BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses penyidikan kasus tindak Penganiayaan, tentu perlu adanya alat-alat bukti untuk membuktikan tindak pidana itu telah dilakukan. Alat-alat bukti yang dimaksud, diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Salah satu alat bukti diperlukan ialah keterangan ahli. Keterangan ahli yang dimaksud di sini adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang.
Keterangan dari ahli ini sering kali digunakan dalam pengadilan, terutama dalam pengadilanpengadilan tindak pidana khusus. Keterangan yang diberikan ahli dapat berbentuk tertulis diantaranya dalam bentuk Visum et Repertum (VR).1 Visum et Repertum merupakan pemeriksaan tubuh manusia, baik yang masih hidup maupun yang mati, dibuat atas dasar Pasal 133 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang isinya: “Dalam hal Penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
1 Mario Lasut, Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pidana Pembiunuhan Berencana, Jurnal Lex Crimen, Vol., V, No., 3, Maret 2019, h. 120.
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.2
Penulis menemukan suatu pertentangan pengaturan pada saat melakukan penelitian dalam Putusan Pengadilan Nomor 2710/Pid.B/2014/Pn.Sby. Pertentangan pengaturan yang ditemukan terkait dengan adanya Visum et Repertum namun, terdakwa tetap diputus bebas atas kasus penganiayaan. Hakim dalam persidangan tersebut memutuskan perkaranya tanpa melihat dan memperhatikan alat bukti yang dihadirkan dipersidangan berupa alat bukti keterangan ahli yaitu Visum et Repertum. Dalam pasal 184 KUHAP alat bukti ini merupakan alat bukti yang sah untuk dihadirkan di persidangan dan diperhatikan oleh hakim untuk mempertimbangkan alat bukti tersebut sebelum memutuskan. Namun, pada nyatanya hakim pengadilan negeri tidak memperhatikan alat bukti Visum et Repertum tersebut dan malah memutus bebas terdakwa pelaku penganiayaan.
Sistem pembuktian merupakan pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan serta dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya di depan sidang pengadilan. Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan hal sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pembuktian dipandang
2 Said Sissahadi, Peranan Saksi Dan Saksi Ahli Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Menurut KUHAP, Sumbangsih Offset, Yogyakarta, Cetakan I, 1986, h. 35.
sangat penting dalam hukum acara pidana karena yang dicari dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri.3
J.C.T. Simorangkir, dan kawan-kawan, mengatakan bahwa pembuktian adalah usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara dengan tujuan agar supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan.4 Berbagai macam pengertian pembuktian sebagaimana dikemukakan oleh para ahli. R.Subekti mengemukakan pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dari yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.5 Selanjutnya menurut Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.6
Keberadaan alat bukti sangat menentukan putusan hukum yang diambil oleh hakim.
Bukan merupakan rahasia umum, bahwa dalam persidangan sebelum hakim menjatuhkan vonis selalu didahului dengan pemeriksaan para saksi dan bukti-bukti lain yang dianggap dapat mendukung jalannya proses persidangan terutama dalam perkara pidana. Kekuatan alat bukti dapat membuktikan putusan pengadilan bahwa putusan itu benar sehingga si terdakwa dinyatakan bersalah. Dalam penyelesaian perkara pidana, seseorang dianggap bersalah
3 Fachrul Rozi, Sistem Pembuktian Dalam Proses Persidangan Pada Perkara Tindak Pidana, Jurnal Yuridis UNAJA, Vol., 1, No., 2, Desember 2018, h. 24.
