1
Sexting: Awal Mimpi Buruk Kehidupan Remaja dalam Arus Informasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi internet telah merajalela di semua kalangan. Menggunakan telepon genggam dan mengakses internet telah menjadi rutinitas harian bagi banyak orang. Menurut data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia semakin meningkat, bahkan mencapai 230 juta penduduk pada 2022. Ini menyebabkan tingkat penetrasi internet di Indonesia menjadi sebesar 77,02%. Apabila ditinjau dari sisi usia, tingkat penetrasi internet paling tinggi berada di kelompok usia 13–18 tahun, yakni 99,16%. Artinya, ada 99,16% penduduk berusia 13–18 tahun yang menggunakan internet dari seluruh penduduk berusia 13–18 tahun di Indonesia.
Kemudahan yang ditawarkan internet, didukung dengan tingginya jumlah pengguna, menjadikan internet sebagai salah satu media untuk melakukan kejahatan, yang kita sebut dengan cyber crime. Cyber crime atau kejahatan siber adalah tindak kejahatan yang menggunakan komputer dan jaringan (Kominfo Kota Bogor, 2022). Parahnya, menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara dengan kejahatan siber yang tinggi, setelah Ukraina.
Menurut Devri Suherdi (2021), literasi digital merupakan pengetahuan serta kecakapan pengguna dalam memanfaatkan media digital, seperti alat komunikasi, jaringan internet, dan lain sebagainya. Kecakapan pengguna dalam literasi digital mencakup kemampuan untuk menemukan, mengerjakan, mengevaluasi, menggunakan, membuat serta memanfaatkannya dengan bijak, cerdas, cermat, serta tepat sesuai kegunaannya.
Berdasarkan hasil survei Status Literasi Digital Indonesia 2022 yang dilakukan Kementerian Kominfo dan bekerja sama dengan Katadata Insight Center (KIC), indeks literasi digital di Indonesia pada 2022 meningkat 0,05 poin menjadi 3,54 poin. Meskipun mengalami kenaikan, angka ini masih menunjukkan bahwa literasi digital di Indonesia berada pada level “sedang”.
Indeks ini diukur melalui 4 pilar yang terdiri dari kecakapan digital (digital skills), etika digital (digital ethics), keamanan digital (digital safety), dan budaya digital (digital culture). Dari keempat indeks tersebut pilar digital safety menunjukkan indeks terendah, yaitu sebesar 3,12 poin. Hal ini didukung oleh
2
rentannya keamanan ketika berselancar di dunia maya, serta maraknya penipuan serta kekerasan secara daring.
Menurut Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), tercatat 239,74 juta serangan siber yang masuk ke Indonesia sepanjang tahun 2021, dengan DKI Jakarta sebagai target utamanya. Selain itu, sepanjang tahun 2021, tercatat sejumlah 332 aduan serangan siber yang diterima oleh BSSN, yang didominasi oleh sektor pemerintah daerah. Berdasarkan jenis serangan yang dilaporkan, konten negatif menduduki peringkat keempat dengan 33 laporan.
Berdasarkan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), konten negatif adalah informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian pengguna. Hal ini menjadi gambaran bahwa serangan siber tidak hanya berupa peretasan maupun pengiriman virus-virus kepada pihak tertentu, tetapi juga dapat berupa penghinaan, pencemaran nama baik, sampai dengan kekerasan melalui internet.
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, kekerasan berbasis gender online di masa pandemi mengalami kenaikan. Di dalam survei lainnya, seperti United Nation (UN) Women, dinyatakan bahwa terdapat peningkatan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) secara tajam dan kurang dari 40% korban yang mencari pertolongan. Adapun identitas dari para pelaku sulit untuk diidentifikasi, sedangkan jejak digital korban tersebar di internet dan sulit dihapuskan.
Menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), kekerasan berbasis gender online (KBGO) adalah KBG yang difasilitasi teknologi, sama seperti kekerasan berbasis gender di dunia nyata, yang berupa tindak kekerasan pada seseorang yang didasarkan atas seks maupun gender. Hal ini termasuk tindakan yang mengakibatkan bahaya atau penderitaan fisik, mental, atau seksual, ancaman untuk tindakan tersebut, serta paksaan dan penghapusan kemerdekaan. Tindak kekerasan yang dilakukan harus memiliki niatan atau maksud melecehkan korban. Jika tidak, maka kekerasan tersebut masuk ke dalam kategori kekerasan umum di ranah online.
3
Data pengaduan langsung ke Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyebutkan bahwa terjadi kenaikan kasus KBGO dari tahun 2020 ke tahun 2021 sebanyak 83%, yaitu dari 940 menjadi 1.721 kasus. Pelaku terbanyak dalam masalah ini adalah mantan pacar sang korban, yaitu sebesar 617 orang serta ada pula pelaku yang berstatus pacar korban dengan 218 kasus. Salah satu penyebab kenaikan ini adalah adanya perilaku sexting.
Menurut Hudson & Marshall (2015), sexting didefinisikan sebagai mengirim pesan berupa gambar tanpa busana melalui komunikasi elektronik. Pada aktivitas sexting, terdapat dua bentuk pesan, yaitu pesan verbal dan nonverbal.
Pesan verbal diwujudkan dalam bentuk kata-kata atau kalimat yang bernada seksual, sedangkan sexting nonverbal dinyatakan dalam bentuk emotikon, video, foto, gambar, atau stiker yang juga bernada seksual. Dengan banyaknya masyarakat yang menggunakan aplikasi dan media sosial berbasis internet dan produk teknologi untuk berkomunikasi, tidak sedikit dari mereka yang tanpa sadar sudah melakukan kegiatan sexting, misalnya para remaja yang sedang menjalani hubungan spesial dengan lawan jenis.
Dalam berbagai penelitian, perilaku sexting dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor individu dan lingkungan. Faktor individu yang mendorong kalangan remaja melakukan sexting antara lain kondisi biologis, psikologis, dan spiritual yang dimiliki. Selain itu, ada juga faktor lingkungan yang meliputi keluarga dengan variasi dan pola interaksi, lingkungan kelompok teman sebaya dan pasangan dengan pola hubungannya, serta lingkungan masyarakat sebagai sistem kontrol informal.
Sebuah penelitian di beberapa sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) di Makassar pada 2018 menunjukkan hasil yang mengejutkan. Dari 192 remaja usia 13–18 tahun, hasil penelitian memperlihatkan bahwa 90,1% remaja telah terpapar perilaku sexting. Bahkan, terdapat 20,6%
remaja yang pernah melakukan sexting dengan pacarnya, serta terdapat 7,4%
remaja yang berani meminta gambar langsung kepada pacarnya. Media sosial yang paling banyak digunakan remaja dalam melakukan sexting adalah Facebook dengan persentase sebesar 31,4%.
4
Apabila perilaku sexting yang berkaitan dengan mengirim pesan ataupun foto berbau pornografi kepada pacarnya dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan munculnya masalah baru, yaitu revenge porn.
Sayangnya, hasil penelitian di Makassar sebelumnya menunjukkan bahwa 81,8%
remaja tidak mengetahui dampak dari perilaku sexting.
Revenge porn merupakan bentuk khusus malicious distribution (penyebaran konten yang merusak reputasi korban terlepas dari kebenarannya) yang dilakukan dengan menyebarkan konten-konten pornografi korban atas dasar balas dendam.
Berdasarkan Data Kuesioner Lembaga Layanan tahun 2020 oleh Komnas Perempuan, revenge porn menduduki peringkat ketiga tertinggi, yaitu sebanyak 71 kasus. Selain itu, jumlah yang dilaporkan hanya merepresentasikan kasus yang nampak atau bisa disebut “puncak gunung es di lautan”.
Revenge porn tentu saja memberi dampak negatif bagi korbannya.
Berdasarkan survei yang dilakukan Cyber Civil Rights Initiative, ditemukan bahwa 90% dari korban revenge porn adalah perempuan. Psikoterapis, Ariella Grosse, mengungkapkan bahwa korban revenge porn dapat merasa rendah diri, depresi, cemas, hingga penyalahgunaan zat terlarang. Tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, revenge porn juga mengakibatkan korban mengalami kerusakan reputasi. Kematian realitas untuk korban revenge porn menciptakan kebingungan dalam mendefinisikan apa yang nyata dan tidak.
