berpasir umumnya terbentuk dari hasil sedimentasi material berukuran pasir yang dibawa oleh sungai, erosi tebing pantai, atau aktivitas biogenik (Bird, 2008). Bentuk geomorfik yang terbentuk, seperti spit, bar, dan bukit pasir, sangat tergantung pada dinamika laut seperti gelombang, pasang surut, dan arus sejajar pantai.
Secara morfologis, pantai berpasir dapat dikenali melalui ciri-ciri seperti garis pantai yang landai, substrat yang dominan berpasir, dan adanya formasi geomorfik seperti bukit pasir (dune), spit, bar, serta laguna kecil. Pola pembentukan dan perubahan pantai ini sangat bergantung pada keseimbangan antara gaya-gaya yang bekerja, seperti gelombang, arus, pasang surut, dan angin, serta ketersediaan sedimen.
2.1.2. Proses Pembentukan Pantai Berpasir
Pantai berpasir terbentuk melalui akumulasi sedimen pasir yang dibawa oleh proses-proses alami, khususnya:
a. Transportasi Sedimen oleh Gelombang dan Arus
Gelombang laut merupakan agen utama dalam transportasi sedimen di zona pesisir. Ketika gelombang pecah di dekat pantai, energi gelombang menggerakkan partikel pasir ke arah pantai dalam bentuk arus turbulen (swash). Ketika air kembali ke laut (backwash), sebagian sedimen ikut terbawa kembali. Perbedaan kekuatan antara swash dan backwash ini memengaruhi seberapa besar sedimen yang dapat tertinggal dan membentuk pantai.
Gelombang dan arus pantai memainkan peran penting dalam proses transportasi dan akumulasi sedimen pasir (Komar, 1998). Longshore current mengalir sejajar pantai akibat datangnya gelombang secara miring, menyebabkan sedimen berpindah sepanjang garis pantai dan membentuk fitur seperti tombolo dan spit.
Arus sejajar pantai (longshore current) juga berperan penting dalam mendistribusikan sedimen secara horizontal di sepanjang garis pantai. Arus ini terbentuk akibat gelombang yang datang dengan sudut tertentu terhadap garis pantai. Proses ini menyebabkan terjadinya migrasi sedimen sepanjang pantai dan pembentukan bentuk-bentuk seperti spit dan tombolo.
b. Pasokan Sedimen
Pasokan sedimen ke zona pesisir berasal dari beberapa sumber, antara lain:
Sungai (fluvial): Sungai membawa material sedimen dari hulu ke hilir dan mengendapkannya di muara. Proses ini menjadi salah satu sumber utama pasir pantai, terutama di pantai-pantai yang dekat dengan muara sungai.
(Woodroffe, 2002).
Erosi Tebing Pesisir: Material hasil erosi dari tebing-tebing batuan di sepanjang pantai juga menjadi penyumbang sedimen berpasir.
Aktivitas Biogenik: Fragmen karang, cangkang moluska, dan sisa organisme laut lainnya yang terakumulasi dan mengalami pelapukan juga dapat membentuk pasir, terutama di daerah tropis dan perairan dangkal.
(Davidson-Arnott, 2010).
c. Proses Angin (Aeolian)
Selain proses laut, angin juga berperan dalam membentuk bentuk-bentuk khas pada pantai berpasir seperti bukit pasir (dune). Proses ini terutama terjadi pada pantai yang terbuka dan memiliki pasokan pasir kering yang cukup di atas zona pasang. Angin akan mengangkut pasir-pasir kering ke arah daratan dan membentuk bukit pasir yang stabil oleh vegetasi pantai. (Hesp, 2002).
d. Faktor Iklim dan Geologi
Faktor iklim, seperti curah hujan, intensitas angin, dan frekuensi badai, sangat memengaruhi dinamika pantai berpasir. Di samping itu, kondisi geologi
setempat, seperti jenis batuan di hulu, kemiringan pantai, dan struktur tektonik, juga menentukan jenis dan volume sedimen yang tersedia serta bentuk pantai yang terbentuk. Iklim mempengaruhi arah dan kekuatan angin serta gelombang, sedangkan geologi menentukan jenis sedimen dan morfologi pantai (Masselink &
Hughes, 2003).
