• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Pemberian ASI Eksklusif

N/A
N/A
zalfa sfn

Academic year: 2024

Membagikan " BAB I Pemberian ASI Eksklusif "

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian ASI Eksklusif di Puskesmas Sindang Danau Kabupaten OKU Selatan Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2023

Pemberian nutrisi yang tepat pada enam bulan pertama kehidupan bayi adalah dengan memberikan air susu ibu ASI secara eksklusif pemberian ASI secara eksklusif tanpa tambahan minuman atau makanan lain seperti air putih air teh, jeruk, madu, susu buatan, pisang, pepaya, bubur, biskuit, maupun nasi sampai umur enam bulan sangat dianjurkan (Susilowati (2016). ASI merupakan makanan utama dan paling sempurna bagi bayi. Dimana ASI mengandung hampir semua zat gizi dengan komposisi sesuai dengan kebutuhan bayi untuk tumbuh dan berkembang secara optimal (Pollard,2016). Sesuai tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 atau SDGs, Pemberian ASI yang optimal dapat menyelamatkan nyawa anak di bawah 5 tahun lebih dari 820.000 setiap tahun. Namun, hanya sekitar 36% bayi usia 0-6 bulan di seluruh dunia yang disusui secara ekslusif selama periode 2007- 2014. WHO menargetkan angka pemberian ASI Ekslusif pada tahun 2025 setidaknya 50% (WHO, 2018). Berdasarkan data yang di dapat dari Kemenkes RI 2022. cakupan bayi mendapat ASI eksklusif tahun 2020 yaitu sebesar 66,06% dan terjadi penurunan pada tahun 2021 yaitu sebesar 56,9%. Angka tersebut sudah melampaui target program tahun 2021 yaitu 40%. Pada tahun 2021 terdapat lima provinsi yang belum mencapai target program tahun 2021, yaitu Maluku, Papua, Gorontalo, Papua Barat, dan Sulawesi Utara.

(Kemenkes RI, 2022). Target program untuk pemberian ASI eksklusif tahun 2020 adalah sebesar 64%. Cakupan pemberian ASI eksklusif yang terhimpun di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2020 adalah sebesar 51,6% menurun bila dibandingkan tahun 2019 (57,8%) dan belum mencapai target program. Kabupaten/kota dengan cakupan pemberian ASI eksklusif tertinggi adalah Kota Palembang yaitu 74,5%, sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Musi Rawas sebesar 9,5%.

(Profil Sumsel, 2020). Hasil capaian ini memang memenuhi target nasional, namun cakupan pemberian ASI eksklusif untuk tingkat Kabupaten, khususnya di Ogan Komering Ulu Selatan.

Jika berpedoman dari data beberapa tahun terakhir, pemberian ASI eksklusif masih mengalami naik turun, tahun 2016 sebesar 51,2%, dan tahun 2017 sebesar 48,5%, tahun 2018 sebesar 44,1%, tahun 2019 sebesar 43,9%, serta tahun 2020 sebesar 52,6% (Dinkes OKUS, 2021). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada Puskesmas Sindang Danau Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan tahun 2020, dari 150 persalinan terdapat 65 (43,33%) ibu yang memberikan ASI eksklusif, dan tahun 2021 dari 155 persalinan terdapat 70 (45,16%), sedangkan tahun 2022 dari 135 ibu bersalin sebanyak 87 (64,44%) yang memberikan ASI eksklusi Pemberian ASI eksklusif dipengaruhi oleh faktor internal dan factor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif yaitu pendidikan, pengetahuan, sikap/perilaku, psikologis, dan emosional. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pemberian ASI eksklusif yaitu dukungan suami, pekerjaan, umur, petugas kesehatan, promosi susu formula dan inisiasi menyusui dini (IMD) (Utami, 2018), (Deslima, 2018). Data ini memberikan 2018). Data ini memberikan gambaran bahwa pemberian ASI eksklusif belum begitu optimal. Kondisi ini masih perlu ditingkatkan terus agar target capaian pemberian ASI eksklusif Indonesia terpenuhi. Berdasarkan observasi pada beberapa responden diketahui ada ibu bayi yang mempunyai produksi ASI yang lancar akan tetapi karena pengetahuan ibu yang kurang terhadap pemberian ASI yang tepat,

(2)

sehingga ibu memberikan makanan tambahan selain ASI. Selain itu, pada lokasi juga dijumpai masih banyaknya ibu ikut bekerja dalam memenuhi kebutuhanan sehari-hari telah mengakibatkan terganggunya pemberian ASI eksklusif, Mengingat akan pentingnya ASI eksklusif, penulis tertarik ingin melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor yang berhubungan pemberian ASI eksklusif di Puskesmas Sindang Danau Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan”.

Faktor-Faktor yang Berkorelasi dengan Kegagalan Ibu dalam Memberikan ASI Eksklusif pada Bayi Usia 0-6 Bulan

Air Susu Ibu Eksklusif yang dikenal dengan ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa memberikan makanan atau minuman lainnya, kecuali vitamin, mineral, obat-obatan, atau garam rehidrasi oral (WHO, 2014). World Health Organization (WHO) merekomendasikan ibu di seluruh dunia untuk menyusui bayi secara eksklusif selama enam bulan pertama anak untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang optimal. Setelah itu, mereka harus diberikan makanan pendamping ASI yang bergizi dan terus menyusui hingga usia dua tahun atau lebih. ASI eksklusif juga telah direkomendasikan oleh pemerintah Indonesia. Namun, kegagalan ASI eksklusif masih sangat umum terjadi di Indonesia (WHO, 2011). Penelitian oleh Khan & Islam (2017) juga menunjukkan bahwa kurangnya ASI eksklusif hingga 6 bulan kelahiran memiliki konsekuensi buruk pada kesehatan dan status gizi anak. Sebagian besar penyakit menular dan kekurangan gizi dapat dicegah jika ASI eksklusif dipastikan hingga 6 bulan setelah lahir. Cakupan ASI eksklusif di berbagai negara sangat bervariasi. Secara global, capaian ASI eksklusif pada bayi usia 0 hingga 6 bulan baru sebesar 38% dan akan ditargetkan meningkat menjadi 50% pada tahun 2025 (WHO, 2014). Dalam 20 tahun terakhir, angka ASI eksklusif meningkat cukup baik, meskipun masih harus menempuh perjalanan panjang untuk mencapai target global 100%. Prevalensi ASI Eksklusif yang masih rendah umumnya terjadi di Negara berkembang, terutama pada wilayah Afrika yang tingkat malnutrisi pada bayinya tinggi (Mensah et al., 2017). Sementara itu, pada tahun 2020, di Indonesia, dilakukan recall pada bayi berusia kurang dari 6 bulan yang dan didapatkan hasil bahwa dari 3.196.303 sasaran bayi kurang dari 6 bulan terdapat 2.113.564 bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif atau sekitar 66,1%. Capaian indikator persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapatkan ASI Eksklusif sebetulnya sudah memenuhi target Indonesia tahun 2020, yaitu sebesar 40%. Berdasarkan distribusi provinsi, sebanyak 32 provinsi telah mencapai target yang diharapkan dan masih terdapat 2 provinsi yang tidak mencapai target, yaitu Papua Barat (34%) dan Maluku (37,2%), sementara provinsi dengan capaian tertinggi adalah Nusa Tenggara Barat (87,3%) (Kemenkes RI, 2021).

Namun, meskipun angka capaian ASI eksklusif secara nasional sudah mencapai target, mengingat pentingnya peran dari ASI eksklusif ini terhadap status gizi dan kesehatan anak, diharapkan angka keberhasilan ASI eksklusif bisa lebih tinggi dan kegagalan ASI eksklusif dapat semakin diminimalisasi. Kegagalan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan melibatkan berbagai factor risiko, seperti pengetahuan ibu yang rendah mengenai manajemen

(3)

laktasi, peran tenaga kesehatan yang kurang optimal, kurangnya dukungan keluarga, asupan dan status gizi ibu tidak memadai, serta pengaruh budaya turun temurun yang memengaruhi pola pikir ibu dalam menentukan pola asuh, termasuk dalam hal pemberian ASI (Purnamasari et al., 2021).

Banyak studi yang telah dilakukan untuk meninjau penyebab kegagalan ASI eksklusif. Tujuan literature review ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang lebih detail mengenai faktor- faktor yang berkorelasi dengan kegagalan ibu dalam memberikan ASI eksklusif bagi bayi usia 0- 6 bulan.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBERHASILAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA IBU BEKERJA DI KLINIK ANNY RAHARDJO

ASI eksklusif yaitu hanya pemberian ASI saja, tidak ada tambahan makanan dan minuman lain, kecuali obat obatan dalam bentuk sirup dalam kasus tertentu, pemberian asi eksklusif pada bayi berumur 0 hingga 6 bulan. Dalam 6 bulan pertama bayi tidak perlu diberikan air putih dan makanan lainnya karena kebutuhan gizi bayi sudah tercukupi dengan ASI (Putri, Hasianna, and Ivone 2020; Sipahutar, Lubis, and Siregar 2018). Dalam Profil Kesehatan Ibu dan Anak, nampak adanya kenaikan jumlah persentase pemberian ASI Eksklusif pada bayi 0-6 bulan dari tahun ke tahun, yaitu 66,69% pada tahun 2019 dan naik menjadi 69,62% di tahun 2020 (Kementerian Kesehatan 2021). Persentasenya pemberian ASI eksklusif di ibu kota mencapai 65,63%.

Persentase pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif DKI Jakarta terendah di pulau Jawa pada 2021. Angka ini menurun 5,23 poin dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2020, persentase pemberian ASI eksklusif 70,86%. Persentase pemberian ASI eksklusif di DKI Jakarta pada 2021 bahkan lebih rendah dari 2019 yang sebesar 68,08% Berdasarkan data laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), menyusui secara optimal dapat mencegah lebih dari 823.000 kematian anak & 20.000 kematian ibu setiap tahun. Penurunan pemberian ASI eksklusif sering terjadi ketika bayi mulai berusia tiga bulan. Penyebabnya, antara lain, karena ibu kembali bekerja setelah cuti melahirkan serta fasilitas dan waktu memerah ASI yang kurang memadai (Kemenkes RI 2019). Faktor penghambat pemberian ASI Eksklusif salah satunya, yaitu ibu bekerja.

