• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab 2 tinjauan pustaka akan dijelaskan mengenai keterkaitan beberapa referensi terhadap penelitian “Pengaruh Jumlah Zinc Oxide (ZnO) dan Kitosan Terhadap Nilai Kuat Tarik Bioplastik Dari Pati Kulit Singkong”. Bab 2 ini meliputi beberapa aspek bahasan, diantaranya : Plastik, Bioplastik, Biopolimer, Pati, Kitosan, Zinc Oxide (ZnO), Gliserol, Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), Mikroskop Optik, dan Kuat Tarik.

2.1 Plastik

Plastik adalah senyawa polimer sintetik dan semi sintetik yang sumber utamanya berasal dari karbon fosil seperti minyak mentah dan gas alam. Sifat mekanis dan karakteristiknya yang baik seperti daya tahan, mampu bentuk serta kemampuan proses membuat penggunaannya kini semakin luas untuk beragam aplikasi (Gómez, 2013). Sejak abad ke-20 penggunaan material plastik sangatlah pesat, dari hanya beberapa ratus ton pada tahun 1930-an meningkat menjadi 220 juta ton/tahun pada tahun 2005 (Kadir, 2012). Bahan plastik dibuat dan disusun melalui proses polimerisasi. Polimerisasi adalah proses dalam pembuatan polimer.

Polimer ini kemudian diolah menjadi berbagai macam produk plastik. Selama polimerisasi, molekul yang lebih kecil disebut monomer atau blok penyusun, dimana monomer tersebut secara kimiawi digabungkan untuk membuat molekul yang lebih besar atau disebut makromolekul. Ratusan makromolekul sejenis secara kolektif akan membentuk polimer (Soni, 2014).

Adapun standar film bioplastik dalam bentuk lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen yang berfungsi sebagai penahan terhadap transfer massa seperti air, oksigen, dan lemak, bahkan dapat berfungsi sebagai pembawa bahan tambahan pangan.menurut Japanese Industrial Standart (1975) ditunjukkan pada Tabel 2.1

(2)

7 Tabel 2.1 Karakteristik Film Plastik Menurut JIS*)

No Karaktersistik Nilai

1. Kuat Tarik (MPa) 3,92266

2. Elongasi (%) >50%

*) JIS 1975, 2-1707

2.2 Bioplastik

Bioplastik adalah salah satu jenis plastik yang dapat dibuat dari sumber daya alam seperti minyak nabati dan pati. Selama beberapa tahun terakhir, produksi polimer dari sumber daya terbarukan telah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Beberapa plastik yang dihasilkan dari sumber daya terbarukan seperti minyak nabati, jagung, dan pati kacang polong telah disintesis oleh mikroba dan dikenal sebagai bioplastik. Bioplastik secara luas diklasifikasikan menjadi bio- based plastic dan biodegradable plastic (Ashter, 2016). Menurut Organisasi Bioplastik Eropa (EBO), bioplastik adalah plastik yang dibuat dari sumber daya terbarukan atau plastik yang dapat terurai secara alami. Biopolimer ini mengalami penguraian menjadi CO2, H2O, dan senyawa anorganik atau biomassa dalam kondisi alami atau terstimulasi melalui aksi enzimatis mikroorganisme (Kumar, 2017).

2.3 Biopolimer

Biopolimer adalah polimer yang dapat terurai secara hayati yang dihasilkan oleh organisme hidup. Selain itu polimer yang disintesis secara kimiawi oleh manusia dari sumber biologis seperti minyak nabati, lemak, resin, gula, protein, dan asam amino juga dapat disebut sebagai biopolimer (Hernández, 2014).

Menurut (Deb dkk, 2019) polimer yang diperoleh baik dari hewan atau tumbuhan disebut sebagai biopolimer. Biopolimer termasuk protein, polisakarida, dan polinukleotida.

Biopolimer diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan skala yang berbeda. Berdasarkan penguraiannya, biopolimer dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu biodegradable dan non-biodegradable, dilanjutkan dengan biopolimer berbasis bio-based dan non-biological. Berdasarkan rantai unitnya

(3)

8 biopolimer secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok poliester, polisakarida, polikarbonat, poliamida, dan polimer vinil.