2.1.3. Dinamika dan Perubahan Pantai Berpasir
Pantai berpasir sangat dinamis dan rentan terhadap perubahan, baik oleh faktor alami seperti musim dan badai, maupun antropogenik seperti reklamasi dan penambangan pasir (Nordstrom, 2000). Selain itu, perubahan iklim global memicu kenaikan muka air laut yang berkontribusi pada peningkatan erosi dan abrasi pantai.
Pantai berpasir bersifat dinamis dan dapat mengalami perubahan dalam waktu yang relatif singkat, terutama akibat:
Perubahan musiman (musim barat dan timur di Indonesia) yang memengaruhi arah dan kekuatan gelombang serta angin.
Kegiatan manusia, seperti pembangunan pelabuhan, reklamasi, atau pengambilan pasir, yang dapat mengganggu keseimbangan sedimen dan mempercepat abrasi.
Perubahan iklim, termasuk kenaikan muka air laut dan peningkatan frekuensi badai, yang dapat mempercepat erosi pantai dan mengancam kestabilan ekosistem pesisir.
2.1.4. Contohnya Nyata Tipologi Pantai Berpasir a. Pantai Parangtritis, Yogyakarta – Indonesia
Lokasi: Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Tipologi: Pantai berpasir vulkanik (pasir hitam)
Ciri khas: Pasir berasal dari material gunung berapi Merapi yang terbawa sungai Opak dan Progo ke laut. Pantai ini cukup landai dengan ombak besar dan sistem arus rip current yang kuat.
Proses pembentukan: Sedimen dibawa oleh sungai dari daerah hulu (fluvial), lalu tersebar oleh arus sejajar pantai dan angin membentuk dune kecil.
Referensi: [Simanjuntak et al., 2016 – Jurnal Geosfera Indonesia]
Pantai Parangritis Yogyakarta B. Pantai Bondi – Australia
Lokasi: Sydney, New South Wales
Tipologi: Pantai berpasir putih kuarsa
Ciri khas: Pantai pariwisata dengan ombak ideal untuk surfing, sedimen pasir kuarsa halus, sistem bar and trough.
Proses pembentukan: Hasil pelapukan batuan darat dan akumulasi oleh arus gelombang dan pasang surut.
Referensi: Komar (1998), Beach Processes and Sedimentation
Pantai Bondi Australia
2.2. Fungsi Ekologi dan Sosial – Ekonomi Serta Potensi Tipologi Pantai Berpasir
2.2.1. Fungsi Ekologis
a. Habitat Bagi Organisme Pesisir
Pantai berpasir menyediakan habitat penting bagi berbagai spesies flora dan fauna yang bergantung pada dinamika pasang surut. Zona intertidal dan supratidal merupakan tempat berkembang biak berbagai jenis kepiting, moluska, dan penyu laut (Defeo et al., 2009). Beberapa spesies penyu, seperti Lepidochelys olivacea dan Chelonia mydas, memilih pantai berpasir untuk bertelur karena sifat pasir yang memudahkan penggalian dan pengaturan suhu untuk inkubasi telur.
Selain itu, vegetasi khas seperti pandan laut (Pandanus tectorius) dan cemara udang (Casuarina equisetifolia) di zona bukit pasir memainkan peran penting dalam menyediakan tempat perlindungan dan memperkuat stabilitas ekosistem pesisir (Nordstrom, 2000).
b. Penyangga Alami (Buffer Zone)
Pantai berpasir bertindak sebagai peredam energi gelombang, terutama saat badai atau pasang tinggi. Fungsi ini melindungi wilayah belakang pantai seperti pemukiman, lahan pertanian, dan hutan bakau dari erosi dan banjir rob (Bird, 2008).
