PROPOSAL PENELITIAN
Analisis Wacana Cerpen “Menemukan Dompet” Karya Ahmad Tohari Analisis Naratif, Penggunaan Gaya Bahasa Dan Representasi
Sosial
Diajukan Kepada
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN HUMANIORA UNIVERSITAS TEKNOLOGI SUMBAWA
Oleh :
LAHISAH HERMANSYAH NIM 79201200008
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS PSIKOLOGI DAN HUMANIORA
UNIVERSIAS TEKNOLOGI SUMBAWA 2023
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangannya, dari segi bentuk dan panjangnya, cerpen merupakan karya sastra yang paling cepat dan mudah beradaptasi dengan lingkungan media bukan sastra, misalnya koran. Entah berapa ratus cerpen terpublikasikan di media pada setiap bulannya, sebab hampir semua majalah hiburan dan surat kabar umum yang memiliki edisi minggu menyediakan rubrik khusus cerpen.
Cerpen sebagai suatu karya sastra yang relatif pendek, dengan hanya beberapa halaman, dengan kalimat-kalimat realis yang sederhana, terbukti sanggup membuktikan kondisi dengan tampilan yang utuh. Dengan kecenderungan untuk tidak berkhotbah, cerpen dengan cukup sarat pasti mampu menggambarkan bahwa konflik dengan kekuatan eksternal. Begitu pula konflik internal yang dibangun pada unsur-unsur kohesif yang membentuk wacana cerpen, lewat penggambaran tokoh, adegan, dialog- dialog yang diucapkan para tokoh pun ternyata mampu membangun suatu kesatuan yang padu.
Dalam tulisan ini akan dianalisis naratif, penggunaan gaya bahasa dan representasi sosial, pada sebuah cerpen karya Ahmad Tohari yang berjudul
”Menemukan Dompet”. Cerpen ini menggambarkan tentang kepedulian dan bersikap jujur terhadap orang lain pasti akan mendapatkan balasannya.
Ahmad Tohari dengan cerdas mampu menggambarkan persoalan itu dengan sangat baiknya dalam cerpennya yang berjudul ” Menemukan Dompet”. bahasa yang digunakan sangat sederhana sehingga mudah dicerna oleh siapa saja. Dengan gaya cerita yang mengalir hingga mengakibatkan pembaca tertarik untuk membaca lebih jauh, mengerti akhir ceritanya, dan memahami maknanya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka masalah pokok yang menjadi fokus penelitian yaitu:
1. Bagaimana Analisis Naratif Cerpen “Menemukan Dompet” Karya Ahmad Tohari
2. Bagaimana penggunaan gaya bahasa Cerpen “Menemukan Dompet” Karya Ahmad Tohari?
3. Bagaimana representasi sosial Cerpen “Menemukan Dompet” Karya Ahmad Tohari?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui Analisis Naratif Cerpen “Menemukan Dompet” Karya Ahmad Tohari.
2. Untuk mengetahui penggunaan gaya bahasa Cerpen “Menemukan Dompet” Karya Ahmad Tohari.
3. Untuk mengetahui representasi sosial Cerpen “Menemukan Dompet”
Karya Ahmad Tohari.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan gambaran tentang Analisis naratif, penggunaan gaya bahasa dan representasi sosial.
b. Memberikan khasanah keilmuan pada mahasiswa Universitas Teknologi Sumbawa tentang Analisis naratif, penggunaan gaya bahasa dan representasi sosial.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan refrensi dan panduan dalam analisis wacana cerpen berikutnya..
b. Penelitian ini dapat dijadikan masukan dan solusi bagi pendidik dalam pembelajaran menganalisis wacana khususnya cerpen.
BAB II
LANDASAN TEORI A. Wacana Prosa
1. Pengertian Wacana
Banyak ahli bahasa yang telah berpendapat mengenai pengertian wacana. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:1122), wacana diartikan sebagai: 1) ucapan; perkataan; tutur, 2) keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan, 3) satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya. Hal yang sama diungkapkan oleh Harimurti Kridalaksana (2008:259) mengenai pengertian wacana (discourse) yaitu satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.
Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap; teks dalam wacana. Menurut Abdul Chaer (2003:267) wacana merupakan satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa keraguan apa pun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya.