Gambar 2.1 Klasifikasi Biopolimer (Deb dkk, 2019)

Berdasarkan aplikasinya biopolimer dapat diklasifikasikan sebagai bioplastik, biosurfaktan, biodetergen, bioadhesif, bioflokulan, dan lain sebagainya. Biopolimer yang dapat terurai secara hayati berasal dari sumber daya terbarukan yang memungkinkan mereka untuk menggantikan polimer berbasis bahan bakar fosil. Biopolimer biodegradable umumnya disintesis dari gula, pati, atau serat alami (Mohan dkk, 2016).

2.4 Pati

Pati merupakan komoditas pertanian utama kedua setelah selulosa. Berbagai tanaman dapat menghasilkan pati seperti jagung, sagu, dan ubi kayu. Dapat dijumpai pada bagian akar tanaman, batang, dan biji tanaman (Ibrahim dkk, 2019). Pati adalah karbohidrat yang terdiri dari sejumlah besar unit glukosa yang disatukan oleh ikatan gliosidik yang umumnya mengandung 20-25% amilosa dan 75-80% amilopektin. Ini terjadi secara luas pada tanaman, seperti sagu, jagung, singkong, dan kentang. Pada semua tanaman ini, pati dihasilkan dalam bentuk butiran, ukuran dan komposisinya bervariasi sesuai dengan tanaman yang

(4)

9 digunakan. Butiran pati bersifat hidrofilik dan kadar air pati bervariasi dengan kelembaban relatif. Sementara komponen amilopektin bercabang mengandung area kristal, amilosa linier sebagian besar bersifat amorf. Butiran pati dapat dibuat gelatin dalam air pada temperatur yang lebih rendah dalam larutan alkali dan dapat digunakan sebagai bahan pengental, pengerasan, dan pengeleman (Postek dan Brown, 2012).

Salah satu komponen yang paling banyak terkandung dalam kulit singkong adalah pati. Pati kulit singkong dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dan pakan ternak. Selain itu, kini penggunaan pati kulit singkong telah dikembangkan dan juga prospektif dipakai sebagai bahan baku industri bioetanol, substrat fermentasi butanol-etanol, dan plastik biodegradable (Yuniarti dkk, 2014). Kulit singkong mengandung kadar amilopektin yang tinggi yaitu sekitar 59% sehingga menyebabkan pati mempunyai sifat yang mirip seperti amilopektin itu sendiri yaitu tidak mudah menggumpal, sangat jernih, memiliki daya pemekat yang tinggi, dan temperature gelatinisasi rendah sehingga dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan bioplastik (Pradipta dkk, 2020). Adanya amilosa dan amilopektin dapat mempengaruhi sifat fungsional dari pati kulit singkong.

Kandungan amilopektin dan amilosa dapat berpengaruh pada sifat fisika kimianya, di antaranya pada kelarutan, daya serap air, derajat gelatinisasi pati, dan ketahanan terhadap air. Menurut (Westling, 1998) kadar amilosa dan amilopektin dapat menghasilkan bioplastik dengan karakteristik yang berbeda. Tingginya kadar amilosa cenderung membentuk kristal yang menghasilkan sifat mekanis lebih kuat dibanding amilopektin dalam bentuk amorf. Sedangkan penambahan pemlastis meningkatkan kristalinitas bioplastik dengan bahan baku pati ber- amilopektin tinggi dan akan meningkatkan sifat mekanisnya.

Tabel 2.2 Komposisi Pati Kulit Singkong *)

No Komponen Jumlah (%)

1. Pati 121.45

2. Kelembaban 70.25

3. Gula 0.41

4. Protein 1.12

5. Serat 1.11

6. Lemak 0.41

*) Kumar dkk, 2020

(5)

10 Gambar 2. SEQ Gambar_2. \* ARABIC 2 Struktur Kitosan (Sudhakar, 2018) Gambar 2.2 Struktur Kitosan (Sudhakar, 2018) 2.5 Kitosan

Kitosan adalah polisakarida alami yang dapat terurai secara hayati dan biokompatibel yang diturunkan oleh deasetilasi kitin (Thapa dan Narain, 2016).

Kitosan adalah bahan semi sintetik yang diperoleh dengan deasetilasi kitin dan terdiri dari monomer glukosamin dan N-asetil-glukosamin (monomer asetilasi) yang dihubungkan melalui ikatan β-, 4 glikosidik. Polimer semi sintetik ini bersifat biokompatibel dan relatif hidrofilik (Kim dkk, 2008). Kitosan merupakan bahan yang tidak beracun dan mempunyai kemampuan terdegradasi di alam.

