DAFTAR ISI
BAB I ... 01
PENDAHULUAN ... 01
A. Latar Belakang ... 01
B. Rumusan Masalah ... 01
C. Tujuan ... 02
BAB II ... 03
PEMBAHASAN ... 03
A. AMAR ... 03
1. Pengertian Amar ... 03
2. Bentuk – bentuk Amar ... 03
3. Kaidah – kaidah Amar ... 06
4. Macam – macam Amar... 07
5. Syarat – syarat pada kata Amar ... 09
B. NAHI ... 10
1. Pengertian Nahi ... 10
2. Bentuk – bentuk Nahi ... 11
3. Kaidah – kaidah Nahi ... 11
4. Macam – macam Nahi ... 12
5. Syarat – syarat Nahi ... 13
BAB III ... 15
PENUTUP ... 15
Kesimpulan ... 15
DAFTAR PUSTAKA ... 16
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur‟an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang sangat diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan mengistimbathkan hukum dari dalil-dalil syar‟i, terutama untuk mengetahui hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW. Karena zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Qur‟an dan Hadits sudah tidak akan ada penambahan dan perubahan karena memang segalanya sudah tercakup di dalam Al-Qur‟an.
Sehingga banyak para ulama atau tokoh-tokoh agama islam yang berijtihad bersama dalam memecahkan banyaknya permasalahan yang semakin hari kian banyak dan memengaruhi kemantapan hati umat islam dalam beribadah kepada Allah SWT. Sudah barang tentu, para ulama dalam berijtihad tidak hanya menggunakan akal pikiran semata namun, semua pemikiran itu dilandaskan pada Al-Qur‟an dan As sunnah.
Kemudian halnya, hasil ijtihad para ulama ditetapkan sebagai hukum syara‟, yang disesuaikan dengan berbagai sebab dan keadaannya. Sehingga dapat membantu meringankan para mukallaf dalam beribadah kepada Allah secara mutlak, seiring berbagai macam persoalan zaman yang semakin berkembang. Bagitupun juga terkait dalil-dalil antara perintah dan larangan.
Maka, dalam makalah ini kami akan membahas tentang amar (perintah) dan nahi (larangan).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Amar, dan jelaskan yang berkaitan dengan Amar ? 2. Apakah pengertian Nahi, dan jelaskan yang berkaitan dengan Nahi ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Amar, dan jelaskan yang berkaitan dengan Amar ?
2. Untuk mengetahui pengertian Nahi, dan jelaskan yang berkaitan dengan Nahi ?
BAB II PEMBAHASAN A. AMAR
1. Pengertian Amar
Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.1
ىَنْدَأْلا ىَلِإ ىَلْعَأْلا َنِم ِلْعِفْلا ُبَلَط ُرْمَأْلَ
ا“Amar (perintah) dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih rendah”2
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya orang mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah menyatakan bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang yang menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
2. Bentuk – Bentuk Amar (Perintah)
Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighat Amar berbentuk sebagai berikut:
1 Muhammad Ma‟sum Zein Zudbah, UshulFiqh (JawaTimur : Darul Hikmah), 2008,52.
2 Moh. Rifa‟i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Alma‟arif,1973),21.
a. Berbentuk Fi’il Amar / perintah langsung.
ْا ُي ِ َ أَ
َةوٰ َ صَّلٱ
……
Dan dirikanlah shalat,………3
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar‟i datang dalam bentuk amar atau perintah, maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya menuntut perbuatan yang diperintah itu secara penetapan dan kepastian. Allah swt berfirman:
َ ْلصَّ َ َ َ ُت َ صَّ َ ُي ْ ٱاَ
“wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu) …..”.
