Departemen Ilmu Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
ASPEK LABORATORIUM SINDROM METABOLIK
Oleh:
A. Sri Mutmainna 70700122026 Annisa Dwi Kemalahayati 70700122027
Pembimbing Supervisior : dr. Suci Aprianti, Sp.PK., M.Kes DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2023
LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan judul
“ASPEK LABORATORIUM SINDROM METABOLIK”
Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui Pada Tanggal
Oleh :
Pembimbing Supervisor
dr. Suci Aprianti, Sp.PK., M.Kes
Mengetahui,
Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter UIN Alauddin Makassar
dr. Azizah Nurdin, Sp.OG, M. Kes NIP. 198409052009012011
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan referat dengan topik “ASPEK LABORATORIUM SINDROM METABOLIK”. Salam dan Shalawat semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW. yang telah menjadi rahmatan lil alamiin. Referat ini penulis susun sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik pada bagian Patologi Klinik Program Profesi Dokter UIN Alauddin Makassar dan RSUD HAJI Makassar.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih, rasa hormat dan penghargaan atas semua bantuan dan dukungan selama penyusunan referat ini kepada pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan saran dalam penulisan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat dan rekan-rekan yang memberikan dukungan sehingga referat ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun agar referat ini kelak bisa bermanfaat bagi semua pihak, khususnya dalam bidang Patologi Kilink. Semoga Allah SWT. senantiasa melindungi kita semua. Aamiin Yaa Rabbal Alaamiin.
Makassar, 07 Mei 2023
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...ii
KATA PENGANTAR...iii
DAFTAR ISI...iv
BAB I PENDAHULUAN...1
BAB II PEMBAHASAN...2
A. DEFINISI...2
B. EPIDEMIOLOGI...2
C. ETIOPATOFISIOLOGI...3
D. PENEGAKKAN DIAGNOSIS...9
1. Anamnesis...9
2. Pemeriksaan Fisik...10
3. Pemeriksaan Penunjang...10
E. TATALAKSANA...12
F. PROGNOSIS...15
BAB III PENUTUP...16
Kesimpulan...16
DAFTAR PUSTAKA...17
BAB I PENDAHULUAN
Sindrom metabolik (SM) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari obesitas sentral, kadar trigliserida (TG) yang tinggi, hipertensi (HT), high density lipoprotein (HDL) rendah, dan peningkatan kadar glukosa darah puasa (GDP).
Terdapat beberapa kriteria yang mendefinisikan sindrom metabolik; World Health Organization (WHO) 1999, National Cholesterol Education Programme and Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III 2001), NCEP sedikit diperbarui oleh AHA/NHLBI pada tahun 2005 dan International Diabetes Federation (IDF). Secara global menurut center of disease control and prevention (CDC), di Amerika Serikat terjadi peningkatan sebanyak 35% dari tahun 1980-2012. Di Indonesia sebanyak 23,34% dari total populasi mengalami sindrom metabolik, 26,2% pada laki-laki dan 21,4% perempuan.
Patomekanisme terjadinya sindrom metabolik meliputi resistensi insulin, neurohormonal dan peradangan yang saling berhubungan satu sama lain. Mekanisme yang terjadi sangat dipengaruhi oleh genetik dan pola hidup seseorang. Pola hidup dengan makan berlebih dan aktivitas fisik yang kurang merupakan pemicu utama terjadinya sindrom metabolik. Kumpulan gejala pada sindrom metabolik merupakan kondisi yang diam atau dapat dikatakan sebagai silent killer. Sehingga sindrom metabolik ini perlu untuk dipelajari dan dibahas lebih lanjut. Kondisi patologis pada sindrom metabolik berupa DM tipe 2, Hipertensi, dan Dislipidemia yang ketiganya dapat berujuang kepada penyakit kardiovaskular bahkan sampai kematian.
