• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

A.

Latar Belakang

Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 45) sebagai konstitusi negara, mengakui keberadaan masyarakat adat baserta hak-haknya, oleh sebab itu, masyarakat adat memiliki posisi konstitusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 18 Huruf B Ayat (2) UUD 45 ditentukan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal tersebut, maka diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 UUPA menentukan bahwa “seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan dari tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka tanah diseluruh wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa Indonesia dan bersifat abadi, yaitu seperti hak ulayat masyarakat hukum adat. Hak ulayat sebagai hak tradisional masyarakat hukum adat adalah kewenangan yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki hak untuk menguasai wilayah adatnya termasuk segala hal yang terdapat di dalamnya.

(2)

Tanah dalam masyarakat mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kesejahteraan seseorang, perkembangan kehidupan keluarga, dan kelompok. Mempertahankan tanah berarti mempertahankan hidup dan kehidupan. Disamping bernilai ekonomis, tanah juga secara intrinsik mengandung nilai yang bermakna sangat tinggi dan mendasar. Tanah dapat menunjukkan tingkat status sosial seseorang yang tercermin dari jumlah penguasanya atas tanah. Semakin banyak tanah yang dimiliki atau dikuasai seseorang semakin tinggi status sosial nya, dapat dijadikan tolak ukur prestasi sosial seseorang dan sebagai simbol sosio-kultural suatu masyarakat.

Penguasaan hak atas tanah berisikan pengertian serangkaian wewenang, kewajiban atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah.1

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Perkataan “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah untuk kepentingan mendirikan bangunan (nonpertanian), sedangkan perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk kepentingan pertanian perikanan, peternakan dan perkebunan. Kewenangan dalam hak atas

1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya (Bandung: Djambatan, 1999), hlm 24

(3)

Dalam UUPA, penguasaan atas tanah meliputi; Hak Guna Usaha (Pasal

28 UUPA), Hak Guna Bangunan (Pasal 35 UUPA), Hak Pakai (Pasal 41), dan

hak-hak lainnya yang diatur oleh UUPA dan Peraturan pelaksanaan lainnya.

Hak-

hak tersebut berisi wewenang dan diberikan oleh hukum kepada pemegang haknya untuk memakai tanah yang bukan miliknya yaitu tanah negara atau tanah milik orang lain dengan jangka waktu tertentu dan untuk keperluan yang tertentu pula. Jadi, hak penguasaan atas tanah itu pada dasarnya merupakan izin negara (selaku organisasi kekuasaan) untuk memakai tanah dengan kewenangan tertentu.

Sejak dahulu tanah sudah menjadi sumber sengketa atau konflik dan tidak jarang menimbulkan korban jiwa. Sebagai suatu gejala sosial, sengketa atau konflik agraria (tanah) adalah suatu proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masingmasing memperjuangkan kepentingannya atas objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.2 Namun, sengketa atau konflik tanah yang terjadi sangat tergantung kepada kondisi hubungan agraris yang ada, serta sistem dan kebijkan yang berlaku pada kurun waktu tersebut.

Penyelesaian sengketa atas tanah yang berbasis berkeadilan dapat dicapai apabila penegak hukum memiliki kemampuan dalam mengambil kesimpulan dalam keputusan yang ditetapkan. Kemampuan ini bukan hanya sekedar menjalankan suatu prosedur yang tekstual, karena apabila penegak

2 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan Yang belum Berakhir (Jakarta: KPA, 2000), hlm 85

(4)

hukum itu sendiri memberikan keputusan secara tekstual dalam proses peradilan, maka tidak akan tercapai penyelesaian sengketa yang berkeadilan.

Pola pikir penegak hukum haruslah mencakup hal-hal tentang keadilan, kepastian, dan mengandung kemanfaatan sosial. Sengketa tanah tentu tidak dapat dihindari di zaman sekarang, hal itu disebabkan karena berbagai kebutuhan tanah yang sangat tinggi di zaman sekarang sementara jumlah bidang tanah terbatas. Hal tersebut menuntut perbaikan dalam bidang penataan dan penggunaan tanah untuk kesejahteraan masyarakat dan terutama kepastian hukumnya. Untuk itu berbagai usaha yang dilakukan pemerintah yaitu mengupayakan penyelesaian sengketa tanah dengan cepat untuk menghindari penumpukan sengketa tanah, yang dapat merugikan masyarakat, misalnya tanah tidak dapat digunakan karena tanah tersebut dalam sengketa.3

Pada dasarnya pilihan penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan 2 (dua) proses. Proses penyelesaian sengketa melalui litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya.

Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan- kesepakatan yang bersifat “win-win solution” dihindari dari kelambatan proses penyelesaian yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif,

3 Gunawan Wiradi, Masalah Pembaruan Agraria: Dampak Land Reform terhadap Perekonomian Negara, Makalah yang disampaikan dalam rangkaian diskusi peringatan “Satu Abad Bung Karno” di Bogor, tanggal 4 Mei 2001, hm. 4

(5)

menyelesaikan komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.4

Berkaitan dengan uraian di atas, analisis hukum terhadap sengketa Hak atas Tanah Petuanan Negeri Ema dan Negeri Leahari, kecamatan Leitimur Selatan merupakan riset penulis yang beranjak dari permasalahan saling mengklaim hak atas tanah antara Negeri Ema dan Negeri Leahari yang sampai saat ini masih belum ada kesepakatan antara kedua Negeri yang bersengketa.

Akibat dari tindakan dan ketidak pastian hukum dan upaya perlindungan hukum dari pemerintah terhadap masyarakat membuat Negeri Ema dan Negeri Leahari terjebak pada berbagai konflik agraris baik secara vertikal maupun horizontal. Klaim antara Negeri Ema dan Negeri Leahari tentu harus diteliti baik dari aspek historis guna mendapatkan legitimasi secara hukum dan solusi penyelesaian sengketa yang berkeadilan bagi kedua belah pihak.

Sengketa yang terjadi antara kedua Negeri di atas sudah pernah diadili di Pengadilan Negeri. Dalam proses peradilan tersebut, berdasarkan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, menyatakan bahwa yang berhak atas penguasaan hak ulayat atas tanah petuanan yang menjadi sengketa adalah Negeri Ema. Meskipun demikian, tetap saja masih sering terjadi sengketa yang memperebutkan hak ulayat atas tanah petuanan tersebut antara Negeri Ema dan Negeri Leahari sampai saat ini. Dari Kasus sengketa hak atas tanah petuanan Negeri Ema dan Negeri Leahari tersebut, berimplikasi pada

4 Badan Pertanahan Nasional, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Jakarta, 2007. hlml. 23

(6)

banyak spekulatif yang pada prinsipnya untuk mendapatkan legitimasi sosial tanpa adanya riset guna mendapatkan hasil yang benar-benar sebagai upaya untuk memperoleh kekuatan hukum serta data yang validitas.

Berdasarkan uraian persitiwa di atas yang memperlihatkan terjadinya sebuah hubungan Hukum atas tanah yang berimplikasi pada Sengketa Hak Atas Tanah Petuanan Negeri Ema Dan Negeri Leahari, Kecamatan Leitimur Selatan maka penulis merasa tertarik untuk suatu penelitian dalam bentuk penulisan karya ilmiah yaitu Skripsi dengan judul adalah Analisis Hukum Terhadap

Sengketa Hak Atas Tanah Petuanan Negeri Ema Dan Negeri Leahari,

Kecamatan Leitimur Selatan.

B.

Rumusan Maslah

Berdasarkan uraian Latar Belakang di atas, maka Permasalahan yang akan dibahas di dalam penulisan ini adalah:

1. Bagaimana upaya perlindungan hukum hak katas tanah Negeri Ema Kecamatan Leitimur Selatan ?

2. Apa langka-langka yang dapat dilakukan sebagai suatu upaya perlindungan hukum hak atas tanah Negeri Ema kecamatan leitimur selatan untuk memperoleh keadilan dan kepastian ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan dari pada penelitian hukum yang dilakukan penulis dalam Penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk Menganalisis dan mengetahui upaya perlindungan hukum hak ulayat atas tanah Negeri Ema kecamatan leitimur selatan; dan

(7)

2. Untuk Menganalisis dan mengetahui langka-langka yang dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan hukum hak atas tanah negeri ema kecamatan leitimur selatan untuk memperoleh keadilan dan kepastian serta menghentikan sengketa anatar Negeri Ema dan Negeri Leahari.

3. Sebagai salah satu Persyaratan untuk menyelasaikan tugas pembelajaran serta mendapatkan gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

D.

Manfaat Penelitian

Adapun yang diharapkan oleh penulis terkait dengan manfaat serta kegunaan dari pada penelitian hukum ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada ilmu hukum (Hukum Keperdataan), Khususnya dalam Penyelasaian Hukum Terhadap Sengketa Hak Atas Tanah Petuanan Negeri Ema Dan Negeri Leahari, Kecamatan Leitimur Selatan.