4 Andi Sofyan, Abd. Asis, Hukum Acara Pidana, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, h. 230.
5 Subekti. R, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta, 2001, h. 71.
6 Martiman Prodjohamidjoyo, Sistim Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, h. 92.
apabila sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Kekuatan alat bukti inilah yang mendukung putusan hakim di pengadilan dalam memutuskan perkara.7
Terdakwa maupun jaksa dapat mengajukan alat-alat bukti. Alat bukti dari terdakwa gunanya untuk menangkal tuduhan jaksa, sedangkan pihak jaksa untuk menguatkan tuduhannya. Alat bukti yang dikenal dalam hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP Pasal 184 adalah, Keterangan Saksi, Keterangan ahli, Surat-surat, Petunjuk, dan Keterangan terdakwa. Salah satu dari kelima alat bukti yang tertulis dalam pasal tersebut adalah Keterangan Ahli.8 Terhadap alat bukti yang ada dalam suatu berkas perkara dengan hasil- hasil pemeriksaan yang ada dalam berkas itu hakim akan memeriksa, menilai dan menentukan alat bukti yang ada, apakah dari alat bukti yang ada itu dalam pemeriksaan dipersidangan mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan batas minimum pembuktian atau merupakan alat bukti yang sah menurut penjelasan Pasal 183 dan 184 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Sehingga pemeriksaan dalam peradilan selain dari pada adanya keyakinan hakim harus dibuktikan dengan adanya alat bukti yang sah secara hukum.
Karena pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan disidang yang akan nantinya menjadi dasar kesalahan terdakwa.9
7 Rusyadi, Kekuatan Alat Bukti dalam Persidangan Perkara Pidana, Jurnal Hukum PRIORIS, Vol., 5, No., 2, 2016, h. 130.
8 A. Siti Soetami SH., Pengantar Tata Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, Edisi Revisi, 2007, h. 76.
9 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang pengadilan,Banding,Kasasi dan Peninjauan kembali), Sinar Grafika, Jakarta, Edisi Kedua, 2009, h. 361.
Putusan Nomor 2710/PID.B/2014/PN.SBY diketahui bahwa penuntut umum menghadirkan alat bukti Keterangan Ahli berupa Visum et Repertum. Terkait dengan Visum et Repertum sebagai alat bukti sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Yahya Harahap bahwa pada dasarnya alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau Visum et Repertum tetap dapat menyentuh dua sisi alat bukti yang sah, pada suatu segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau Visum et Repertum tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli.10 R.Soeparmono mengatakan bahwa “Visum et Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya.”11 Visum et Repertum diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatakan “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kata “mengadili” sebagai rangkaian
10 Ibid. h. 362.
11 Soeparmono, R., Keterangan Ahli & Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, CV.
Madar Maju, Bandung, 2016, h. 86.
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang perkara pidana. Hakim sebagai orang yang menegakkan hukum demi keadilan ketika hendak menjatuhkan putusan tetap berlandaskan pada aturan yang berlaku dalam undang-undang dan memakai pertimbangan berdasarkan alat bukti yang sah serta para saksi yang telah disumpah di depan persidangan.
Hakim dipercaya dapat memutuskan perkara secara objektif dengan melihat pembuktian dari pihak terdakwa maupun penuntut. Teori pembuktian menurut KUHAP terdapat pada Pasal 183, yang bunyinya “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Menurut pasal tersebut dapat diketahui bahwa KUHAP menganut Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif.12 Pasal ini menjadi pedoman bagi hakim dalam menentukan keyakinannya, apakah terdakwa dapat dipidana atau tidak. Selain itu pasal ini menentukan fungsi dari pada alat-alat bukti yang menjadi dasar keyakinan Hakim memutuskan suatu perkara pidana.13
Kebenaran yang diutamakan adalah kebenaran materil didalam perkara pidana yang bukan hanya memerlukan formalitas hukum, akan tetapi harus ditunjang pula dengan pengujian terhadap formalitas hukum itu dimuka sidang pengadilan dan fakta-fakta yang
12 M. Haryanto, Hukum Acara Pidana, Griya Media, Salatiga, Cetakan Ketiga, 2018, h. 119.
13 Susanti Ante, Pembuktian dan Putusan Pengadilan dalam Acara Pidana, Lex Crimen, Vol., 2, No., 2, April 2013, h. 98.
ditemukan dalam sidang pengadilan menjadi bahan masukan bagi hakim dalam memutuskan perkara.14 Visum et Repertum yang dihadirkan dalam muka persidangan dapat menjadi hal yang dipertimbangkan hakim dalam memutus putusannya dan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan oleh hakim agar putusannya dapat menjadi putusan yang ideal dan tidak merugikan terhadap pihak terdakwa maupun jaksa penuntut. Hakim yang dalam memutuskan suatu perkara tanpa memperhatikan barang bukti berupa Visum et Repertum dapat mengakibatkan tumpulnya hukum terhadap tindak pidana yang terjadi berkaitan dengan alat bukti Visum et Repertum.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana Kedudukan Alat Bukti Visum et Repertum dalam Pembuktian Perkara Pidana Penganiayaan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menemukan, menggambarkan (mendeskripsikan), dan menganalisis Kedudukan Visum et Repertum Dalam Pembuktian Perkara Pidana Penganiayaan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat diadakannya penelitian hukum ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
14 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Madar Maju, Bandung, 1999, h. 15.
Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian dan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut. Memberikan kontribusi berupa kaidah, asas-asas maupun konsep-konsep dan makna atau pengertian baru bagi ilmu hukum, yang bernama Keadilan Bermartabat, khususnya Kedudukan Visum et Repertum dalam Pembuktian Perkara Pidana Penganiayaan.
2. Manfaat Praktis
Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Memberi masukan bentuk-bentuk dalam rumusan kaedah hukum konkret yang baru bagi masyarakat. Dimaksudkan dengan masyarakat di sini, yaitu terutama para penegak hukum seperti: para Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik (Kalau Pidana), Advokat, Notaris (Kalau berkaitan dengan Notaris) dan lain sebagainya. Diharapkan, hasil penelitian ini dapat memperkenalkan bentuk, jenis, sifat2 dari kaidah hukum baru terkait dengan Kedudukan Visum et Repertum dalam Pembuktian Perkara Pidana Penganiayaan. Dengan cara demikian, diharapkan para penegak hukum akan mendapatkan masukan-masukan baru sebagai pedoman hukum dalam penegakkan peraturan perundang-undangan.
E. Metode Penelitian
Ilmu Hukum memiliki metode penelitian yang di dalam teori Keadilan Bermartabat disebut sui generis, yang unik dan khas dalam bidang ilmu hukum15.
15 Teguh Prasetyo, Penelitian Hukum Dalam Perspektif Keadilan Bermartabat, Cetakan I, Nusa Media, Bandung, 2019, h. 4.
Berikut di bawah ini diuraikan struktur penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Jenis Penelitian 2. Pendekatan Masalah 3. Sumber Bahan Hukum 4.
Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum 5. Teknik Analisis Bahan Hukum.
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum. Dicari untuk ditemukan dan digambarkan serta dibahas atau didiskusikan dalam penelitian hukum adalah: kaidah atau peraturan hukum yang terdiri dari asas-asas, kaidah hukum dalam arti sempit, dan peraturan hukum konkret. Selain itu, yang dicari, ditemukan, digambarkan dan dianalisis dalam penelitian ini, sebagai suatu penelitian hukum adalah sistem hukum, dan penemuan hukum.
2. Pendekatan Masalah
Masalah atau legal issues dalam penelitian hukum ini didekati secara konseptual melihat sistem hukum yang sedang berlaku tidak atau belum ada norma dari peraturan perundang-undangan yang dapan diterapkan dalam pada peristiwa hukum atau sengketa hukum konkret16. Sehingga dari hal tersebut munculah kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan isu hukum.
16 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum,
Prenada Media Group, Jakarta, Cetakan II, 2017. h. 159.
Pendekatan secara perundang-undangan dimaksudkan bahwa dalam rangka mencari atau menemukan kaedah, asas-asas hukum yang konkret17. Pendekatan ini dilakukan dengan cara menelaah undang-undang yang masuh berlaku dan digunakan untuk mengamati isu hukum. Dalam penelitian ini penulis menggunakan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP).
Pendekatan case laws adalah Pendekatan ini dilakukan dengan cara menganilisis putusan-putusan pengadilan yang berkekuaatan hukum tetap. Penulis dalam penelitian ini juga menganalisis Putusan Perkara Nomor 2710/Pid.B/2014/Pn.Sby, sebagai bahan analisis dari penelitian ini.