2. Wacana Prosa
Berdasarkan bentuk penyampaiannya, wacana dibedakan menjadi tiga, yakni wacana puisi, wacana prosa, dan wacana drama. Wacana prosa adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk terurai. Wacana prosa dibedakan menjadi dua; yakni wacana prosa fiksi dan nonfiksi.
Wacana prosa dalam pengertian kesusasteraan disebut prosa fiksi, teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Istilah prosa fiksi dalam hal ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan (Nurgiyantoro, 2010:1). Dengan demikian, prosa fiksi adalah suatu karya prosa yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh- sungguh sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata.
Isi wacana prosa, dapat juga berisi rekaman kehidupan manusia sehari-hari. Adapun bahasanya untuk teks sastra yang imajinatif, yaitu bersifat konotatif. Namun, sifat konotatif dalam prosa berkaitan dengan makna kias dan makna lambang (majas) diungkapkan dengan cara pembeberan.
B. Cerpen
1. Pengertian
Cerita pendek sebagai cerita berbentuk prosa yang pendek (Suyanto, 2012: 46). Ukuran pendek di sini bersifat relatif menurut Edgar Allan Poe, sastrawan kenamaan Amerika, ukuran pendek di sini adalah selesai dibaca dalam sekali duduk, yakni kira-kira kurang dari satu jam. Adapun, menilai ukuran pendek ini lebih didasarkan pada keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya. Cerita pendek harus memiliki efek tunggal dan tidak kompleks (Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam Suyanto, 2012: 46).
Cerita pendek adalah salah satu bentuk karya fiksi, yakni memperlihatkan sifat serba pendek baik peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, dan jumlah kata yang digunakan (Priyatni, 2010:
126). Perbandingan ini jika dikaitkan dengan bentuk prosa yang lain, misalnya novel. Selain itu, perbedaan antara cerita pendek dengan novel terletak pada panjangnya jumlah kata-kata yang digunakan dalam cerita, yakni cerita pendek menggunakan 15.000 kata atau 50 halaman, sedangkan novel menggunakan 30.000 kata atau 100 halaman (Staton dalam Pradopo, dkk., 1985: 15).
Cerita pendek memiliki struktur yang sama dengan roman atau novel, yaitu memiliki tema, fakta, dan sarana cerita. Akan tetapi, karena cerita pendek hanya menggarap dari sebagian kehidupan seorang tokoh, maka masalah yang digarap pun pada umumnya hanya terpusat pada tokoh sentral saja. Begitu pula pada fakta-fakta cerita lainya hanya digarap seperlunya sesuai dengan kebutuhan cerita (Nugroho Notosusanto dalam Hutagalung dan Pradopo dkk., 1985: 1).
Berdasarkan rincian pendapat dari para ahli, penulis menyimpulkan bahwa sesuai dengan namanya, cerpen merupakan cerita pendek. Cerita pendek atau cerpen merupakan jenis prosa singkat yang biasa dibaca sekali duduk saja, kira-kira berkisar satu sampai dua jam. Cerita pendek tidak sepanjang novel, oleh sebab itu, cerita pendek biasanya menggunakan beberapa lembar, sedangkan novel bisa menggunakan ratusan lembar. Adapun, ciri-ciri umum yang terdapat pada sebuah ceria pendek adalah pendek, padat, singkat, terpusat, dan memiliki struktur.
Selain itu cerita pendek merupakan salah satu bentuk karya fiksi, yakni menggambarkan suatu peristiwa atau kehidupan.
2. Hakikat Cerita Pendek
Cerita pendek atau yang lebih populer dengan akronim cerpen, merupakan salah satu jenis fiksi yang paling banyak digemari oleh pembaca (Rosidi dalam Tarigan, 1986: 119). Pada hakikatnya cerita pendek berbentuk prosa fiksi yang memiliki struktur atau unsur-unsur pembangun di dalamnya. Dengan kata lain fiksi menceritakan atau
melukiskan kehidupan, baik fisik maupun psikis, jasmani maupun rohani (Tarigan, 1986: 118). Sama halnya dengan novel yang memiliki unsur- unsur pembangun, namun novel cangkupan jalan ceritanya lebih luas dibandingkan dengan cerita pendek. Sesuai dengan namanya cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi lain yang lebih panjang, yakni bentuk cerita yang singkat dan hanya memiliki satu tema dalam cerita, jalan ceritanya jelas dan bahasanya juga lugas sehingga lebih mudah dipahami dalam mengetahui isi cerita serta memetik hikmah dan makna yang terkandung dalam cerita.
