BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum, dasar pijakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum sekarang ini tertuang dengan jelas pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Perubahan Ketiga yang berbunyi : Negara Indonesia adalah negara hukum1, sehingga dalam menjalankan semua aturan harus sejalan dengan dasar hukum yang adil, makmur dan sejahtera harus ditopang dengan sumber daya manusia yang berkwalitas dan juga harus didukung oleh kondisi keluarga yang sehat dan dinamis.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentu saja setiap warga negaranya memiliki hak asasi manusia yang sama, maka dari itu setiap orang harus mampu mengembangkan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat demi kelangsungan hidupnya karena manusia akan bisa hidup sebagai makhluk sosial dan sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia hidup berkelompok.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah kebahagian dalam keluarga,
1Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi ,Bumi Aksara , Jakarta, 2007, hal 122.
penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak mengendepankan kepentingan pribadi dan mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik atau dengan kata lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin terjadi dalam keluarga. Di sisi lain ada keluarga yang merasa frustasi dan kurang bijak dalam mengambil keputusan sehingga masalah tersebut menjadi hal yang sangat besar yang kemudian berujung pada tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan pada anggota keluarga tersebut.2
Rumah tangga adalah kelompok terkecil dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian pada setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga lainnya, Anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak adalah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan yang baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua anggota atau individu yang ada dalam keluarga . Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia dan harmonis yang ditandai
2Ester Lianawati, Tiada Kekerasan Tanpa Kepedulian KDRT Perspektif , Pskilogi Feminis , Pradigma Indonesia , Yogyakarta , 2009 Hlm. 9
dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial ) oleh seluruh keluarga.3
Ketengangan maupun konflik antara suami dan istri atau orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar atau lumrah dalam sebuah keluarga atau rumah tangga, tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik yang mulai awal perkawinan sampai meninggalkan dunia ini baik dan bahagia terus namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti secara berlebihan, karena hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan konflik atau ketegangan tersebut.
Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan gambaran gagalnya sebuah keluarga dalam membangun rumah tangga yang harmonis, kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga merupakan suatu perbuatan yang dalam hukum atau undang-undang dilarang. Menurut Mufidah, Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang kepada seseorang atau sejumlah orang, yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik maupun non fisik dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan.4 Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam
3Arif Gosita , Masalah Korban Kejahatan , Kumpulan Karangan , Akademi Presindo Jakarta,1998 hal 8.
4Mufidah, Psikologi Kekuarga Islam Berwawasan Gender , UIN Malang Press , Malang,2008 Hlm 267
rumah tangga, memberikan penjelasan apa yang dimaksudkan tindak kekerasan dalam rumah tangga, yakni setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.5
Berdasarkan defenisi tersebut di atas terlihat untuk siapa undang- undang ini diberlakukan tidaklah semata-mata untuk kepentingan perempuan saja, tetapi untuk semua orang dan mereka yang mengalami subordinasi dalam kenyataannya bukan hanya perempuan, baik yang dewasa maupun anak-anak, melainkan juga laki-laki baik dewasa maupun anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk tindak pidana kekerasan yang banyak terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah fenomena yang hingga saat ini merupakan kekejaman yang amat sulit untuk dipantau. Mengapa demikian ? hal ini disebabkan karena masih adanya pandangan yang keliru dari sebagian masyarakat bahwa masalah kekerasan dalam rumah-rumah tangga (KDRT) adalah masalah interen keluarga dan sangat pribadi sifatnya sehingga orang luar tidak berhak untuk mencampurinya6.
