BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Indonesia merupakan negara berkembang yang tengah berada di era industrialisasi.
Dibangunlah gedung-gedung sebagai fasilitas atau sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, dan ibu-ibu kota besar lainnya.
Perkembangan tersebut dapat memunculkan berbagai risiko yang memengaruhi para pegawai. Risiko tersebut berupa kemungkinan terjadinya penyakit akibat kerja, penyakit akibat hubungan kerja serta kecelakaan akibat kerja yang dapat menimbulkan kecacatan bahkan hingga kematian. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi pegawai khususnya pengaruh terhadap kesehatan, diantaranya ada faktor lingkungan yang berpengaruh paling besar terhadap status kesehatan individu, lalu faktor perilaku, pelayanan kesehatan, dan faktor keturunan yang memiliki pengaruh paling kecil.
Selain itu, Kementerian Kesehatan meyebutkan potensi risiko terjadinya kecelakaan kerja dipengaruhi tergantung dari jenis produksi, teknologi yang dipakai, bahan yang digunakan, tata ruang, dan lingkungan bangunan serta kualitas manajemen dan tenaga pelaksana.1
Sistem sirkulasi udara serta pendingin buatan digunakan di dalam gedung- gedung tinggi yang dibangun dengan struktur tertutup untuk membuat kondisi lingkungan ruangan menjadi nyaman. Udara luar yang masuk ke dalam sistem ventilasi gedung akan berkurang bahkan tidak ada sama sekali, hanya udara
bebas yang berasal dari asap rokok, ozon dari mesin fotokopi dan printer, perabotan, serta cat serta bahan pembersih. Hal tersebut dapat menyebabkan buruknya kualitas udara dalam ruangan atau disebut sebagai indoor air quality (IAQ).2
Banyak studi epidemiologis telah membahas tentang IAQ dan gejala terkait paparan di pegawai kantor. Pada salah satu penelitian menunjukan bahwa gejala mata terkait kedekatan dengan polusi udara luar ruangan seperti lalu lintas, pelembab portabel, dan keramaian. Faktor risiko lain seperti tampilan visual pegawai, dan penyebab teknis seperti ventilasi yang tidak memadai, kelembaban ruangan, atau suhu yang tinggi. Jamur pada ruangan lembab juga merupakan faktor risiko lain yang dapat memperburuk IAQ dan berdampak pada orang yang lebih rentan, misalnya padasuhu penderita asma.3
World Health Organization (WHO) memperkenalkan istilah Sick Building Syndrome pada tahun 1983 untuk mendeskripsikan sebuah situasi penghuni bangunan mengalami efek kesehatan dan kenyamanan akut yang kemungkinan ada kaitannya dengan lama waktu yang dihabiskan didalam gedung namun tidak ada penyakit atau penyebab spesifik yang dapat diidentifikasikan. Udara dalam ruangan dapat bermasalah ketika bangunan tersebut dioperasikan atau dirawat dengan cara yang tidak sesuai prosedur sehingga memunculkan fenomena SBS tersebut.4,5
Environmental Protection Agency of America (EPA) memasukan polusi udara dalam ruangan ke dalam lima besar risiko lingkungan pada kesehatan umum.5
Berdasarkan The United States National Institutes of Occupational Safety (US NIOSH) menyebutkan kualitas udara yang kurang baik, ventilasi yang tidak memadai, polusi udara luar, agen biologis, polusi dalam ruangan, bahan bangunan, kebisingan, pencahayaan, dan faktor-faktor yang tidak diketahui lainnya sebagai
penyebab terjadinya SBS. Dalam sebuah studi menunjukan bahwa pegawai lebih terkena paparan polusi udara dalam ruangan 100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan paparan polusi udara luar, konsentrasi polusi udara dalam ruangan juga ditemukan 2–4 kali lebih tinggi dibandingkan polusi udara luar.4
Dari sebuah studi penelitian mengenai hubungan polusi udara luar ruangan, konidisi meteorologi, dan faktor dalam ruangan dengan SBS pada orang dewasa di cina diketahui bahwa asma, alergi rhinitis, dan faktor yang tidak diketahui terdapat hubungannya dengan semua gejala SBS kecuali gejala kelelahan.6
Sedangkan di Indonesia, Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga melakukan penelitian di seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2011–2014 mengenai jumlah kasus penyakit akibat kerja. Pada tahun 2011 Jawa Timur menjadi provinsi dengan prevalensi tertinggi pada kasus penyakit akibat kerja dan tahun 2013 merupakan prevalensi tertinggi dalam kasus penyakit akibat kerja di seluruh provinsi di Indonesia sebanyak 97.144 kasus.1
Berdasarkan hasil laporan Kepala Badan Kependudukan Nasional (BAKNAS) menyebutkan bahwa sekitar 2,7 juta jiwa meninggal dikarenakan polusi udara dan sekitar 2,2 juta jiwa diantaranya disebabkan oleh polusi udara di dalam ruangan7
Suhu dan kelembaban ruang kerja sangat memengaruhi keefektifan dalam bekerja. Bekerja di lingkungan yang memiliki suhu di atas angka ideal dan terlalu lembab dapat mengurangi kemampuan fisik tubuh dan kelelahan yang terlalu cepat.