Peneliti menarik simpulan, bahwa pada hakikatnya cerita pendek merupakan salah satu prosa fiksi yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pembangun suatu cerita. Selain jenis prosa fiksi adapun jenis prosa lainnya, yakni prosa non fiksi yang biasa terdapat pada novel.
Berdasarkan sifatnya, fiksi bersifat relitas, sedangkan non-fiksi bersifat aktualitas. Realitas adalah apa-apa yang dapat terjadi (tapi belum tentu terjadi), sedangkan aktualitas adaah apa-apa yang benar-benar terjadi (Tarigan dalam Tarigan, 1986: 122).
3. Struktur Cerita
Cerita pendek merupakan sebuah karya sastra yang memiliki struktur. Struktur cerita pendek dibina oleh unsur-unsur pembangun.
Unsur-unsur tersebut saling mendukung satu sama lainnya. Menurut Staton (dalam Pradopo dkk., 1985: 17) unsur-unsur tersebut sebagai berikut :
a. Tema Dan Masalah
Tema merupakan ide pokok dari suatu cerita. Melalui tema, pengarang menyampaikan ide atau gagasan supaya pembaca memahami cerita yang ditulisnya. Tema merupakan makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Selain itu, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita itu, maka masalahnya adalah makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema (Staton dan Kenny dalam Nurgiantoro, 2007: 67).
Tema dirumuskan sebagai “generalisasi, dinyatakan atau disarankan, yang terletak di belakang penceritaan situasi yang spesifik yang melibatkan individu-individu yang spesifik” (Jaffe dalam Pradopo dkk., 1985: 30). Tema inilah yang kemudian menjadi ide pusat dan tujuan pokok (Stanton dalam Pradopo dkk., 1985: 30).
Tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel (Brooks dan Warren dalam Tarigan, 1986: 125).
Makna cerita dalam sebuah karya fiksi bisa lebih dari satu. Hal tersebut, menyebabkan sulitnya menentukan tema pokok cerita atau tema mayor (artinya: makna pokok cerita yang menjadi dasar atau
gagasan umum karya) (Nurgiyantoro, 2007: 82-83). Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar dalam keseluruhan cerita, sedangkan makna tambahan yang terdapat di dalamnya disebut tema tambahan atau tema minor. Penafsiran terhadapnya harus dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada secara keseluruhan membangun suatu cerita.
b. Fakta Cerita
Fakta cerita disebut juga sebagai struktur faktual atau tingkat faktual. Fakta cerita meliputi alur, penokohan, dan latar (Pradopo dkk., 1985: 17). Fakta cerita merupakan hal-hal yang akan diuraikan di dalam sebuah karya fiksi. Sesuatu hal yang akan diuraikan dapat dirangkai dalam susunan peristiwa dalam kerangka unsur alur, tokoh, dan latar.
1) Alur
Alur merupakan cerminan atau perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 2007: 114). Selain itu, alur merupakan sebuah rangkaian jalannya cerita yang menunjukkan adanya hubungan sebab dan akibat. Oleh sebab itu, alur merupakan rangkaian peristiwa yang berlangsung secara keseluruhan. Bentuk alur terbagi menjadi dua macam, yaitu alur lurus dan sorot balik.
Alur lurus berarti suatu peristiwa yang disusun dengan model pembeberan kisah: awal-tengah-akhir, yang mewujudkan dengan eksposisi-komplikasi-klimaks-peleraian-penyelesaian (Abrams dalam Pradopo dkk., 1985: 17).