Firman tersebut menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk menahan diri atau beriddah selama tiga kali quru‟ (suci). Sebab menurut pendapat yang rajih (unggul) bahwasannya shighat amar dan shighat lain yang bermakna sama dengannya ditetapkan untuk mewajibkan. Sedangkan suatu lafadz ketika di mutlakkan, maka ia menunjukkan terhadap maknanya yang hakiki yang telah ditetapkan untuknya. Ia tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan adanya suatu qarinah (hubungan/keterkaitan kata sebelum dan sesudahnya).
Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah (keterkaitan / hubungan) yang dapat memalingkan shighat perintah dari makna kewajiban kepada makna lainnya, maka ia dipahami sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti ibahah (pembolehan).4
b. Berbentuk Fi’il mudhari’ yang didahului oleh lam Amar.
Misalnya, firman Allah:
ِ ْ ِ َ ْ اا ِ ْ َ ْ
ا ِ اْ ُ صَّ صَّ َ ْ َ
“dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. (QS.Al Haj: 29)
3 Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II (Bandung : Pustaka Setia,2001),112.
4 Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Toha Putra Group,1994),306.
c. Isim Fi’il Amr,
ْ ُ َ ُ ْ َا ْ ُ ْ َ َ
“Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105) d. Masdar pengganti fi‟il, seperti:
ًن َ ْحِا ِ ْيَ ِلِاَ ْ ٱ ِ َ
“dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”. (QS. Al Baqarah: 83) e. Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain
sebagainya.
ْ ِ ِااَ ْ َا ْ ِ ْ ِ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ ْيِ َ ْ َ
“sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang istri istri mereka”.(QS. Al Ahzab: 50).
ُم َ ِّلٱا ُ ُ ْ َ َ َ ِ ُ ا ُ َ ا َ ْ ِ صَّا َ يُّ َ َي
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS. Al Baqarah: 183)
ِ َ َ َ ْ
اايُّدَ ُ ْنَا ْ ُ ُ ُ ْ
َي صَّاا صَّنِا
“sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanah”. (QS. An Nisa‟: 58)
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan digunakan untuk makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari susunan kalimatnya.5
5 Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,109.
3. Kaidah-kaidah Amar (Perintah)
Amr (perintah) memiliki kaidah yaitu ketentuan-ketentuan yang dipergunakan para mutjahid dalam mengistinbatkan hukum. Ulama ushul merumuskan kaidah-kaidah amar dalam lima bentuk, yaitu :
a.
ِ ِ َ ِ
稔َ َ ُ ْ ِ صَّلِا صَّلَد َ صَّ ِإ ِبْ ُاُ ْ ِٱ ِ ْ َ ْاا ِ ُ ْ َ ْاَا
Pada dasarnya „amar (perintah) itu menunjukan kepada wajib dan tidak menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah (hubungan keterkaitan). Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat.
b. Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan. Maksud dari kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat membolehkan. Seperti Firman Allah swt:
ّاا ِ ْ َ ْ ِ اْ ُ َ ْااَ ِ ْرَ ْاا ِ اْ ُ ِ َ ْن َ ُةَ صَّلٱا ِ َ ِ ُ اَ ِ َ
“apabila shalat telah dilaksanakan , maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia allah” ( QS.al-jumu‟ah 62:10).
Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi, seperti kata ayat diatas, hukumnya tidak wajib, tapi diperbolehkan.
c.
َرْ َ ْ
اا ِ َ ْ َ َ ِ ْ َ ْ
اا ِ ُ ْ َ ْ اَا
Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan.
Misalnya tentang haji. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak boleh di luar waktu. Bila dilakukan diluar waktu, tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara‟ maka hukumnya akan berdosa.
d.
ِ ِ َ ِ َ َ ُ ْ ِ صَّلِا صَّلَد َ صَّ ِإ َراَ ْ صَّاا ِ َ ْ َ َ ِ ْ َ ْاا ِ ُ ْ َ ْاَا
Pada dasarnya perintah ini tidak menghendaki pengulangan (berkali- kali mengerjakan perintah). Misalnya dalam ibadah haji, yaitu satu kali seumur hidup namun bila perintah itu dimaksudkan pengulangan, maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukan pada pengulangan.