Semakin majunya zaman dan meningkatnya kebutuhan hidup dalam keluarga, wanita pun turut andil dalam pemenuhan hidup keluarga. Makin banyak sektor - sektor kerja yang mempekerjakan wanita, seperti sektor kesehatan, dan juga pabrik. Sektor - sektor kerja ini membutuhkan shift kerja dan durasi kerja tertentu, yang dapat berdampak pada kelelahan fisik, dan mengurangi motivasi ibu untuk memberikan ASI eksklusif (Harmia 2021). Peranan petugas kesehatan yang sangat penting dalam melindungi, meningkatkan, dan mendukung usaha menyusui harus dapat dilihat dalam segi keterlibatannya yang luas dalam aspek sosial (Sabati and Nuryanto 2015; Sinaga and Siregar 2020). Dalam studi literatur Wijayanti, dkk (Wijayanti, Margawati, and Rahfiludin 2023) keberhasilan pemberian ASI oleh ibu yang bekerja dapat dipengaruhi oleh faktor- faktor dalam pekerjaan seperti durasi kerja, dukungan atas, jarak ke tempat kerja, beban kerja yang diterima, stress kerja, dan juga ketersediaan fasilitas laktasi.

Berdasarkan data dan masalah yang diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

(4)

tentang faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan Asi Eksklusif pada ibu bekerja di Klinik Anny Rahardjo.

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DAN DUKUNGAN BIDAN DALAM PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI DESA KAMPUNG TENGAH, ACEH BARAT DAYA Air Susu Ibu (ASI) merupakan nutrisi alamiah bagi bayi dengan kandungan gizi paling sesuai untuk pertumbuhan optimal yang diberikan sampai bayi usis 6 bulan, kandungan gizi ASI memberikan proteksi pada kekebalan tubuh bayi, sehingga bayi dapat tumbuh dan berkembang dengan sangat baik. ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin, dan mineral). ASI mengandung kolostrum yang kaya akan antibodi karena mengandung protein untuk daya tahan tubuh dan bermanfaat untuk mematikan kuman dalam jumlah tinggi sehingga pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi risiko kematian pada bayi (Isnaini & Diyanti, 2018;

Sholikah, 2018). Menurut World Health Organization (WHO) lebih dari 3.000 peneliti menunjukkan pemberian ASI selama 6 bulan paling optimal untuk pemberian ASI eksklusif dan setelah itu dilanjutkan dengan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) (Batubara et al., 2023).

Pemberian ASI di dunia berkisar 50%. Cakupan ASI di Afrika Tengah sebanyak 25%, Amerika Latin dan Karibia sebanyak 32% dan Negara berkembang sebanyak 46%. Situasi gizi balita di dunia saat ini sebanyak 155 juta balita pendek (stunting), 52 juta balita kurus (wasting), dan 41 juta balita gemuk (overweight) (Trisnawati et al., 2023). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, proporsi pola pemberian ASI pada bayi umur 0-5 bulan di Indonesia sebanyak 37,3% ASI Ekslusif, 9,3%, ASI Parsial, dan 3,3% ASI Predominan (Kemenkes RI, 2020). Berdasarkan penelitian IDAI, cakupan pemberian ASI di Indonesia hanya 49,8% yang memberikan ASI secara ekslusif selama 6 bulan. Rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif ini dapat berdampak pada kualitas hidup generasi penerus bangsa dan juga pada perekonomian nasional (Salamah & Prasetya, 2019). Penyebab adanya penurunan produksi ASI pada ibu karena kondisi stres ibu, lelah bekerja, kondisi kesehatan, produksi tidak lancar maupun psikologis ibu sendiri (Purnanto et al., 2020). Berdasarkan data Provinsi Aceh, cakupan ASI ekslusif pada bayi sampai usia 6 bulan sebesar 55,4% (Zikrina et al., 2022). Kurangnya pengetahuan, status pekerjaan dan dukungan keluarga dapat menurunkan semangat dan motivasi ibu dalam memberikan ASI ekslusif untuk bayinya (Istianah et al., 2020). Menurut Dinas Kesehatan Aceh Barat, cakupan pemberian ASI ekslusif pada bayi 0-6 bulan tahun 2021 sebanyak 68 % dari 84%

target pencapaian (Idawati et al., 2021). Berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan ASI eksklusif seperti faktor pengetahuan ibu, faktor psikologis, faktor fisik ibu, faktor sosial budaya, faktor dukungan tenaga kesehatan, serta faktor dukungan keluarga. Faktor dukungan tenaga kesehatan khususnya bidan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan ASI eksklusif. Hal tersebut sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 tahun 2012, yang menyebutkan bahwa Bidan bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan terkait ASI eksklusif serta memberikan support pada ibu menyusui yang dimulai sejak proses kehamilan, saat pertama kali ibu menyusui

(5)

hinggadengan selama ibu menyusui. Dukungan yang diberikan Bidan juga dapat meningkatkan rasa kepercayaan diri pada ibu untuk terus memberikan ASI eksklusif pada bayinya (Rohemah, 2020a). Pada dasarnya dukungan keluarga sangat berarti dalam menghadapi tekanan ibu dalam menjalani proses menyusui. Agar proses menyusui lancar diperlukan dukungan keluarga. Bila suami mendukung dan tahu menfaat ASI, keberhasilan ASI Eksklusif mencapai angka 90%.

Sebaliknya, tanpa dukungan suami tingkat keberhasilan memberi ASI Eksklusif adalah 25%

(Nuzula et al., 2022). Penelitian Sitorus (2016) pengaruh dukungan keluarga dan faktor social budaya terhadap pemeberian ASI Ekslusif pada bayi 0-6 bulan. Hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh dukungan keluarga dan sosial budaya terhadap pemberian ASI ekslusif pada bayi 0-6 bulan. Bentuk dukungan ini tidak terlepas dari kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya. Masyarakat memiliki keyakinan bahwa bayi baru lahir yang diberikan madu supaya mulutnya bersih. Ibu-ibu yang melakukan hal ini hanya ingin menaati nilai-nilai budaya walaupun tidak paham akan hal tersebut. Hasil penelitian dukungan bidan terhadap pemberian asi eksklusif di puskesmas jamblang kabupaten cirebon tahun 2020 dketahui terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan bidan terhadap pemberian ASI eksklusif dengan nilai p value 0,038, dimana dari 47 responden ada 31 responden yang mendapatkan dukungan dari bidan dan memberikan ASI eksklusif (Rohemah, 2020b). Penelitian ini adalah bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dan dukungan bidan dengan pemberian ASI ekslusif.

HUBUNGAN DUKUNGAN SUAMI DAN PEKERJAAN IBU DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KAUR

Makanan terbaik bagi bayi/anak karena mengandung zat gizi paling sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi adalah Air Susu Ibu (ASI). ASI mengandung protein, karbohidrat, lemak, dan mineral yang dibutuhkan bayi dalam jumlah yang seimbang. ASI adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara seorang ibu (Wiji, 2018). ASI sangat penting bagi asupan bayi, sehingga pemerintah telah menetapkan pemberian ASI secara eksklusif atau disebut ASI Ekslusif bagi bayi di Indonesia sejak bayi lahir sampai dengan bayi berumur 6 bulan dan dianjurkan dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai. Dan semua tenaga kesehatan yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan agar menginformasikan kepada semua Ibu yang baru melahirkan untuk memberikan ASI Eksklusif (Kemenkes RI, 2020).

ASI Ekslusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan sampai dengan usia 6 (enam) bulan tanpa menambahkan dan atau menggantikan dengan makanan atau minuman lain.

Menyusui Ekslusif artinya tidak memberi bayi makanan atau minuman lain, termasuk air putih, selain menyusui, kecuali obat obatan atau vitamin atau mineral tetes, serta ASI perah (Sant, 2018). ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa dicampur dengan tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi tim. ASI dapat diberikan sampai bayi usia 2 tahun (Marmi, 2018). Menyusui merupakan pemberian makanan pada bayi secara langsung dari payudara ibu. Kesulitan awal penting diketahui agar segera tearatasi sebagai upaya menjalin

(6)

hubungan yang baik antara ibu dan bayi. Ibu menyusui terkadang menghentikan proses menyusui terlalu dini dengan alasan salah satunya ibu primipara dimana awal menyusui bukanlah hal yang mudah, ibu akan merasakan stres akhirnya keinginan untuk menyerah dapat terjadi sehingga ibu mulai berpikir untuk mengganti ASI dengan susu formula untuk memenuhi kebutuhan bayinya (Syafrudin, Karningsih & Mardiana, 2019). Memberikan ASI sejak dini, bahkan segera setelah bayi dilahirkan mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu dan bayinya. Memberikan ASI bagi seorang ibu selain menjalin kasih sayang dengan bayi, tetapi juga dapat memilki manfaat mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mempercepat pemulihan kesehatan ibu, menunda kehamilan, mengurangi risiko terkena kanker payudara, dan tentunya merupakan kebahagiaan tersendiri bagi seorang ibu. Pemberian ASI dapat membentuk perkembangan emosional bayi karena dalam dekapan ibu selama disusui, bayi bersentuhan langsung dengan ibu sehingga mendapatkan kehangatan, kasih sayang, ikatan emosional dan rasa aman (Roesli, 2019). WHO merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan untuk mencapai tumbuh kembang optimal yaitu pertama memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI), keempat memberikan kasih sayang dan perhatian pada bayi (WHO, 2021). Banyak faktor yang menyebabkan seorang ibu primigravida tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya antara lain: pekerjaan ibu, budaya sekitar, produksi ASI tidak mencukupi, takut ditinggal suami, tidak diberi ASI tetap berhasil jadi orang, susu formula lebih praktis, takut badan tetap gemuk, gencarnya promosi susu formula, dan rendahnya pengetahuan ibu mengenai ASI eksklusif dan cara menyusui yang benar (Ambarwati &