BAB II PEMBAHASAN A. DEFINISI
Sindrom metabolik (SM) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari obesitas sentral, kadar trigliserida (TG) yang tinggi, hipertensi (HI), high density lipoprotein (HDL) rendah, dan tingginya kadar glukosa darah puasa (GDP). Terdapat beberapa kriteria yang mendefinisikan sindrom metabolik;
World Health Organization (WHO) 1999, National Cholesterol Education Programme and Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III 2001), NCEP sedikit diperbarui oleh AHA/NHLBI pada tahun 2005 dan International Diabetes Federation (IDF). Untuk kawasan Asia NCEP memodifikasi kriteria yang sebelumnya untuk menyesuaikan dengan orang-orang Asia. Modifikasi tersebut berupa peningkatan ukuran lingkar pinggang (> 90 cm untuk laki-laki dan > 80 cm untuk wanita), peningkatan kadar trigliserida darah (> 150 mg/dl), kadar HDL kolesterol yang rendah (laki-laki < 45 mg/dl dan wanita <
50 mg/dl), tekanan darah tinggi (≥ 130/≥ 85 mm Hg), dan kadar gula darah puasa > 110 mg/dl) dengan kriteria sebelumnya.1-6
B. EPIDEMIOLOGI
Secara global menurut Center Of Disease Control And Prevention (CDC), di Amerika Serikat terjadi peningkatan sebanyak 35% dari tahun 1980-2012. Prevalensi sindrom metabolik berkorelasi dengan obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Sekitar 85% pasien dengan diabetes melitus tipe 2 juga menderita sindrom metabolik, yang merupakan factor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Pada tahun 2017 sekitar 12,2% dari populasi di
Amerika Serikat menderita diabetes melitus tipe 2. Prevalensi sindrom metabolik berdasarkan pada definisi NCEP ATP III tahun 2001 memperlihatkan hasil yang bervariasi dari 8-43% pada laki-laki dan 7-56%
pada perempuan di seluruh dunia. Prevalensi sindroma metabolik di asia berkisar antara 10-15%.7
Sindrom metabolik merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit tidak menular yang angka kesakitan dan kematiannya tinggi diantara penyakit stroke, penyakit kardiovaskular, diabtes melitus tipe 2 dan kanker.
Diperkirakan ada lebih dari 1 miliar penduduk dunia teridentifikasi mengalami SM. Peningkatan SM didunia disebabkan adanya peningkatan prevalensi obesitas sentral di seluruh dunia. Prevalensi SM yang tinggi lebih banyak ditemukan didaerah urban di beberapa negara berkembang dunia. Di Indonesia sebanyak 23,34% dari total populasi mengalami sindrom metabolik, 26,2% pada laki-laki dan 21,4% perempuan. Beberapa penelitian menyebutkan insiden sindrom metabolik lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan, kebalikannya ada juga yang mendapatkan hasil yang berbeda pada penelitian lain.8
Gambar 2. Ilustrasi bentuk tubuh dan penyakit penyerta pada orang dengan sindrom metabolik26
C. ETIOPATOFISIOLOGI
Gambar 1. Bagan patofisiologi Sindrom Metabolik7
AT 2; Angiotensin 2, TNF; Tumor Necrosis Factor, IL; Interleukin, CRP; C- Reactive Protein; ROS; Reactive Oxygen Species, RAAS; Renin Aldosterone Angiotensine System, LOX; Lectin-Like Oxidized Low-Density Lipoprotein.
Sindrom metabolik sangat dipengaruhi oleh genetik, epigenetik, gaya hidup dan lingkungan seperti makan berlebihan dan kurangnya aktivitas fisik yang berlanjut pada 3 mekanisme yang mendasari sindrom metabolik yaitu resistensi insulin, peradangan kronis dan aktivasi neurohormonal. Makan berlebihan dan aktivitas yang kurang menyebabkan timbunan lemak viseral.
Lipid yang terdapat pada makanan meliputi trigliserida, fosfolipid dan kolesterol. Trigliserida merupakan sumber dari asam lemak dan membentuk lipid di jaringan adiposa. Metabolisme lemak meliputi metabolisme eksogen dan endogen. Mekanisme eksogen terjadi diluar hepar, trigliserida dihidrolisis dalam usus oleh lipase pankreas menjadi asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) dan monogliserida. Setelah terhidrolisis FFA masuk ke brush border enterosit.