Kitosan telah banyak digunakan dalam berbagai bidang industri hingga aplikasi di bidang kesehatan. Kitosan dapat dibentuk menjadi film transparan yang dapat digunakan dalam berbagai aplikasi kemasan makanan. Bahan kitosan dapat dicampur sebagai bahan tambahan dalam pembuatan film plastik untuk meningkatkan sifat mekaniknya (Joseph dkk, 2011). Kitosan dapat ditemui pada cangkang hewan laut seperti rajungan, kepiting, udang, lobster, dan kerang (Rochmawati dkk, 2018).

Pada cangkang rajungan mengandung presentase kitin paling tinggi diantara bangsa crustacea, insecta, dan fungi dimana kandungannya dapat mencapai 71%.

Menurut Data Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Tahun 2017, Indonesia merupakan negara pengekspor rajungan dengan produk lainnya berupa limbah cangkang sekitar 25-50% dari berat rajungan keseluruhan. Hingga saat ini limbah tersebut belum banyak digunakan atau dimanfaatkan kembali sehingga dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu pemanfaatan limbah cangkang rajungan sangat berpotensi untuk diolah menjadi produk dengan nilai

(6)

11 lebih yang mana dapat menjadi sumber kitosan untuk bahan pembuatan bioplastik (Ningrum dkk, 2019).

2.6 Zinc Oxide (ZnO)

Zinc Oxide atau seng oksida adalah senyawa anorganik diketahui dengan formula ZnO. Senyawa ini umumnya dijumpai dalam bentuk bubuk putih dan hampir tidak larut dalam air. Dalam penggunaannya sering ditemui pada proses manufaktur seperti pembuatan plastik, keramik, kaca, dan sebagainya (Gracia, 2005).

Zinc oxide (ZnO) telah banyak diminati sebagai bahan pengisi karena menunjukkan biokompatibilitas yang baik, tidak berbahaya dan ramah lingkungan. Struktur kristal dan luas permukaan yang sangat besar serta sifat mekanik yang sangat baik juga menjadi keunggulan seng oksida untuk memperkuat nanokomposit polimerik. Karena memiliki sifat mekanik yang tinggi, interaksi yang baik antar seng oksida dan polimer akan menghasilkan pemerataan sifat mekanik seng oksida ke matriks polimer (Abdullah dkk, 2020). Telah dilakukan beberapa penelitian guna meningkatkan sifat mekanik komposit polimer menggunakan seng oksida untuk kemasan makanan dan pembuatan obat.

Diketahui bahwa seng oksida dapat menurunkan kadar air dan kapasitas penyerapan air dari pati sebagai bahan bioplastik berbasis gelatin secara bersamaan meningkatkan sifat mekanik serta mengurangi aktivitas antimikroba dengan meningkatkan zona penghambatan dari film bioplastik (Mohammadi dkk, 2014).

2.7 Gliserol

Secara umum, 10% dari gliserol mentah diproduksi sebagai produk sampingan utama selama produksi biodiesel. Gliserol diproduksi dengan dua cara yaitu secara alami dan sintetis. Gliserol adalah senyawa dalam bentuk cairan kental dan kompatibel dengan banyak senyawa lainnya. Gliserol mampu bereaksi dengan alkohol karena secara kimiawi ia dikenal sebagai alkohol trihidrik. Tiga gugus hidroksil hidrofilik dalam gliserol menentukan kelarutannya dalam air.

Oleh karena itu, gliserol mentah dapat langsung digunakan sebagai substrat atau

(7)

12 bahan baku untuk produksi bahan kimia bernilai tinggi (Chozhavendhan dkk, 2019). Gliserol

Gambar 2.3 Struktur Gliserol (Mota dkk, 2017)

(1,2,3-propanetriol) adalah alkohol trihidrik paling sederhana yang mengandung dua gugus hidroksil primer dan satu sekunder, dan merupakan komponen utama trigliserida, biasanya ditemukan dalam minyak nabati dan lemak hewani. Gliserol dapat diperoleh dari pembuatan sabun, produksi asam lemak, produksi ester lemak, fermentasi mikroba dan dapat disintesis dari propilen oksida. Pada dasarnya, untuk setiap 3 mol metil ester, 1 mol gliserol dapat diproduksi sekitar 10-20% dari berat total produk. Setiap 45 kg biodiesel yang diproduksi dapat menghasilkan sekitar 4,5 kg gliserol. Gliserol mentah umumnya mengandung 65%-85% w/w kandungan gliserol, dengan konstituen lain termasuk metanol, garam, dan berbagai pengotor (Win dan Trabold, 2018).