Wulandari, 2019). Dukungan suami merupakan faktor eksternal yang paling besar pengaruhnya terhadap keberhasilan ASI eksklusif (Roesli, 2019). Adanya dukungan suami terutama suami maka akan berdampak pada peningkatan rasa percaya diri atau motivasi dari ibu dalam menyusui. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian dari Anggrowati & Nuzulia (2018) yang menunjukkan bahwa dukungan suami berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif pada bayi (p<0,05). Selain dukungan suami, pekerjaan juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pemberian ASI eksklusif, banyak ibu khawatir terpaksa memberikan bayinya susu formula karena ASI perah tidak cukup. Seringkali alasan pekerjaan membuat seorang ibu berhenti menyusui. Sebaiknya ibu yang bekerja menabung ASI perah sebelum masuk kerja. Semakin banyak “tabungan” ASI perah ibu di freezer, semakin besar peluang menyelesaikan program ASI Eksklusif (Wiji, 2018). Hasil penelitian yang dilakukan Timporok, dkk (2018) menunjukkan status pekerjaan berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kawangkoan (p<0,05) artinya ibu yang bekerja cenderung tidak memberikan ASI eksklusif karena tidak ada kesempatan untuk memberikan ASI secara eksklusif karena sibuk bekerja.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan nasional terkait program pemberian ASI eksklusif yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Di Indonesia target secara Nasional pemberian ASI eksklusif yaitu 80%. Sampai saat ini pemberian ASI Eksklusif masih dibawah target nasional, walaupun setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2019 persentase bayi

(7)

yang mendapatkan ASI Eksklusif sebesar 66,69% dan yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif sebesar 33,31%. Selanjutnya pada tahun 2020 capaian pemberian ASI Eksklusif mengalami peningkatan dengan persentase yang mendapatkan ASI Eksklusif sebesar 69,62% dan dan yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif sebesar 30,38% pada tahun 2021 persentasenya yang mendapatkan ASI Ekslusif sebesar 71,58% dan yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif sebesar 28,42%. (Kemenkes RI, 2020; BPS, 2021). Data persentase pemberian ASI Ekskusif di Provinsi Bengkulu pada tahun 2020 sebesar 60,86 % dan pada tahun 2021 persentasenya menjadi 62,30%

dan selanjutnya pada tahun 2022 kembali mengalami peningkatan cakupan pemberian ASI Eksklusif yaitu sebesar 67,08% (BPS, 2021). Data dari Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu pada tahun 2020 diketahui bahwa di Kabupaten Kaur persentase bayi 0-6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif sebesar 73,80% dan pada tahun 2021 capaian pemberian ASI Eksklusif mengalami peningkatan sebesar 74,70%.

(Dinkes Provinsi Bengkulu, 2022). Data dari Rumah Sakit Umum Daerah Kaur menunjukkan bahwa pada tahun 2020 diketahui bahwa dari 65 orang ibu bersalin primigravida yang memberikan ASI Eksklusif sebanyak 11 orang dan yang memberikan susu formula sebanyak 54 orang. Data tahun 2021 menunjukkan bahwa dari 73 rang ibu bersalin primigravida yang memberikan ASI Eksklusif sebanyak 14 orang dan yang memberikan susu formula sebanyak 59 orang sedangkan pada tahun 2022 diketahui bahwa dari 112 orang ibu bersalin primigravida yang memberikan ASI Eksklusif sebanyak 22 orang dan yang memberikan susu formula sebanyak 90 orang (RSUD Kaur, 2022). Banyak dampak yang ditimbulkan ketika bayi tidak diberikan ASI eksklusif diantaranya adalah bayi mudah terkena penyakit diare atau penyakit menular lainnya. Adapun dampak memiliki risiko kematian karena diare 3,94 kali lebih besar dibandingkan bayi yang mendapat ASI Eksklusif (Kemenkes RI, 2021). Bayi yang diberi ASI akan lebih sehat dibandingkan dengan bayi yang diberi susu formula. Pemberian ASI akan lebih sehat dibandingkan dengan bayi yang diberi susu formula. Pemberian susu formula pada bayi dapat meningkatkan risiko infeksi saluran kemih, saluran nafas dan telinga. Bayi juga mengalami diare, sakit perut (kolik), alergi makanan, asma, diabetes dan penyakit saluran pencernaan kronis (Astuti, 2018). Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hubungan dukungan suami dan pekerjaan ibu dengan pemberian ASI eksklusif.

HUBUNGAN PERSEPSI KETIDAKCUKUPAN DAN PROMOSI SUSU FORMULA DENGAN KEBERHASILAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI UPT PUSKESMAS PAYA LOMBANG

Persepsi merupakan cara pandang/pemikiran seseorang terhadap suatu objek, peristiwa atau hubungan hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Jadi persepsi ketidakcukupan air susu ibu (ASI) bisa diartikan sebagai keadaan dimana ibu mengalami persitiwa ASI yang sedikit atau tidak keluar sehingga menyimpulkan hal tersebut sebagai ketidakcukupan ASI (Siregar,2022). World Health Organization (WHO) dan United

(8)

Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) pada (Organization, 2019). Secara dunia terlihat tingkat pemberian ASI eksklusif cukup rendah yaitu hanya 41 persen. Menurut WHO dan UNICEF mengatakan bahwa untuk mencapai ASI eksklusif ada tiga langkah metode,yaitu yang pertama adalah bayi harus menyusu sesegera mungkin atau IMD (Inisiasi Menyusu Dini), yang kedua bayi tidak diberikan tambahan lain kecuali ASI, yang ketiga bayi menyusu sesegera mungkin dan harus diberikan sesuai kebutuhan bayi, Pencapaian ASI eksklusif di Indonesia angka yang diharapkan belum mencapai target yaitu sebesar 80% dan Menurut (Laksono et al., 2019) hanya mencapai 37%. Pada tahun 2025 Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan sala satu dari sasaran pembangunan Kesehatan, di Indonesia AKB masih sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup dari target RPJPK 24 per 1000 kelahiran hidup. Tingginya AKB salah satunya dipengaruhi oleh tidak diberikannya ASI eksklusif (Astutik, 2017). Di Sumatera Utara, Profil Kesehatan Tahun 2019 dari 186.460 bayi usia kurang dari 6 bulan, dilaporkan hanya 75.820 bayi yang mendapatkan ASI Eksklusif (40,66%), belum mencapai target yang sudah ditentukan di Renstra Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2019 yaitu sebesar 53%, dan khususnya kabupaten Serdang Berdagai (11,5%). Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan persepsi ketidakcukupan dan promosi susu formula dengan keberhasilan pemberian ASI eksklusif di wilayah UPT Puskesmas Paya Lombang.

HUBUNGAN PRESEPSI IBU, DUKUNGAN SUAMI DAN DUKUNGAN TENAGA KESEHATAN TERHADAPAN PEMBERIAN ASI ESKLUSIF PADA IBU MENYUSUI DI PRAKTEK MANDIRI BIDAN MAIMUNA

Air susu ibu merupakan sumber nutrisi terbaik yang dapat meningkatkan kesehatan ibu dan anak.

Pemberian ASI pada bayi sangat penting terutama dalam periode awal kehidupan, oleh karena itu bayi cukup diberi ASI secara eksklusif selama 6 bulan pertama tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain. Proses menyusui segera setelah melahirkan juga membantu kontraksi uterus sehingga mengurangi kehilangan darah ibu pada masa nifas. (Badan Pusat Statistik, 2017).ASI eksklusif adalah air susu ibu yang diberikan kepada anaknya langsung setelah lahir sampai usia 6 bulan tanpa tambahan makanan atau minuman apapun. (Sherwood.

2012). ASI eksklusif atau lebih tepat pemberian ASI (Air Susu Ibu) secara eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, sejak usia 30 menit post natal (setelah lahir) sampai usia 6 bulan, tanpa tambahan cairan lain seperti: susu formula, sari buah, air putih, madu, air teh, dan tanpa tambahan makanan padat seperti buah-buahan, biskuit, bubur susu, bubur nasi dan nasi tim (Walyani, 2015). Menurut Who Health Organization (WHO), ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa tambahan cairan lain baik susu formula, air putih, air jeruk, atau makanan tambahan lain sebelum mencapai usia enam bulan (Astutik, 2016). Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator dalam melihat keberhasilan tingkat kesehatan ibu dan bayi. Data WHO (Wordl Helath Organization) menunjukkan angka kematian bayi (AKB) di negara Asia Tenggara terendah adalah Singapura (2,26), disusul Malaysia (6,65), Thailand (7,80), Brunei Darussalam (9,83), dan Vietnam (16,50). Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-

(9)

Bangsa (PBB), angka kematian bayi di Indonesia pada 2019 lalu adalah 21,12/1000KH. Angka ini menurun dari catatan pada 2018 ketika angka kematian bayi di Indonesia masih mencapai 21,86/1000KH atau pada 2017 yang mencapai 22,62/1000KH(Mawaddah, 2018). World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa secara global rata-rata angka pemberian ASI eksklusif di dunia pada tahun 2017 hanya sebesar 38%, WHO menargetkan pada tahun 2025 angka pemberian ASI eksklusif pada usia 6 bulan pertama kelahiran meningkat setidaknya 50%. . WHO pada tahun 2017 juga menyebutkan pemberian air susu ibu secara eksklusif mampu meningkatkan kekebalan bayi sehingga dapat memperkecil kemungkinan kematian pada bayi.

