• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

5. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan bahan-bahan hukum ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga terciptalah suatu tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh data tersebut.55 Bahan hukum yang telah diperoleh dari penelitian kepustakaan tersebut dianalisis dengan menggunakana metode kualitatif berdasarkan logika berpikir deduktif. Bahan hukum yang telah diperoleh akan disusun dan dianalisis dengan cara pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal di dalam undang-undang atau peraturan-peraturan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas sehingga dapat disajikan dalam bentuk penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

55 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.280

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA

A. Perkawinan Campuran

Negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting.56

Pengertian perkawinan menurut beberapa pakar di bidang hukum perkawinan adalah sebagai berikut:57

1. Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan.

2. Menurut Idris Ramulyo, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci dan luas dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantunim kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia.

3. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli kata dapat juga berarti akad dengannya menjadi halal kelamin antara pria dan wanita sedangkan menurut arti lain bersetubuh.

56 Zaeni Asyhadie, Hukum Keperdataan dalam Perspektif Hukum Nasional KUH Perdata (BW) Hukum Islam dan Hukum Adat, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2018), hal.128.

57 Ibid, Hal, 134-135

4. Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ada dua macam syarat perkawinan, yaitu syarat materiil dan syarat formal.

Syarat materiil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga “syarat subjektif”. Adapun syarat-syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang, disebut juga “syarat-syarat objektif”.58

Persyaratan perkawinan diatur secara limitatif dalam pasal 6 sampai dengan pasal 12 UUP, yang meliputi persyaratan materiil maupun persyaratan formal. Perlu diingat selain harus memenuhi persyaratan perkawinan menurut UUP, bagi mereka yang hendak melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi persyaratan perkawinan yang diatur atau ditentukan di dalam hukum agamanya atau kepercayaan agama masing-masing, termasuk ketentuan dalam perundang-undangan lain yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu.

Persyaratan materiil berkenan dengan calon mempelai yang hendak melangsungkan perkawinan, meliputi :59

1. Persyaratan orangnya:

a. Berlaku umum bagi semua perkawinan

58 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 272

59 Ibid, hal. 272-273

1) Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai;

2) Calon mempelai sudah berumur 19 (Sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita;

3) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali bagi seorang laki-laki yang beristri lebih dari seorang;

4) Bagi wanita tidak sedang berada dalam jangka waktu tunggu atau masa iddah.

2. Berlaku khusus bagi perkawinan orang tertentu:

a. Tidak terkena larangan/halangan melakukan perkawinan, baik menrut undang-undang maupun hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu;

b. Tidak terkena larangan kawin kembali untuk ketiga kalinya setelah kawin dan bercerai lagi untuk kedua kalinya berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki latar belakang sehubungan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut yaitu "Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh

dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi."60

Dalam pertimbangan yang sama juga disebutkan Pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap pelindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah dibandingkan pria, maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga.

Oleh karena hal tersebut, dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga lahirlah UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perubahan norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita.

Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal

60 Diakses dari https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-16-2019-perubahan-uu-1-1974-perkawinan pada tanggal 15 Desember 2020

umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas.61

Syarat untuk melangsungkan perkawinan di dalam KUH Perdata dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Syarat Materiil

Syarat materiil yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat materiil dibagi dua macam, yaitu:

a. Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:

1) Monogami, bahwa seorang pria hanya mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 BW)

2) Persetujuan antara suami-isteri (Pasal 28 KUH Perdata)

3) Terpenuhinya batas umur minimal. Bagi laki-laki menimal berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUHPerdata);

61 Ibid

4) Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan terdahulu dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata);

5) Harus ada izin sementara dari orangtuanya atau wali bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 34 s.d.

Pasal 49 KUH Perdata).

b. Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu meliputi:

1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan;

2) Larangan kawin karena zina;

3) Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.

2. Syarat Formil

Syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat yang dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan adalah

a. Pemberitahuan akan dilangsungkan perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 dan 4 PP No.9 ahun 1975).

b. Pengumuman oleh pegawai pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatat Perkawinan. Maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberitahukan kepada siapa saja yang berkepentingan untuk mencegah maksud dari perkawinan tersebut juga ada undang-undang yang dilanggar atau alasan-alasan tertentu.