3. Sumber Bahan Hukum
Sebagai suatu penelitian hukum, maka bahan hukum penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum, yaitu: a. Bahan hukum primer; b. Bahan hukum sekunder; c. Bahan hukum tersier. Bahan hukum primer adalah kaidah, asas-asas dan peraturan hukum konkret yang berlaku dalam sistem hukum. Semua kaidah, asas-asas dan peraturan hukum konkret itu adalah aturan-aturan tertulis yang ditegakkan oleh Negara18. Bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang undangan. Penulis menggunakan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 48
17 Teguh Prasetyo, Penelitian Hukum Dalam Perspektif Keadilan Bermartabat, Nusa Media, Bandung, Cetakan I, 2019, h. 67.
18 Ibid. h. 37.
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP). Dan Putusan Pengadilan yang berkekuatan Hukum Tetap
Bahan hukum sekunder yaitu buku-buku yang berisi gambaran hasil penelitian para professor, atau ahli-ahli hukum yang terkemuka dalam suatu sistem hukum, begitu pula analisis terhadap kaidah, asas-asas dan peraturan hukum konkret yang berlaku dalam suatu sistem hukum19. Bahan sekunder untuk penelitian ini yaitu buku-buku yang berkaitan dengan Visum et Repertum, jurnal-jurnal. Sedangkan Bahan hukum tersier yaitu berupa bahan pendukung20.
4. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum sebagaimana dikemukakan di atas dikumpulkan dan diolah dengan teknik sebagai berikut. Bahan hukum primer dikumpulkan dengan mengunjungi website resmi seperti ma.go.id dan juga situs peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti: peraturan.go.id, jdih.kominfo.go.id, dan jdih.kemenkeu.go.id. Bahan- bahan hukum primer tersebut di-download, dibaca, kemudian disusun secara kronologis berdasarkan legal issues serta diolah sebelum dimasukkan sebagai bahan hasil penelitian.
Bahan-Bahan hukum sekuder dikumpulkan dengan mencari buku-buku yang beritan dengan Visum et Repertum diperpustakaan dan mencari hasil penelitian hukum didalam media elektronik dalam bentuk jurnal dan artikel. Bahan bahan tersier dikumpulkan dengan cara mencari di internet dan diolah sebelum dimasukan kedalam penelitian.
19 Ibid. h. 44.
20 Ibid. h. 36.
5. Teknik Analisis
Sebagai suatu penelitian hukum, maka teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti teknik analisis yuridis normatif. Analisis ini membandingkan antara das sollen dan sein. Dimulai dengan memaparkan premis mayor, kemudian mencocokkannya dengan premis minor untuk pada gilirannya dilakukan penarikan kesimpulan demi kesimpulan untuk menjawab pertanyaan yang sudah dikemukakan dalam rumusan masalah.
F. Orisinilitas Penelitian
Penelitian ini adalah suatu penelitian yang orisinil. Dikatakan bersifat orisinil karena, seperti yang terlihat dalam tabel 1 di bawah ini penjelasan perbandingan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian yang pertama dilakukan oleh Dewati Suryaning. Judul penelitian Penulis pertama tersebut adalah Peran Visum et Repertum dalam Pembuktian Tindak Pidana Aborsi: Studi Kasus Putusan Nomor 5/Pid.Sus.Anak/2018/PNMbn. Rumusan masalah dari penelitian yang dilakukan oleh Dewati Suryaning adalah Apakah Visum et Repertum dipertimbangkan sebagaimana mestinya oleh Majelis Hakim dalam putusan perkara pidana Nomor: 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN.Mbn?. Dari penulis pertama diketahui bahwa penulis pertama ingin membahas tentang ketepatan Hakim dalam memutus sebuah perkara dengan visum sebagai alat bukti. Sedangkan Penulis ingin membahas tentang pertimbangan Hakim yang mengabaikan Visum sebagai barang bukti yang sah.
Kemudian, penelitian yang kedua dilakukan oleh Vilda Mandayaningrum Harahap.
Judul penelitian Pednulis kedua tersebut adalah Pertimbangan Hakim tentang Barang Bukti dalam Pembuktian Perkara Pidana : Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Tanggal 4 Juni 2009, Nomor 82/Pid/B/2009/PN. Ung, Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Tanggal 4 Juni 2009, Nomor 83/Pid/B/2009/PN. Ung dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Tanggal 18 Agustus 2009, Nomor: 818/Pid/B/2009/PN.Smg. Rumusan masalah dari penulis kedua adalah Bagaimana Hakim menilai kekuatan pembuktian dari barang bukti dalam Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor: 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor: 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus 2009? Penulis kedua ingin membahas kekuatan dari pembuktian dari barang bukti yang dihadirkan. Sedangkan Penulis ingin membahas mengenai kekuatan dari Visum sebagai alat bukti.