Perempuan di Indonesia 96% menyusui anak mereka namun hanya 42% yang memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan. Target capaian cakupan ASI eksklusif Indonesia dalam renstra tahun 2015 adalah sebesar 39%. Pada tahun 2017 hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) melaporkan presentasi cakupan ASI eksklusif pada bayi usia 0 sampai dengan 6 bulan 35,73%. Riskesdas (2018) melaporkan di Indonesia proporsi pemberian ASI pada bayi dan anak usia 0 sampai 5 bulan sebesar 37,3%.5 Upaya pemerintah untuk melindungi, mendukung dan mempromosikan pemberian ASI eksklusif maka PP Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI eksklusif, 6 peraturan ini melaksanakan ketentuan pasal 129 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. (Kemenkes RI, 2017) Target dari Rencana Strategis Kementerian Kesehatan (Renstra) mengenai ASI eksklusif tahun 2017–2018 yaitu 44%, di Indonesia terdapat lima provinsi yang belum mencapai target Renstra. Secara nasional, cakupan bayi yang mendapat ASI eksklusif sebesar 61,33%, persentase tertinggi cakupan pemberian ASI eksklusif terdapat pada Nusa Tenggara Barat (87,35%), sedangkan persentase terendah terdapat pada Papua 15,32%. (Kemenkes, 2017) Pemberian ASI eksklusif diperlukan pada enam bulan pertama kehidupan yang mengandung banyak gizi serta tidak terkontaminasi oleh zat apapun.

Pengenalan makanan secara dini yang disiapkan tidak higienis dan memiliki kandungan gizi serta energi yang rendah dapat menyebabkan anak mengalami kekurangan gizi dan terinfeksi oleh hal-hal yang lain, sehingga anak tersebut mempunyai daya tahan tubuh yang rendah terhadap penyakit. (Kemenkes RI, 2017) Dalam menyusui banyak ibu yang gagal, salah satu penyebabnya kegagalan menyusui karena ibu kurang percaya diri sewaktu menyusui bayi nya.

Hal ini dapat mengakibatkan produksi ASI menjadi sedikit. Lambatnya sistem kerja hormon oksitosin dapat dipengaruhi oleh ibu yang kurang percaya diri dan selalu merasa ragu (Amalia, 2010). Banyak faktor yang menyebabkan cakupan ASI rendah dan belum sesuai target nasional di Indonesia. Ibu yang bekerja, dukungan suami, pengetahuan dan perilaku ibu serta peran tenaga kesehatan yang rendah dapat menghambat praktik ASI Eksklusif (Saleh, 2011). Pemerintah sudah mengeluarkan aturan guna mendukung Program ASI eksklusif yaitu Peraturan Pemerintah No 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI Eksklusif dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan atau memerah.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 49 ayat (2) berbunyi perempuan berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksinya. Hak pekerja perempuan yang berhubungan dengan fungsi reproduksi lainnya yaitu hak cuti haid, hak cuti melahirkan atau keguguran, hak untuk menyusui atau ruang

(10)

untuk mengambil ASI (Anasari, 2016). Dalam UU Nomor 36 tahun 2009 Pasal 128 ayat 1 dan 2, menyatakan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis. Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. Dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian anak, United Nation Childrens Fund (UNICEF) dan World Health Organization (WHO) membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Berdasarkan Riskesdas (2013), sesudah umur 6 bulan, bayi baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan ibu tetap memberikan ASI sampai anak berumur minimal 2 tahun. Perilaku pemberian ASI eksklusif dipengaruhi oleh faktor internal dan ekskternal. Menurut Notoatmodjo (2016), perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dapat diamati dan dipelajari. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya prilaku dapat dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor Intern meliputi pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi motivasi dan sebagainya. Sedangkan faktor ekstern seperti iklim, manusia, sosial ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Faktor internal (karakteristik) ibu adalah segala sesuatu yang berasal dari ibu, yang terdiri dari usia, persepsi, pengetahuan, dan perkerjaan ibu. Usia akan mempengaruhi kemampuan dan kesiapan diri ibu dalam melewati masa menyusui. Sehingga ibu dengan usia 18 tahun berbeda dalam melewati masa menyusui dibandingkan dengan ibu yang berusia 40 tahun (Marlitalia, 2017).

Persepsi yang salah mengenai ASI eksklusif dapat mempengaruhi pemberian ASI eksklusif.

Misalnya adalah produksi ASI yang tidak mencukupi. Alasan ini merupakan alasan utama para ibu untuk tidak memberikan ASI eksklusif. Dalam hal ini ibu merasa bahwa ASI-nya kurang, dengan berbagai keluhan seperti payudara mengecil, ASI menjadi lebih encer, bayi lebih sering menangis dan lebih sering minta disusui (Walyani, 2015). Pengetahuan ibu yang kurang mengetahui dan memahami tata laksana laktasi yang benar juga akan mempengaruhi pemberian ASI eksklusif pada bayi. Misalnya, pentingnya memberikan ASI, bagaimana ASI keluar, bagaimana posisi menyusui dan perlekatan yang baik sehingga ASI dapat keluar dengan optimal (Astutik, 2016). Sebagian besar wanita bekerja mencari nafkah di luar rumah serta sering meninggalkan keluarga untuk beberapa jam setiap harinya sehingga mengganggu proses menyusui bagi mereka yang baru bersalin. Sebagai tuntutan hidup di Kota besar, dimana semakin terdapatnya kecenderungan peningkatan jumlah istri yang aktif bekerja di luar rumah untuk membantu upaya peningkatan pendapatan keluarga. Tenaga kerja perempuan yang meningkat menjadi salah satu kendala dalam mensukseskan program ASI Eksklusif, hal ini karena cuti melahirkan hanya 12 minggu, dimana 4 minggu diantaranya sering diambil sebelum melahirkan. Ibu yang bekerja hanya dapat mendampingi bayinya secara intensif selama 2 bulan, termasuk dalam menyusui bayinya. Setelah itu, ibu harus kembali bekerja dan sering ibu terpaksa berhenti meyusui. (Nugroho, 2011). Faktor ekskternal ibu adalah segala sesuatu yang berasal di luar diri ibu, seperti dukungan suami dan tenaga kesehatan. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi pemberian ASI eksklusif pada bayi. Sehingga jika salah satu faktor tersebut tidak teraplikasikan dengan baik dan benar pada ibu menyusui, maka hal tersebut akan

(11)

mempengaruhi rendahnya pemberian ASI eksklusif pada bayi (Maritalia, 2017). Dukungan suami yang baik kepada ibu akan membantu keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Dukungan suami akan membuat ibu merasa tenang sehingga memperlancar produksi ASI. Ayah membantu ibu agar bisa menyusui dengan nyaman sehingga ASI yang dihasilkan maksimal (Khasanah, 2013). Dukungan tenaga kesehatan juga berperan dalam menunjang pemberian ASI eksklusif.

Bidan dapat membantu ibu untuk memberikan ASI dengan baik dan mencegah masalah-masalah umum terjadi. Misalnya dengan tidak memberikan makanan atau minuman lain kepada bayi baru lahir selain ASI, kecuali ada indikasi medis yang jelas. Sehingga jika dukungan suami dan bidan tidak dilaksanakan dengan benar, hal tersebut dapat menjadi penyebab rendahnya pemberian ASI eksklusif pada bayi. (Heryani, 2012)

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU MENYUSUI TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KETAPANG KABUPATEN SAMPANG

Tingginya angka kesakitan dan kematian pada anak, United Nation Childrens Fund (UNICEF) dan World Health Organization (WHO) beserta Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menganjurkan sebaiknya anak yang baru lahir diberi air susu ibu (ASI) selama paling sedikit enam bulan dan dilanjutkan dengan makanan pendamping (MP- ASI) sampai usia dua tahun. Hal ini dilakukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian anak (Yusrina and Devy, 2016).

ASI Eksklusif merupakan cairan yang dihasilkan oleh sekresi kelenjar payudara yang mulai diberikan sejak bayi lahir usia nol sampai dengan usia enam bulan tanpa diberikan tambahan makanan ataupun minuman seperti air putih, madu, susu, pisang, dan formula lainnya (kecuali obat, vitamin dan mineral). Kolostrum yang terdapat di dalam ASI kaya akan antibodi sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan membantu membunuh kuman dalam jumlah yang tinggi di dalam tubuh bayi (Dewi, 2021). Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dilanjutkan dengan tambahan makanan pendamping sampai usia dua tahun dapat mencegah kematian sebanyak 19% (Realita, 2019). Berdasarkan data dari profil kesehatan Indonesia tahun 2019, secara nasional cakupan bayi yang memperoleh ASI eksklusif sebesar 67,74%. Dari hasil data tersebut dapat disimpulkan bahwa angka cakupan sudah mencapai target dari rencana strategi kementrian kesehatan tahun 2019 yaitu 50% (Kemenkes RI, 2020). Hal itu juga terjadi pada provinsi Jawa Timur, cakupan pada tahun 2019 mengalami kenaikan yaitu 78,3%

dibandingkan dengan tahun 2018 yaitu 76,8% (Dinkes Jawa Timur, 2020). Akan tetapi ditemukan data penurunan cakupan bayi yang mendapat ASI Eksklusif di kabupaten Sampang tahun 2019 sebesar 39,8% sedangkan pada tahun 2018 sebesar 65% (Dinkes Sampang, 2020).

Pemberian ASI Eksklusif dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu factor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi pemberian ASI Eksklusif contohnya seperti kurangnya pengetahuan ibu terhadap pentingnya ASI untuk bayi baru lahir, sikap, kepercayaan diri serta perilaku ibu dalam memberikan ASI. Faktor eksternal yaitu seperti kampanye tentang informasi pentingnya pemberian ASI Eksklusif, fasilitas pelayanan kesehatan, peran dari petugas kesehatan, peran dari penolong persalinan dan dukungan dari anggota keluarga. Selain itu juga faktor sosial budaya dapat berpengaruh dalam pemberian ASI Eksklusif. Kegagalan dalam

(12)

pemberian ASI Eksklusif dapat disebabkan oleh adanya tradisi dan kepercayaan masyarakat sekitar yang mempercayai bahwa bayi tidak cukup bila hanya diberikan ASI. Sehingga adanya dorongan untuk ibu memberikan minuman atau makanan pada lainnya seperti pisang, susu formula, bubur, madu dan lainnya supaya dapat menambah berat badan bayi (Dewi, 2021).

Berdasarkan dari uraian di atas, guna untuk mengetahui adanya hubungan pengetahuan terhadap ibu dalam pemberian ASI Eksklusif, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Pemberian ASI Ekslusif pada Ibu Menyusui di Wilayah Kerja Puskesmas Ketapang Kab. Sampang”.