Dalam enterosit, asam lemak bebas akan diubah lagi menjadi trigliserida, sedangkan kolesterol akan mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester; keduanya bersama dengan fosfolipid dan apoprotein B-48 akan membentuk lipoprotein yang disebut kilomikron nascent. Kilomikron masuk kedalam saluran limfe dan masuk ke pembuluh darah. Trigliserida pada kilomikron akan dihidrolisis kembali oleh lipoprotein lipase kemudian melepaskan FFA. FFA kemudian diambil oleh miosit dan adiposit sebagai sumber energi. Jika asam lemak bebas berlebih dalam tubuh, kelebihan tersebut akan diambil hati sebagai bahan pembentuk trigliserida dan melanjutkan metabolisme endogen di hepar. Di hepar, deposit lipid dimetabolisme menjadi trigliserida. Trigliserida dan fosfolipid yang digunakan untuk pembentukan VLDL yang disintesis dalam retikulum endoplasma. Trigliserida VLDL akan dihidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase (LPL) dan hepatik lipase (HL) menjadi asam lemak bebas.7,8,9,10
Kilomikron yang kehilangan trigliseridanya (metabolisme eksogen) akan menjadi kilomikron remnan yang merupakan komponen lipid utama pada lesi aterosklerosis. Kilomikron remnan dapat masuk ke subendotel dan akan difagositosis oleh makrofag. Semakin banyak mengonsumsi makanan, utamanya makanan yang berlemak makan akan semakin meningkatkan kadar FFA dalam tubuh memalui metabolisme lemak. FFA menghambat protein kinase di otot dan menyebabkan berkurangnya penyerapan glukosa. FFA meningkatkan aktivasi protein kinase dihati yang mendorong glukoneogenesis dan lipogenesis. Penghambatan penyerapan glukosa di otot dan glukoneogenesis serta lipogenesis ini menyebabkan terciptanya keadaan hyperinsulinemia. Keadaan yang terjadi terus menerus berujung pada kompensasi insulin yang gagal dan sekresi insulin menurun. FFA juga bersifat lipotoksik terhadap sel beta pankreas yang menyebabkan penurunan sekresi insulin. Peningkatan FFA menyebabkan peningkatan sintesis trigliserida dan produksi apolipoprotein B yang mengandung lipoprotein densitas rendah
(very low-density lipoprotein/VLDL) kaya trigliserida di hati. LDL memberikan efek tidak langsung dari resistensi insulin. Resistensi insulin berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi karena hilangnya efek vasodilator dan vasokonstriksi dari insulin.7,9,10
Resistensi insulin yang terjadi memberikan sinyal ke sel beta pankreas untuk meningkatkan sekresi insulin sebagai mekanisme kompensasi. Sel beta pankreas yang bekerja berlebihan pada akhirnya akan mengalami tire out dan terjadi penurunan sekresi. Penurunan sekresi insulin pada tubuh penyebabkan kondisi hiperglikemia, kondisi hiperglikemia juga merangsang sel beta pankreas untuk meningkatkan sekresi insulin yang disebut juga glucotoxiciy.
Kondisi ini terus menerus berulang dan dapat dikatakan sebagai lingkaran setan. Pada akhirnya sel beta pankreas akan berhenti memproduksi insulin dan berujung pada diabetes melitus tipe II.11
Gambar 2. Bagan pathogenesis Diabetes Melitus tipe II11 Secara hormonal jaringan adiposa selain berfungsi sebagai penyimpanan energi juga bertindak sebagai organ endokrin yang memproduksi adipokin, dalam hal ini adalah leptin dan adiponektin. Obesitas meningkatkan kadar leptin. Leptin memiliki sifat proinflamasi yang secara
langsung memengaruhi respon inflamasi dengan mengaktivasi monosit, leukosit, dan makrofag untuk menghasilkan interleukin, sitokin dan kemokin.
Leptin juga mengiduksi C-reactive protein, molekul adhesi dan tromboplastin jaringan pada endotel arteri koronaria yang bisa menyebabkan aterosklerosis.
Hal ini kemudian menginduksi stress oksidatif dan hipoksia yang berujung pada penyakit kardiovaskular.10,12,13
Kondisi obesitas menyebabkan penurunan produksi adiponektin berkurang. Adiponektin memiliki beberapa fungsi seperti mengurangi peradangan dan stress oksidatif, bersifat protektif terhadap sel beta pankreas, meningkatkan penggunaan glukosa dan oksidasi asam lemak pada otot, mengurangi produksi glukosa hati, meningkatkan penyerapan glukosa yang diinduksi insulin dan juga sebagai anti-diabetes. Sehingga penurunan adiponektin pada obesitas menjadi salah satu risiko dan mekanisme yang mendasari penyakit diabetes melitus dan kardiovaskular.10,12,13