Tabel 1
Studi Perbandingan dengan Hasil Penelitian Terdahulu
No. Nama Penulis dan Judul Tesis Rumusan Masalah dan Temuan Beda Dengan Rencana Tesis Ini
1
Dewati Suryaning, Peran Visum Et Repertum dalam Pembuktian Tindak Pidana Aborsi: Studi Kasus
Putusan Nomor
5/Pid.Sus.Anak/2018/PNMbn
Apakah Visum et Repertum dipertimbangkan sebagaimana mestinya oleh Majelis Hakim dalam putusan perkara pidana Nomor:
5/Pid.Sus.Anak/2018/PN.Mbn ?
Penelitian ini membahas ketepatan hakim dalam memutuskan sebuah perkara dengan Visum sebagai pembuktian.
2
Harahap Vilda Mandayaningrum, Pertimbangan Hakim tentang Barang Bukti dalam Pembuktian Perkara Pidana: Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Tanggal 4 Juni 2009, Nomor 82/Pid/B/2009/PN. Ung, Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Tanggal 4 Juni 2009, Nomor 83/Pid/B/2009/PN. Ung dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Tanggal 18 Agustus
2009, Nomor:
818/Pid/B/2009/PN.Smg
Bagaimana Hakim menilai kekuatan pembuktian dari barang bukti dalam Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor: 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus 2009 ?
Penelitian ini membahas kekuatan dari pembuktian dari barang bukti yang dihadirkan
3
Ambara Made Wedayana, Pertimbangan Hakim Terkait Barang Bukti dalam Tindak Pidana dengan Menggunakan SMS : Studi
Kasus Putusan
No.82/Pid.B/2011/PN.WNG, No.84/Pid.B/2011/PN.WNG, No.85/Pid.B/2011/PN.WNG, No.62/Pid.Sus/2011/PN.WNG dan Putusan
No.1036/Pid.B/2012/PN.DPS
Bagaimana hakim
mempertimbangkan SMS dikaitkan dengan barang bukti dan alat-alat bukti menurut KUHAP dalam putusan
No.82/Pid.B/2011/PN.WNG, No.84/Pid.B/2011/PN.WNG, No.85/Pid.B/2011/PN.WNG, No.62/Pid.Sus/2011/PN.WNG, serta perkara
No.1036/Pid.B/2012/PN.DPS ?
Penelitian ini membahas mengenai barang bukti dan alat-alat bukti menurut KUHAP
Sumber: diolah dari tesis terdahulu publikasi Fakultas Hukum UKSW Salatiga.
Penelitian yang ketiga dilakukan oleh Ambara Made Wedayana dengan Judul Pertimbangan Hakim Terkait Barang Bukti dalam Tindak Pidana dengan Menggunakan SMS: Studi Kasus
Putusan No.82/Pid.B/2011/PN.WNG,
No.84/Pid.B/2011/PN.WNG, No.85/Pid.B/2011/PN.WNG, No.62/Pid.Sus/2011/PN.WNG dan Putusan No.1036/Pid.B/2012/PN.DPS. dan rumusan masalahnya adalah Bagaimana hakim mempertimbangkan SMS dikaitkan dengan barang bukti dan alat-alat bukti menurut
KUHAP dalam putusan No.82/Pid.B/2011/PN.WNG,
No.84/Pid.B/2011/PN.WNG, No.85/Pid.B/2011/PN.WNG, No.62/Pid.Sus/2011/PN.WNG,
serta perkara No.1036/Pid.B/2012/PN.DPS?. Dalam penelitian ini penulis ketiga ingin membahas mengenai Barang bukti dan alat-alat bukti menurut Kitab Undang-undang Acara Pidana KUHAP. Sedangkan Penulis ingin membahas mengenai kekuatan dan sistem Pembuktian dalam KUHAP.