5Rika Saraswati, Perempuan Dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga , PT Citra Aditya Bakti , Bandung 2006 Hlm 19
6Anonimous Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga , Kalymitra - Pusat Komunikasi Dan Informasi Perempuan , Jakarta , 1999 Hlm 4
Perbuatan atau tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang juga disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu harus ada hubungan yang erat pula, yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Suatu kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkannya bukanlah orang. Dan seseorang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakaikanlah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan kongkrit yaitu adanya kejadian yang tertentu dan adanya orang yang menimbulkan kejadian itu.7
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang secara jelas dan tegas mengatur sangsi bagi para pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga namun dalam realita kehidupan masih terjadi kekerasan dalam rumah tangga ini terlihat dari berbagai kasus mengenai tindak kekerasan
7Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana , Bina Aksara, Jakarta , 1987 ,Hlm. 37.
dalam rumah tangga yang terkuat di wilayah hukum Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Leasa misalnya kasus yang terjadi di Stain, Wara Kolam Sembilan RT 007 / RW 019 Kecamatan Sirimau Kota Ambon ,Adapun peristiwa tersebut terjadi pada hari Kamis, tanggal 07 Maret 2019 sekitar pukul 23.00 WIT bertempat di dalam kamar kos milik Pak A.J yang dikontrak oleh tersangka (Suami Z.A Alias F) dan korban (Istrinya N.N.N Alias N) yang berlokasi di Stain, Wara Kolam Sembilan Rt.007/ Rw.019 Kec. Sirimau Kota Ambon. Tersangka melakukan penganiayaan terhadap istrinya (korban) dengan cara menendang korban dengan menggunakan kaki kanan, kemudian menginjak-injak kepala korban dengan menggunakan kaki kanan, mencekik leher korban dengan menggunakan kelima jari tangan kanan dan mendorong tubuh korban hingga terjatuh. Akibat dari perbuatan Tersangka menyebabkan istrinya (korban) meninggal.
Kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan kematian seperti pada contoh di atas tidak terjadi begitu saja, ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya, maka berdasarkan uraian dari latar belakang masalah tersebut, maka penulis menggangkat hal tersebut sebagai bahan penulisan hukum dengan judul Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengakibatkan kematian ( Studi pada Polresta Pulau Ambon dan Pulau- Pulau Lease).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan kematian?
2. Upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan kematian?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah
1. Untuk mengkaji dan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan kematian 2. Untuk mengkaji dan membahas upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan kematian 3. Sebagai salah satu persyaratan akademik guna memperoleh gelar sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura D. Kegunaan Penelitian
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan kematian
2. Mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kekerasan rumah tangga yang mengakibatkan kematian
3. Sumbangan Pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya pidana
E. Kerangka Konseptual
Ada beberapa istilah yang dapat digunakan untuk tindak pidana, antara lain delict (delik), perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, pelanggaran pidana, criminal act dan sebagainya. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.8
Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan berupa melakukan kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga yang dilakukan oleh, dalam dan terhadap orang dalam lingkup rumah tangga.9
Arif Gosita memberikan definisi mengenai kekerasan dalam rumah tangga, menurutnya kekerasan dalam rumah tangga adalah : “Berbagai macam tindakan yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial pada para anggota keluarga. (anak, menantu, ibu, istri, dan ayah, atau suami)10. Mustofa Hasan Kekerasan dalam rumah tangga adalah bentuk kejahatan yang terjadi di dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami kepada istrinya atau sebaliknya oleh istri kepada suaminya. Untuk menanggulangi kekerasan
8Topo Santoso , Menggungat Hukum Pidana Islam , Penerapan Hukum Pidana Islam Dalam Konteks Modernilasas - Syaamil Press Dan Grafika , Jakarta , 2001 Hlm 132
9Guse Prajudi , Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasaan Dalam Rumah Tangga , Merkid Press , Yogyakarta , 2005 Hlm. 10
10 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan: Kumpulan Karangan Edisi 2, (Jakarta:
Akademika Presindo, 1993), Hlm 269
dalam rumah tangga dibuatlah Undang-Undang KDRT yang menjamin keamanan dan keadilan orang-orang yang berumah tangga.11
Romli Atmasasmita, kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah membentuk cirri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan.
Semakin menggejala dan menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini.