Tidak hanya renin pada ginjal, jaringan adiposa juga dapat memproduksi Angiotensin II. Sehingga peningkatan lemak viseral juga meningkatkan Angiotensin II. Angiotensin II mengaktifkan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase yang merangsang pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS). ROS dapat menyebabkan beberapa kelainan, diantaranya disfungsi endotel yang ditandai dengan penurunan bioavailabilitas vasodilatasi endotel dan nitrit oxide (NO). serta peningkatan faktor kontraktil endothelium yang mendukung terjadinya aterosklerosis.10,12,13
Resistensi insulin, peningkatan leptin, penurunan adiponektin, dan produksi dari Angiotensin II merupakan faktor pro-aterogenik. Pada mekanisme peradangan dimana TNF alfa diproduksi oleh jaringan adiposa akan meningkat seiring bertambahnya massa jaringan adiposa. TNF alfa menyebabkan inaktivasi reseptor insulin, menginduksi lipolisis yang meningkatkan kadar FFA dan menghambat pelepasan adiponektin. Selain TNF alfa, sel adiposit pada jaringan adiposa juga memproduksi IL-6. IL-6
meningkatkan kadar fibrinogen yang menyebakan kondisi protrombotik serta meningkatkan ekspresi molekul adhesi oleh sel endotel dan aktivasi RAS yang berujung pada kondisi aterosklerotik.10,12,13
Gambar 2. Bagan patogenesis Aterosklerosis14
Patogenesis aterosklerosis terbagi atas beberapa tahap yaitu disfungsi endotel, masuknya lipoprotein pada subendotel, migrasi leukosit, terbentuknya sel busa atau foam cell dan migrasi otot polos. Dalam arteri yang sehat, strukur sel endotel tersusun secara rapat dan berfungsi membatasi masuknya molekul besar dari sirkulasi ke ruang subendotel.15
Disfungsi endotel dapat disebabkan stres fisik. Stres fisik pada sel endotel terjadi antara lain bila ada gangguan pada hidrodinamik sirkulasi darah seperti hipertensi. Stres fisik ini terutama lebih mudah terjadi pada daerah percabangan arteri. Disfungsi endotel juga dapat disebabkan iritasi oleh zat kimia yang terdapat di dalam darah seperti zat-zat yang terdapat di dalam asap rokok, peningkatan kadar kolesterol yang tinggi di dalam darah, peningkatan kadar gula darah pada penyakit diabetes, serta infeksi mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan sel-sel endotel pembuluh darah.15
Ketika stres fisik dan kimia mengganggu homeostasis normal sel endotel, sel endotel akan teraktivasi, diwujudkan dengan terjadi peningkatan permeabilitas sel endotel, pelepasan sitokin inflamasi, peningkatan produksi molekul adhesi permukaan yang akan menarik leukosit, perubahan pelepasan zat vasoaktif (prostasiklin dan NO), dan gangguan fungsi antitrombotik yang normal.15
Disfungsi endotel menyebabkan terjadi peningkatan permeabilitas pada lapisan intima, mengakibatkan LDL dapat masuk ke dalam ruang subendotel. Hal ini semakin dipermudah bila terdapat peningkatan kadar LDL yang tinggi di dalam darah. LDL akan menumpuk di ruang subendotel dan berikatan dengan komponen matriks ekstraseluler yang disebut proteoglikan.
Ikatan ini membuat LDL terperangkap di dalam dinding pembuluh darah.
LDL akan mengalami modifikasi secara kimia, yaitu akan teroksidasi di dalam ruang subendotel. LDL yang teroksidasi akan merangsang sel endotel mengeluarkan Monocyte Chemotactic Protein-1 (MCP-1). Protein ini akan menarik monosit yang beredar di dalam darah untuk bermigrasi ke dalam lapisan intima. Protein ini juga merangsang monosit untuk berdiferensiasi menjadi makrofag di dalam lapisan intima.15
Setelah masuk ke dalam lapisa intima, monosit akan berdifferensiasi menjadi makrofag. Sel makrofag akan menghasilkan sitokin diantaranya yaitu Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α), yang akan mengaktivasi produksi molekul adhesi (VCAM-1, ICAM-1, E-selectin) oleh sel endotel.
Terbentuknya Molekul adhesi ini memudahkan monosit untuk menempel lebih banyak pada dinding pembuluh darah, sehingga monosit akan bertambah banyak masuk ruang sub endotel. Selanjutnya monosit yang telah berdiferensiasi menjadi makrofag melalui reseptor scavenger akan memakan LDL yang telah mengalami modifikasi dalam jumlah yang banyak membentuk sel busa.15
Sel busa memproduksi Platelet-Derived Growth Factor (PDGF) yang dapat merangsang sel-sel otot polos di tunika media berpindah ke tunika intima. PDGF juga merangsang pertumbuhan sel-sel otot polos di dalam lapisan intima. Sel busa juga meghasilkan faktor pertumbuhan dan citokine seperti TNF-α, IL-1, fibroblast growth factor, dan transforming growth factor ß (TGF-ß) yang akan merangsang proliferasi sel-sel otot polos di tunika intima.15
D. PENEGAKKAN DIAGNOSIS 1. Anamnesis