Suatu cerkan (cerita rekaan) disebut beralur sorot balik apabila cerkan itu tidak disusun dalam sistem berurutan, melainkan dengan menggunakan sistem yang lain. Bila cerkan menggunakan pola alur, maka dapat digambarkan dengan diagram A-B-C-D-E...Z, sedangkan pola alur sorot balik menggunakan pola rangkaian tengah-awal-akhir, atau akhir-awal- tengah, dan sebagainya. Sudjiman (dalam Priyatni, 2010: 114) membagi tahapan alur dengan menggunakan bagan sebagai berikut. Awal :
1) Paparan (eksposition) 2) Rangsangan (inciting force) 3) Gawatan (rising action) Tengah 4) Tikaian (conflict)
5) Rumitan (complication) 6) Klimaks (climacx) Akhir : 7) Leraian (falling action)
8) Selesaian (denoument)
Bagian awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan, tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah infomasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya (Nuriyantoro, 2007: 142).
Bagian tengah cerita disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan (Nurgiyantoro, 2007: 145).
Bagian akhir cerita disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks (Nurgiyantoro, 2007: 145).
c. Sarana Cerita.
Sarana cerita merupakan unsur-unsur yang terdapat dalam rangkaian cerita. Unsur tersebut menjadikan sebuah peristiwa di dalamnya menjadi menarik. Unsur yang terdapat dalam sarana cerita yakni sebuah rangkaian peristiwa yang disebut dengan pengisahan dan suasana dalam cerita. Sarana cerita adalah cara-cara pengarang memilih dan mengatur butir-butir cerita sehingga tercipta bentuk- bentuk yang sanggup mendukung makna (Staton dalam Pradopo dkk., 1985: 23).
1. Judul
Judul merupakan gambaran dari makna jalannya cerita.
Judul biasa digunakan sebagai titik tumpu dari rangkaian peristiwa dari suatu cerita. Kesuaian judul sangat diperlukan dalam menjabarkan dari serangkaian gejala dan sikap pada suatu cerita.
Oleh sebab itu judul harus selaras dan dapat dideskripsikan dalam keseluruhan isi cerita. Misalnya, judul yang terdapat dalam cerita pendek “Anak Ayah” karya Agus Noor ini menceritakan kisah seorang anak laki-laki yang sangat diinginkan oleh ayahnya untuk dijadikan seorang bajingan.
2. Pusat Pengisahan
Pengisahan biasa disebut dengan sudut pandang. Dalam pusat pengisahan dijelaskan bahwa posisi pengarang yang terdapat pada sebuah karya sastra. Posisi pengarang sangat menentukan bagaimana jalannya cerita tersebut. Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Pradopo dkk., 1985: 24), mengemukakan bahwa pusat pengisahan terbagi menjadi dua hal.
a) Ich-Erzahlung, orang pertama dengan gaya aku. Dengan demikian, gaya ini mirip dengan gaya author participant S.
Tasrif.
b) Author omniscient, orang ketiga yang kedudukan pengarangnya serba tahu. Bentuk orang ketiga ini oleh Wellek dan Warren dibagi menjadi:
1) Romantik-ironik. Dalam bentuk ini, pengarang dengan sengaja menonjolkan peranannya sehingga para tokoh hanya merupakan bayangan-bayangan pengarangnya atau sebagai boneka.
2) Objective atau dramatic/artistic. Di sini pengarang bercerita apa adanya menurut penglihatan dan pendengarannya. Jadi, ia berlaku seperti wartawan. Pelaku- pelaku dibiarkan bergerak secara bebas, dinamis, dan dramatis melalui tingkah dan perilaku serta cakapan. 30 Dengan demikian, pembaca harus aktif mengikuti ulah tingkah dan sepak terjang para pelaku agar snggup
“menerjemahkan” gerak-gerik pelaku. Dari makna
“terjemahan” itulah, watak seorang pelaku dapat dikenali oleh pembaca, bahkan sampai pada cakapan batinya.
3. Simbol
Simbol merupakan sebuah lambang atau tanda yang digunakan oleh seseorang untuk menandakan sesuatu. Dalam suatu karya sastra khususnya cerpen, simbol yang digunakan dapat dicermikan pada penggunaan tokoh pelaku dalam cerita dan latar (tempat, waktu, sosial) yang digunakan dalam sebuah cerita. Rufin Kedang (dalam Pradopo dkk., 1985: 25) mengutip pendapat Stephen Ullman bahwa tanda atau simbol yang dipakai untuk berkomunikasi itu ada dua macam, yaitu simbol nonlinguistik (misal isyarat, tanda lalu lintas, bendera, dan simbol yang berkaitan dengan linguistik (bahasa). Yang dipergunakan dalam sastra adalah simbol yang berkaitan degan bahasa. Selanjutya, pengarang menciptakan simbol tidak lain agar ide-ide atau emosi yang disimbolkan itu lebih nyata. Suatu cerkan (cerita rekaan), simbol memiliki tiga efek.