Bukit pasir bervegetasi (dunes) menjadi penghalang alami terhadap intrusi air laut dan angin laut yang membawa garam.
c. Filter Alami
Pasir memiliki porositas tinggi yang memungkinkan air hujan atau air limpasan dari darat tersaring secara alami sebelum mencapai laut. Proses filtrasi ini membantu menjaga kualitas air laut dari kontaminan seperti sedimen tersuspensi, logam berat, atau bahan organik (Martínez et al., 2007).
2.2.2. Fungsi Sosial
a. Ruang Rekreasi dan Sosialisasi
Pantai berpasir menjadi ruang publik alami yang sangat penting bagi masyarakat. Kegiatan seperti bermain, berenang, memancing, dan berjalan-jalan menjadikan pantai sebagai tempat rekreasi utama, baik bagi penduduk lokal maupun wisatawan (James, 2000). Di banyak negara tropis, pantai juga digunakan sebagai tempat ibadah atau perayaan adat, seperti upacara Melasti di Bali.
b. Identitas Budaya dan Lokalitas
Pantai seringkali memiliki nilai historis dan spiritual. Banyak komunitas pesisir menggantungkan identitas budayanya pada laut dan pantai sebagai bagian dari kosmologi dan tradisi lisan. Di Indonesia, banyak ritual dilakukan di pantai, seperti Sedekah Laut di pesisir Jawa dan Sumatra, yang menunjukkan keterikatan budaya dengan ekosistem pantai (Budihardjo et al., 2018).
c. Pendidikan dan Penelitian
Pantai merupakan lokasi ideal untuk pendidikan lingkungan, pemantauan perubahan iklim, dan penelitian geologi, ekologi, dan oseanografi. Banyak institusi akademik menjadikan pantai sebagai laboratorium alam untuk pengamatan jangka panjang (Woodroffe, 2002).
2.2.3. Fungsi Ekonomi a. Pariwisata
Pantai berpasir merupakan aset utama dalam industri pariwisata. Keindahan visual dan aksesibilitas pantai menjadikannya tempat favorit wisatawan. Aktivitas seperti surfing, snorkeling, sunbathing, dan kuliner laut berkembang pesat di kawasan pantai, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan daerah (Houston, 2013).
Contoh nyata adalah Bali, yang sebagian besar daya tarik wisatanya bertumpu pada pantai berpasir putih seperti Kuta dan Nusa Dua.
b. Perikanan Skala Kecil
Pantai juga penting bagi nelayan tradisional yang menggunakan pantai untuk mendaratkan perahu dan menjemur hasil tangkapan. Banyak komunitas pesisir menggantungkan mata pencaharian pada perikanan, dengan pantai berpasir sebagai zona aktivitas harian mereka (McLachlan & Defeo, 2011).
c. Transportasi dan Aksesibilitas
Di beberapa wilayah, pantai berfungsi sebagai akses transportasi lokal, terutama di daerah-daerah kepulauan. Pantai berpasir memungkinkan perahu kecil berlabuh tanpa infrastruktur pelabuhan permanen.
d. Ekonomi Kreatif dan UMKM
Pantai mendorong munculnya pelaku ekonomi kreatif seperti penjual makanan, penyedia jasa wisata, toko suvenir, dan jasa penyewaan peralatan wisata.
Hal ini mendukung perkembangan UMKM lokal dan memperkuat struktur ekonomi komunitas pesisir (Norazlimi et al., 2018).