2. Manfaat Praktis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah masukan untuk Pemerintah dalam melakukan upaya perlindungan hukum hak atas tanah Negeri Ema Kecamatan Leitimur Selatan serta memberikan kontribusi hukum berupa prosedur atau langka-langka perlindungan hukum hak atas tanah negeri ema kecamatan leitimur selatan untuk memperoleh keadilan dan kepastian.

(8)

E. Karangka Konseptual

1. Konsep Perlindungan Hukum

Kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang biasa bertentangan antara satu sama lain. Maka dari itu, hukum harus bisa mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan seminimal mungkin. Pengertian terminologi hukum adalah peraturan yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa ataupun pemerintah, undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, patokan atau kaidah tentang peristiwa alam tertentu, keputusan atau pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim dalam pengadilan, atau vonis.5

Perlindungan hukum merupakan unsur yang penting dalam hak, sebagaimana pendapat Houwing melihat “hak sebagai suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum dengan cara tertentu.”.

6 Hukum harus

mempertimbangkan kepentingankepentingan secara cermat dan menciptakan keseimbangan antara kepentingankepentingan itu. Van Dijk dalam Peter M. Marzuki menyatakan bahwa “hukum harus berfungsi dalam mencapai tujuan damai sejahtra, tujuan untuk mencapai damai sejahtera itu dapat terwujud apabila hukum sebanyak mungkin memberikan pengaturan yang adil”.

5 Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, cet. 1,(Jakarta: Balai Pustaka, 1991) hlm 595

6 Satjipto Rahardjo, 2010, Teori Hukum Strategi tertib manusia linmas ruang dan General, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm 221

(9)

Kaitannya dengan konsep perlindungan hukum tentu terdapat banyak penjelasan yang berbedah namun memiliki suatu tujuan yakni, memberikan perlindungan kepada masyarakat agar memperoleh rasa aman terhadap berbagai hak-hak dasarnya untuk memiliki dan menikmati.

Perlindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi. Sebelum mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik pula untuk mengurai sedikit mengenai pengertian-pengertian yang dapat timbul dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu.7

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum yakni orang atau badan hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat prefentif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis. Perlindungan hukum juga merupakan suatu upaya untuk memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan

7 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009. hlm. 38

(10)

berbagai ancaman dari pihak manapun8

.

Terkait dengan teori perlindungan hukum, ada beberapa ahli yang menjelaskan bahasan ini, antara lain yaitu Fitzgerald, Satjipto Raharjo, Phillipus M Hanjon dan Lily Rasyidi.9 Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum dari Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyrakat karena dalam suatu lalulintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupkan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.

Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum10. Selanjutnya

8 Satjipto Rahardjo, Penyelenggaraan Keadilan Dalam Masyarakat Yang Sedang Berubah, Jurnal Masalah Hukum , 1993.

9 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 53

10 Ibid, hlm. 69

(11)

menurut Phillipus M. Hadjon11 bahwa:

Perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif. Perlindungan Hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkandiskresi dan perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.

Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra12

bahwa

hukum dapat didifungsikan untuk menghujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melaikan juga predektif dan antipatif.

2. Konsep Keadilan

Dalam berbagai literatur hukum banyak teori-teori yang berbicara mengenai keadilan. Salah satu diantara teori keadilan itu adalah teori etis, menurut teori ini hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang yang adil dan tidak adil.

Hukum menurut teori ini bertujuan untuk merealisir atau mewujudkan keadilan. Pemikiran filsafat tentang keadilan ini, terutama yang dipandang dari sudut filsafat hukum, sesuai dengan sudut pandang teori tentang tiga lapisan ilmu hukum yang meliputi dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum, sangat bermanfaat juga pada akhirnya bagi praktek hukum.