HUBUNGAN PERSEPSI TENTANG KECUKUPAN ASI PADA IBU MENYUSUI TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI BLUD UPTD PUSKESMAS BUMI RAHAYU TANJUNG SELOR

Menurunnya angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu indikator keberhasilan pencapaian tujuan kesehatan bagi suatu negara yang sebagai bagian target pembanguan Sustainable Development Goals (SGDs) yang saat ini belum tercapai (Department of Economic and Social Affairs, 2020). Akan tetapi data global tahun 2019 menunjukkan kematian bayi usia 0-28 hari sekitar 2,4 juta dan sekitar 47% terjadi pada usia di bawah lima tahun. Data di kawasan Asia insiden Angka Kematian Neonatal (AKN) tertinggi di dunia (Unicef, 2020). Sementara itu, Indonesia menempati urutan ke-7 dari 10 negara dengan jumlah AKN tertinggi dan berada di urutan lima besar negara dengan AKN tertinggi di Asia Tenggara pada tahun 2019 (WHO, 2020). Penyebab tingginya pada kematian bayi periode neonatal sebenarnya bisa dikendalikan dengan upaya pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif sejak kelahiran. Menurut Unicef pemberian ASI secara optimal berpotensi mencegah 1,4 juta kematian anak usia di bawah lima tahun setiap tahunnya (Unicef, 2020). Pemberian ASI eksklusif merupakan pememberian ASI murni pada bayi baru lahir sampai usia 6 bulan dengan tanpa tambahan makanan atau minuman lain, kecuali obat dan vitamin. Namun bukan berarti setelah pemberian ASI eksklusif pemberian ASI dihentikan, akan tetapi tetap diberikan kepada bayi sampai bayi berusia 2 tahun (WHO, 2018). Capaian pemberian ASI eksklusif secara global masih rendah. Estimasi sekitar 44% bayi yang diberikan ASI eksklusif selama enam bulan (WHO, 2020). Persentase tersebut masih belum memenuhi target World Health Assembly Global (WHA) yang menargetkan pemberian ASI eksklusif secara global mencapai minimal 50% di tahun 2025 (Lyell, 2012). Cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia sekitar 68,74% dari target nasional sebesar 80% (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Adapun Cakupan ASI eksklusif di Provinsi Kalimantan Utara pada tahun 2018 sebesar 90,79%. Meskipun sudah mencapai target, namun masih terdapat beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Utara yang masih rendah cakupannya, salah satunya di Kecamatan Tanjung Selor Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara (Dinkes Kalimantan Utara, 2019). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Bulungan pada tahun 2020, cakupan ASI eksklusif di Kabupaten Bulungan sebanyak 15.861 bayi (75,55%) dari jumlah keseluruhan sebanyak 21.064 bayi. Cakupan ini belum mencapai target rencana strategis

(13)

(renstra) (80%) (Dinkes kabupaten Bulungan, 2021). Dari studi awal yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bumi Rahayu terdiri dari 3 desa, didapatkan capaian ASI eksklusif yang fluktuatif yaitu pada tahun 2020 yaitu sebasar 96,29 % tahun 2021 90,98 % dan tahun 2022 sampai bulan Oktober yaitu 57,55 % (Dinas Kesehatan Kabupaten Bulungan, 2021). Cakupan ASI eksklusif di UPTD Puskesmas Bumi Rahayu ini masih rendah dan masih jauh dari target yang diharapkan 80%. Sasaran ASI ekslusif di UPTD Puskesmas Bumi Rahayu tahun tahun 2020 sebanyak 135 balita, ibu yang memberikan ASI Ekslusif sebanyak 130 orang. Tahun 2021 sasaran ASI Ekslusif sebanyak 161 orang dengan pemerian ASI ekslusif sebanyak 126 orang.

Tahun 2022 sasaran ASI Ekslusif sebanyak 237 orang dan pemberian ASI Ekslusif sebanyak 183 orang (Puskesmas Bumi Rahayu, 2023). Keberhasilan dalam menyusui adalah persepsi kecukupan dari produksi ASI. Persepsi ketidakcukupan produksi ASI pada ibu menyusui diketahui menjadi faktor kegagalan dalam pemberian ASI eksklusif (Javan et al., 2017). Karena persepsi ketidakcukupan produksi ASI sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan pemberian ASI eksklusif mempengaruhi ibu melakukan pemberhentian dini dalam menyusui (Hornsby et al., 2019). Persepsi merupakan situasi di mana ada ketidakseimbangan pengetahuan tentang objek, simbol, atau orang. Persepsi tersebut akan mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku masyarakat (Luthviatin, 2012). Kesadaran akan ASI tidak membaik dalam beberapa hari pertama, sehingga susu formula harus ditambahkan, dan payudara kecil tidak menghasilkan ASI.

Jika seorang ibu memiliki pemahaman yang baik tentang penggunaan ASI eksklusif, maka akan mempengaruhi sikap ibu, yang juga akan mempengaruhi perilaku menyusuinya. Persepsi yang salah mengenai ASI eksklusif dapat mempengaruhi pemberian ASI eksklusif. Misalnya ialah produksi ASI yang tidak mencukupi. Alasan ini merupakan alasan utama para ibu untuk tidak memberikan ASI eksklusif. Dalam hal ini ibu merasa bahwa ASI kurang, dengan berbagai keluhan seperti payudara mengecil, ASI menjadi lebih encer, bayi lebih sering menangis dan lebih sering minta disusui (Purwoastuti & Walyani, 2017). Penelitian Javan et al (2017) menyebutkan sebanyak 39% ibu menyusui mengalami ketidakcukupan produksi ASI (Javan et al., 2017). Penelitian Sun et al (2017) yang dilakukan di Negara Cina menyebutkan penyebab gagalnya utama terhentinya proses menyusui karena ketidakcukupan produksi ASI (Sun et al., 2017). Penelitian Yuliana et al (2022) menyebutkkan adanya hubungan persepsi ibu dengan p- value = 0,003, dukungan suami p-value = 0,004, dukungan tenaga kesehatan p-value = 0,000 (Yuliana et al., 2022). Studi pendahuluan yang dilakukan di BLUD UPTD Puskesmas Bumi Rahayu dari laporan triwulan ibu dengan anak usia 7-11 bulan sebanyak 63 orang dan ibu dengan anak usia 12-24 bulan sebanyak 214 orang. Hasil wawancara dengan 30 ibu yang menyusui mengatakan mengalami beberapa kendala ibu tidak menyusui disamping karena produksi ASI yang kurang ditandai ASI yang keluar sedikit juga dikarenakan faktor kesibukan pekerjaan ibu baik yang menjadi ibu rumah tangga atau bekerja diluar rumah. Lebih lanjut dari hasil wawancara dengan 10 ibu menyusi mengatakan khawatir akan dengan produskis ASI yang dihasilakan tidak cukup dimana bayinya sering menangis dan sering menyusui. Berdasakan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Persepi kecukupan ASI Pada Ibu yang Menyusui terhadap pemberian ASI Ekslusif di BLUD UPTD Puskesmas Bumi Rahayu”.

(14)

HUBUNGAN PERSEPSI IBU MENYUSUI TENTANG ASI EKSKLUSIF DENGAN PEMBERIAN MP ASI PADA BAYI USIA 0-6 BULAN DI DESA MULO WONOSARI GUNUNGKIDUL TAHUN 2009

Peran wanita sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan anaknya. Salah satu peran seorang ibu adalah memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayinya sebagaimana firman Alah SWT yang terdapat dalam Al Qur'an Surat Al. Baqarah ayat 233. Angka Kematian Bayi (AKB) di negara berkembang masih tergolong tinggi. Menurut The World Report 2005, Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia adalah 20 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan berdasarkan Survei Demografi (SDKI) 2007 Angka Kematian Bayi di Indonesia adalah 27 per 1000 kelahiran hidup. Kematian bayi tersebut terjadi pada bayi berumur dibawah satu bulan yang disebabkan gangguan perinatal, bayi berat badan rendah (BBLR), infeksi saluran pernapasan akut, diare, malaria dan campak. Disamping itu masalah gizi di Indonesia juga masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat (www.mediaindonesia.com).Angka kejadian dan kematian akibat diare tersebut pada anak-anak di negara berkembang seperti Indonesia masih tergolong cukup tinggi pada anak-anak yang tidak mendapatkan ASI. Pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) yang tidak tepat waktu memberi andil yang besar terhadap kejadian diare. (Roesli U, 2005).

Cakupan ASI eksklusif bagi bayi di Daerah Istimewa Yogyakarta cukup rendah. Cakupan ASI eksklusif Daerah Istimewa Yogyakarta masih jauh dari target nasional yang mencapai 80%.

Sedangkan pada tahun 2007 mencapai angka 33,09%. Masih banyak ditemukan bayi yang berusia kurang dari 1 bulan sudah diberi MP ASI sehingga rendahnya pemberian ASI eksklusif dikeluarga menjadi pemicu rendahnya status gizi bayi dan balita (Roesli U, 2000).Dukungan politis dari pemerintah terhadap peningkatan penggunaan ASI eksklusif dengan telah dicanangkannya Gerakan Pengguna ASI (GNPP-ASI) sejak tahun 1990 melalui kegiatan Pekan ASI Sedunia yang dilaksanakan setiap tahun pada minggu pertama bulan Agustus. Selain itu UNICEF dan pemerintah Indonesia telah mencanangkan inisiasi menyusu dini (IMD) sebagai bagian dari upaya mengoptimalisasi pemberian ASI secara eksklusif. (Roesli U, 2008).

Umumnya orang tua khawatir bila anaknya tampak kurus mereka takut anaknya tidak tumbuh dan berkembang secara optimal karena tidak cukup makan. Normalnya, berat badan anak bertambah sesuai pertambahan usianya. (Harnanto, 2002). Selain masalah tersebut, masalah lain adalah masih tingginya kasus pemberian MP ASI pada bayi yang berusia kurang dari 6 bulan.

Karena pendapat yang berkembang dalam masyarakat sebagian besar mereka menyatakan bahwa bayi menangis menandakan lapar dan tidak cukup hanya diberi ASI saja. (Ariani, 2008).