Pengumuman tersebut dilaksanakan setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi calon mempelai.

Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami isteri saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.62

Istilah perkawinan campuran terdapat beberapa perbedaan pengertian, diantara yang dinyatakan dalam perundangan dan yang sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-hari. Khusus di dalam ‘Peraturan tentang Perkawinan Campuran’

atau Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) stb, 1898 No. 158 dan yang dinyatakan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sekarang berlaku.

Persyaratan dan pelangsungan perkawinan campuran diatur dalam Pasal 59 dan Pasal 60 UUP. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia harus dilakukan menurut UUP. Ketentuan dalam Pasal 59 ayat (2) UUP menentukan,

62Zaenie Asyhadie, Op.Cit, hal.140.

bahwa perkawinan campuran yang dilangsungkan di negara kita, akan dilaksanakan dan harus memperhatikan UUP .

Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. Dengan kata lain untuk dapat dilangsungkannya perkawinan campuran, bila calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat perkawinan menurut hukum yang berlaku baginya dan bagi warga negara Indonesia sudah tentu harus memenuhi syarat-syarat perkawinan menurut UUP dan warga negara asing sudah tentu harus memenuhi syarat-syarat perkawinan menurut hukumnya.

Pasal 61 UUP ditentukan bahwa perkawinan campuran juga dicatat oleh Pegawai Perkawinan yang berwenang. Pegawai Pencatat Perkawinan yang berwenang di sini adalah Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk (P2NTR) atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk (P3NTR) pada Kator Urusan Agama Kecamatan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan Pegawai Luar Biasa Catatan Sipil pada Kantor/Dinas Catatan Sipil Kota/Kabupaten atau instansi/pejabat yang membantunya bagi mereka yang melangsungkan perkawinan selain menurut agama Islam.

Sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campur ini diatur dalam Peraturan Perkawinan Campuran, Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) stb, 1898 No. 158. Yang dimaksud dengan perkawinan campuran menurut GHR adalah perkawinan antara mereka yang tunduk pada hukum yang

berlainan berdasarkan Pasal 131 Indische Staatg Regeling (IS) yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi 3 (tiga) dengan berlakunya hukum yang berbeda di antara mereka.

Menurut ketentuan GHR perkawinan campuran dilakukan berdasarkan hukum si suami dan si perempuan selama perkawinan itu belum putus akan tunduk kepada hukum yang berlaku bagi suaminya. Peraturan GHR S. 1898 no.158 tersebut berdasarkan pasal 66 UU No.1 tahun 1974 sudah tidak berlaku lagi, dan sebagaimana di dalam UUD 1945 pasal 26 (1) dikatakan bahwa ‘Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.

Setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan dan salah satunya adalah Warga Negara Indonesia (Pasal 57 UU No.1 Tahun 1974). Jika perkawinan itu dilakukan di Indonesia maka perkawinan harus dilakukan berdasarkan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974.63

Pasal 16 Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) berlaku dalam hal melangsungkan perkawinan dan akibat – akibat hukum dari suatu perkawinan dengan unsur-unsur internasional. Dalam hal ini Indonesia memakai prinsip nasionalitas, sebagai warisan dari sistem hukum dahulu. Pasal 16 AB berlaku bukan saja kepada warga negara Indonesia yang berada di luar negeri tetapi juga berlaku untuk warga negara Asing yang berada di Indonesia. Jadi, warga negara Indonesia yang berada di

63 Ibid, hal.162-163

luar negeri dan hendak menikah harus memenuhi syarat – syarat yang ditentukan oleh hukum Indonesia sebagai hukum nasionalnya, seolah – olah lingkungan kuasa dari hukum Indonesia juga berlaku di luar batas – batas negara Indonesia. Warga negara Indonesia tunduk di bawah ketentuan hukum adat tidak tertulis, harus memenuhi syarat – syarat yang ditentukan oleh hukum perdatanya itu. Bagi yang termasuk golongan hukum adat ini dan beragama Islam harus memenuhi syarat – syarat yang ditentukan dalam ketentuan – ketentuan hukum perkawinan umat Islam. Mereka yang beragama Nasrani, harus menataati syarat – syarat menurut Ordonansi Indonesia Nasrani (Staatblad 1993 Nomor 33) jika berasal dari wilayah HOCI (Jawa – Madura, Miinahasa, Ambon, Saparua, dan Banda) atau menurut hukum adat Nasrani tidak tertulis bagian lain dari kepulauan nusantara.64

Perkawinan campuran yang terdapat yang mana perkawinannya terdapat unsur asing, maka perkawinan tersebut akan dikuasai oleh HPI yang tidak serta merta hanya tunduk pada UUP. Perkawinan yang diselenggarakan di luar Indonesia yang sebagaimana diatur pada Pasal 56 UUP maka proses dan tata caranya mengikuti cara negara asing dimana perkawinan tersebut dilangsungkan. Begitu pula dengan Pasal 57 UUP yang menyangkut para pihaknya yang berbeda kewarganegaraan yang menandakan ada unsur asing di dalamnya maka materinya termasuk pada ranah HPI.

Menurut Pasal 2 UU Perkawinan, menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

64 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Ctk. Ketujuh, (Bandung : PT.

Alumni, , 2010) , Hlm. 187.

Jadi, selain memenuhi Pasal 2 UU Perkawinan, bagi pasangan yang melakukan pernikahan di luar negeri, harus memperhatikan Bab XII Bagian kedua UU Perkawinan Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) yang mengatur pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia, sebagai berikut: 65

1. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang Warga Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini.

2. Dalam waktu 1(satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Menurut Prof Zulfa Djoko Basuki, pakar Hukum Perdata Internasional, mengaitkan perkawinan di luar negeri ini dengan Pasal 16 AB (Algemene Bepalingen van wetgeving), yang menyebutkan: bagi warga negara Indonesia dimanapun ia

berada akan tunduk pada hukum Indonesia. Untuk sahnya suatu perkawinan, diperlukan dua syarat, yaitu syarat formal dan syarat material. Syarat formal diatur dalam pasal 18 AB, yakni tunduk pada hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan' (lex locicelebrationis). Jika di negara dimana perkawinan dilangsungkan berlaku perkawinan sipil, maka perkawinan harus dilakukan secara sipil. Untuk syarat materiil, misalnya mengenai batas usia menikah, berlaku hukum nasional (dalam hal

65 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 56

ini Indonesia). Menurut Prof. Zulfa, kedua syarat harus dipenuhi oleh WNI yang menikah di luar negeri.

UU Perkawinan sudah mensyaratkan bahwa perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri tetap harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan UU Perkawinan.

Jadi, sangat mungkin perkawinan sah secara formal di negara tempat perkawinan dilangsungkan, tetapi tidak sah menurut hukum Indonesia (lihat pasal 2 UU Perkawinan). Menurut Prof. Zulfa, bila syarat materiil tersebut dilanggar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Ini adalah resiko yang mungkin dihadapi pasangan yang menikah di luar negeri, dan tidak mendaftarkannya sesuai batas waktu yang ditentukan UU Perkawinan. 66

Permasalahan tentang warga negara, maka ditentukan dalam Pasal 58 Undang-undang No.1 Tahun 1974, bahwa orang yang melakukan perkawinan campuran itu, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang telah berlaku.

Perkawinan menciptakan hubungan hukum suami dan isteri antara seorang pria dan seorang wanita, yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing maupun bersama dalam keluarga. Menurut ketentuan dalam Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan

66 Di akses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6981/perkawinan-di-luar-negeri/ pada tanggal 15 Desember 2020

hidup bersama dalam masyarakat dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum serta suami adalah kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Walaupun hak dan kedudukan suami-isteri seimbang namun mereka mempunyai peranan dan tanggung jawab yang berbeda dalam keluarga. Menurut pasal 31 UUP, suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga sebagai pendamping suami.67

Perkawinan yang dilaksanakan oleh sepasang pria dan wanita melahirkan beberapa hal baru, yang salah satunya adalah mengenai harta bersama. Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh suami isteri selama suami isteri dalam ikatan perkawinan. Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bahwa “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dapat dikatakan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Ketentuan dalam UU Perkawinan tersebut memandang bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, tidak peduli siapa yang memperoleh harta tersebut. Harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, apabila suami atau isteri mau melakukan penjualan atau perbuatan hukum lainnya dilakukan atas persetujuan bersama. Sedangkan mengenai harta bawaan, untuk melakukan perbuatan hukum tidak perlu adanya persetujuan dari suami atau isteri, masing-masing dapat bertindak sendiri-sendiri.68

67 Rosnidar Sembing, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, opcit, hal.58-60.

68 Adhitya Dimas Pratama, Kedudukan Kepemilikan Hak Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran Tanpa Adanya Perjanjian Pisah Harta, (Jurnal Panorama Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2018 ISSN : 2527-6654), hal.252-253.

Perkawinan sebagai lembaga hukum, mempunyai akibat yang penting dalam kehidupan para pihak yang melangsungkan perkawinan.69 Akibat hukum yang timbul dibagi menjadi dua kelompok, yang pertama akibat hukum terhadap individu atau diri pribadi suami istri itu sendiri, dan yang kedua adalah akibat kebendaan yaitu akibat-akibat hukum terhadap harta kekayaan suami istri tersebut, baik yang sudah ada maupun yang akan diperoleh selama perkawinan berlangsung. Pengaturan mengenai harta benda dalam perkawinan diatur di dalam Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 UU 1/1974. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pasal 35

a. Harta benda yang didapat selama masa perkawinan menjadi harta bersama.

b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

2. Pasal 36

a. Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.

b. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

3. Pasal 37

a.

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing.

69 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan,( Bandung: Citra Aditya Bhakti,1993), hlm. 28.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal di atas, harta benda dalam perkawinan dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Harta bawaan suami atau istri

Yang dimaksud dengan harta bawaan adalah harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing-masing-masing sebagai hadiah atau warisan.70

Terkait dengan harta bawaan, UU 1/1974 juga mengatur bahwa setelah adanya perkawinan, suami istri tetap memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya tersebut tanpa memerlukan persetujuan dari suami atau istri.

2. harta bersama

Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan kecuali yang diperoleh karena hibah atau warisan.6 Dalam penguasaan dan pengurusan harta bersama ini, baik suami maupun istri harus bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

Mengenai luas batas harta bersama dengan jelas telah ditegaskan dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, yang hanya diperlukan satu syarat, yaitu harta itu diperoleh selama perkawinan. Oleh karena itu, menurut M. Yahya Harahap yang termasuk harta bersama suami istri adalah:71

70 Khomariah, Hukum Perdata,(Malang,: UMM Press, 2004), hlm. 53

71M. Yahya Harahap, Pembahasan Undang-undang Perkawinan Nasional, (Medan : Zahir Trading. Co, 1975), hlm. 121.

1. segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan, termasuk penghasilan yang berasal dari barang-barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan harta bersama itu sendiri; dan

2. segala penghasilan pribadi suami istri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai.

Pengertian harta bawaan tidak diatur secara tegas dalam UU No. 1 Tahun 1974, tetapi dapat diartikan sebagai harta yang sudah dimiliki oleh suami atau istri sebelum perkawinan. Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan yang dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentulah hadiah atau warisan yang diperoleh masing-masing suami istri selama dalam ikatan perkawinan, tetapi jika harta diterima sebelum perkawinan, maka termasuk dalam pengertian harta bawaan. Untuk menentukan harta bawaan menjadi harta bersama, maka harus dibuat perjanjian kawin secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan sebelum atau saat perkawinan dilangsungkan.

B. Perjanjian Perkawinan

Mengenai perjanjian perkawinan sendiri, diketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan

Mengenai perjanjian perkawinan sendiri, diketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan

Dokumen terkait