Allah berfirman:
ّ ِا َةَ ْيُ ْ ااَ صَّ َ ْ اا يُّ ِ َ
أَ
“dan Sempurnakan haji dan umrah karena Allah”. (QS. Al Baqarah:
196).
Kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Jadi bila dikerjakan sekali saja sudah cukup.6
e.
ِ ِ ِا َ َ ِ رٌ ْ َ
أ ِ ْ صَّلٱ ِ ُ ْ َ ْ اَا
Kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu. Misalnya, kewajiban melaksanakan sholat, sholat ini tidak sah untuk dikerjakan tanpa suci (wudhu) terlebih dahulu. Maka para ulama menetapkan bahwa “ Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajb pula”.
4. Macam – macam Amar (Perintah)
Bentuk amar (perintah) itu adakalanya keluar dari makna yang asli dengan ucapan kerjakanlah dan digunakan untuk makna yang bermacam- macam. Macam-macam amar adalah sebagai berikut :
6 Syafi‟i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001),224.
a. Wajib. Contoh: َةَ صَّلٱا ا ُيْ ِ َا Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43)
b. Nadb (anjuran). ْ ُ أ ِ صَّ
اا ِ ّاا ِل صَّ ْ ِّ ْ ُ ْ ُ َ Artinya: “dan berikanlah
kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan Nya kepadamu”. (QS. An Nur : 33)
c. Takdzib (mendustakan). َ ْ ِ ِ َ ْ ُ ْ ُ ْنِا ْ ُ َن َ ْ ُ ا ُ َ ْ ُ Artinya:
“tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (QS. Al Baqarah 111).
d. Irsyad (membimbing atau Menunjukkan). ْ ُ ِا َاِر ْ ِ ِ ْيَ ْ ِ َ ا ُ ِ ْلَ ْ اَ
Artinya: “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki- laki (diantaramu). (QS. Al Baqarah : 282)
e. Ibahah (kebolehan). َ ِ ِدَ ْ َ اا ِطْ َْ
لْا َ ِ ُضَ ْاَ
اا ُطْ َلْا ُ ُ َا َ صَّ َبَ َي صَّتََّح اْ ُ َ ْشْاَ اْ ُ ُكَُ ْ
ِ ْ َ ْاا Artinya: “makan dan minumlah hingga jelas bagimu beng putih
dan benang hitam bagimu”. (QS. Al Baqarah : 187)
f. Tahdid (Ancaman). رٌْ ِلَ َنْ ُ َيْ َ َيِ ُ صَّنِا ْ ُ ْ ِ َ اْ ُ َيْ ِا Artinya: “kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fusshilat : 40)
g. Inzhar (peringatan). ِر صَّاا ِا ْ ُ َ ْ ِلَ صَّنِ َ اْ ُ صَّ َيَ ْ ُ َ Artinya: “Katakanlah,
“Bersuka rialah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu adalah neraka”. (QS. Ibrahim : 30)
h. Ikram (memuliakan). َ ْ ِ ِ مٍ َ َ ِ َ ْ ُ ُ ْدُا Artinya: “(dikatakan kepada mereka): masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman”. (QS. Al Hijr : 46)
i. Taskhir (penghinaan). َ ْ ِ ِ َ ًةَدَ ِ اْ ُنْ ُ Artinya: “Jadilah kamu sekalian kera yang hina”. (QS. Al Baqarah : 65)
j. Ta’jiz (melemahkan). ِ ِ ْ ِ ْ ِ مٍ َرْ ُ ِ اْ ُ ْ
َ Artinya: “datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama )Al Qur’an(itu”. (QS. Al Baqarah : 23 k. Taswiyah (mempersamakan). ا ُ ِبِ ْلَ َ ْ َا ا ُ ِبِْ َ Artinya: “maka bersabar
atau tidak”. (QS. At Thur :16
l. Tamanni (angan-angan). ْ
لُ ُمْ َن َي ْ ُ ُ ْ َ َي ُ َ ْ َ َ
ْ ِ ُ ْب ُ َي Artinya:
“wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk menghilanglah.