Menurut penelitian Badan Peneliti Statistik (BPS), pemberian MP ASI dan susu formula pada bayi yang berusia kurang dari 2 bulan sebesar 94,3%. Di daerah pedesaan, studi yang dilakukan oleh World Health Organisation (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia menunjukkan bahwa banyak ibu-ibu yang mulai memberikan MP ASI kepada bayinya meskipun baru berusia 2 atau 3 bulan (Muchtadi, 2002). Di kabupaten Gunungkidul dari jumlah bayi sebanyak 3.253 yang diberikan ASI secara eksklusif hanya 344 bayi atau 10,57%.Sedangkan sebanyak 2.909 bayi atau 89,42% diberikan makanan pendamping ASI secara dini atau sebelum bayi berusia 6 bulan (www.dinkes-diy.org). Pada studi pendahuluan di desa Mulo kecamatan Wonosari kabupaten

(15)

Gunungkidul sebanyak 13 bayi yang usianya kurang dari 4 bulan atau sebesar 86,67% telah diberi MP ASI. Padahal cakupan ASI eksklusif yang diharapkan adalah 80% ibu memberikan ASI eksklusif. karena ibu-ibu mempunyai persepsi jika hanya diberikan ASI saja sampai berusia 6 bulan maka bayi akan kekurangan gizi dan tidak akan mengalami kenaikan berat badan..

Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan persepsi ibu menyusui tentang ASI eksklusif dengan pemberian MPASI pada bayi usia 0-6 bulan.

ASI Eksklusif dan Persepsi Ketidakcukupan ASI

Menyusui secara eksklusif selama enam bulan telah terbukti memiliki banyak manfaat, baik untuk ibu maupun untuk bayinya. Meskipun manfaat-manfaat dari menyusui ini telah dipublikasikan di seluruh dunia, angka cakupan ASI eksklusif masih jauh dari yang diharapkan.

Hanya 39% bayi di bawah enam bulan mendapatkan ASI eksklusif pada tahun 2012. Angka global ini hanya meningkat dengan sangat perlahan selama beberapa dekade terakhir.1 Data nasional menunjukkan bahwa cakupan ASI eks- klusif masih rendah. Menurut Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, cakupan ASI eksklusif hanya sekitar 38%, sementara pemerintah menargetkan cakupan ASI eksklusif sebesar 80%.2,3 Cakupan ASI eksklusif di Provinsi Jawa Tengah juga masih rendah bahkan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data profil kesehatan Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012, cakupan pemberian ASI eksklusif hanya sekitar 25,6%, menurun dibandingkan tahun 2011 sebesar 45,18%.4 Penyebab utama kegagalan pemberian ASI eksklusif di dunia adalah karena ibu merasa ASI-nya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi. Sekitar 35% ibu yang memberikan makanan tambahan kepada bayi sebelum berusia enam bulan ternyata karena mengalami persepsi ketidakcukupan ASI (PKA).5 PKA adalah pendapat ibu yang meyakini bahwa produksi ASI-nya kurang (tidak cukup) untuk memenuhi kebutuhan bayinya dan selanjutnya memberikan makanan pendamping ASI dini. Beberapa penelitian mengenai PKA di Indonesia menunjukkan bahwa banyak ibu yang merasa ASI-nya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi.6-8 Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab dari PKA. Tiga studi yang dilakukan di Kabupaten Karawang, Kecamatan Tanjung Priok, dan Kecamatan Cilandak menunjukkan bahwa PKA dialami oleh ibu menyusui yang kenaikan berat badan sewaktu hamilnya tidak mencapai kenaikan berat badan yang direkomendasikan sehingga memiliki cadangan lemak kurang dan menyebabkan ibu berhenti memberikan ASI eksklusif sebelum enam bulan. Di Indonesia, sekitar 9 - 21% wanita usia subur (WUS) di perdesaan memiliki status gizi kurus dan selama kehamilan hanya mengalami kenaikan berat badan sekitar sembilan kilogram.9 Hasil penelitian Huang, et al.,10 menunjukkan bahwa PKA dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor ibu, faktor bayi dan laktasi. Dalam penelitian tersebut, terbukti secara signifikan bahwa faktor ibu (status pekerjaan ibu), faktor bayi (kebiasaan menyusui dan perlekatan menyusui) serta faktor laktasi (inisiasi menyusu dini, rawat gabung, dan dukungan keluarga) memengaruhi PKA. Faktor lain yang memengaruhi PKA adalah usia ibu, paritas, pengetahuan, kebiasaan menyusui malam hari, perlekatan menyusui, dan dukungan tenaga kesehatan.6,11-13 Kota Tegal merupakan salah satu kota di Jawa Tengah dengan cakupan ASI eksklusif 0-6 bulan pada tahun 2013 yang masih di

(16)

bawah target yaitu sebesar 49,55%, sedangkan yang eksklusif enam bulan hanya 2,86%. Dari empat kecamatan di Kota Tegal, Kecamatan Tegal Selatan dan Kecamatan Margadana dipilih sebagai lokasi penelitian karena kedua kecamatan ini adalah kecamatan dengan cakupan ASI 0 - 6 bulan terendah, yaitu sebesar 39% dan 43%.14 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang paling dominan berhubungan dengan PKA di dua kecamatan (Kecamatan Tegal Selatan dan Margadana) Kota Tegal Tahun 2014.

Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Susu Formula pada Bayi Usia 0- 6 Bulan di Puskesmas Karya Mulia Kota Pontianak

Air susu ibu (ASI) merupakan makanan pertama yang paling baik bagi awal kehidupan bayi karena ASI mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan dengan jumlah kandungan yang tepat dan menyediakan antibodi atau zat kekebalan untuk melawan infeksi dan juga mengandung hormon untuk memacu pertumbuhan. Sehingga demikian air susu ibu (ASI) merupakan peranan penting dalam pertumbuhan, perkembangan dan kelangsungan hidup bayi1. Ibu yang tidak segera memberikan ASI, tentunya menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak negatif tersebut antara lain, terjadi pendarahan setelah melahirkan dan pengembalian uterus lambat, sedangkan pada bayi, yaitu mudah terserang infeksi dan alergi, sistem kekebalan tubuh kurang, mudah terjadi gangguan pencernaan (diare) dan proses menyusui terganggu karena bayi bingung puting. Memberikan susu formula pada bayi usia 0-6 bulan sangat berbahaya, karena dapat menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan seperti infeksi saluran pencernaan (muntah, diare), infeksi saluran pernafasan, resiko alergi, serangan asma, kegemukan (obesitas), meningkatkan resiko efek samping zat pencemar lingkungan, meningkatkan kurang gizi, resiko kematian dan menurunkan perkembangan kecerdasan kognitif selain itu juga susu formula dapat menurunkan berat badan bayi, mudah sakit karena tidak mendapat zat immunoglobulin yang terkandung dalam kolustrum2. Berdasarkan data WHO tahun 2016 Angka Kematian Bayi (AKB) di negara berkembang 37 per 1.000 kelahiran hidup dan AKB di negara maju 5 per 1.000 kelahiran hidup. AKB di Asia Timur 11 per 1.000 kelahiran hidup, Asia Selatan 43 per 1.000 kelahiran hidup, Asia Tenggara 24 per 1.000 kelahiran hidup dan Asia Barat 21 per 1.000 kelahiran hidup. Dimana Sebanyak 82% dari 37,94% anak sakit, karena tidak menerima ASI Ekslusif. Secara global, lebih dari 10 juta anak dengan usia dibawah 5 tahun meninggal setiap tahunnya. Penyebab kematian tersebut karena pemberian ASI eksklusif yang tidak memadai Penyebab angka kematian bayi. Menyusui Eksklusif menurunkan angka kematian karena infeksi sebanyak 88% pada bayi berusia kurang dari 3 bulan3.Secara Nasional data pemberian ASI Ekslusif di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 55,7% dan 44,3% tidak memberikan ASI secara Ekslusif. angka tersebut sudah mencapai target nasional sebesar 39%. Persentase pemberian ASI Ekslusif di Kalimantan Barat sampai dengan tahun 2016 belum mencapai target Provinsi Kalimantan barat yaitu sebesar 77% dimana 68,4% diantaranya memberikan ASI secara Ekslusif dan 31,6% memberikan ASI secara tidak Ekslusif4. Berdasarkan data dari Dinas kesehatan Kota Pontianak diketahui bahwa angka pemberian ASI ekslusif selama tahun 2015 sebesar 80,14%

(17)

dan sebesar 19,86% tidak memberikan ASI secara ekslusif. Dari data ini diketahui bahwa berdasarkan kecamatan didapatkan bahwa kecamatan Pontianak kota jumlah pemberian ASI secara ekslusif sebesar 75,47%, Pontianak Barat sebesar 76,55%, Pontianak selatan 76,22%, Pontianak tenggara 74,17%, Pontianak timur 81,28% dan Pontianak utara 81,08%5. Penyebab menurunnya angka pemberian ASI dan peningkatan pemberian susu formula antara lain minimnya pengetahuan para ibu tentang manfaat ASI dan cara menyusui yang benar, Inisiasi Menyusui Dini (IMD) sedikitnya pelayanan konseling laktasi dan dukungan dari petugas kesehatan6. Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2012) Ada tiga hal yang dapat mempengaruhi intensi berperilaku yaitu Faktor predisposisi (Umur, Pendidikan, IMD, Pengetahuan, sikap dan tindakan), faktor pemungkin (Akses Informasi, Ketersediaan Susu Formula, promosi iklan susu formula) dan faktor penguat (Dukungan tenaga kesehatan dan dukungan keluarga)7. Dukungan suami juga berpengaruh positif terhadap pemberian ASI ekslusif. Dukungan suami berpengaruh secara emosional, membangun kepercayaan diri diantara pasangan8. Dukungan tenaga kesehatan terhadap pemberian ASI eksklusif ini sangat penting tidak hanya bagi bayi tetapi juga bagi ibu menyusui. Langkah yang dapat dilakukan untuk mengubah pemahaman masyarakat tentang pemberian ASI ekslusif yaitu memberikan informasi keuntungan pemberian ASI dan kerugian pemberian susu formula. Rendahnya cakupan ASI Ekslusif di Puskesmas Karya Mulia dan masih belum tercapainya target provinsi Kalimantan barat terhadap ASI ekslusif menjadikan peneliti merumuskasn masalah mengenai “Faktor apa saja yang berhubungan dengan pemberian susu formula pada bayi 0-6 bulan di Puskesmas Karya Mulia Kota Pontianak.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN BRREASTFEEDING SELF EFFICACY DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS EMBONG IJUK KEPAHIANG TAHUN 2023