Penambahan gliserol pada bioplastik sebagai plasticizer diyakini mampu mengurangi ikatan antarmolekul dan meningkatkan mobilitas rantai polimer.

Selain itu, penambahan gliserol akan meningkatkan fleksibilitas dari bioplastik berbasis pati. Oleh karena itu penambahan gliserol akan mempengaruhi sifat fisik dan mekanik film bioplastik seperti kekuatan tarik, elastisitas hingga kekerasannya (Abdullah dkk, 2019).

2.8 Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)

Analisis FTIR digunakan untuk mengidentifikasi bahan organik, anorganik, dan polimerik dengan memanfaatkan sinar infra merah sebagai pemindai sampel.

Adanya perubahan pola karakteristik pita serapan akan menunjukkan adanya perubahan komposisi material. FTIR berguna dalam mengidentifikasi dan mengkarakterisasi bahan yang tidak diketahui, mendeteksi kontaminan dalam

(8)

13 suatu bahan, menemukan zat aditif, hingga mengidentifikasi terjadinya dekomposisi dan oksidasi (Sindhu dkk, 2015). FTIR didasarkan oleh getaran molekul atau atom dengan melewatkan pancaran radiasi inframerah pada sampel dan menghitung energi yang diserap, dimana energi tersebut akan berkorespondensi dengan frekuensi getaran atom pada sampel. Perbedaan penyerapan inilah yang dimanfaatkan untuk mengidentifikasi gugus fungsi pati (Prusty dkk, 2018). FTIR mengidentifikasi senyawa pada suatu sampel bergantung pada rentang frekuensi absorpsi inframerah 600-4000 cm1, kelompok molekul spesifik yang terdapat pada sampel akan ditentukan melalui data spektrum dalam perangkat lunak otomatis spektroskopi (Mohamed dan Nishath, 2019).

2.9 Uji Ketahanan Air

Serat alami banyak tersedia dan dapat diproduksi melalui daur ulang bahan alami. Oleh karena itu serat alam berpotensi sebagai pengganti serat sintesis.

Tetapi serat alam memiliki beberapa kelemahan antara lain seperti kemampuan penyerapan air yang tinggi sehingga besar kemungkinan dapat terjadi penggembungan, biodegradabilitas tinggi ketika bersinggungan dengan lingkungan, dan stabilitas dimensi yang rendah. Adanya penyerapan oleh komposit yang mengandung serat alami akan berdampak buruk pada sifat yang dimiliki, dengan demikian juga dapat mempengaruhi kinerja jangka panjangnya.

Peningkatan kelembaban menyebabkan terjadinya penurunan sifat mekanik dan mengubah dimensinya. Adanya kandungan air pada komposit alami akan menurunkan kekuatan lentur, kekuatan tarik, dan sifat mekanik lainnya dari sistem komposit. Oleh karena itu penting untuk mengetahui penyerapan air dan perilaku pengembangan komposit serat alam untuk memperkirakan efek konsekuen pada kinerja komposit. (Pujari, 2017).

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui terjadinya ikatan dalam polimer serta tingkatan atau keteraturan ikatan pada polimer yang ditentukan dengan presentase penambahan berat polimer setelah perendaman. Proses terdifusinya molekul pelarut kedalam polimer akan menghasilkan gel yang menggembung.

Sifat ketahanan bioplastik terhadap air dapat ditentukan dengan uji ketahanan air

(9)

14 yaitu presentase penggembungan film oleh adanya air (Illing, 2017). Ketahanan bioplastik terhadap air dapat dihitung dengan rumus:

𝐴𝑖𝑟 (%) =𝑊 − 𝑊𝑜 𝑊𝑜

(2.1)

Keterangan:

𝐴 = Penyerapan Air (%) 𝑊𝑜 = Berat mula-mula (gr)

𝑊 = Berat setelah perendaman (gr)

2.10 Kuat Tarik dan Elongasi

Sifat tarik terdiri dari reaksi bahan untuk melawan ketika gaya diterapkan dalam tegangan. Penentuan sifat tarik sangat penting karena memberikan informasi tentang modulus elastisitas, batas elastis, elongasi, batas proporsional, pengurangan luas, kuat tarik, titik leleh, kekuatan luluh, dan sifat tarik lainnya.