Pertama, simbol yang muncul selama waktu-waktu penting dalam cerita akan mempertegas makna waktu itu. Kedua, simbol yang ditampilkan secara beruntun (dalam bentuk kata, frase, atau kalimat) akan mengingatkan pembaca akan adanya unsur yang menonjol dalam cerkan itu. Ketiga, simbol yang selalu berulang dalam berbagai konteks akan membantu memperjelas tema cerita (Stanton dalam Pradopo dkk., 1985: 25-26).
C. Analisis Naratif
Analisis naratif (fiksi) membuat narasi disadari atau tidak, menyusun narasi terhadap tahapan atau struktur tersebut yang berguna untuk menganalisis suatu narasi terhadap analisis yang komperhensif. Narasi juga bisa berarti cerita. Cerita itu di dasarkan pada urut-urutan sesuatu atau serangkaian kejadian peristiwa. Di dalam cerita itu terdapat satu tokoh atau beberapa tokoh yang mengalami kejadian atau serangkaian kejadian konflik atau tikaian. Kejadian itu merupakan unsur dari sebuah pokok narasi, dan ketiganya secara akesatuan bisa di sebut plot atau alur. Dengan demikian, narasi adalah cerita berdasarkan alur. Narasi berasal dari kata Latin narre, yang artinya “membuat tahu”.
Dengan demikian, narasi berkaitan dengan upaya untuk memberitahu sesuatu peristiwa. Sesuatu atau peristiwa yang dimaksud disini adalah peristiwa yang mempunyai rangkaian atau urutan peristiwa. Jadi, jika memberitahu sesuatu atau peristiwa yang tidak terdapat rangkaian atau urutannya, seperti papan penunjuk jalan, jadwal siaran televisi di koran atau lowongan pekerjaan di sosial media, itu semua tidak bisa disebut sebagai narasi.
Teori naratif merupakan teori yang membahas tentang perangkat dan konvensi dari sebuah cerita. Cerita yang dimaksud bisa dikategorikan fiksi atau fakta yang sudah disusun secara berurutan. Hal ini memungkinkan khalayak untuk terlibat dalam cerita tersebut (Eriyanto, 2013:1). Narasi juga di harus di bedakan dengan deskripsi. Jika deskripsi merupakan bentuk wacana yang menggambarkan objek dengan sedetail-detailnya sehingga seolah-olah objek tersebut seperti berada di depan kita, maka narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha menceritakan suatu kejadian atau peristiwa sehingga seolah-olah kita bisa melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Sebab itu, unsur penting pada sebuah narasi adalah unsur perbuatan atau tindakan. Kemudian unsur lain dari narasi adalah plot, karakter dan latar. Plot adalah basik dari semua unsur yang terdapat dalam narasi karena menggambarkan dari jalannya sebuah cerita. Karakter merupakan pemeran atau tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita.
Definisi menarik tentang narasi di ungkapkan oleh Bragnigan yakni narasi adalah cara untuk saya mengelola data spesial dan temporal menjadi penyebab dan memunculkan efek keterkaitannya sebuah peristiwa dari awal, tengah, dan akhir cerita yang akan menimbulkan sifat dari cerita itu. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa analisis naratif adalah analisis yang digunakan untuk memberi tahu atau membangun struktur sebuah cerita baik certa fiksi maupun fakta yang ada di dalamnyaada alur, tokoh, karakter, sudut penggambaran, dan lainnya seperti secara berurutan menurut Branston dan Stafford narasi terdiri atas empat macam model, yaitu:
1. Narasi menurut TzvetanTodorov, suatu cerita yang memiliki alur awal,tengah dan akhir.
2. Narasi menurut Vladmir Propp, suatu cerita yang pasti memiliki karakter tokoh.
3. Narasi menurut Levis Staruss, suatu cerita yang memiliki sifat-sifat yang berlawanan.
4. Narasi menurut Joseph Campbell, hubungannya membahas narasi dengan mitos.
D. Penggunaan Gaya Bahasa
Gaya bahasa dalam retorika dikenal dengam istilah style. Kata style diturunkan dari bahasa latin stylus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Pada perkembangan berikutnya, kata style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau menggunakan katakata secara indah.