Pasien bisa saja tidak memiliki riwayat keluarga yang memiliki penyakit atau sindrom yang sama, kita sebagai dokter juga tidak menemukan adanya hubungan genetik pada sindrom metabolik yang diderita pasien, namun ada beberapa gangguan secara genetik yang dapat menjadi predisposisi atau faktor risiko yang membuat pasien mengalami sindrom metabolik dan resisten insulin. Oleh karena itu pasien harus ditanyakan mengenai penyakit yang bersifat genetik (riwayat peyakit pada keluaraga).16,17
Gaya hidup pasien juga harus ditanyakan, karena ada faktor (yang bisa diubah) yang dapat memperburuk atau memunculkan sindrom metabolik yang diderita pasien. 16,17
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisis dibutuhkan untuk mendiagnosis sindrom metabolik, mialnya seperti pada salah satu kriterria yaitu lingkar perut. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital pasien bisa memiliki hasil seperti, hipertensi, atau pemeriksaan PCOT kolesterol pasien menunjukan angka yang tinggi.17,18
Pasien yang dicurigai memiliki sindrom metabolik yang menunjukan resisten insulin (diabetes melitus) harus dilakukan pemeriksaan fisis secara seksama, dokter harus bisa melihat tanda-tanda seperti neuropati, retinopati atau akantosis nigrikans pada pasien. Dokter juga harus memeriksa bagaimana keadangan sistem kardiovaskular pasien dengan melakukan auskultasi, dapat terjadi kemungkinan adanya suarat arterial bruits karena aterosklerosis yang diderita pasien. Pasien yang memiliki dislipidemia memiliki kulit xanthomas.17,18
Seseorang yang memiliki lingkar pinggang besar memiliki total lemak tubuh yang tinggi, lingkap perut dijadikan patokan obesitas sentral yang meningakatkan risiko sindrom metabolik. Pria memiliki ukuran ≥90cm dan wanita ≥80cm yang berisikko terhadap sindrom metabolik.17,18 3. Pemeriksaan Penunjang
Anamnesis dan pemeriksaan fisis pada pasien yang mengarah ke sindrom metabolik bisa dipastikan dan ditunjang dengan beberapa analisis laboratorium. Pemeriksaan HbA1C untuk memeriksa resisten insulin dan diabetes melitus tipe dua. Pemeriksaan level trigleserida (meningkat), level HDL (menurun), lipoprotein (meningkat) pada pasien dengan sindrom metabolik. Evalusi laboratorium juga harus mengevaluasi fungsi ginjal, karena bisa saja terjadi disfungsi. Pemeriksaan seperti C-reactive protein, fungsi hati, pemeriksaan tiroid, asam urat dapat mendukung diagnosis sindrom metabolik.18,19
Pemeriksaan radiologi bisa dilakukan untuk melihat adanya kecurigaan aterosklerosis arteri koroner, elektrokardioram juga dapat dilakukan untuk mengevaluasi tanda iskemik jantung, infark miokardium, aritmia yang dapat mengarah pada penyakit hipertesi heart disease.18,19
Tabel 1. Kriteria sindrom metabolik20
Kriteria WHO EGIR ATP III AACE
Klinis (IR + 2)
(IR + 2)
(3/5) (3/5)
Insulin Resistance
IGT/IF R IR
Plasma Insulin
>75th percenti le
- -
Ekskresi albumin urin
>20 µg/menit Ratio
lingkar pinggang- panggul pria wanita
>0.90
>0.85
Lingkar pinggang pria wanita
Memakai rasio
pinggang, L
>0.9,
W>0.85 dan atau BMI
>30
L ≥ 94 cm W ≥80 cm
L ≥102 cm W ≥88 cm
L ≥102 cm W ≥88 cm
Trigliserida/
Dislipidemi a
≥150 mg/dL atau TG ≥ 1.69 mmol/L, HDL-C (laki2 <0.90 mmol/L,
≥150 mg/dL TG ≥ 1.69 mmol/L, HDL-C
<1.01
≥150 mg/dL, TG
≥ 1.69 mmol/L, HDL-C (laki2 <1.03 mmol/L,
≥150 mg/dL, , TG ≥ 1.69 mmol/L, HDL-C (laki2 <1.03 mmol/L,
perempuan
<0,1 mmol/L)
perempuan
<1.29 mmol/L)
perempuan
<1.29 mmol/L) Kolesterol
HDL Pria
Wanita <35 mg/dL
<39 mg/dL
<39 mg/dL
<39 mg/dL
<40 mg/dL
<50 mg/dL
<40 mg/dL
<50 mg/dL Tekanan
Darah
`
≥140/90 mmHg
≥140/90 mmHg atau sedang mengonsum si obat antihiperten si
≥130/85 mmHg atau sedang mengonsu msi obat antihiperte nsi
≥130/85 mmHg atau sedang mengonsu msi obat antihiperten si
Glukosa Darah
IFG/IGT/T2 DM
IFG/IGT /GDP≥6.1m mol/l (untuk menyingkir kan dm)
GDP ≥110 mg/dl
GDP 110- 125, GD 2 J PP 140- 200 mg/dl
E. TATALAKSANA
Tatalaksana yang diberikan harus sesuai dengan kondisi dan menghindari faktor risiko. Faktor yang dapat diubah seperti melakukan diet, atau olahraga juga harus dianjurkan. Sesuai dengan Joint National Comitte (JNC) target untuk tekanan darah pasien harus mencapai 140/90 mmHg, dan pada pasien diabetes melitus targetnya yaitu 130/80 mmHg. Untuk pasien yang berusia 60 atau lebih tua target tekanan darahnya yaitu kurang dari 150/90 mmHg.21
Pasien dengan hiperglyceridemia yaitu kadar trigleserida lebih dari 150 mg/dL, harus diperiksakan juga analisis lipid yang lengkap, level TSH, urinalisis, dan fungsi hati. Setelah dilakukan analisis tersebut maka dokter bisa memberikan konsultasi mengenai perubahan gaya hidup seperti berhenti merorkok, menurunkan berar badan, diet dan olahraga. Pasien yang memiliki gangguan dislipidemia bisa diobati dengan fibrates, niacin dan asam omgea.