Wahai waktu subuh berhentilah dahulu, jangan segera datang.
m.Do‟a. ِ ْ ِ ْاا ِّبَرArtinya: “Ya Allah ampunilah aku”. (QS. Shad : 35) n. Ihanah (meremehkan). ُ ْ ِ َ ْ
اا َ ْنَا َ صَّنِإ ْ ُ Artinya: “Rasakanlah,
sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”. (QS. Ad Dukhan : 49)
o. Imtinan. ّاا ُ ُ َ َ َر صَّيِ اْ ُ ُ َ Artinya: “Makanlah apa yang direzekikan kapadamu”.(QS. An Nahl :114)7
5. Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah :
a. Harus berupa ucapan perintah (Amar) seperti kata uf‟ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu bertatus tidak mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya do‟a.8
Suatu kata perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:
a. Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan tuntunan perbuatan dalam waktu yang tertentu atau waktu mendatang.
b. Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang diminta (ma‟addatul amri). Hal ini menunujukkan macamnya
7 Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih,306.
8 Muhammad Ma‟sum Zein Zudbah, UshulFiqh, 52.
perbuatan yang diminta, seperti berdiri, duduk. Apabila disatukan kedua sisi tersebut dalam amar, maka maksudnya tidak lebih dari pada hanya menuntut perbuatan yang disebutnya, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan berulang-ulanya perbuatan itu. Memenuhi tuntunan suruhan tersebut cukup dengan dikerjakan sekali saja, karena menurut qaidah “tidak ada kewajiban lebih dari pada tanggungan yang sebenarnya (sesuai kemampuan seorang hamba)”.9
B. NAHI
1. Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man‟u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
َ ْد َ ْ اا ِإ َ َ ْ َ ْاا َ ِ ِ ْ صَّ اا ُ َ َ
“Memerintah meninggalkan sesuatu dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”10
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.11
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam firman Allah:
9 Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,115.
10 Moh. Rifa‟i, Ushul Fiqih, 42.
11 Muhammad Ma‟sum Zein Zudbah, UshulFiqh, 52-53.
ً َ َ َ ُ ً َ ْ َ
أ َ ِّ ٱا ا ُ ُ ْ َ َ َ
“dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran: 130)
Karena Lata’kulu berbentuk nahi sedangkan ketentuan nahi adalah haram, maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahiadalah haram.12
2. Bentuk-bentuk Nahi (Larangan)
Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak. Seperti firman Allah:
ىَر َكَُ ْ ُ ْ َ
أَ َةَ صَّلٱا ُبَ ْ َ ا ُ َ ا َ ْ ِ َ اا َ يُّ صَّ َ أ َي
“hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam keadaan mabuk”. (QS.An Nisa : 43)
Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk diantaranya:
a. Fi‟il Mudhari‟ yang disertai dengan la nahi, seperti:
ِ ْرَ ْ
ا ِ اْ ُ ِ ْ ُ َ
“janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al Baqarah: 11).
12 Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,118.
b. Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu perbuatan, seperti:
ا َ ِّ ٱا َمصَّ َحَ صَّاا صَّ َحَاَ
“dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al Baqarah: 275).
3. Kaidah-kaidah Nahi:
a. Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:
َ ِّ ٱا ا ُ َ ْ َ َ َ
“dan janganlah kalian mendekati zina”. (qs. Al isra: 32).
b. Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya, seperti:
ّا ِ ْ ِ ْ ُ َ
“janganlah kamu mempersekutukan allah”.
c. Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu. Seperti:
ىَر َكَُ ْ ُ ْ َاَ َةا َ صَّلٱا ا ُ َ ْ َ َ
“janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (qs. An nisa‟:43).