Secara singkat (Tarigan, 2009:4) mengemukakan bahwa gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk menyakinkan atau mempengaruhi penyimak atau pembaca.
Gaya bahasa dan kosakata memunyai hubungan erat, hubungan timbal balik.
Kian kaya kosakata seseorang, kian beragam pulalah gaya bahasa yang dipakainya. Peningkatan pemakaian gaya bahasa jelas turut memperkaya kosakata pemakainya. Itulah sebabnya maka dalam pengajaran gaya bahasa merupakan suatu teknik penting untuk mengembangkan kosakata para siswa (Tarigan, 2009: 5).
Gaya bahasa mempunyai cakupan yang sangat luas. Menurut penjelasan (Kridalaksana, 2009), gaya bahasa (style) mempunyai tiga pengertian;
1. pemanfaatan atas bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis ; 2. pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu;
3. keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.
Sementara itu, (Leech &Short, 1981: 278; Tarigan, 2009: 66) mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu, oleh orang tertentu, untuk tujuan tertentu. Bila dilihat dari fungsi bahasa, penggunaan bahasa termasuk dalam fungsi puitik, yaitu menjadikan pesan lebih berbobot. Pemakaian gaya bahasa yang tepat (sesuai dengan waktu dan penerima yang menjadi sasaran) dapat menarik perhatian penerima. Sebaliknya, bila penggunaanya tidak tepat, maka penggunaan gaya bahasa akan sia-sia belaka.
Pendapat lain mengatakan pemajasan merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat (Nurgiantoro, 2000:296).
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah peneliti uraikan, dapat dikatakan secara garis besar bahwa gaya bahasa merupakan penyimpangan makna dari kata-kata yang tertulis yang sengaja dilakukan oleh pengarang untuk menimbulkan efek tertentu atau menimbulkan konotasi tertentu.
Sebuah pendapat menyebutkan bahwa gaya bahasa memiliki cirri-ciri sebagai berikut.
1. Ada perbedaan dengan sesuatu yang diungkapkan misalnya melebihkan, mengiaskan, melambangkan, mengecilkan atau menyindir.
2. Kalimat yang disusun dengan kata-kata yang menarik dan indah.
3. Pada umumnya mempunyai makna kias.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 2002: 113).
Dari beberapa pendapat di atas, peneliti memilih teori yang diungkapkan oleh Gorys Keraf karena jelas dan mudah dimengerti yang mengartikan gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
E. Representasi Sosial
Representasi berasal dari bahasa Inggris “representation”, yang artinya adalah perwakilan, gambar atau penggambaran. Secara sederhananya representasi dapat disimpulkan sebagai gambaran tentang suatu hal yang terdapat dalam kehidupan melalui suatu media. Arti lain dari representasi adalah sebagai suatu proses pemaknaan kembali suatu fenomena atau realitas yang maknanya akan tergantung bagaimana suatu individu mengungkapkannya melalui bahasa.
Representasi juga sangat bergantung dengan bagaimana pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang melalukan representasi tersebut.
Representasi merupakan suatu proses ataupun suatu keadaan yang ditempatkan sebagai suatu perwakilan terhadap sebuah sikap atau perbuatan dari sekelompok orang tertentu di dalam sebuah lingkungkan. Selain itu representasi juga dikatakan sebagai proses sosial yang berhubungan dengan kehidupan dan budaya masyarakat tertentu yang memungkinkan terjadinya sebuah perubahan konsep-konsep ideologi dalam bentuk yang konkret.
Dalam artian yang lain, representasi juga merupakan seuatu proses atau suatu praktek yang nantinya akan melahirkan suatu budaya. Hal ini akan terjadi dikarenakan merupakan proses alami yang akan dilalui oleh kita secara berulang dan memberikan efek timbal balik terhadap pelaksanaannya.
Representasi merupakan suatu pemaknaan gagasan dari penggunaan tandatanda yang diserap, diindra dan dirasakan oleh manusia dalam bentuk fisik.
Representasi dapat dipahami secara kultural dalam pembelajaran bahasa dan berbagai macam penandaan, bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada. Hal ini melalui fungsi tanda yang dapat mewakili suatu hal sehingga kita juga dapat mempelajari realitas nyata. Representasi merupakan bentuk nyata dari penanda yang berasal dari konsep abstrak oleh sebab itu, representasi adalah bagian penting dari proses dimana makna dibentuk dan dapat ditukarkan antar budaya.
Teori Representasi Sosial dikemukakan oleh Serge Moscovici pada tahun 1973 yang merupakan seorang peneliti Psikologi Sosial. Menurut Putra et al (2003, diakses pada 20 Agustus 2021), menyatakan bahwa representasi sosial adalah sebuah sistem dari nilai, gagasan, dan praktek dengan fungsi untuk membangun sebuah urutan yang memungkinkan individu untuk menyesuaikan dirinya pada dunia materi dan sosial mereka agar dapat menguasai lingkungannya.
Menurut Jodelet (2005, diakses pada 20 Agustus 2021), menjelaskan bahwa istilah dari representasi sosial pada dasarnya adalah mengacu kepada hasil dan proses yang menjelaskan mengenai pemikiran umum (common sense). Pemikiran umum yang artinya adalah bagaimana cara berfikir secara rasional melalui hubungan sosial dengan menggunakan gaya dan logikanya sendiri yang nantinya akan didistribusikan kepada anggota kelompok lainnya melalui proses komunikasi. Proses untuk selalu membentuk dan dibentuk oleh kegiatan interaksi inilah yang kemudian melahirkan pemikiran pengetahuan bahwa seluruh dunia sosial, apapun bentuknya dan jenis serta skala ukuranya sebenernya adalah dunia yang secara sosial direpresentasikan karena di dunia ini hanya tercipta oleh proses untuk saling membentuk dan membagi pengetahuan bersama.
Menurut pandangan Moscovici melalui teori representasi sosial telah mengubah tiga pandangan utama dalam ilmu sosial yaitu yang pertama adalah dikatakan bahwa kenyataan tidak hanya bersifat tunggal dan objektif, dikarenakan kenyataan merupakan represntasi dari apa yang telah dipikirkan dan dioalah bersama secara sosial. Kedua sosial dalam masyarakat bukan hanya sekedar kumpulan individu melainkan adalah sebuah dunia yang berdinamis, berpola dan akan selalu bergerak untuk dapat mempengaruhi setiap anggotanya. Terakhir yang ketiga, dikatakan bahwa letak individu yang sebelumnya adalah sebuah entitas mutlak yang mampu menentukan arah dan tujuan bagi dirinya sendiri menjadi individu yang akan selalu lekat dengan masyarakat dan kelompoknya.
Menurut Agric (1976), menyatakan bahwa representasi sosial terdiri dari beberapa elemen yakni informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Elemen-elemen ini terorganisasi dan terstruktur kemudian membentuk suatu sistem sosial-kognitif seseorang. Struktur representasi sosial terdiri dari central core peripheral core. Karakteristik
(central core) unsur utama yaitu bersifat lebih stabil dan tidak mudah untuk berubah. Karakteristik (periphery) yaitu sebagai pelengkap dari unsur utama, paling mudah berubah. Jika kita ingin merubah representasi sosial maka harus merubah central core.
Menurut Moscovici (1973), menyebutkan bahwa representasi sosial memiliki dua fungsi sekaligus, antara lain:
1. Representasi sosial berfungsi sebagai tata aturan bagi individu untuk menyesuaikan diri dan memahami (serta menguasai keadaan pada lingkungan fisik ataupun lingkungan sosialnya).
2. Selain itu, representasi sosial juga dapat memungkinkan terjadinya aktivitas pertukaran sosial mereka, dan sebagai kode untuk menamai serta mengklasifikasikan dengan jelas berbagai macam aspek pada lingkungan, kesejahteraan individu dan kesejarahan kelompoknya.