ASI sebagai makanan terbaik dan paling utama yang sifatnya alamiah bagi bayi. Kandungan zat- zat pada ASI yang diperlukan bayi dalam proses tumbuh kembangnya dan sebagai pelindung supaya bayi tidak terkena berbagai penyakit dan menurunkan angka kematian bayi (Rahmadani

& Sutrisna, 2022). ASI mengandung berbagai kelebihan serta manfaat antara lain penyakit infeksi saluran pencernaan (diare), telinga dan pernafasan jadi lebih menurun. Selain itu ASI juga mencegah dan menurunkan terjadinya penyakit seperti kurang gizi, obesitas dan alergi serta peningkatan IQ para anak (Panca & Bandar, 2022) . Ristiana et al (2022) dalam penelitiannya mengatakan bahwa pemberian ASI eksklusif yang berhasil tidak terlepas karena faktor ibu, yakni keyakinan dan keinginan ibu dalam memberikan anaknya ASI yang bisa disebut self efficacy dalam hal menyusui. Self efficacy sebagai aspek pengetahuan mengenai diri (self knowledge) yang benar-benar memberikan pengaruh kepada kehidupan keseharian, hal ini karena self efficacy dapat mempengaruhi seseorang untuk menentukan mereka dalam bertindak guna meraih tujuan tertentu. Para ibu yang memiliki tingkat self efficacy yang tinggi dalam hal menyusui lebih lama dari pada ibu yang tingkat self efficacynya rendah. Menurut Rahayu (2018), faktor yang menjadi penentu keberhasilan ASI salah satunya ialah keyakinan ibu atau self efficacy yang memberikan gambaran keyakinan diri ibu terkait kemampuan mereka dalam menyusui bayinya.

(18)

Pentingnya self efficacy pada ibu menyusui telah dibuktikan dalam berbagai penelitian. UNICEF

& WHO (2019), secara global, tidak ada peningkatan yang spesifik dalam pemberian ASI. Pada tahun 2013–2018, presentase bayi yang baru lahir memperoleh IMD atau Inisiasi Menyusui Dini sebanyak 43% serta presentase bayi mendapat ASI Eksklusif sebesar 41%. Sementara itu, masih terdapat 70% wanita yang menyusui bayi mereka setidaknya sampai berumur satu atau dua tahun tetapi seiring berjalannya waktu terus terjadi penurunan tingkat menyusui ibu yakni hingga 45%.

Target global pada tahun 2030 adalah 70% untuk Inisiasi Menyusui Dini (IMD), 70% untuk ASI eksklusif, 80% untuk bayi usia satu tahun, dan 60% pada bayi usia dua tahun. Sesuai dengan data profil Kesehatan Indonesia 2021 presentase bayi memperoleh ASI esklusif sebesar 56,9 persen.

Angka tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2022 yakni 67,96 persen. Presentase capaian indikator pemberian ASI esklusif ini telah memenuhi target nasional pada 2022 yakni 50 persen Provinsi yang memiliki capaian terendah yaitu Aceh yakni dengan 18,29 persen dan capaian tertinggi ialah Provinsi Yogyakarta yakni 147,91 persen (Kemenkes RI, 2022). Berdasarkan profil Kesehatan Kota Bengkulu, capaian persentase bayi yang berusia 0 hingga 6 bulan yang memperoleh ASI eksklusif sangatlah baik yakni 75,7 persen dari target sebesar 40 persen.

Presentase cakupan ASI esklusif di kabupaten Kepahiang mengalami peningkatan yaitu 73,92 persen pada tahun 2020 dan 75,8 persen pada tahun 2021 akan tetapi cakupan ASI eksklusif pada wilayah kerja di Puskesmas Embong Ijuk masih tergolong rendah yakni 45,6 persen pada tahun 2020 dan 44,3 persen pada tahun 2021 (Dinkes Kepahiang, 2018) Berdasarkan profil Kesehatan Kota Bengkulu, capaian persentase bayi yang berusia 0 hingga 6 bulan yang memperoleh ASI eksklusif sangatlah baik yakni 75,7 persen dari target sebesar 40%. Presentase cakupan ASI eksklusif di kabupaten Kepahiang mengalami peningkatan yaitu 73,92% pada tahun 2020 dan 75,8 % pada tahun 2021 akan tetapi cakupan ASI eksklusif pada wilayah kerja di Puskesmas Embong Ijuk masih tergolong rendah yakni 45,6% pada tahun 2020 dan 44,3 % pada tahun 2021(Dinkes Kepahiang, 2018) Berdasarkan profil Kesehatan Kota Bengkulu, capaian persentase bayi yang berusia 0 hingga 6 bulan yang memperoleh ASI eksklusif sangalah baik yakni 75,7 persen dari target sebesar 40%. Presentase cakupan ASI esklusif di kabupaten Kepahiang mengalami peningkatan yaitu 73,92% pada tahun 2020 dan 75,8 % pada tahun 2021 akan tetapi cakupan ASI eksklusif pada wilayah kerja di Puskesmas Embong Ijuk masih tergolong rendah yakni 45,6% pada tahun 2020 dan 44,3 % pada tahun 2021(Dinkes Kepahiang, 2018) Rendahnya Breastfeeding self efficacy dan belum efektifnya tindakan menyusui sering kali terjadi pada para ibu yang sebelumnya belum pernah sama sekali memiliki pengalaman menyusui. Para ibu yang masih menjadi pengalaman pertama dalam menyusui sering benar- benar menjadi sensitive pada semua hal yang berkaitan dengan kondisi bayinya sehingga para ibu ini mudah sekali terprovokasi dengan anggapananggapan negative misalkan seperti bayi tidak akan begitu kenyangg jika hanya mendapatkan ASI (Rahmadani & Sutrisna, 2022) Faktor lain yang mengakibatkan bayi tidak diberi ASI eksklusif ialah sebab para ibu sibuk dengan pekerjaannya, rendahnya tingkat pendidikan ibu, iklan penggunaan susu formula yang begitu banyak, sekresi ASI yang semakin berkurang, dukungan keluarga yang minim, dan ibu juga kurang mempunyai pengetahuan mengenai ASI (Abeng & Wahyuni, 2021) Berdasarkan penelitian (D. Nur et al.,2019), menyebutkan bahwa pengaruh dalam memberi ASI eksklusif

(19)

ialah motivasi ibu serta dukungan tenaga kesehatan. Motivasi pada pemberian ASI ialah suatu dorongan yang muncul agar mulai menyusui dan mempertahankan perilaku tersebut serta mengarah kepada perilaku menyusui pada tujuan yang ingin diraih ibu ketika menyusui anaknya dengan eksklusif. Selain itu tenaga kesehatan memberikan dukungan dalam bentuk penyedia informasi, emosional dan apresiasi terhadap usaha para ibu untuk menyusui anak atau bayinya.

Kurangnya pengetahuan ibu dan dukungan sekitar tentang pentingnya pemberian ASI, serta maraknya promosi susu formula menyebabkan banyak kegagalan ibu ketika memberi ASI eksklusif. Hal ini bisa terlihat berdasarkan hasil survey awal di Puskesmas Embong Ijuk dengan menggunakan kuisioner Breastfeeding SelfEfficacy Scale-Short Form (BSES-SF),kuisioner motivasi ibu, dukungan keluarga,dukungan dari keluarga, tenaga kesehatan,dan tingkat pengetahuan para ibu tentang ASIeksklusif didapatkan 10 responden yang mempunyai bayi umur0-6 bulan di mana 4 ibu kurang mendapat dukungan dari keluarga, 2 ibu kurang pengetahuan tentang ASI eksklusif, dan 4 ibu memenuhi kriteria Breastfeeding Self Efficacy.

Selain itu capaian pemberian ASI eksklusif di Puskesmas Embong Ijuk mengalami penurunan dari bulan Januari ke bulan Februari, yakni dari 32 bayi menjadi 28 bayi, maka didapatkan hasil bahwa masih rendahnya kesiapan ibu dalam pemberian ASI eksklusif di Puskesmas Embong Ijuk Kepahiang. sesuai dengan uraian sebelumnya maka peneliti termotivasi untuk melaksanakan penelitian mengenai “faktor-faktor yang berhubungan dengan Breastfeeding Self Efficacy di Puskesmas Embong Ijuk Kepahiang”. Walaupun telah ada penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan Breastfeeding Self Efficacy namun terdapat perbedaan terhadap penelitian yang saya lakukan. Penelitian ini dilakukan guna mengetahui hubungan motivasi ibu dan dukungan keluarga, petugas kesehatan dan pengetahuan ibu terhadap keberhasilan pemberian ASI eksklusif.

Studi Kasus: Kegagalan Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi di Wilayah Puskesmas Banjarsari, Lebak

Derajat kesehatan di dalam suatu negara sangat di tentukan oleh indikator banyaknya jumlah angka kematian bayi (Ekawati et al., 2015). Berdasarkan Data SDKI tahun 2017 kematian bayi di Indonesia berada pada kategori tinggi yaitu 24 per 1000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2020).

Salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian tersebut yaitu dengan pemberian ASI eksklusif (Infodatin, 2014). ASI eksklusif merupakan pemberian ASI saja atau ASI perah tanpa memberikan makanan atau minuman lainnya kepada bayi dari usia 0 – 6 bulan kecuali obat, vitamin dan mineral (Sakti, 2018). Baik secara global maupun di Indonesia pemberian ASI eksklusif masih rendah. Berdasarkan Global Breastfeeding Scorecard pemberian ASI eksklusif pada tahun 2013 - 2018 hanya mencapai 41%. Nilai tersebut belum mencapai target WHO yaitu sebesar 70% di tahun 2030 (WHO & UNICEF, 2019). Di Indonesia target pemberian ASI eksklusif mencapai 80%. Namun, sampai tahun 2019 angka tersebut belum tercapai, yakni pada tahun tersebut hanya mencapai 67,74% (Kemenkes, 2020). Provinsi Banten, pada tahun 2019 menempati peringkat ke-7 terendah dalam pemberian ASI eksklusif (53,96 %)(Kemenkes, 2019).