4. Macam-macam Nahi (Larangan) a. Untuk do‟a
َن ْ
َ ْ َاْ َا َ ْيِ َن ْنِا َنْذِ اَ ُ َ صَّ َر َ
“hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.
b. Untuk pelajaran
ْ ُ ْ ُ َ ْ ُ َاَ ْبُ ْنِا َ َ ْ َا ْ َ اْ ُ َ ْ َ َ
“janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu”.
c. Putus asa
َمْ َ ْ
ا ا ُرِذَ ْ َ َ
“janganlah kamu cari-cari alasan hari ini”
d. Untuk menyenangkan (menghibur)
َ َ َ صَّاا صَّنِإ ْنَ ْ تَ َ َ
“jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
5. Syarat-syarat Nahi a. Menunjukkan haram
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu, yang segera dapat dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak menyebabkan haram.
b. Menunjukan makruh
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang.13 c. Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya
menjadi rusak dan tidak sah.
Larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan perbuatan yang dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi
13 Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,118.
tidak sah. Contoh zina. Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam muamalah”.Sebagian ulama Syafi‟iyyah, hanafiah, dan muktazilah berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak pada lughah / bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan muamalah”. Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara ibadah dan muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya, dan tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah)14
14 Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,124.
BAB III PENUTUP A. Simpulan
Amr (perintah) adalah lafaz yang dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan. Bentuk lafaz amar bermacam-macam diantaranya, fiil amar, fiil mudhari‟ yang diawali lam amar, masdar pengganti fiil, dan beberapa lafaz yang mengandung makna perintah seperti, kutiba, amara, faradha. Kaidah-kaidah amar dalam Al-Qur‟an yaitu seperti kaidah pertama seperti pada dasarnya amar (perintah) itu menunjukkan kepada wajib dan tidak menunjukkan kepada selain wajib kecuali dengan qarinah-qarinah tersebut. Qarinah-qarinah tersebut seperti ibahah, nadb, irsyad, tahdid, ta‟jiz yang memalingkan makna asalnya yaitu wajib.
Kaidah kedua amar adalah Amr atau perintah terhadap sesuatu berarti larangan akan kebalikannya. Kaidah ketiga amar yaitu perintah itu menghendaki segera dilaksanakan kecuali ada qarinah-qarinah tertentu yang menyatakan jika suatu perbuatan tersebut tidak segera dilaksanakan. Kaidah keempat adalah Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan ( berkali-kali mengerjakan perintah), kecuali adanya qarinah atau kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan. Para ulama mengelompokkan menjadi 3 perintah tersebut dikaitkan dengan syarat, perintah dikaitkan dengan illat, perintah dikaitkan dengan sifat atau keadaan yang bersifat illat.
Sedangkan Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Bentuknya yaitu fiil yang didahului oleh lanahiyah, beberapa lafaz yang mengandung makna nahi. Kaidah nahi yaitu pada dasarnya larangan itu menunjukkan kepada haram kecuali ada qarinah-qarinah tertentu. Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad ( rusak) secara mutlak. Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu. Bagi para mufassir sangat penting untuk mengetahui kaidah-kaidah tersebut karena memudahkan dalam menafsirkan Al-Quran terutama ayat-ayat yang berhubungan dengn penggalian suatu hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Syafi‟i. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia).
Rifa‟i, Moh. 1973. Ushul Fiqih (Bandung:PT Alma‟arif).
Uman, Chaerul dan Achyar Aminudin. 2001. Ushul Fiqih II (Bandung: Pustaka Setia).
Zein, Ma‟shumdan Satria Efendi. 2008. UshulFiqh (Jakarta:Kencan Perdana Media Group).
Zudbah, Muhammad Ma‟sum Zein. 2008. Ushul Fiqh (Jawa Timur:Darul Hikmah).
Zuhri,Moh dan Ahmad Qarib.1994. Ilmu Ushul Fiqih (Semarang:Toha Putra Group).