LDL yang meningkat bisa ditangan dengan obat yang sama terutama pasien dengan aterosklerosis, pasien seperti ini harus ditargetkan menurunkan level LDL sebanyak 50%. 21
Pasien dengan obesitas yang berat dapat ditatalaksaana dengan operasi bariatrik. Operasi bariatrik adalah operasi yang efektif untuk salahsatu terapi sindrm metabolik. Prosedur yang paling umum dilakukan adalah, laparoskopi lambung (yang dapat disesuikan), laparoskopi Roux-en-Y bypass lambung, gasterektomi laparoskopi. Operasi bariatrik direkomendasikan untuk pasien dengan BMI ≥ 40kg/m2 atau BMI ≥ 35 kg/m2 dan komorbid lainnya. Pasien harus di follow up dalam waktu yang panjang, meperhatikan nutrisi pasien, dan memperhatikan apakah ada komplikasi psikiatri.22
Tatalaksana yang diberikan harus sesuai dengan kondisi dan menghindari faktor risiko. Faktor yang dapat diubah seperti melakukan diet, atau olahraga juga harus dianjurkan. Sesuai dengan Joint National Comitte (JNC) target untuk tekanan darah pasien harus mencapai 140/90 mmHg, dan pada pasien diabetes melitus targetnya yaitu 130/80 mmHg. Untuk pasien yang berusia 60 atau lebih tua target tekanan darahnya yaitu kurang dari 150/90 mmHg.6
Pasien dengan hiperglyceridemia yaitu kadar trigleserida lebih dari 150 mg/dL, harus diperiksakan juga analisis lipid yang lengkap, level TSH, urinalisis, dan fungsi hati. Setelah dilakukan analisis tersebut maka dokter bisa memberikan konsultasi mengenai perubahan gaya hidup seperti berhenti merorkok, menurunkan berar badan, diet dan olahraga. Pasien yang memiliki gangguan dislipidemia bisa diobati dengan fibrates, niacin dan asam omgea.
LDL yang meningkat bisa ditangan dengan obat yang sama terutama pasien dengan aterosklerosis, pasien seperti ini harus ditargetkan menurunkan level LDL sebanyak 50%. 6
Pasien dengan obesitas yang berat dapat ditatalaksaana dengan operasi bariatrik. Operasi bariatrik adalah operasi yang efektif untuk salahsatu terapi sindrm metabolik. Prosedur yang paling umum dilakukan adalah, laparoskopi lambung (yang dapat disesuikan), laparoskopi Roux-en-Y bypass lambung, gasterektomi laparoskopi. Operasi bariatrik direkomendasikan untuk pasien dengan BMI ≥ 40kg/m2 atau BMI ≥ 35 kg/m2 dan komorbid lainnya. Pasien harus di follow up dalam waktu yang panjang, meperhatikan nutrisi pasien, dan memperhatikan apakah ada komplikasi psikiatri.22
Farmakoterapi dipertimbangkan pada paien dengan kasus risiko yangs sangat tinggi, yaitu ketika telah dilakukan modifikasi gaya hidup dan evaluasi kolesterol LDL tetap sama tinggi, pemerian statin bertujuan untuk menunjukan kadar LDLD darah, tetap dilakukan edukasi makanan, gaya hidup dan follow up yang teratur. Pada Anak atau remaja diberikan statin dengan golongan 3 hydroxy-3-methyl-glutaryl coenzim A reductase inhibitors, jika setelah terapi farmakologi pasien masih memiliki kadar LDL yang sama atau lebih tinggi maka harus segera dirujuk ke dokter spesialis.23
Terapi untuk hipertensi untuk nonfarmakologi yaitu penurunan berat badan, diet rendah lemak dan garam, olahraga teratur, berhenti merokok atau minm alkohol, untuk diet rendah garam 1,2 g/hari pada Anak 4-8 tahun dan 1,5 g/hari untuk Anak >8 tahun. Indikasi pemberian farmakoterapi pada hipertensi adalah, adanya hipertensi simtomatik, muncul kerusakan organ, hipertensi sekunder, diabetes melitus, hipertensi derajat 1 yang tidak respon dengan nonfaramkoterapi, hipertensi derajat.23,24
Modifikasi gaya hidup, menurunkan asupan Modifikasi gaya hidup, menurunkan asupan kalori, dan meningkatkan aktivitas fisik masih merupakan tata laksana terpenting sindrom metabolik. Namun, beberapa systematic
review menunjukkan bahwa penggunaan metformin 1000-2000 mg per hari dalam dosis terbagi dua selama 6-12 bulan dapat sedikit menurunkan IMT dan memperbaiki sensitivitas insulin pada anak dan remaja yang mengalami obesitas dan resistensi insulin.24,25
F. PROGNOSIS
Komponen sindrom metabolik dapat mengalami perbaikan dengan tatalaksana yang memprioritaskan program tatalaksanan berat badan yang intesif, disamping modifikasi gaya hidup dan tatalaksana faktor risiko klinis lain terkait dengan penyakit kardiovaskular.22
BAB III PENUTUP Kesimpulan
Sindrom metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik.
Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari Sindrom Metabolik adalah resistensi insulin Patofisiologi SM masih menjadi kontroversi, namun hipotesis yang paling banyak diterima adalah resistensi insulin. Obesitas merupakan komponen utama kejadian SM, namun mekanisme yang jelas belum diketahui secara pasti.
Meningkatnya ROS di dalam sel adipose dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks) terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan aterosklerosis. Prevalensi SM Di dunia adalah 20– 25%.
Prevalensi sindrom metabolik sangat bervariasi oleh karena beberapa hal antara lain ketidakseragaman kriteria yang digunakan, perbedaan etnis/ras, umur dan jenis kelamin. Walaupun demikian prevalensi SM cenderung meningkat oleh karena meningkatnya prevalensi obesitas maupun obesitas sentral. penelitian terhadap urban Brazil ditemukan prevalensi SM lebih tinggi pada pria muda dibanding wanita.
Namun seiring dengan pertambahan umur, prevalensinya meningkat pada wanita.
Faktor resiko SM meliputi gaya hidup (pola makan, merokok, aktivitas fisik), genetic, social ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Christijani, R. (2019). Penentuan Diagnosis Sindrom Metabolik Berdasarkan Penilaian Skor Sindrom Metabolik Dan Ncep Atp-Iii Pada Remaja [Penelitian Di Beberapa Sma Di Kota Bogor]. Penelitian Gizi Dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research), 42(1), 21–28.
https://doi.org/10.22435/pgm.v42i1.2418
2. Kumari, R., Kumar, S., & Kant, R. (2019). An update on metabolic syndrome:
Metabolic risk markers and adipokines in the development of metabolic syndrome. Diabetes and Metabolic Syndrome: Clinical Research and Reviews, 13(4), 2409–2417. https://doi.org/10.1016/j.dsx.2019.06.005
3. Listyandini, R., Pertiwi, F., & Riana, D. (2020). Asupan Makan, Stress, dan Aktivitas Fisik dengan Sindrom Metabolik pada Pekerja Di Jakarta. Jurnal Kajian Dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat, 01(01), 19–32.
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
4. Nurzakiah, Hadju, V., Jafar, N., Indriasari, R., Sirajuddin, S., & Amiruddin, R. (2021). Literature Review: Pengaruh Pola Makan Terhadap Sindrom Metabolik. Jurnal Kajian Dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat, 1(2), 215–224.
5. Prihaningtyas, R. A., Widjaja, N. A., Hanindita, M. H., & Irawan, R. (2020).
Diet dan Sindrom Metabolik pada Remaja Obesitas. Amerta Nutrition, 4(3), 191. https://doi.org/10.20473/amnt.v4i3.2020.191-197
6. Rismayanthi, C., Sudibjo, P., Arovah, N. I., & Apriyanto, K. D. (2019).
Penyuluhan Aktivitas Fisik Dan Screening Parameter Sindrom Metabolik
Pada Populasi Lansia. Medikora, 18(1), 33–39.
https://doi.org/10.21831/medikora.v18i1.29194
7. Fahed, G., Aoun, L., Bou Zerdan, M., Allam, S., Bou Zerdan, M., Bouferraa, Y., & Assi, H. I. (2022). Metabolic Syndrome: Updates on Pathophysiology and Management in 2021. International journal of molecular sciences, 23(2), 786. https://doi.org/10.3390/ijms23020786
8. Nurzakiah, Hadju, V., Indrisari, R., Sirajuddin , S., & Amiruddin, R. (2021).
Literature Review: Pengaruh Pola Makan terhadap Sindrom Metabolik. AN- NUR, 1(2), 215-224.