Sebenarnya, masalah ini telah diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Pasal 14 Ayat 1. UU ini menerangkan terdapat tiga perilaku yang termasuk dalam perbuatan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Pertama, melakukan perekaman dan atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar. Kedua, mentransmisikan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual. Ketiga, melakukan penguntitan dan atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual. Ketiga perbuatan tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan atau denda paling banyak Rp 200 juta.
5
Dengan demikian, perlu dilakukan adanya pencegahan terhadap perilaku sexting, terutama kepada remaja. Pendidikan tentang literasi digital perlu dilakukan secara tepat dan komprehensif. Tujuan utama dari pendidikan literasi media adalah membangun keterampilan evaluasi kritis dengan mengajarkan mereka untuk mendekonstruksi pesan-pesan media dan memahami makna yang tersirat di balik pesan yang ditampilkan (Chen, 2013). Mediasi positif menekankan bagaimana remaja memilih dan memverifikasi informasi dari media yang baik dan bermanfaat.
Mereka perlu diajarkan untuk berpikir kritis dan diajak untuk menelaah tentang bagaimana teks media mampu meningkatkan pengetahuan dan melibatkan emosi.
Selain itu, remaja juga perlu diberikan gambaran tentang betapa bahayanya arus informasi yang begitu deras bagi kehidupan seseorang.
Tidak hanya itu, sex education (pendidikan seks) juga harus diberikan kepada anak dan remaja di Indonesia. Sex education bukanlah hal tabu untuk diberikan, melainkan sebagai bentuk perlindungan kepada diri sendiri dan orang lain terkait kesehatan reproduksi, mencegah seks bebas, mencegah kehamilan dini, serta mencegah aktivitas seks yang dilakukan dalam jejaring sosial media. Adanya unsur ketidaktahuan dampak perilaku sexting pada remaja membuat sex education harus diberikan sedini mungkin. Lingkungan terkecil, yaitu keluarga, memiliki keharusan untuk memberikan sex education. Tidak hanya itu, kurikulum pendidikan juga perlu dibenahi agar edukasi ini dapat diberikan secara tepat kepada para siswa.
Meningkatnya kasus KBGO menginisiasi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk siaga dan terbuka dengan pengaduan bagi perempuan yang menjadi korban revenge porn. Korban dapat mengadukan kasus revenge porn ke Komnas Perempuan.
Dengan demikian, derasnya arus informasi dapat membawa negatif bagi penggunanya, terutama kalangan remaja. Bahkan, hal ini dapat menjadi menjadi awal “mimpi buruk” bagi kehidupan remaja apabila tidak disertai dengan literasi digital serta sex education yang tepat. Meningkatnya kasus KBGO menginisiasi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk siaga dan terbuka dengan pengaduan bagi perempuan yang menjadi korban revenge porn. Korban dapat mengadukan kasus revenge porn ke Komnas Perempuan.
6 Daftar Pustaka
Agatha, D. (2022) Mengenal Dampak Revenge Porn, Bisakah Individu Sepenuhnya Terhindar? [Daring] Tersedia di:
https://www.liputan6.com/health/read/5163772/mengenal-dampak-revenge- porn-bisakah-individu-sepenuhnya-terhindar# [Diakses: 05/03/2023].
Agustini, P. (2023) Indeks Literasi Digital Indonesia Kembali Meningkat Tahun 2022. [Daring] Tersedia di:
https://aptika.kominfo.go.id/2023/02/indeks-literasi-digital-indonesia- kembali-meningkat-tahun-2022/ [Diakses: 01/03/2023].
Anjani, F. D., Raharjo, S. T., & Fedryansyah, M. (2022). Social Work Journal.
Faktor Individu Dan Lingkungan Sosial Sebagai Penyebab Perilaku Sexting Di Kalangan Remaja. [Daring] 12 (1). P. 19. Tersedia di:
https://doi.org/10.24198/share.v12i1.33684 [Diakses: 4 Maret 2023]
Badan Siber Dan Sandi Negara. (2022). Laporan Tahunan Monitoring Keamanan Siber 2021. [Daring] Jakarta Selatan, Badan Siber Dan Sandi Negara. Tersedia di:
https://cloud.bssn.go.id/s/Lyw8E4LxwNiJoNw [Diakses: 1 Maret 2023]
Bayu, D. (2022) APJII: Pengguna Internet Indonesia Tembus 210 Juta pada 2022.