Menurut Moscovici (1984) representasi sosial tersebut dibentuk melalui dua buah proses, yaitu anchoring dan objectifying.
1. Anchoring mengacu kepada proses pengenalan atau pengaitan (to anchor) suatu obyek tertentu dalam pikiran individu. Pada proses anchoring, informasi baru diintegrasikan kedalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki individu. Obyek diterjemahkan dalam kategori dan gambar yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi individu.
2. Objectifications, mengacu kepada penerjemahan ide yang abstrak dari suatu obyek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit atau dengan mengaitkan abstraksi tersebut dengan obyek-obyek yang konkrit.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Sumber Data dan Data Penelitian
1. Sumber Data
Seluruh data diperoleh dari naskah cerpen berjudul ”Menemukan Dompet” karya Ahmad Tohari. Cerpen tersebut diperoleh dari link https://id.scribd.com/document/532033245/menemukan-dompet.
2. Data Peneltian
Di dalam tulisan ini akan disajikan data-data berupa penggalan kata-kata, kalimat, atau paragraf untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang membangun karya sastra cerpen. Unsur- unsur yang akan dibahas tersebut meliputi analisis naratif, penggunaan gaya bahasa dan representasi sosial dalam cerpen.
B. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini metode analisis deskriptif. Selain representasi sosial dalam cerpen ”Menemukan Dompet”, dilakukan juga pendekatan penulisan dengan interpretasi data. Pendekatan tersebut digunakan dalam menganalisis naratif dan penggunaan gaya bahasa.
C. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini perlu dijelaskan agar pembahasannya tidak melenceng dari tujuan yang ditetapkan. Adapun variabel penelitian ini terdiri dari satu variabel analisis cerpen berjudul ”Menemukan Dompet” karya Ahmad Tohari.
D. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah telaah sistematis atas catatan-catatan sebagai sumber masalah yang akan diteliti. Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam penelitian ilmiah. Teknik yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Data diperoleh melalui pembacaan dan pemahaman terhadap cerpen
”Menemukan Dompet” karya Ahmad Tohari.. Peneliti juga menghimpun buku-buku yang berkaitan dengan penelitian juga mencari informasi.
Data-data yang terkumpul akan dijadikan bahan pendukung penelitian sehingga diperoleh jawaban yang baik dan tepat dari penelitian ini. Guna mempermudah dalam menganalisis data, penulis melakukan langkah-langkah:
1. Membaca secara cermat cerpen ”Menemukan Dompet” karya Ahmad Tohari.. Kegiatan membaca cerpen dilakukan dengan teknik membaca sekilas, membaca pemahaman dan membaca evaluasi. Membaca sekilas
dilakukan untuk memahami cerpen. Pada tahap membaca pemahaman peneliti bertujuan untuk memahami masalah dalam penelitian. Pada tahap membaca evaluasi, peneliti bertujuan untuk menyimpulkan cerpen
”Menemukan Dompet” karya Ahmad Tohari.
2. Mencatat, menggaris bawahi, penggunaan gaya Bahasa dan representasi sosial.
3. Menganalis data yang telah diseleksi serta menerapkannya dalam masalah yang dibahas. Pada tahap ini peneliti menganalisis data yang diperoleh kemudian menyajikan hasil jabaran dari rumusan masalah yang dijawab oleh peneliti dalam bentuk deskripsi hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Eriyanto. 2013. Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media. Jakarta: Kencana
Hutagalung, M.S. 1985. Peranan dan Kedudukan Pengajaran Sastra dalam Pengembangan Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1996). Jakarta: Balai Pustaka.
Kridalaksana, H. (2009). Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Nugroho Notosusanto. 1985. Sejarah dan Hankam. Jakarta: Dephankam.
Nurgiyantoro, B. (2010). Penilaian Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: BPFE Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada.
Pradopo dkk. 1985. Struktur Cerita Pendek Jawa. Jakarta: Dependikbud.
Priyanti. 2010. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara
Priyatni, Endah Tri. 2010. Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis.
Jakarta: Bumi Aksara.
Sumardjo, Jakob dan Saini. 2012. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Penerbit Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengkajian Pragmatik. Bandung: Angkasa.