Sanford: “All types of illegal behavior, either threatened or actual that result in the damage or destruction of property or in the injury or death of an individual” (semua bentuk perilaku illegal, termasuk yang mengancam atau merugikan secara nyata atau menghancurkan harta benda atau fisik atau menyebabkan kematian). Definisi ini menunjukkan bahwa kekerasan atau violence harus terkait dengan pelanggaran terhadap undang-undang, dan akibat dari perilaku kekerasan itu menyebabkan kerugian nyata, fisik bahkan kematian. Maknanya jelas bahwa kekerasan harus berdampak pada kerugian pada pihak tertentu baik orang maupun barang. Tampak pula bahwa kekerasan menurut konsep Sanford, lebih melihat akibat yang ditimbulkan oleh sebuah perilaku kekerasan.
Bentuk- bentuk kekerasan masih menurut Sanford, terbagi atas tiga, yakni; (1) Emotional and instrumental violence; (2) Random or individual
11Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga,Bandung,Pustaka Setia, 2011 Hlm 363
violence, dan (3) Collective violence. Emotional dan instrumental violence, berkaitan dengan kekerasan emosional dan alat yang dipergunakan untuk melakukan kekerasan. Kekerasan brutal/sembarangan atau kekerasan yang dilakukan secara individu atau perorangan (random or individual violence) sedangkan collective violence terkait dengan kekerasan yang dilakukan secara kolektif/bersama-sama contoh kejahatan kolektif, menurut Romli seperti perkelahian antar geng yang menimbulkan kerusakan harta benda atau luka berat atau bahkan kematian.
Douglas dan Waksler istilah kekerasan sebenarnya digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), baik yang bersifat menyerang (offensive) atau yang bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu secara umum ada empat jenis kekerasan:
a. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dilihat, seperti perkelahian;
b. Kekerasan tertutup, kekerasan yang tersembunyi atau tidak dilakukan, seperti mengancam;
c. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan; dan
d. Kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan diri.
Baik kekerasan agresif maupun defensive bisa bersifat terbuka atau tertutup.
Pasal 2 Undang-Undang No 23 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga mengatur bahwa :
1. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi a. Suami,Istri dan Anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang dimaksud pada huruf akarenan hubungan darah,perkawinan,persusuan, pengasuhan dan yang menetap dalam rumah tangga dan atau.
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut
2. Orang yang bekerja sebagaimana di maksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Selanjutnya, dalam penjelasan pasal 2 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah termasuk anak angkat dan anak tiri. Kemudian yang dimaksud dengan hubungan perkawinan, misalnya mertua,menantu, ipar, dan besan.
Pada intinya siapa saja yang berada di dalam lingkup rumah dapat menjadi korban kekerasan,akan tetapi korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan. Penyebab eksternalnya berkaitan hubungan keluasaan suami-istri dan diskriminasi gender di kalangan masyarakat.12
Ada beberapa perbuatan dalam KUHP yang masuk kategori kekerasan yang diatur dalam Bab XVI Buku II tentang kejahatan kesusilaan sebagai berikut :
1. Merusak di depan umum (Pasal 281,283) 2. Perzinahan (Pasal 284)
3. Pembunuhan (Pasal 338)
4. Pencabulan (Pasal 289,290,292,293 (1),295(1))
12Fathul Djanah , Kekerasan Terhadap Istri, LKIS , Yogyakarta , 2007 Hlm 16
Pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dalam rumah tangga yang mengakibatkan kematian akan dijerat dengan pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000 (Empat Puluh Lima Juta) sedangkan hukuman lain menurut KUHP pasal 338 menyebutkan barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lama 15 (lima belas tahun).