(20)

Provinsi Banten ini terdiri dari 8 Kabupaten/Kota dan kabupaten Lebak pada tahun 2018 menempati posisi ke 3 terendah pemberian ASI esklusif dengan presentase 52,1% (Dinkes Provinsi Banten, 2019). Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa persepsi ketidakcukupan ASI menjadi penyebab utama dalam kegagalan pemberian ASI eksklusif (Cascone et al., 2019).

Penelitian terdahulu yang dilakukan di wilayah kabupaten Lebak ditemukan bahwa pendidikan, pengetahuan, sikap, dukungan keluarga dan pekerjaan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif (Lindawati, 2019; Roslina, 2018). Hal ini dikarenakan, tingkat pendidikan seseorang berkontribusi terhadap pengetahuan seseorang, jika pengetahuan ASI eksklusif tepat maka akan terbentuk respon sikap ibu yang baik terhadap ASI eksklusif dan dapat mendorong sebuah respon yang lebih baik lagi yaitu menjadi tindakan yang nyata untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Namun, sikap ini belum tentu menjadi sebuah tindakkan yang nyata. Untuk menjadikan sikap menjadi tindakan, perlu adanya dukungan dari pihak-pihak tertentu seperti dukungan dari keluarga ibu (Golda et al., 2019). Bagi ibu yang aktif bekerja di luar rumah untuk mencari sumber tambahan dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga pemberian ASI eksklusif mengalami hambatan dikarenakan semasa cuti dan masa melahirkan yang singkat. Sehingga ibu yang bekerja memilih untuk menggunakan susu formula.

Selain itu, kemajuan teknologi dan komunikasi serta gencarnya promosi susu formula di iklan (TV) membuat para ibu beranggapan bahwa memberikan susu formula juga membuat bayi cepat tumbuh besar dan adanya asumsi bahwa susu formula dapat menjadi pengganti ASI (Alim dan Samman, 2020). Berdasarkan studi pendahuluan pada 11 ibu yang memiliki bayi 6-11 bulan di wilayah kerja Puskesmas Banjarsari Kabupaten Lebak, dari hasil wawancara ditemukan sebanyak 2 orang ibu yang berhasil memberikan ASI eksklusif. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan studi kasus untuk mengkaji faktor-faktor yang berperan dalam kegagalan pemberian ASI eksklusif di wilayah Kerja Puskesmas Banjarsari, Kabupaten Lebak.

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DALAM PRESPEKTIF SOSIAL BUDAYA DI KOTA PALEMBANG

Inisiasi Menyusui Dini (IMD) adalah suatu upaya mengembalikan hak bayi yang selama ini terenggut oleh para praktisi kelahiran yang pada saat membantu proses persalinan. Kondisi ini dapat menurunkan ketahanan tubuh bayi hingga 25 persen dan bahkan bayi dapat mengalami goncangan psikologis akibat kehilangan perlindungan dari ibunya sehingga dapat mempengaruhi kualitas perkembangan fisik, psikologis, dan kecerdasan anak dikemudian hari. Pemahaman dan pelaksanaan yang baik tentang Inisiasi Menyusui Dini merupakan dasar utama dan kuat dalam proses tumbuh kembang anak dan pemenuhan Air Susu Ibu sejak bayi lahir sampai usia 6 bulan akan meningkatkan poin kecerdasan intelektual yang lebih tinggi sebesar 12,9 pada usia 9 tahun.1 Inisiasi Menyusui Dini bukan saja menyukseskan pemberian ASI eksklusif tetapi juga memperlihatkan hasil nyata dalam menyelamatkan nyawa bayi, dan apabila semua bayi segera setelah lahir diberi kesempatan menyusui sendiri dengan membiarkan kontak kulit antara ibu ke kulit bayi minimal selama satu tahun maka satu juta nyawa bayi dapat diselamatkan1. Hasil

(21)

penelitian menunjukkan bahwa IMD dapat mengurangi angka kematian neonatal sebesar 22%

dan di berbagai negara berkembang IMD dapat menghemat sekitar 1,45 juta jiwa setiap tahun.

Berdasarkan hasil penelitian di Bolivia dan Madagaskar diketahui bahwa seperempat sampai setengah dari kematian bayi di negara berkembang terjadi pada minggu pertama kehidupan.2 Berbagaipenelitian telah mengkaji manfaat Pemberian Asi Eksklusif sebagai upaya menurunkan mortalitas dan morbiditas bayi, mengoptimalkan pertumbuhan bayi, membantu perkembangan kecerdasan anak, dan membantu memperpanjang jarak kehamilan.3 Penelitian di Timur Tengah menemukanhanya 6% ibu menyusui bayinya pada lima jam pertama kelahiran,71,6% setelah 36 jam kelahiran dan sebagian besar(90%) dua hari setelah kelahiran.3 IMD yang tertunda sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan faktor sosial budaya lainnya. Data UNICEF menunjukkan bahwa angka cakupan praktik IMD di Indonesia dari tahun 2003 hingga 2008 sebesar 39% dan cakupan ASI eksklusif selama enam bulan sebesar 40%. Sementara itu hasil Riskesdas juga menunjukkan bahwa persentase IMD sebesar 29,3% lebih rendah dari tahun 2008. Berbagai faktor disinyalir sebagai penyebab rendahnya perilaku IMD di Indonesia, antara lain karena faktor tingkat pendidikan, sikap, dan motivasi ibu menyusui yang kurang dipengaruhi oleh perilaku dan tindakan bidan serta dukungan dari keluarga. Menurut Simanjuntak bahwa penyebab kegagalan praktek ASI eksklusif bermacam-macam, seperti pemberian makanan prelakteal, ibu harus bekerja, bayi sakit, faktor kelelahan atau kurang percaya diri dari ibunya, dan lain sebagainya. Penelitian ASUH tahun 2002 menunjukkan bahwa bukan semata-mata faktor pengetahuan ibu yang mempengaruhi keberhasilan ASI ekslusif, tetapi juga berbagai faktor sosial budaya di masyarakat yang mempengaruhi keberhasilan ASI eksklusif. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan Pemberian Asi Eksklusif adalah kemampuan untuk melakukan penyusuan segera (immediate breastfeeding) yang saat ini lebih dikenal dengan istilah Inisiasi Menyusui Dini.4 Salah satu kunci utama keberhasilan IMD terletak pada penolong persalinan karena dalam menit-menit pertama setelah bayi dilahirkan peranan penolong persalinan sangat dominan. Menyusui adalah perilaku kesehatan multi dimensional yang dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor demografi, biologi, psikologi, dan sosial budaya. Berbagai faktor inilah yang bersifat modificable dan unmodificable sehingga banyak literatur yang menampilkan hubungan kausal antara beberapa faktor terhadap keberhasilan ibu dalam memberikan ASI ekslusif dan beberapa faktor lainnya yang menampilkan hasil yang inkonsisten terhadap keberhasilan ibu dalam memberikan ASI eksklusif.5 Berdasarkan hasil penelitian pemantauan status gizi yang dilakukan di Propinsi Sumatera Selatan tahun 2015 diketahui bahwa hanya 50,9% ibu melahirkan yang melakukan IMD di Kota Palembang dan begitu juga status gizi balita sangat kurang berdasarkan indeks BB/TB tertinggi justru ditemukan di Palembang sebanyak 2,8%. Oleh karena itu dianggap perlu untuk mengetahui model perilaku IMD dan Pemberian ASI Ekslusif di Kota Palembang dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan kesehatan balita yang nantinya akan ditindaklanjuti melalui pendekatan promotif dan preventif (Dinkes Propinsi Sumatera Selatan, 2016)

(22)

HUBUNGAN PERSEPSI IBU TENTANG KETIDAKCUKUPAN ASI (PKA) TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI DI WILAYAH KELURAHAN KUALA LEMPUING KOTA BENGKULU

Menyusui secara eksklusif selama enam bulan telah terbukti memiliki banyak manfaat, baik untuk ibu maupun untuk bayinya. Meskipun manfaat-manfaat dari menyusui ini telah dipublikasikan di seluruh dunia, angka cakupan ASI eksklusif masih jauh dari yang diharapkan.

Hanya 39% bayi di bawah enam bulan mendapatkan ASI eksklusif pada tahun 2012. Angka global ini hanya meningkat dengan sangat perlahan selama beberapa dekade terakhir (UNICEF, 2013). Data menunjukkan bahwa klusif masih rendah. Menurut Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2015, cakupan ASI eksklusif hanya sekitar 38%, sementara pemerintah menargetkan cakupan ASI eksklusif sebesar 80%.2,3 (Kemenkes RI, 2016). Cakupan ASI eksklusif di Provinsi Bengkulu juga masih rendah bahkan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data profil kesehatan Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012, cakupan pemberian

Referensi

Dokumen terkait

Stimulasi Tumbuh Kembang Anak Untuk mencapai Tumbuh.. Kembang

d) Bayi terlantur mendapatkan prelakteal feeding (pemberian air gula atau dekstrosa, susu formula pada hari-hari pertama kelahiran).. e) Kelainan ibu : puting ibu

menunjukkan bahwa dari 3 orang ibu memberikan susu formula kepada bayi saat. bayi berusia

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan pertama bayi yang memiliki peran penting dalam tumbuh kembang anak karena terbukti memiliki manfaat sangat besar untuk

Pada pasal 128 ayat 1 undang-undang dimaksud, disebutkan adanya hak bayi untuk mendapat ASI eksklusif yaitu “Se tiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu

hal penting yang harus dilakukan yaitu pertama memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan pertama bayi yang memiliki peran penting dalam tumbuh kembang anak karena terbukti memiliki manfaat sangat besar untuk

Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy For Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomondasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu,