• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH:"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA BERKE WARGANEGARAAN INDONESIA YANG MENIKAH DENGAN PRIA

BERKEWARGANEGARAAN ASING TERHADAP KEPEMILIKAN PROPERTI DI INDONESIA

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

YULIA RESA SIMORANGKIR 177005080

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021

(2)
(3)

i ABSTRAK

Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengadili perkara konstitusi dari Nyonya Ike Farida. Bahwa pemohon adalah seorang perempuan yang menikah dengan laki-laki berkewarganegaraan Jepang berdasarkan perkawinan yang sah.

Bahwa pemohon membeli 1 (satu) unit Rusun pada tanggal 26 Mei 2012 dengan status hak milik. Akan tetapi setelah pemohon membayar lunas Rusun tersebut, Rusun tidak kunjung diserahkan. Bahkan kemudian perjanjian pembelian dibatalkan secara sepihak oleh pengembang dengan alasan suami Pemohon adalah warga negara asing dan pemohon tidak memiliki Perjanjian. Adapun permasalahan dari tesis ini adalah bagaimanakah pengaturan hukum tentang perkawinan campuran di Indonesia, bagaimanakah kententuan hukum kepemilikan properti bagi wanita berkewarganegaraan Indonesia dalam perkawinan campuran di Indonesia, agaimanakah perlindungan hukum terhadap wanita yang berkewarganegaraan Indonesia yang menikah dengan pria berkewarganegaraan asing terhadap kepemilikan properti di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Disebut sebagai penelitian hukum normatif karena objektif dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan, mensistematisasi, dan menganalisis norma-norma hukum positif di Indonesia yang pengaturannya berkenaan dengan hukum harta bersama diantara pernikahan wanita Warga Negara Indonesia dengan pria Warga Negara Asing serta permasalahan kepemilikan properti di wilayah Indonesia.

Persyaratan dan pelangsungan perkawinan campuran diatur dalam Pasal 59 dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bagi Wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing, menurut Pasal 3 ayat (1) dan (2) PP Nomor 103 Tahun 2015, apabila ingin memiliki hak atas tanah yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya, maka diwajibkan untuk membuat perjanjian pemisahan harta antara suami dengan isteri, yang dibuat dengan akta notaris.

Perlindungan hukum terhadap wanita yang berkewarganegaraan Indonesia yang menikah dengan pria berkewarganegaraan asing terhadap kepemilikan properti di Indonesia sampai saat ini berupa perubahan terhadap Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum , Wanita WNI, Kepemilikan Properti, Perkawinan Campuran Beda Warga Negara

(4)

ii ABSTRACT

It is explained in the Constitutional Court’s Ruling No. 69/PUU- XIII/2015 that it is hearing a constitutional case of Mrs. Ike Farida. In this case, the petitioner has been legitimately married with a Japanese man. She bought an apartment on May 26, 2012 with the status of ownership. The problem was that after she had paid off and settled up the installment, the apartment was not handed in to her. Moreover, the contract was unilaterally revoked by the developer, arguing that her husband was a foreigner and she did not have any contract. The research problems are how about the regulations on a mix marriage in Indonesia, how about the regulations on property ownership for an Indonesian woman in a mix marriage in Indonesia, and how about legal protection for Indonesian women who got married with foreigners concerning property ownership in Indonesia.

The research used juridical normative method because it as aimed to gather, estimate, and analyze positive legal norms in Indonesia in which the regulations were concerned with law on joint property in a mix marriage between an Indonesian woman and a foreigner concerning property ownership in Indonesia.

The requirements and the continued existence of a mix marriage is specified in Article 59 and Article 60 of Law No. 1/1974 on Marriage. It is recommended that Indonesian women who get married with foreigners, according to Article 3, paragraphs 1 and 2 of PP No. 103/2015, and who want to own land rights, as Indonesian citizens, make a contract before a Notary on partition of joint property between husband and wife. Legal protection for Indonesian women whose husbands are foreigners, concerning property ownership in Indonesia, is specified in the amendment of Article 29 of Law No. 1/1974.

Keywords.’ Legal Protection, Indonesian Woman, Property Ownership, Mix Marriage in Different Nationalities

(5)

iii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya saya dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

WANITA BERKEWARGANEGARAAN INDONESIA YANG MENIKAH

DENGAN PRIA BERKEWARGANEGARAAN ASING TERHADAP

KEPEMILIKAN PROPERTI DI INDONESIA”. Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis dengan besar hati dan dengan tangan terbuka untuk menerima kritik, saran, dan juga ide-ide yang sifatnya konstruktif dan membangun dari para pembaca untuk mewujudkan kesempurnaan Tesis ini.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, serta masukan dari semua pihak. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. M. Yamin, S.H., MS.,CN, selaku Ketua Komisi Pembimbing penulis yang telah memberikan banyak ilmu, pengarahan, serta bimbingan yang dapat membekali penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

(6)

iv

5. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M. Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta banyak memberikan masukan untuk menyelesaian tesis ini.

6. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H., M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta meluangkan waktu untuk membantu penulis merampungkan tesis ini.

7. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Penguji penulis yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.

8. Ibu Dr. Yefrizawati,S.H.,M.Hum, selaku Dosen Penguji penulis yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.

Kepada kedua Orang Tua saya, yakni, bapak dan mamak saya, Ir. S.

Simorangkir dan H. Br. Simatupang, yang telah memberikan dukungan, semangat, dan kepercayaan yang besar kepada saya untuk bisa menyelesaikan sekolah sampai hari ini. Dari kedua orang tua saya, saya belajar begitu banyak hal tentang arti hidup dan kehidupan.

Demikianlah penulis megucapkan terima kasih banyak kepada semua yang telah membantu dan mendukung sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan lancar dan kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan yang terbaik kepada kita semua.

Medan, April 2021

Yulia Resa Simorangkir

(7)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

SURAT PERNYATAAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Keaslian Penulisan ... 17

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 29

1. Jenis penelitian ... 29

2. Sifat Penelitian ... 30

3. Sumber Data ... 30

4. Teknik Pengumpulan Data ... 32

5. Analisis Data ... 32

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA ... 34

A. Perkawinan campuran ... 34

B. Perjanjian perkawinan ... 49

(8)

vi

BAB III KETENTUAN HUKUM KEPEMILIKAN PROPERTI BAGI WANITA BERKEWARGANEGARAAN INDONESIA DALAM

PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA ... 54

A. Kepemilikan Properti Sebagai Hak Dasar Manusia ... 54

B. Hak-Hak atas Tanah ... 55

C. Ketentuan Hukum Kepemilikan Properti Bagi Wanita Berkewarganegaraan Indonesia dalam Perkawinan Campuran Di Indonesia... 72

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA BERKEWARGANEGARAAN INDONESIA YANG MENIKAH DENGAN PRIA BERKEWARGANEGARAAAN ASING ATAS KEPEMILIKAN TANAH DI INDONESIA ... 81

A. Kasus Posisi ... 81

B. Analisis Putusan ... 109

BAB V PENUTUP ... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 123

DAFTAR PUSTAKA ... 126

(9)

vii

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkawinan menimbulkan akibat hukum terhadap suami dan isteri, anak dan harta kekayaan. Sementara, sebelum krisis moneter tahun 1997 tidak ada seorang pun dari kelompok perkawinan campuran yang menyadari risiko kehilangan harta tidak bergerak akibat dari kematian. Seorang perempuan WNI yang telah menikah selama dua puluh tahun, meninggal dunia pada tahun 2000. Ketika ia meninggal suami dan anak-anaknya yang berkewarganegaraan asing harus menjual rumah mereka dalam tempo satu tahun.

Menurut ketentuan Pasal 21 (3) UUPA, apabila rumah itu tidak dijual melampaui batas satu tahun setelah kematian pasangan WNI-nya, maka negara bisa mengambil alih semua properti. Akhirnya keluarga tersebut tidak mempunyai tempat tinggal1 Hal ini terjadi karena perempuan tersebut tidak membuat perjanjian pisah harta dan tidak menuliskan wasiat bagi ahli waris yang berbeda kewarganegaraan.

Pengalaman lain terjadi pada EH yang menikah dengan laki-laki warga Negara Prancis , MR yang menikah dengan WN Inggris, RR yang menikah dengan WN Amerika, dan LS yang menikahi orang Swedia. Mereka semua menyatakan

1 Sulistyowati Irianto, Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm.407

(11)

kekecewaannya karena ketika hendak membeli rumah di Indonesia mereka tidak diizinkan mempunyai sertifikat hak milik. Status pernikahan mereka dengan warga negara asing membatasi akses mereka terhadap pemilikan tempat tinggal di tanah kelahirannya menjadi hak pakai saja.2

Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting terhadap manusia dengan berbagai konsekuensi hukumnya. Karena itu hukum mengatur masalah perkawinan ini secara detail.3 Pengaturan mengenai perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19744 jo UU Nomor 16 Tahun 2019 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 19755. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo UU No.16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, maka keanekaragaman hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan warga negara dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah dapat diakhiri.

Pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Perkawinan erat hubungan dengan

2 Ibid, hlm. 408

3 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm.10

4 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

5 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

(12)

agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja punya unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga punya peranan penting.

Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami-isteri. Hidup bersama suami-isteri dalam perkawinan tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami-isteri tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, aman dan harmonis antara suami-isteri.

Perkawinan salah satu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.6

Perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjajian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.7

Setelah berlakunya UU Perkawinan, terjadi unifikasi di lapangan hukum perkawinan. UU Perkawinan ini juga mengatur tentang perkawinan campuran.

Menurut Pasal 57 UU No.1/1974, perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Diketahui bahwa bagi perorangan Warga Negara Asing jika ingin memiliki tanah dan bangunan diatasnya, maka kelembagaan Hak Pakai yang memberikan peluang kepemilikan dalam jangka waktu tertentu. Hak pakai bagi warga negara

6 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2016), hlm42-43.

7 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2002), hlm.6.

(13)

asing didasarkan pada Peraturan Pemerintah No.41 tahun 1996, tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia. Pada Pasal 1 ayat (1) PP ini, dinyatakan bahwa orang asing dapat memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tanah tertentu. Hak atas tanah dimaksud adalah hak pakai, yang terbagi Hak Pakai atas tanah negara dan hak milik yang dibebani Hak Pakai dengan perjanjian tertentu. Dengan jangka waktu kepemilikan dari hak pakai bagi WNA tersebut adalah paling lama 25 (dua puluh lima) tahun lagi dengan syarat WNA tersebut masih berkedudukan di Indonesia.

Berbeda dengan PP No. 103 Tahun 2015 yang merupakan revisi dari PP No.

41 Tahun 1996. Menurut PP No. 103 Tahun 2015, pengaturan jangka waktu pemberian hak pakai bagi WNA disebutkan secara spesifik untuk menguasai rumah tunggal. Berdasarkan Pasal 6, WNA bisa mendapatkan hak pakai selama 30 tahun.

Jika jangka waktu tersebut telah berakhir, dapat diperpanjang untuk 20 tahun selanjutnya. Kemudian, setelah rentang 50 tahun, WNA tersebut dimungkinkan memperbarui kembali hak pakainya untuk masa 30 tahun. Kalau ditotal, jangka waktu yang diberikan bisa mencapai 80 tahun.8

Orang asing yang dapat memiliki Hak Pakai di Indonesia ialah orang asing yang kehadirannya memberikan manfaat terhadap pembangunan Indonesia. Apabila orang asing tersebut tidak lagi berkedudukan di Indonesia, dalam jangka waktu 1 tahun belum dialihkan atau dilepaskan haknya (lihat Pasal 10 ayat (1) PP No.103 tahun 2015), dan jika rumah tersebut didirikan diatas tanah Hak Pakai Negara, maka

8 di akses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56a0be9a61625/ini-perbandingan- aturan-soal-hak-pakai-hunian-bagi-wna/ pada tanggal 15 Desember 2020

(14)

rumah tersebut akan dilelang untuk kemudian di jual, dan jika rumah tersebut didirikan di atas tanah berdasarkan perjanjian, maka rumah tersebut menjadi milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. (lihat pasal 10 ayat (2) PP No. 103 tahun 2015)9

Suatu perkawinan, mempunyai akibat di dalam bidang kekayaan suami- isteri. Menurut Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan ditegaskan bahwa :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;

2. Harta benda dari masing-masing suami atau isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.10

Pada asasnya hak milik hanya dapat dipunyai oleh orang-orang (het natuurlijkpersoon), baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Badan hukum tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik, kecuali badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan telah memenuhi syaratnya. Demikian Pasal 21 ayat 1 dan 2 UUPA. Menurut hukum agraria yang lama, yakni sebelum terbentuknya UUPA, di Indonesia terdapat dualisme sistem hukum tanah yang berlaku, yakni Hukum Tanah Barat yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan hukum tanah adat.11 Setiap orang boleh mempunyai tanah dengan hak eigendom12,

9 Lihat Pasal 10 ayat (1) dan (2) PP No, 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.

10Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kharisma Putra Utama,2008),hlm.115.

11 Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2012), hal.

11.

12 Hak eigendom adalah hak kebendaan yang paling luas. Pasal 570 BW menerangkan bahwa eigendom adalah hak untuk dengan bebas menggunakan (menikmati) suatu benda sepenuh-penuhnya dan untuk menguasai seluas-luasnya asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang atau

(15)

baik ia warga negara maupun orang asing, bukan Indonesia asli maupun orang Indonesia asli. Bahkan badan hukum boleh mempunyai hak eigendom. Baik badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat 1 UUPA menurut Pasal 21 ayat 1 UUPA hanya warga negara Indonesia saja dapat mempunyai hak milik. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa larangan tidak diadakan perbedaan antar sesama warganegara, dalam hal pemilikan tanah diadakan perbedaan antara mereka yang berkewarganegaraan tunggal dan rangkap.

Berkewarganegaraan rangkap artinya bahwa disamping berkewarganegaraan Indonesia dipunyai pula berkewarganegaraan lain. Pasal 21 ayat 4 UUPA menentukan bahwa selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing, ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik. Ini berarti, bahwa ia selama itu dalam hubungannya dengan soal pemilikan tanah dipersamakan dengan orang asing. Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, bahwa sudah selayaknya orang-orang yang membiarkan diri di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan negara lain, dalam hal pemilikan tanah dibedakan dari warga negara Indonesia lainnya. Dengan demikian maka yang boleh mempunyai tanah dengan hak milik itu hanyalah warga negara Indonesia tunggal saja.13 Dalam hukum tanah dikenal ada hubungan yang abadi antara tanah dengan warga Negara Indonesia dan ini menjadi hubungan yang sangat

peraturan-peraturan umum yang ditetapkan oleh instansi (kekuasaan) yang berhak menetapkannya, serta tidak mengganggu hak-hak orang lain.

13 Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, (Bandung: PT.

Alumni, 2006), hlm.88-89.

(16)

sakral sehingga menjadi lahirlah hubungan magis antara tanah dengan pemiliknya dalam masyarakat. Hak WNA atas tanah yang terbatas konsekuensinya dalam wujud hak atas tanah, mereka hanya dimungkinkan menguasai dan menggunakan serta memanfaatkan pada hak atas tanah tertentu, seperti hak pakai dan hak sewa.

Pembatasan ini sering disebut “prinsip nasionalitas”, atau disebut asas kebangsaan, yang berarti tidak semua orang dapat memiliki tanah di negara ini.

Dengan prinsip nasionalitas yang dianut dalam hukum tanah kita, maka sekalipun orang yang bukan warga negara itu mampu membeli dan mampu membayar pajaknya masih tetap tidak boleh memiliki hak atas tanah tertentu di negara ini. Keterbatasan kepemilikan ini dimaksudkan untuk meng-Indonesiakan kembali hak-hak atas tanah yang terdapat di Indonesia.14

Akibat hukum yang ditimbulkan oleh perkawinan amat penting, tidak saja dalam hubungan dengan kekeluargaannya, tetapi juga dalam bidang harta kekayaannya.15 Pasal 119 KUHPerdata menjelaskan bahwa, sejak dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antar suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian bersama.

Umumnya setiap orang yang akan menikah menginginkan keluarga yang bahagia dan kekal, namun dalam kenyataan dalam perjalanan dalam sebuah perkawinan tidak selalu mulus ada kemungkinan timbul masalah-masalah

14 Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), Hlm.22-23.

15 J. Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Yogyakarta, Laksbang Grafika, 2012, hlm.1

(17)

dikemudian hari. Begitu pun dengan perkawinan campuran, masalah yang akan mereka hadapi antara lain mengenai anak, kewarganegaraan karena mereka tunduk pada hukum yang berlainan, dan juga harta khususnya terhadap kepemilikan atas benda tidak bergerak. Kebanyakan orang yang melangsungkan perkawinan, pada umumnya mereka tidak memikirkan tentang akibat perkawinannya terhadap harta kekayaannya, karena mereka hanya melihat dan lebih menitikberatkan pada hukum keluarganya. Keadaan yang demikian dapat dimengerti, karena orang menikah tidak hanya bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia, tetapi lebih dari itu adalah untuk menjaga agar kehidupan kekeluargaan tetap dapat berlangsung terus, sehingga dibutuhkan adanya harta benda dalam perkawinan tersebut.16

Hubungan hukum antara orang, baik warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA) serta perbuatan hukum mengenai tanah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria (UUPA).

Perolehan hak milik dalam perkawinan campuran dipahami harus dengan perjanjian kawin dan secara normatif oleh Pasal 3 PP No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia, ditentukan dengan perjanjian pemisahan harta, hal ini akan berpengaruh terhadap hak milik yang diperoleh WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian kawin. Problematika hukumnya adalah: Pertama, hak milik dianggap hapus karena hukum sesuai Pasal 27 huruf a angka 4 UU No. 5 Tahun 1960.17

16 J. Andy Hartanto, Op.cit., hlm. 1.

17Pasal 27 UUPA menyatakan bahwa

(18)

Problematika hukum yang terjadi adalah : Pertama, adanya pemahaman yang keliru terhadap Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua, adanya konflik aturan (convlicten van normen) secara vertikal antara Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia dengan Pasal 21 ayat (1) dan (3) UU No. 5 Tahun 1960. Terakhir, adanya Putusan MK No. 69/PUU/2015 mengenai pembuatan perjanjian kawin dalam konteks perolehan hak milik dalam perkawinan campuran. 18

Perolehan hak milik dalam perkawinan campuran dipahami harus dengan perjanjian kawin dan secara normatif oleh Pasal 3 PP No. 103 Tahun 2015 ditentukan dengan perjanjian pemisahan harta, hal ini akan berpengaruh terhadap hak milik yang diperoleh WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian kawin. Problematika hukumnya adalah: Pertama, hak milik dianggap hapus karena hukum sesuai Pasal 27 huruf a angka 4 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 4 Kedua, karena sudah terlanjur dipahami hapus, hak milik yang ingin dialihkan kepada pihak lain atau dibebani hak tanggungan tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya. Kedua, karena hak milik merupakan harta bersama diperlukan persetujuan pasangan WNA ketika ingin dialihkan atau dibebankan. Identitas WNA

a. Tanah jatuh kepada Negara:

….

4) karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2)

18 Gede Ode Angga Pratama, Pengaturan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah dalam Perkawinan Campuran, (Jurnal Kertha Patrika, 2018), Hal. 86

(19)

yang tertera dalam akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) akan dikembalikan oleh Badan Pertanahan Nasional ketika akta didaftarkan.19

Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 UUP, yang menetapkan bahwa kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian perkawinan, yang dalam bahasa Belanda dinamakan huwelijkse voorwaarden. Sesuai dengan UUP, perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan dengan membawa akibat hukumnya mengikat suami isteri dan mengikat pula terhadap pihak ketiga yang tersangkut dengan perjanjian perkawinan tersebut.

Sejak mulai perkawinan terjadi, adanya suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri (algehele gemeenschap van goederen) jika tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan. Jika orang ingin menyimpang dari peraturan umum itu, ia harus meletakan keinginannya itu dalam suatu “perjanjian perkawinan”

(huwelijksvoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini, harus diadakan sebelum pernikahan dilaksanakan dan harus diletakan dalam suatu akta notaris. Juga keadaan sebagaimana diletakan dalam perjanjian itu, tak dapat diubah selama perkawinan.

Undang-undang menghendaki supaya keadaan kekayaan dalam suatu perkawinan itu tetap. Ini demi untuk melindungi kepentingan-kepentingan pihak ketiga.20

Berbeda jika dalam ikatan perkawinan sebelumnya sudah terdapat suatu perjanjian perkawinan tentang harta gono gini atau yang bersangkutan dengan harta

19 Ibid

20 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Bandung: Internusa, 1982), hlm.31

(20)

perkawinan lainnya. Sedangkan jika disiasati dengan akan dibuatnya perjanjian perkawinan setelah terjadinya pernikahan ini, maka hal itu akan bertentangan dengan pasal 29 ayat 1 UU No. 1/1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada waktu (saat akad) perkawinan dilangsungkan. Oleh karena ketentuan pada pasal 29 ayat 1 UUP tersebut, maka pemohon tidak bisa membuat perjanjian setelah terjadi perkawinan.

Frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” pada pasal 29 ayat (1), ayat (4) UU Perkawinan ternyata telah mengekang hak kebebasan berkontrak seseorang. Frasa tersebut membatasi kebebasan waktu dua individu untuk melakukan perjanjian. Karena pada akhirnya seseorang tidak dapat melakukan perjanjian perkawinan jika tidak “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.21

Pada Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengadili perkara konstitusi dari Nyonya Ike Farida.

Bahwa pemohon adalah seorang perempuan yang menikah dengan laki-laki berkewarganegaraan Jepang berdasarkan perkawinan yang sah dan telah dicatatkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Makasar Kotamadya Jakarta Timur. Bahwa pemohon membeli 1 (satu) unit Rusun pada tanggal 26 Mei 2012 dengan status hak milik. Akan tetapi setelah pemohon membayar lunas Rusun tersebut, Rusun tidak kunjung diserahkan. Bahkan kemudian perjanjian pembelian dibatalkan secara sepihak oleh pengembang dengan alasan suami Pemohon adalah warga negara asing

21 Moh. Faizur Rohman, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015 Tentang Perjanjian Perkawinan Terhadap Tujuan Perkawinan, (Jurnal dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya), hlm.20-21

(21)

dan pemohon tidak memiliki Perjanjian Perkawinan. Dalam suratnya Nomor 267/S/LNC/X/2014/IP, tertanggal 8 Oktober 2014 pada angka 4, pada pokoknya pengembang menyatakan:22

Bahwa sesuai Pasal 36 ayat (1) UUPA dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, seorang perempuan yang kawin dengan warga Negara asing dilarang untuk membeli tanah dan atau bangunan dengan status Hak Guna Bangunan. Oleh karenanya pengembang memutuskan untuk tidak melakukan Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB) ataupun Akta Jual Beli (AJB) dengan Pemohon, karena hal tersebut akan melanggar Pasal 36 ayat (1) UUPA.

Surat Pengembang Nomor Ref. 214/LGL/CG-EPH/IX/2012, tertanggal 17 september 2012, angka 4 yang menyatakan:23

“bahwa menurut... Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang mengatur harta sebagai berikut:

“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila seorang suami atau isteri membeli benda tidak bergerak (dalam hal ini adalah rumah susun/apartemen) sepanjang perkawinan maka apartemen tersebut akan menjadi harta bersama/gono-gini suami isteri yang bersangkutan. Termasuk juga jika perkawinan tersebut adalah perkawinan campuran (perkawinan antara seorang WNI dengan seorang WNA) yang dilangsungkan tanpa membuat perjanjian kawin harta terpisah, maka demi hukum, apartemen yang dibeli oleh seorang suami/isteri WNI dengan sendirinya menjadi milik isteri/suami yang WNA juga.

22 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, Hlm.5

23 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, hlm.6

(22)

Istilah “properti” di Indonesia sering disalahartikan hanya dalam bentuk fisik bangunan yang tergolong mewah dan megah, yang pada umumnya dimiliki oleh masyarakat golongan menengah ke atas. Padahal, meskipun hanya sepetak kecil tanah saja sudah dapat didefinisikan sebagai “properti”. Kekeliruan ini terjadi karena istilah dan penamaan “properti” lebih sering digunakan oleh para pengembang perumahan di Indonesia untuk membangun dengan model dan jenis rumah, sehingga wajar jika muncullah konotasi bahwa properti merupakan bangunan mewah. Pengistilahan properti terhadap model bangunan mewah ini memang bertujuan untuk menanamkan kesan, citra dari bangunan, atau kompleks perumahan.24

Properti adalah setiap fisik atau tidak yang berwujud fisik yang dimiliki seseorang atau bersama dengan sekelompok atau milik badan hukum2 . Kata properti berasal dari Bahasa Inggris yaitu "property" yang berarti sesuatu yang dapat dimiliki seseorang. Di Indonesia, istilah “properti” identik dengan real estate, rumah, tanah, ruko, gedung, atau gudang . Belakangan, istilah properti bergeser dari pengertian semula menjadi lebih spesifik pada pengertian harta benda tak bergerak (tanah/bangunan).

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, properti adalah harta berupa tanah dan bangunan serta sarana dan prasarana yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tanah dan/atau bangunan yang dimaksudkan. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian properti adalah hak untuk memiliki sebidang tanah dan memanfaatkan apa saja yang ada di atasnya 4 . Dalam hal ini yang

24 Dhaniswara K. Harjono, Hukum Properti, (Jakarta : Pusat Pengembangan Hukum dan Bisnis Indonesia, 2016), Hal. 5

(23)

dimaksud sebagai properti adalah bangunan berkonstruksi horizontal atau vertikal (bertingkat) yang digunakan untuk rumah bertempat tinggal (hunian), atau bangunan yang digunakan untuk tempat usaha dan lainnya (non-hunian) 5 . Black’s Law Dictionary mendefinisikan properti sebagai : (1) The right to possess, use, and enjoy a determinant thing; the right of ownership. (2) Any external thing over wihich the rights possession, use, and enjoyment are exercised. Sedangkan menurut kamus Oxford, pengertian properti adalah hak atau kepemilikan seseorang atas suatu benda atau aset. Sedangkan pengertian aset menurut kamus Oxford adalah : 1) sesuatu yang memiliki nilai atau berguna 2) sesuatu benda yang bernilai, yang dapat dijual untuk melunasi hutang.

Menurut pengertian pada umumnya, properti adalah milik, kekayaan, harta benda atau tanah milik yang bisa berupa benda bergerak ataupun benda tidak bergerak. Istilah properti juga merujuk kepada sesuatu yang biasanya dikenal sebagai entitas terkait dengan kepemilikan seseorang atau kelompok orang atau suatu hak ekseklusif. Bentuk utama dari properti ini termasuk real property (tanah), kekayaan pribadi atau personal property (kepemilikan barang secara fisik) dan kekayaan intelektual.25

Pada kasus yang terjadi pada Ny. Ike Farida, bahwa pemohon membeli sebuah properti yakni 1 (satu) unit Rusun pada tanggal 26 Mei 2012 dengan status hak milik. Pemohon juga membawa beberapa contoh permasalahan faktual yang ditimbulkan oleh pasal-pasal “Objek Pengujian” yang dialami oleh beberapa warga

25 Ibid, hal.6

(24)

Negara Indonesia pelaku kawin campur. Mulai dari permasalahan pembelian rumah , ruko, hingga apartemen dengan status Hak Milik dan Hak Guna Bangunan.

Berdasarkan adanya perkawinan campuran kewarganegaraan antara wanita kewarganegaraan Indonesia dengan pria berkewarganegaraan asing , maka menarik untuk diteliti dan dianalisis mengenai kepemilikan properti yang dimiliki dalam perkawinan antara wanita berkewarganegaraan Indonesia dengan pria berkewarganegaraan asing.

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum tentang perkawinan campuran di Indonesia?

2. Bagaimanakah kententuan hukum kepemilikan properti bagi wanita berkewarganegaraan Indonesia dalam perkawinan campuran di Indonesia?

3. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap wanita yang berkewarganegaraan Indonesia yang menikah dengan pria berkewarganegaraan asing terhadap kepemilikan properti di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis pengaturan hukum tentang perkawinan campuran di Indonesia.

2. Untuk menganalisis ketentuan hukum kepemilikan properti bagi wanita berkewarganegaraan Indonesia dalam perkawinan campuran di Indonesia.

(25)

3. Untuk menganalisis perlindungan hukum terhadap wanita yang berkewarganegaraan Indonesia yang menikah dengan pria berkewarganegaraan asing terhadap kepemilikan properti di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat penelitian dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum dan sebagai tambahan referensi atau masukan bagi hukum pernikahan , khususnya mengenai Perlindungan Hukum terhadap Wanita Berkewarganegaraan Indonesia yang menikah dengan Pria Berkewarganegaraan Asing atas Kepemilikan Properti di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru bagi perlindungan wanita berkewarganegaraan Indonesia yang menikah dengan Pria berkewarganegaraan asing.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, masyarakat, aparat penegak hukum dan pemerintah khususnya dalam upaya melindungi hak-hak wanita Indonesia

(26)

yang menikahi pria berkebangsaan asing, terutama dalam kepemilikan harta di Indonesia, serta dapat memberikan informasi dan pengetahuan bagi pihak- pihak yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama serta bermanfaat dalam penyempurnaan undang-undang pernikahan dalam hal pernikahan campuran serta kepemilikan harta bersama.

E. Keaslian Penelitian

Guna menghindari tindakan plagiasi dan duplikasi pembahasan yang sama dalam penelitian ini, maka dilakukan pengecekan dan pemeriksaan data terlebih dahulu mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Wanita Berkewarganegaraan Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Berkewarganegaraan Asing Terhadap Kepemilikan Properti Di Indonesia”. Kemudian dari hasil pengecekan data tersebut tidak ditemukan judul penelitian yang sama. Namun, terdapat dua judul penelitian yang berkaitan dengan judul diatas, yang paling mendekati adalah:

1. Nama : Kuswinarno NIM : 087005024 Tahun : 2011

Judul : Aspek Hukum Status Kewarganegaraan untuk Anak Hasil Perkawinan Campuran yang Lahir Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

Rumusan Masalah :

(27)

a. Bagaimana implementasi prinsip-prinsip kewarganegaraan dalam bidang keimigrasian di Indonesia?

b. Bagaimana status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum dan sesudah berlakunya Undang Undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia?

c. Kebijakan apakah yang harus diambil oleh Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI dalam menangani perbedaan pengaturan status kewarganegaraan bagi anak hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia dalam hal pengaturan izin keimigrasian?

2. Nama : Herlina Hasibuan NIM : 167011017 Tahun : 2018

Judul : Akibat Hukum Terhadap Pihak Ketiga Atas Perjanjian Perkawinan dalam Ikatan Perkawinan (Studi Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015) Rumusan Masalah :

a. Bagaimanakah Pengaturan Hukum Tentang Pembatalan Perjanjian Perkawinan?

b. Bagaimanakah Akibat Hukum terhadap Pembatalan Perjanjian Perkawinan?

c. Bagaimanakah Analisis Petimbangan Hakim Terhadap Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015?

(28)

Setelah melakukan screening mengenai kesamaan atau dilakukannya penelitian sebelumnya tentang perlindungan terhadap wanita wni dengan pria wna terhadap mendekati hal tersebut. Maka dari itu penelitian ini sangat orisinil keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dikarenakan merupakan penelitian yang baru dan belum ada yang menyinggung dan menelitinya.

F. Kerangka Teori 1. Kerangka Teori

Kata teori berasal dari kata theory yang artinya pandangan atau wawasan.26 Teori juga bermakna sebagai pengetahuan dan pengertian yang terbaik.27 Secara umum teori itu diartikan sebagai pengetahuan dan pengertian yang terbaik. Secara umum teori itu diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis untuk melakukan sesuatu.28 Teori adalah keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan. Kerangka pemikiran merupakan suatu kerangka yang memuat teori-teori atau dasar pemikiran yang sifatnya mendukung dan sekaligus dipakai sebagai acuan dalam melakukan penelitian.

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, dan keterangan sebagai satu

26 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,2012), hlm. 4

27 Bernard, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 41

28 Sudikno Mertokusumo, loc.cit, hlm.7

(29)

kesatuan yang logis menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan,29 sedangkan teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.30

Teori bermanfaat untuk memberi dukungan analisis atau topik yang sedang dikaji, serta bermanfaat sebagai pisau analisis dalam pembahasan terhadap penelitian, berupa fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai wacana yang memperkaya dan mempertajam argumentasi dalam memahami masalah yang menjadi objek penelitian.31

Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Wanita Berkewarganegaraan Indonesia yang menikah dengan Pria Berkewarganegaraan Asing Terhadap Kepemilikan Properti di Indonesia, dengan ini peneliti menggunakan beberapa teori, yaitu sebagai berikut:

a. Teori Perlindungan Hukum

Penelitian ini menggunakan teori perlindungan hukum. Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta

29 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm.72-73

30 M. Solly Lubis, Filsafat dan Ilmu Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hlm. 27

31 Mukti Fajar dan Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2010), hlm.44

(30)

antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.32

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.33

Perlindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi. Sebelum mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik pula untuk mengurai sedikit mengenai pengertian-pengertian yang dapat timbul dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu.34

32 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.53

33 Ibid, hlm.55

34 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009) hlm. 38

(31)

Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum.

Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengadili perkara konstitusi dari Nyonya Ike Farida. Bahwa pemohon adalah seorang perempuan yang menikah dengan laki-laki berkewarganegaraan Jepang berdasarkan perkawinan yang sah dan telah dicatatkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Makasar Kotamadya Jakarta Timur. Bahwa pemohon membeli 1 (satu) unit Rusun pada tanggal 26 Mei 2012 dengan status hak milik. Akan tetapi setelah pemohon membayar lunas Rusun tersebut, Rusun tidak kunjung diserahkan. Bahkan kemudian perjanjian pembelian dibatalkan secara sepihak oleh pengembang dengan alasan suami Pemohon adalah warga negara asing dan pemohon tidak memiliki Perjanjian Perkawinan.

Pemohon adalah warga negara Indonesia yang setia bersumpah

“lahir di Indonesia dan kati pun juga di Indonesia, menjunjung tinggi dan membela tanah air Indonesia” . Namun dengan adanya pasal 29 ayat (1), (3), dan pasal 35 ayat (1) UUPA; serta pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) dan

(32)

pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan , pemohon dibedakan haknya dengan warga negara Indonesia lainnya. Oleh karena itu perlindungan hukum diperlukan bagi setiap warga negara Indonesia.

b. Teori Tujuan Hukum

Dalam mewujudkan tujuan hukum Gustav Radbruch menyatakan perlu digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. Hal ini disebabkan karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum dan begitupun sebaliknya. Diantara tiga nilai dasar tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi benturan, maka mesti ada yang dikorbankan. Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch harus dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:35

1) Keadilan hukum;

2) Kemanfaatan hukum;

3) Kepastian hukum.

Nilai dasar yang pertama, tentang keadilan, keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum. Sedangkan makna keadilan itu sendiri masih menjadi perdebatan. Namun keadilan itu terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan kewajiban.

35 Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo, 2012), hal.123

(33)

Hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan dan menciptakan kesejahteraan sosial. Tanpa keadilan sebagai tujuan ultimumnya, hukum akan terperosok menjadi alat pembenar kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai.

Itulah sebabnya maka fungsi utama dari hukum pada akhirnya menegakkan keadilan. keadilan merupakan tujuan hukum yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat, bahwa keadilan adalah tujuan hukum satu-satunya.

Nilai dasar yang kedua, tentang kemanfaatan hukum. Penganut aliran utilitas menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial, bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya.

Prinsip utility tersebut dikemukakan oleh Bentham dalam karya monumentalnya “Introduction to the Principles of Morals and Legislation”

(1789). Bentham mendefinisikannya sebagai sifat segala benda tersebut cenderung menghasilkan kesenangan, kebaikan, atau kebahagiaan, atau untuk mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan, atau kejahatan, serta ketidak bahagiaan pada pihak yang kepentingannya dipertimbangkan.

Aliran utilitas menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat.

Aliran utilitas memasukkan ajaran moral praktis yang menurut penganutnya

(34)

bertujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar- besarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat. Bentham berpendapat, bahwa negara dan hukum semata-mata ada hanya untuk manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.

Nilai dasar yang ketiga, tentang kepastian hukum. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidak pastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Disisi lain ada sebagian pemikir beranggapan, bahwa kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum.

Secara etis, pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Manusia adalah makhluk

(35)

yang beringas yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban.36

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsi (conceptual framework) atau kerangka teoritis (theoretical framework) adalah kerangka berpikir kita yang bersifat teoritis atau konsepsional mengenai masalah yang diteliti. Kerangka berpikir tersebut menggambarkan hubungan antara konsep-konsep atau variabel- variabel yang akan diteliti. 37 Kerangka konsepsional dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam penelitian, maka dengan ini perlu untuk memberikan beberapa konsep yang berhubungan degnan penelitian ini sebagai berikut :

a. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.38

36 Anang Fajrul U, “Memahami Teori Tiga Nilai Hukum Gustav Radbruch” ,

http://www.pojokwacana.com/memahami-teori-tiga-nilai-hukum-gustav-radbruch/ , diakses pada tanggal 15 November 2020

37 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor, 2008), hlm.29.

38 Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(36)

b. Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.39 c. Perempuan adalah cewek (cak) , hawa (cak), kenya (kl), puan, wanita,

anak dara, putri.40

d. Wanita adalah cewek (cak), hawa (cak), kenya (kl), perempuan, puan, anak dara, putri.41

e. Warga Negara adalah warga suatu Negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.42

f.

Warga Negara Indonesia adalah:43Orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara.

g. Warga Negara Asing44 adalah orang yang bukan Warga Negara Indonesia yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja atau berinvestasi di Indonesia.

h. Kepemilikan adalah dari kata dasar milik, perihal pemilikan.45

i. Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur,

39 Pasal 57 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

40 Eko Endarmoko, TESAMOKO Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2016), hal. 513.

41 Ibid, hal. 786.

42 Pasal 1 butir (1) UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

43 Pasal 2 UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

44 Pasal 1 butir (1) PP No.103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia

45 Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online http://kbbi.web.id/properti.html , diakses tanggal 20 Mei 2019, pkl 19.30 WIB

(37)

meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.46

j. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6, menurut.47

k. Properti adalah harta berupa tanah dan bangunan serta sarana dan prasarana yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tanah dan/atau bangunan yang dimaksudkan; tanah milik dan bangunan.48 l. Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak

asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk

46 Pasal 1 butir (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

47 Pasal 20 butir (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria

48 Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online http://kbbi.web.id/properti.html , diakses tanggal 20 Mei 2019, pkl 19.28 WIB

(38)

mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.49

G. Metode Penelitian

Di dalam sebuah penelitian terdapat metode penelitian guna untuk menghasilkan keakuratan dan membuat penelitian sistematis dan memperoleh hasil yang maksimal. Untuk itu dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian hukum yuridis normatif merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.50 Selain itu penelitian hukum normatif juga mengacu pada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.51

Dikatakan sebagai penelitian hukum normatif karena objektif dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan, mensistematisasi, dan menganalisis norma-norma hukum positif di Indonesia yang pengaturannya berkenaan dengan hukum harta bersama diantara pernikahan wanita Warga Negara Indonesia dengan pria Warga Negara Asing serta permasalahan kepemilikan properti di wilayah Indonesia.

49 Satjipto Rahardjo, Loc.cit

50 Jhoni Ibrahim, Teori dan Metode Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm.47

51 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hokum dan hasil penulisan hokum pada masalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU tanggal 18 Februari 2003, hlm.1

(39)

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, dimana pendekatan deskriptif analisis yaitu didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan yang didasarkan pada teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data atau menunjukkan komparasi ataupun hubungan seperangkat data dengan data lainnya. Penelitian ini juga menguraikan data yang diperoleh secara normatif lalu diuraikan untuk melakukan suatu telaah terhadap data tersebut secara sistematik.52

3. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan jenis sumber data yang berasal dari literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari:

a. Bahan hukum Primer:

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, yang terdiri dari:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

3) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

52 Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.38

(40)

4) Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

5) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

6) Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.

7) Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2016

b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer 53 sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan primer yang terdiri dari wawancara, buku-buku teks hukum, hasil karya ilmiah dan hasil penelitian berupa skripsi, tesis, dan disertasi.

c. Bahan Hukum Tersier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan dokumen elektronik, ensiklopedia, dan lain sebagainya.54

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian

53 Soerjono Soekanto dan Sri Manudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Indonesia, 1995), hlm. 13

54 Ibid, hlm 14

(41)

kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek penelitian ini yang berupa peraturan perundang- undangan. Penelitian kepustakaan (library research) adalah penelitian untuk mendapatkan data sekunder. Data sekunder ini adalah undang- undang dan peraturan pemerintah dan doktrin-doktrin.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan bahan- bahan hukum ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga terciptalah suatu tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh data tersebut.55 Bahan hukum yang telah diperoleh dari penelitian kepustakaan tersebut dianalisis dengan menggunakana metode kualitatif berdasarkan logika berpikir deduktif. Bahan hukum yang telah diperoleh akan disusun dan dianalisis dengan cara pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal di dalam undang-undang atau peraturan-peraturan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas sehingga dapat disajikan dalam bentuk penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

55 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.280

(42)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA

A. Perkawinan Campuran

Negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting.56

Pengertian perkawinan menurut beberapa pakar di bidang hukum perkawinan adalah sebagai berikut:57

1. Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan.

2. Menurut Idris Ramulyo, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci dan luas dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantunim kasih- mengasihi, tenteram dan bahagia.

3. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli kata dapat juga berarti akad dengannya menjadi halal kelamin antara pria dan wanita sedangkan menurut arti lain bersetubuh.

56 Zaeni Asyhadie, Hukum Keperdataan dalam Perspektif Hukum Nasional KUH Perdata (BW) Hukum Islam dan Hukum Adat, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2018), hal.128.

57 Ibid, Hal, 134-135

(43)

4. Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ada dua macam syarat perkawinan, yaitu syarat materiil dan syarat formal.

Syarat materiil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga “syarat-syarat subjektif”. Adapun syarat- syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang, disebut juga “syarat-syarat objektif”.58

Persyaratan perkawinan diatur secara limitatif dalam pasal 6 sampai dengan pasal 12 UUP, yang meliputi persyaratan materiil maupun persyaratan formal. Perlu diingat selain harus memenuhi persyaratan perkawinan menurut UUP, bagi mereka yang hendak melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi persyaratan perkawinan yang diatur atau ditentukan di dalam hukum agamanya atau kepercayaan agama masing-masing, termasuk ketentuan dalam perundang-undangan lain yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu.

Persyaratan materiil berkenan dengan calon mempelai yang hendak melangsungkan perkawinan, meliputi :59

1. Persyaratan orangnya:

a. Berlaku umum bagi semua perkawinan

58 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 272

59 Ibid, hal. 272-273

(44)

1) Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai;

2) Calon mempelai sudah berumur 19 (Sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita;

3) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali bagi seorang laki-laki yang beristri lebih dari seorang;

4) Bagi wanita tidak sedang berada dalam jangka waktu tunggu atau masa iddah.

2. Berlaku khusus bagi perkawinan orang tertentu:

a. Tidak terkena larangan/halangan melakukan perkawinan, baik menrut undang-undang maupun hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu;

b. Tidak terkena larangan kawin kembali untuk ketiga kalinya setelah kawin dan bercerai lagi untuk kedua kalinya berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki latar belakang sehubungan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU- XV/2017 yang salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut yaitu "Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh

(45)

dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi."60

Dalam pertimbangan yang sama juga disebutkan Pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap pelindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah dibandingkan pria, maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga.

Oleh karena hal tersebut, dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga lahirlah UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perubahan norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita.

Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal

60 Diakses dari https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-16-2019-perubahan-uu-1-1974- perkawinan pada tanggal 15 Desember 2020

Referensi

Dokumen terkait

Perumusan masalah dalam penelitian ini bagaimana kebijakan pelaksanaan relaksasi kredit dimasa pandemi covid 19 yang diterapkan Bank Mandiri di Kota Medan kepada debitur

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah yang menjadi faktor-faktor terjadinya selisih jumlah piutang antara catatan yang ada pada debitor, kreditor maupun

PELAKSANAAN LELANG BARANG HASIL SITA PAJAK MELALUI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA SECARA ONLINE DI KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG KOTA MEDAN TESIS Diajukan Untuk Memperoleh

KEDUDUKAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) BERBENTUK PERKUMPULAN YANG TIDAK BERBADAN HUKUM (STUDI PADA PERKUMPULAN GENERASI MANAHAN BERKEDUDUKAN DI KOTA MEDAN)

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan menjelaskan kejadian yang diamati, yaitu menggali mengenai kekuatan hukum atas

Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa undang-undang telah mengatur umur para pihak yang hendak melakukan perbuatan hukum, termasuk dalam hal yang

atas 3 (tiga) objek tanah dan bangunan tersebut sekaligus melakukan peralihan hak atau balik nama ke atas nama Penggugat. Pertimbangan hukum oleh majelis hakim

Dengan alasan tidak adanya anggaran yang tersedia/tercukupi di KAS Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang sehingga seharusnya perjanjian yang dibuat kedua belah pihak