Kepolisian merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana yang cukup menentukan keberhasilan dari kerja keseluruhan sistem dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.Hal ini dikarenakan kepolisian merupakan subsistem yang secara langsung berhubungan dengan pelaku kejahatan dan masyarakat, sehingga tugas dan tanggung jawab kepolisian dapat dikatakan lebih besar ketimbang subsistem lainnya.Hanya sepuluh persen energi polisi habis untuk penegakan hukum, sisanya yaitu sembilan puluh persen dihabiskan untuk melaksanankan fungsi pelayan masyarakat.Namun hal ini bukan berarti subsistem lainnya tidak mempunyai peranan penting dalam penanggulangan kejahatan. Secara umum tugas kepolisian adalah; 13
13Harold J Vetter And Ira J Sicverman Criminology And Crime : An Introduction , Haper R Row Publisher , New York , 1986 Hlm l 438
1. Melakukan penanggulangan terhadap kejahatan;
2. Melakukan penangkapan dan penahanan pelaku kejahatan;
3. Berpartisipasi di proses pengadilan;
4. Melindungi dan menjamin tegaknya hukum;
5. Membantu dan melindungi orang-orang yang sedang dalam bahaya atau terancam mendapat serangan fisik; dan
6. Membantu menyelesaikan konflik yang terjadi sehari-hari di antara keluarga, teman dan lingkungan masyarakat.
Upaya penanggulangan kejahatan dan penegakan hukum lewat sarana
“penal” mempunyai beberapa kelemahan, kekurangan, dan keterbatasan.Oleh karena itu, sepatutnya diimbangi dengan upaya non-penal yang harus selalu digali, dimanfaatkan, dan dikembangkan. Penggalian dan pengembangan upaya non-penal lewat program-program kegiatan polisi yang berorientasi pada pelayanan masyarakat, jelas merupakan hal yang wajar; bahkan merupakan keharusan, karena hal ini pun merupakan tugas atau “amanat”
yuridis yang digariskan juga oleh undang-undang untuk Polri14 F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. Empiris artinya didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat, dalam arti
14Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana , PT Citra Aditya bakti , Bandung , 2005, hlm 15.
tidak spekulatif15. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa dalam penelitian empiri, data yang diteliti terlebih dahulu adalah data sekunder yang dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer lapangan16. 2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan bersifat kualitatif. Pendekatan kualitatif sebenarnya merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dikatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata17.
3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan yaitu sumber bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan serta yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat, yakni;
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
b. Bahan hukum sekunder
15Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Grasindo, Jakarta, 2013, hlm, 20.
16 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1986, hlm 52.
17Ibid, hlm 32
Bahan Hukum Sekunder merupakan atau memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari pendapat para sarjana dan buku-buku literatur.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum yang memberikan informasi maupun penjelasan terhadap informasi maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,yaitu : internet, dan majalah hukum
4. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data
1. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini adalah dengan.
a. Pengumpulan data primer
Data primer akan dikumpulkan dengan metode wawancara yaitu suatu tanya jawab peneliti dengan narasumber.
b. Pengumpulan data sekunder (bahan hukum primer, bahan hukum sekuner dan bahan hukum tersier)
Teknik pengumpulan bahan dilakukan dengan penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti literatur yang ada.
2. Analisa Data.
Data atau hasil yang telah terkumpul atau ditemui dalam penelitian ini, selanjutnya dalam dianalisis secara kualitatif yakni data yang telah terkumpul atau ditemui harus dipisah-pisahkan menurut kategori
masing-masing dan dikemudian di tafsirkan dalam usaha mencapai jawaban masalah penelitian.18
G. Sistimatika Penulisan
Dalam penulisan ini yang digunakan terdiri dari 4 Bab yaitu : Bab I Pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, Dan Sistimatika Penulisan Bab II Merupakan Tinjauan Pustaka yang Terdiri Atas Tindak Pidana, Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bab III Merupakan Hasil Dan Pembahasan yang terdiri atas Kronologis Kasus, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindak Pidana Kekerasan, Dalam Rumah Tangga Yang Mengakibatkan Kematian, Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan Untuk Mencegah Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Mengakibatkan Kematian. Bab IV Merupakan Penutup Yang Terdiri Dari Kesimpulan Dan Saran.
18Burham Ashshofa, Metode Penelitian Hukum , Rineka Cipta , Jakarta , 1998, hlm 124.