2.2.4. Potensi Pantai Berpasir
a. Potensi Ekowisata dan Pariwisata Bahari
Pantai berpasir memiliki nilai estetika tinggi dan daya tarik visual yang besar, menjadikannya sangat potensial untuk pengembangan pariwisata bahari dan ekowisata. Aktivitas seperti berenang, berselancar, berjemur, serta wisata budaya menjadikan pantai sebagai magnet bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Contohnya Pantai Kuta, Bali (Indonesia) Merupakan pantai berpasir putih yang terkenal secara internasional dengan potensi wisata bahari, penginapan, kuliner, dan hiburan malam. Houston (2013)
Pantai Kuta, Bali (Indonesia) b. Potensi Perlindungan Pantai (Coastal Protection)
Pantai berpasir berfungsi sebagai penahan alami dari gelombang dan intrusi air laut. Bukit pasir (dunes) dan vegetasi pantai berperan penting dalam mengurangi dampak abrasi serta menjadi sistem penyangga terhadap badai dan gelombang besar.
Contohnya Pantai Parangtritis, Yogyakarta (Indonesia) Memiliki bukit pasir (gumuk pasir) yang berperan dalam perlindungan wilayah darat dari abrasi.
Nordstrom (2000)
c. Potensi Habitat dan Konservasi Biota Laut
Pantai berpasir merupakan tempat bertelur bagi penyu dan habitat bagi spesies endemik pesisir seperti kepiting, burung pantai, dan vegetasi pantai. Potensi ini sangat penting untuk program konservasi dan pendidikan lingkungan.
Pantai Sukamade, Banyuwangi (Indonesia) Terkenal sebagai tempat pendaratan dan bertelur penyu hijau (Chelonia mydas). Defeo et al. (2009)
Pantai Sukamade, Banyuwangi (Indonesia) d. Potensi Ekonomi Lokal dan UMKM
Pantai berpasir mendukung ekonomi masyarakat pesisir melalui usaha kecil seperti penjualan makanan, jasa wisata, penginapan lokal, hingga penyewaan alat-alat rekreasi pantai. Ini mendukung keberlanjutan ekonomi lokal berbasis sumber daya alam.
Contohnya Pantai Pangandaran, Jawa Barat (Indonesia) Terkenal dengan aktivitas wisata yang dikelola masyarakat dan UMKM lokal. Norazlimi et al. (2018)
Pantai Pangandaran, Jawa Barat (Indonesia)
e. Potensi Penelitian dan Pendidikan
Pantai berpasir menjadi lokasi ideal untuk kegiatan ilmiah, termasuk studi geologi pantai, dinamika sedimen, perubahan iklim, serta pendidikan konservasi lingkungan.
Contohnya Pantai Glagah, Kulon Progo (Yogyakarta) Memiliki kombinasi pantai berpasir dan laguna yang digunakan sebagai lokasi praktik dan penelitian mahasiswa kelautan. Woodroffe (2002)
Pantai Glagah, Kulon Progo (Yogyakarta)
2.3. Tantangan dan Permasalahan Pengelolaan Kawasan Pantai Berpasir 1. Erosi Pantai (Coastal Erosion)
Deskripsi Masalah:
Erosi pantai merupakan permasalahan utama di pantai berpasir yang disebabkan oleh gelombang laut, badai, pasang surut ekstrem, serta aktivitas manusia seperti pembangunan infrastruktur pantai dan penambangan pasir.
Dampak:
Penyempitan garis pantai
Kerusakan ekosistem vegetasi pantai
Hilangnya habitat penyu
Ancaman terhadap pemukiman dan infrastruktur
Contoh Kasus:
Pantai Kuta, Bali: mengalami erosi signifikan akibat pembangunan hotel dan jalan terlalu dekat ke garis pantai.
Pantai Kuta Bali 2. Polusi dan Sampah Laut
Deskripsi Masalah:
Pantai berpasir kerap menjadi lokasi pembuangan sampah plastik, limbah domestik, dan limbah wisatawan. Hal ini mencemari habitat alami dan menurunkan daya tarik wisata.