Sifat tarik bervariasi dari satu material ke material lainnya dan ditentukan melalui pengujian tarik, yang menghasilkan kurva beban versus elongasi, yang kemudian diubah menjadi kurva tegangan versus regangan. Nilai tarik umumnya ditentukan melalui uji tarik berdasarkan standar ASTM (Rahman dan Putra, 2018).

Nilai kuat tarik diukur berdasarkan pemberian beban secara maksimum (Fmax) hingga film bioplastik mengalami deformasi sampai putus dibagi luas penampang mula-mula film bioplastik (A) yang ditunjukkan pada persamaan 2.2 berikut

𝜏 =𝐹𝑚𝑎𝑥 𝐴

(2.2)

Keterangan:

𝐹𝑚𝑎𝑥 = Tegangan aksimum (N) τ = Nilai kuat tarik (N/m2) 𝐴 = Luas penampang (m2)

Persen pemanjangan atau elongasi didefinisikan sebagai perubahan panjang maksimum film bioplastik sampai putus. Perpanjangan putus juga dikenal

(10)

15 sebagai regangan fraktur, yaitu rasio antara perubahan panjang dan panjang awal setelah kerusakan benda uji (Djafari, 2017). Persen elongasi didapatkan dengan membandingkan pertambahan panjang dengan panjang awal spesimen uji seperti yang ditunjukkan pada persamaam 2.3 dibawah ini

%𝐸𝐿 =𝑙𝑓 − 𝑙0

𝑙0 × 100% (2.3)

Keterangan:

%𝐸𝐿 = Persen elongasi 𝑙0 = Panjang awal 𝑙𝑓 = Panjang Akhir

(11)

16 2.11 Penelitian Terdahulu*)

Berikut adalah penelitian terdahulu yang mana berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

Tabel 2. 3 Daftar Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Hasil

1 Selphia dkk / 2016 Metode: Bioplastik dengan penambahan penguat berupa kitosan dan gliserol melalui proses blending.

Hasil: Hubungan gliserol dan kitosan yang diketahui, semakin banyak penggunaan kitosan maka semakin besar kuat tariknya, semakin banyak penambahan gliserol, maka semakin besar elongasinya. Dari penelitian ini didapatkan kuat tarik optimum dengan komposisi 5 gram kitosan dan 3 mL gliserol dengan kuat tarik sebesar 13,2175 Kgf/cm2. Sedangkan peningkatan elongasi yang optimum terjadi pada sampel dengan komposisi 3 gram kitosan dan 3 mL gliserol dengan elongasi sebesar 11,95%.

2 Hidayat dkk, 2019 Metode: Pati singkong, gliserol, dan nanopartikel ZnO dicampurkan menggunakan blender selama 3 menit. Kemudian dipanaskan pada temperature 130oC selama 8 menit.

Hasil: Nilai kuat tarik bioplastik mengalami peningkatan namun menghambat pertumbuhan mikroorganisme setelah ditambahkan seng oksida.

Pati singkong dan gliserol dengan perbandingan 3:1 g/g serta nanopartikel ZnO seberat 3%, 5% terhadap pati. Menghasilkan nilai kuat tarik masing-masing 5,65 dan 7,44 MPa, serta nilai elongasi 7,89% dan 6,73%.

3 Wijaya Saputra dkk/

2019

Metode: Pembuatan bioplastik pati umbi gadung menggunakan ZnO dan gliserol dengan penambahan sesuai perlakuan. Penambahan seng oksida (ZnO) yang terdiri dari 3 variasi yaitu 8, 9 dan 10% (dari 6 gram pati)

Hasil: Penambahan zinc oxida secara signifikan meningkatkan kuat tarik. Semakin tinggi penambahan zinc oxida, nilai kuat tarik akan terus meningkat. Sedangkan meningkatnya penambahan gliserol akan menurunkan nilai kuat tariknya.

Penambahan seng oksida 10% (dari 6g pati) dan penambahan gliserol 1gram menghasilkan bioplastik terbaik, namun dapat ditingkatkan lagi seiring penambahan zinc oxide.

Referensi

Dokumen terkait

According to UNESCO (1980), the phrase is broad and encompasses community education as well as youth. Other literature has echoed similar feelings, claiming that NFE

Pada aspek resiliensi yang pertama terdapadat pengendalian emosi dan ada beberapa siswa yang tidak memiliki pengahargaan terhadap dirinya tidak bisa mempertahankan kemampuan