9. Jim, E. (2013). Metabolisme Lipoprotein. Jurnal Biomedik, 5(3), 149-156.
10.Rochlani, Y., Pothineni, N. V., Kovelamudi, S., & Mehta, J. L. (2017).
Metabolic syndrome: pathophysiology, management, and modulation by natural compounds. Therapeutic advances in cardiovascular disease, 11(8), 215–225. https://doi.org/10.1177/1753944717711379
11.The Calgary Guide (2013) Diabtes Melitus Type II : Pathogenesis.
https://calgaryguide.ucalgary.ca/ischemic-stroke-pathogenesis/. Diakses Mei 2023.
12.Ragino, Y., Polonskaya, Y., Spiridonov, A., Striukova, E., Shcherbakova, L., Khudiakova, A., Shramko, V., et al. (2022). Adipokines, Metabolic Hormones and Their Associations with Abdominal Obesity against a Background of Hyper-LDL-C in Young People. Journal of Personalized Medicine, 12(11), 1823. MDPI AG. Retrieved from http://dx.doi.org/10.3390/jpm12111823 13.Rahmawati, A. (2014). Mekanisme Terjadinya Inflamasi dan Stress Oksidatif
pada Obesitas. El-Hayah, 5(1), 1-8.
14.The Calgary Guide (2013) Diabtes Melitus Type II : Pathogenesis.
https://calgaryguide.ucalgary.ca/ischemic-stroke-pathogenesis/. Diakses Mei 2023.
15.Erizon, & Karani, Y. (2020). HDL dan Aterosklerosis. Jurnal Human Care, 4(5), 1123-1131.
16.He Y, Wu W, Wu S, Zheng HM, Li P, Sheng HF, Chen MX, Chen ZH, Ji GY, Zheng ZD, Mujagond P, Chen XJ, Rong ZH, Chen P, Lyu LY, Wang X, Xu JB, Wu CB, Yu N, Xu YJ, Yin J, Raes J, Ma WJ, Zhou HW. Linking gut microbiota, metabolic syndrome and economic status based on a population- level analysis. Microbiome. 2018 Sep 24;6(1):172. [PMC free article:
PMC6154942] [PubMed: 30249275] 9
17.Cӑtoi AF, Pârvu AE, Andreicuț AD, Mironiuc A, Crӑciun A, Cӑtoi C, Pop ID.
Metabolically Healthy versus Unhealthy Morbidly Obese: Chronic Inflammation, Nitro-Oxidative Stress, and Insulin Resistance. Nutrients. 2018 Sep 01;10(9) [PMC free article: PMC6164113] [PubMed: 30200422] 10 18.Klimova B, Kuca K, Maresova P. Global View on Alzheimer's Disease and
Diabetes Melitus: Threats, Risks and Treatment Alzheimer's Disease and Diabetes Melitus. Curr Alzheimer Res. 2018;15(14):1277-1282. [PubMed:
30251605] 11
19.Chiarelli F, Mohn A. Early diagnosis of metabolic syndrome in children.
Lancet Child Adolesc Health. 2017 Oct;1(2):86-88. [PubMed: 30169210] 12 20.Rini Sandra. Sindrom Metabolik. Jurnal Majority. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. 4(4). 2015
21.Chambers JH, Zerofsky M, Lustig RH, Rosenthal P, Perito ER. Diet and Exercise in Pediatric Liver Transplant Recipients: Behaviors and Association With Metabolic Syndrome. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2019 Jan;68(1):81- 88. [PMC free article: PMC6758561] [PubMed: 30234760] 13
22.Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan Tata laksanan Sindrom Metabolik pada Anak ddan Remaja. Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014
23.Kelley E, Imboden MT, Harber MP, Finch H, Kaminsky LA, Whaley MH.
Cardiorespiratory Fitness Is Inversely Associated With Clustering of Metabolic Syndrome Risk Factors: The Ball State Adult Fitness Program Longitudinal Lifestyle Study. Mayo Clin Proc Innov Qual Outcomes. 2018 Jun;2(2):155-164. [PMC free article: PMC6124330] [PubMed: 30225445] 14 24.Hohenester S, Christiansen S, Nagel J, Wimmer R, Artmann R, Denk G,
Bischoff M, Bischoff G, Rust C. Lifestyle intervention for morbid obesity:
effects on liver steatosis, inflammation, and fibrosis. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 2018 Sep 01;315(3):G329-G338. [PubMed:
29878845] 15
25.Cordero P, Li J, Oben JA. Bariatric surgery as a treatment for metabolic syndrome. J R Coll Physicians Edinb. 2017 Dec;47(4):364-368. [PubMed:
29537411] 16
26.https://www.istockphoto.com/id/ilustrasi/metabolic-syndrome