Sementara itu, bekerja di lingkungan suhu dibawah angka ideal dapat menyebabkan berkurangnya fleksibilitas anggota gerak motorik yang dipicu oleh kekakuan pada tubuh. Kedua kondisi ini dapat mengurangi produktifitas kerja dan bahkan berpotensi menyebabkan kecelakaan dan penyakit yang dipicu oleh pekerjaan.8
Berdasarkan hasil penelitian Zaelani A pada tahun 2015 pada pegawai di graha saran PT. Petrokimia Gresik, didapat hasil adanya hubungan antara faktor individu dengan kejadian SBS. Individu laki-laki yang berumur lebih dari 40 tahun dan memiliki masa kerja lebih dari 10 tahun rentan terkena keluhan SBS. Begitu juga pada individu yang merokok dan memiliki kondisi psikososial yang buruk lebih rentan terkena gejala SBS.9
Hasil penelitian Fauzi M pada tahun 2015 pada pegawai di gedung Pandanaran kota Semarang menunjukan hasil terdapat hubungan bermakna antara pencahayaan dengan kejadian SBS dan lama kerja dengan kejadian SBS pada ruangan gedung Pandanaran Kota Semarang.7
Penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian sebelumnya yang dijadikan literatur dalam penelitian ini. Adapun, hal yang dimodifikasi dalam penelitian ini berupa variabel bebas yang diteliti yaitu suhu ruangan dan kelembaban ruangan, dan variabel terikat yang diteliti adalah Sick Building Syndrome. Selain itu, subjek penelitian ini hanya pegawai non dosen yang bekerja di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung.
Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung merupakan gedung tinggi yang berada di jalan Hariang banga No 2 Bandung yang terdiri dari 9 lantai dengan 2 basement parkir. Gedung ini merupakan gedung tertutup yang menggunakan Air Conditioning (AC) sebagai alat untuk menjaga kestabilan suhu dalam ruangan kerja. Pada lantai 2 terdapat pegawai administrtasi yang bekerja di dalam ruangan yang tidak mempunyai ventilasi, terdapat tumpukan buku, dan alas kaki yang bebas keluar masuk ke dalam ruangan. Lalu pada lantai 3 sampai 8
terdapat ruangan para laboran dan office boy yang karakteristik ruangannya sama dengan lantai 2 namun ada beberapa ruangan yang memiliki ventilasi.
Berdasarkan latar belakang diatas dan data yang diperoleh tentang keadaan gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan Antara Suhu Ruangan Dengan Kejadian Sick Building Syndrome Pada Pegawai Non Dosen di Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran kejadian Sick Building Syndome pada pegawai non dosen di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung?
2. Berapa suhu ruangan di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung?
3. Berapa kelembaban ruangan di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung?
4. Bagaimana hubungan suhu ruangan dengan kejadian kejadian Sick Building Syndrome pada pegawai non dosen di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung?
5. Bagaimana kelembaban ruangan dengan kejadian kejadian Sick Building Syndrome pada pegawai non dosen di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan hubungan suhu dan kelembaban dengan kejadian Sick Building Syndrome pada pegawai non dosen di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi gambaran kejadian Sick Building Syndrome pada pegawai non dosen di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung.
2. Mengidentifikasi suhu dalam ruangan di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung.
3. Mengidentifikasi kelembaban dalam ruangan di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung.
4. Menganalisis hubungan suhu ruangan dengan kejadian Sick Building Syndrome pada pegawai non dosen di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung.
5. Menganalisis hubungan kelembaban ruangan dengan kejadian Sick Building Syndrome pada pegawai non dosen di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Teoritis
1. Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu kedokteran dan kesehatan keselamatan kerja
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian sejenis.
1.4.2. Praktis 1. Peneliti
Sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti.
2. Akademisi
1) Dapat digunakan sebagai masukan mengenai penangan masalah Sick Building Syndrome pada pegawai di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung sehingga tindakan pencegahan dilakukan dan pembenahan infrastruktur.
2) Dapat digunakan sebagai bahan penelitian lebih lanjut.