11 Ibid, hlm. 54

12 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung : Remaja Rusdakarya, 1993) hlm. 118

(12)

Melalui pemikiran yang mendasar tentang apa yang menjadi hak yang telah menjadi buah pemikiran, dari beberapa ahli filsafat mulai dari Aristoteles sampai pada ahli filsafat mas kini, dapat disediakan referensi bagi pengambil keputusan untuk mengarahkan dan menjalankan fungsi pengaturan dalam praktek hukum. Masalah keadilan telah lama menjadi bahan kajian dan bahan pemikiran oleh para ahli filsafat, para politikus dan rohaniawan, namun demikian apabila orang bertanya tentang keadilan atau bertanya tentang apa itu keadilan, akan muncul berbagai jawaban dan jawaban ini jarang memuaskan hati orang yang terlibat maupun para pemikir yang tidak terlibat. Bebagai jawaban mungkin akan muncul yang menunjukkan bahwa sukar sekali diperoleh jawaban umum, apabila dikemukakan jawaban atau batasan tentang keadilan oleh suatu masyarakat maka akan terdapat semacam jawaban yang sangat beragam, sehingga dapat dikatakan bahwa berbagai rumusan tentang keadilan merupakan rumusan yang bersifat relatif. Kesulitan tersebut mendorong orang terutama kaum positivis untuk mengambil jalan pintas dengan menyerahkan perumusan keadilan pada pembentuk undang-undang yang akan merumuskannya pada pertimbangan sendiri.

Dalam filsafat hukum, teori-teori hukum alam sejak Socrates hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.14 Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang

14 Theo Huijber, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cet. VIII, Yogyakarta:

Kanisius, 1995, hlm. 196

(13)

adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics

,

teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of justice dan juga Ahmad Ali dalam Menguak Teori Hukum dan teori Peradilan. Pandangan Aristoteles15 tentang keadilan terdapat dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.

Dari pandangan Aristoteles diatas yang sangat penting bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang lazim di pahami tentang kesamaan dan yang dimaksudkan ketika dikatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari perbedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan

15 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hlm. 25

(14)

korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama- sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan. Kaitannya dengan konsep kaedilan, dikemukakan juga oleh John Rawls16 bahwa pada awalnya terdapat 2 (dua) prinsip keadilan sebagai berikut :

1. Prinsip yang mensyaratkan adanya kesamaan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban dasar/asasi; dan

2. Prinsip yang mengakui bahwa perbedaan sosial dan ekonomi masih merupakan sesuatu yang adil sepanjang perbedaan tersebut memberikan keuntungan bagi setiap orang.

3.

Konsep Kepastian hukum

kepastian substansi hukum dan kepastian penegakan hukum seharusnya harus sejalan, tidak boleh hanya kepastian hukum bergantung pada law in the books tetapi kepastian hukum yang sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the books tersebut dapat dijalankan

16 John Rawls, “A Theory of Justice (1972)” dalam Materi Kuliah Program Sarjana Hukum Filsafat Hukum, Jilid 1, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hlml. 466.

(15)

sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma- norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum.

Gustaf Radbruch, dalam konsep “Ajaran Prioritas Baku”

mengemukakan ada tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Menurut Radbruch, “kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati”.17

Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk noma hukum tertulis. Menurut Fence M. Wantu, “hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang”.18

Kepastian hukum diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan ini.19 Pengertian kepastian tersebut dapat dimaknai bahwa ada kejelasan dan

17 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta, Kanisius, 1982, hlm.

162. 18 Fence M. Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala

Mimbar Hukum, Vol. 19 No.3 Oktober 2007, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 388.

19 Op. Cit, hlm. 388

(16)

ketegasan terhadap berlakunya hukum di dalam masyarakat. Hal agar tidak menimbulkan banyak salah tafsir. Menurut Van Apeldoorn,

“kepastian hukum dapat juga berarti hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang konkret”20. Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.

Secara gramatikal kepastian berasal dari kata pasti yang artinya sudah tetap, mesti dan tentu. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kepastian yaitu perihal (keadaan) pasti (sudah tetap), ketentuan, ketetapan sedangkan pengertian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara, jadi kepastian hukum adalah ketentuan atau ketetapan yang dibuat oleh perangkat hukum suatu negara yang mampu memberikan jaminan atas hak dan kewajiban setiap warga negara21, Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.

20 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, Cetakan Kedua Puluh Empat, 1990, hlm 24-25

21 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka, 1997, hlm. 735

(17)

Mengutip pendapat Lawrence M. Wriedman, seorang Guru Besar di Stanford University, berpendapat bahwa untuk mewujudkan “kepastian hukum” paling tidak haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai berikut, yaitu: substansi hukum, aparatur hukum, dan budaya hukum.22 Sedangkan menurut Paul Scholten, “asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada”.23

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, terhadap pengertian asas hukum, dapat disimpulkan bahwa asas hukum itu mengandung ciri-ciri sebagai berikut:

1. Asas hukum merupakan pikiran dasar atau norma dasar.

2. Asas hukum itu bukan peraturan hukum kongkrit melainkan latar belakang dari peraturan hukum kongkrit.

3. Asas hukum itu mengandung penilaian kesusilaan, jadi mempunyai dimensi etis.

4. Asas hukum itu dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalan penulisan

22 Lawrence M. Wriedmandikutip dari Fauzie Kamal Ismail, Tesis berjudul Kepastian Hukum Atas Akta notaris Yang Berkaitan Dengan Pertanahan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2011, hlm. 53

23Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2004, hlm. 5

(18)

skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Tipe Penelitian

Sesuai dengan Judul, Permasalah dan Penelitian pada Penelitian ini sebagaimana dikemukakan sebelumnya, maka tipe penelitian yang digunakan dalam menganalisis dan membahas masalah ini adalah Tipe Penelitian “Normatif24 artinya, Penulisan yang difokuskan untuk mengkaji Penerapan Kaedah-kaedah atau norma-norma dalam Hukum Positif.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Perundang-Undang (Statute approach), Pendekatan Konseptual (Conseptual approach) Menurut Peter Mahmud Marzuki, Pendekatan Perundang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan isu Hukum.25 3. Sumber Bahan Hukum

a)

Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penilitian ilmiah ini yaitu bahan-bahan Hukum yang mengikat dan terdiri dari :

24Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta,1985,hlm 14

25 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ke-3, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.93

(19)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar PokoPokok Agraria;

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

b)

Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan Hukum yang mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara Khusus yang akan memberikan Petunjuk ke mana penelitian akan mengarah, seperti doktrin-doktrin yang ada didalam buku, Jurnal, disertasi, Makalah.

c)

Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan hukum penunjang dalam penulisan ini dan memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap Bahan Hukum primer maupun sekunder.

4. Pengumpulan dan Analisa Bahan Hukum

Bahan yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan disertai pembahasan guna menjawab permasalahan. Hasil analisis dan pembahasan selanjutnya dibuat beberapa kesimpulan dan saran sebagai

(20)

pelengkap. Metode yang digunakan untuk menganalisis data yang ditemukan ini bersifat “analisis-kualitatif”. Digunakannya metode analisis ini, karena bahan yang dikumpulkan cenderung bersifat Normatif, dan analisisnya lebih beroreantasi pada pengujian data berdasarkan Kerangka Teori dan kaidah normatif.

G.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada Penelitian ini terbagi dalam bagian-bagian yakni, sebagai berikut :

BAB I yakni bab Pendahuluan yang memuat di dalamnya uraian Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Kegunaan Penulisan, Karangka Konseptual, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan;

BAB II yakni bab Tinjauan Pustaka yang di dalamnya menguraikan tentang Prinsip-prinsip penyelasaian sengketa atas tanah adat.

BAB III yaitu; bab pembahasan yang memuat Hasil dan Pembahasan yang terdiri atas perlindungan hukum hak katas tanah negeri ema kecamatan leitimur selatan serta langka-langka perlindungan hukum hak atas tanah negeri ema kecamatan leitimur selatan untuk memperoleh keadilan dan kepastian; dan BAB IV Penutup yang terdiri atas Kesimpulan dan Saran.

Referensi

Dokumen terkait

Pembahasan ini akan diuraikan : Pengertian Anak, Pengertian Pekerja Anak, Batasan Usia Anak Bekerja, Pengertian Perlindungan Hukum, Perlindungan Hukum Hak Pekerja

Untuk dapat memberikan suatu pemahaman kepada masyarakat terkait dengan masalah perlindungan hukum bagi pihak yang sebenarnya dirugikan karena adanya penyalahgunaan

Berdasarkan uraian dan analisis pada Bab II tentang Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka penulis penelitian ini menarik kesimpulan

Tetapi permasalahan penelitian terdahulu sama penelitian penulis itu berbeda, permasalahkan penelitian terdahulu terkait Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi

Sebenarnya lebih tepat digunakan istilah menggerakkan daripada istilah membujuk, untuk melepaskan setiap hubungan dengan penyerahan (levering) dalam pengertian hukum

Bagaimanakah penyelesaian terhadap masalah yang timbul dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pasien pengguna kawat gigi melalui jasa tukang gigi secara online

Mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan

Pengertian di atas mengundang beberapa ahli untuk mengungkapkan pendapatnya mengenai pengertian dari perlindungan hukum diantaranya : Menurut Satjipto Raharjo mendefenisikan