[Daring] Tersedia di:
https://dataindonesia.id/digital/detail/apjii-pengguna-internet-indonesia- tembus-210-juta-pada-2022 [Diakses: 01/03/2023].
Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2021) Kemen Pppa Dorong Literasi Digital untuk Cegah Kekerasan Berbasis Gender Online (Kbgo) selama Masa Pandemi. [Daring] Tersedia di:
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3215/kemen-pppa- dorong-literasi-digital-untuk-cegah-kekerasan-berbasis-gender-online-kbgo- selama-masa-pandemi [Diakses: 04/03/2023].
Chen, Y.C. (2013) The Effectiveness of Different Approaches to Media Literacy in Modifying Adolescents’ Responses to Alcohol. Journal of Health Communication. 18(6), 723–739.
Dept. of International Relations Universitas Gadjah Mada. (2019) Revenge Porn:
Bahaya Hiperealitas dan Kekerasan Siber Berbasis Gender. [Daring]
Tersedia di:
https://iis.fisipol.ugm.ac.id/2019/07/25/revenge-porn-bahaya-hiperealitas- dan-kekerasan-siber-berbasis-gender/ [Diakses: 05/03/2023].
Diskominfo Kota Bogor. (2022) Kenali 4 Jenis Kejahatan Siber. [Daring] Tersedia di:
https://kominfo.kotabogor.go.id/index.php/post/single/740 [Diakses:
01/03/2023].
FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. (2022) Maraknya Kekerasan Seksual Lewat Media Sosial: Apa Itu “Sexting”?? [Daring] Tersedia di:
7
https://fisip.umsu.ac.id/2022/01/13/maraknya-kekerasan-seksual-lewat- media-sosial-apa-itu-sexting/ [Diakses: 04/03/2023].
Hasbiya, A. (2019) Pengaruh Impulsivitas, Self-Esteem, dan Religiusitas terhadap Perilaku Sexting. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. p. 3.
Jufri, M. (2019) Perilaku Sexting pada Remaja di Kota Makassar. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. p. 29–45.
Karnadi, A. (2022) Indonesia Alami 239,74 Juta Serangan Siber pada 2021.
[Daring] Tersedia di:
https://dataindonesia.id/digital/detail/indonesia-alami-23974-juta-serangan- siber-pada-2021 [Diakses: 01/03/2023].
Kementerian Komunikasi dan Informasi. (2015) Indonesia Peringkat ke-2 Dunia Kasus Kejahatan Siber. [Daring] Tersedia di:
https://www.kominfo.go.id/index.php/content/detail/4698/Indonesia-
Peringkat-ke-2-Dunia-Kasus-Kejahatan-Siber/0/sorotan_media [Diakses:
01/03/2023].
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2021) Catahu 2021:
Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2022) Catahu 2022:
Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2021. Jakarta:
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Kusuma, E., & Arum, N. S. Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online. [Online] Tersedia di:
https://awaskbgo.id/wp-content/uploads/2020/11/panduan-kbgo-v3.pdf [Diakses: 4 Maret 2023]
Luthfia, A. (2015) Pendidikan Literasi Media untuk Menghadapi Risiko Online dan Jaringan Komunikasi Remaja di Internet. CommLine. 6(2). p. 155–156.
Rifqi, M. (2022) Indonesia Darurat Sex Education. [Daring] Tersedia di:
https://www.kompasiana.com/imqi11/6285e22fbb44865b23750d32/indones ia-darurat-sex-education?page=2&page_images=1 [Diakses: 04/03/2023].
Radar Jember. (2021) Hampir 50 Persen Anak Pernah Sexting. [Daring] Tersedia di:
https://radarjember.jawapos.com/berita-jember/04/01/2021/hampir-50- persen-anak-pernah-sexting/ [Diakses: 04/03/2023].
Suherdi, D. (2021) Peran Literasi Digital di Masa Pandemi. Deli Serdang: Cattleya Darmaya Fortuna.