Dampak:
Ancaman terhadap fauna laut (misal: penyu menelan plastik)
Penurunan kualitas estetika dan kesehatan lingkungan
Gangguan ekonomi dari sektor pariwisata Contoh Kasus:
Pantai Cilincing, Jakarta Utara: dikenal karena tingkat pencemarannya yang tinggi akibat tumpukan sampah plastik dan limbah industri.
Pantai cilincing , Jakarta Utara
3. Alih Fungsi Lahan dan Urbanisasi Deskripsi Masalah:
Tekanan pembangunan yang masif di zona pesisir sering menyebabkan alih fungsi pantai untuk kebutuhan komersial, industri, dan pemukiman. Ini mempersempit ruang ekologis pantai.
Dampak:
Kehilangan zona penyangga alami
Fragmentasi habitat satwa
Penurunan nilai ekologis pantai Contoh Kasus:
Pantai Losari, Makassar: mengalami perubahan bentuk alami akibat reklamasi untuk pembangunan pusat bisnis dan wisata.
Pantai Losari, Makassar 4. Penurunan Keanekaragaman Hayati
Deskripsi Masalah:
Perusakan habitat pantai menyebabkan penurunan jumlah spesies flora dan fauna. Kebisingan, pencemaran cahaya, dan lalu lintas manusia di pantai turut mengganggu satwa liar, terutama penyu.
Contoh Kasus:
Pantai Tanjung Benoa, Bali: terjadi penurunan populasi biota laut karena pembangunan wahana wisata laut yang berlebihan.
Pantai Tanjung Benoa, Bali 5. Perubahan Iklim dan Kenaikan Muka Air Laut Deskripsi Masalah:
Pantai berpasir sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti naiknya permukaan air laut, peningkatan intensitas badai, dan intrusi air asin ke daratan.
Dampak:
Tenggelamnya wilayah pantai
Peningkatan erosi dan abrasi
Kerusakan infrastruktur pantai Contoh Kasus:
Pantai Bedono, Demak (Jawa Tengah): mengalami kehilangan garis pantai sejauh beberapa kilometer akibat abrasi dan kenaikan air laut.
Pantai Bedono, Demak (Jawa Tengah)
2.4. Strategi Pengelolaan Berkelanjutan dan Solusi Permasalahan 2.4.1. Solusi untuk Erosi Pantai
a. Solusi Struktural
Pemasangan struktur pengaman pantai: seperti groin, revetment, breakwater, dan seawall untuk mengurangi kekuatan gelombang.
Namun, ini hanya solusi jangka pendek dan bisa memicu erosi di tempat lain jika tidak dirancang dengan tepat (Bird, 2008).
b. Solusi Ekosistemik
Restorasi bukit pasir (dunes restoration): dengan menanam vegetasi pantai seperti cemara laut, pandan, dan spinifex untuk menstabilkan pasir.
Pemanfaatan teknologi ramah lingkungan: seperti geotube atau vegetated sand barriers.
c. Solusi Non-Struktural
Zonasi sempadan pantai: mengatur batas minimal bangunan dari garis pasang tertinggi.
Moratorium pembangunan di zona rawan abrasi.
Contoh Implementasi:
Rehabilitasi gumuk pasir di Pantai Parangkusumo, Yogyakarta, dengan vegetasi dan papan penahan angin (wind fence).
2.4.2. Solusi untuk Polusi dan Sampah Laut a. Kebijakan Pengelolaan Sampah Terpadu
Membangun sistem pengelolaan sampah dari sumber (3R: reduce, reuse, recycle).
Penyediaan fasilitas tempat sampah dan edukasi di kawasan wisata pantai.
b. Gerakan Komunitas
Program rutin “Beach Clean-Up” oleh sekolah, LSM, dan kelompok pariwisata.
c. Penegakan Hukum
Sanksi terhadap pembuang limbah sembarangan di zona pesisir.
Contoh Implementasi:
Gerakan “Bali Bersih” dan program edukasi di Pantai Sanur untuk mengurangi sampah plastik wisatawan.
2.4.3. Solusi untuk Alih Fungsi Lahan dan Urbanisasi a. Perencanaan Tata Ruang Berbasis Ekosistem
Integrasi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dengan RTRW nasional dan daerah.
b. Pengendalian Reklamasi
Audit lingkungan terhadap proyek reklamasi.
Reklamasi hanya dilakukan jika tidak mengganggu fungsi ekologis pantai.
c. Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Mengutamakan bangunan panggung, ringan, dan mudah dibongkar di zona pesisir.
Contoh Implementasi:
Zona penyangga dan larangan bangunan permanen di garis pantai Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.
2.4.4. Solusi untuk Penurunan Keanekaragaman Hayati a. Konservasi Spesifik Habitat
Penetapan zona konservasi peneluran penyu dan pelarangan aktivitas malam hari di zona sensitif.
b. Rehabilitasi Vegetasi Pantai
Penanaman kembali vegetasi pantai seperti ketapang, cemara udang, dan bakau untuk menyediakan habitat.
c. Edukasi Wisatawan dan Masyarakat
Kampanye larangan membuang sampah, menyentuh penyu, atau merusak sarang penyu.
Contoh Implementasi:
Program konservasi penyu di Pantai Sukamade, Banyuwangi oleh Balai Taman Nasional Meru Betiri.
2.4.5. Solusi untuk Dampak Perubahan Iklim dan Kenaikan Muka Air Laut a. Adaptasi Berbasis Alam (Nature-Based Solutions)
Rehabilitasi mangrove di belakang pantai.
Penanaman sabuk hijau pantai (vegetasi buffer zone).
b. Pemetaan Risiko dan Relokasi
Pemetaan daerah rawan abrasi dan rob menyusun rencana relokasi penduduk dengan partisipasi masyarakat.
c. Peningkatan Infrastruktur Adaptif
Bangunan semi permanen, jalan mobilisasi darurat, dan sistem drainase adaptif terhadap rob.
Contoh Implementasi:
Program adaptasi iklim pesisir di Desa Bedono, Demak, dengan penanaman mangrove dan relokasi hunian oleh KKP dan LIPID
BAB 3. KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Karakteristik Fisik Pantai Berpasir: Memahami dan mendeskripsikan bentuk geomorfologi, proses pembentukan, serta dinamika alami pantai berpasir sebagai dasar dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Potensi Pemanfaatan Kawasan: Mengkaji berbagai potensi pantai berpasir dari sisi ekologis, sosial, dan ekonomi, termasuk fungsi habitat, pariwisata, pendidikan, dan kontribusinya terhadap ekonomi lokal.
Tantangan Pengelolaan: Mengidentifikasi permasalahan utama dalam pengelolaan pantai berpasir, seperti erosi, polusi, alih fungsi lahan, dan dampak perubahan iklim, guna merumuskan strategi pengelolaan berkelanjutan.
DAFTAR ISI
Bird, E. C. F. (2008). Coastal Geomorphology: An Introduction (2nd ed.).
John Wiley & Sons.
Davidson-Arnott, R. (2010). Introduction to Coastal Processes and Geomorphology. Cambridge University Press.
Hesp, P. A. (2002). Foredunes and blowouts: Initiation, geomorphology and dynamics. Geomorphology, 48(1–3), 245–268.
https://doi.org/10.1016/S0169-555X(02)00184-8
Komar, P. D. (1998). Beach Processes and Sedimentation (2nd ed.).
Prentice Hall.
Masselink, G., & Hughes, M. G. (2003). Introduction to Coastal Processes and Geomorphology. Hodder Arnold.
Nordstrom, K. F. (2000). Beaches and Dunes of Developed Coasts.
Cambridge University Press.
Woodroffe, C. D. (2002). Coasts: Form, Process and Evolution. Cambridge University Press.