• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan hal yang sangat penting bagi makhluk hidup yaitu sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan melestarikan keturunan. Pada dasarnya ada dua proses pertumbuhan dan perkembangan yang saling bertentangan yang terjadi secara serempak selama kehidupan, yaitu pertumbuhan (evolusi) dan kemunduran (involusi). Keduanya dimulai dari masa pembuahan dalam kandungan dan berakhir dengan kematian (Yuniarti, 2015). Tumbuh kembang anak merupakan suatu tahapan proses yang harus dilalui oleh setiap anak. Anak yang sehat akan menunjukkan tumbuh-kembang yang optimal, sesuai dengan anak lain seusianya dan juga sesuai dengan parameter baku perkembangan anak (Maryunani, 2013).

Anak merupakan investasi sumber daya manusia yang memerlukan perhatian khusus untuk kecukupan status gizi sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Balita akan sehat jika sejak awal kehidupan sudah diberi makanan sehat dan seimbang sehingga kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan optimal. Zat gizi dari makanan merupakan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan anak tumbuh kembang optimal sehingga dapat mencapai kesehatan fisik, mental dan sosial sebagai upaya terbaik dan lebih efektif daripada pengobatan sebagai pencegahan masalah gizi pada anak (Susilowati & Kuspriyanto, 2016).

Rendahnya derajat kesehatan dan gizi anak akan menghambat pertumbuhan fisik dan

(2)

motorik anak yang juga berlangsung sangat cepat pada tahun-tahun pertama kehidupan anak. Gangguan yang terjadi pada pertumbuahan fisik dan motorik anak, sulit diperbaiki pada periode berikutnya, jika kondisi terus berlanjut, dapat mengakibatkan cacat permanen (Setyaningrum, 2017).

Nutrisi dan gizi menjadi kebutuhan utama bagi seluruh manusia. Asupan nutrisi dan gizi yang benar akan mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan serta makan seseorang, terutama kepada anak. Kebutuhan energi dan kebiasaan makan merupakan aspek penting dari perkembangan anak selama masa kanak-kanak awal. Nutrisi mempengaruhi pertumbuhan tulang, bentuk tubuh dan kerentanan mereka terhadap virus dan penyakit (Santrock, 2011). Keadaan gizi (status gizi) adalah keadaan kesehatan sebagai hasil masukan zat gizi. status gizi adalah keadaan yang ditunjukan sebagai konsekuensi dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke tubuh dan yang diperlukan. Keadaan gizi merupakan gambaran apa yang dikonsumsi oleh seseorang dalam jangka waktu yang cukup lama. Ketersediaan zat gizi didalam tubuh seseorang (termasuk bayi dan balita) menentukan keadaan gizi bayi dan balita apakah kurang, optimus atau lebih (Maryunani, 2013).

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Faktor umur sangat penting dalam menentukan status gizi hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat (Susilowati & Kuspriyanto, 2016). Indikator pertumbuhan digunakan untuk menilai pertumbuhan anak dengan mempertimbangkan faktor umur dan hasil pengukuran tinggi

(3)

badan dan berat badan, lingkar kepala dan lingkar lengan atas. Indeks yang umum digunakan untuk menentukan status gizi anak adalah Berat Badan menurut Umur (BB/U), Panjang Badan atau Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U), Berat Badan menurut Panjang Badan atau Tinggi Badan (PB atau BB/TB), dan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) (Utama & Herquanto, 2015).

Pada tahun 2014 terdapat 2-3 juta orang mengalami gizi kurang di setiap negara, gizi kurang dihubungkan dengan penyebab dari 54% kematian pada anak-anak di Negara berkembang. Prevalensi gizi kurang di dunia pada anak balita dari tahun 2010-2012 masih tinggi yaitu 15%. Prevalensi penderita gizi kurang di dunia mencapai 104 juta anak dan keadaan gizi kurang menjadi penyebab sepertiga dari seluruh penyebab kematian anak di seluruh dunia. Asia Selatan merupakan daerah yang memiliki prevalensi gizi kurang terbesar di dunia, yaitu sebesar 46 %, disusul sub Sahara Afrika 28 %, Amerika Latin/Caribbean 7%, dan yang paling rendah terdapat di Eropa Tengah, Timur, dan Commonwealth of Independent States(CEE/CIS) sebesar 5%. Keadaan gizi kurang pada anak balita juga dapat di jumpai di Negara berkembang, salah satunya termasuk di Negara Indonesia (Ratufelan, 2018).

Upaya perbaikan gizi masyarakat terus dilakukan termasuk perbaikan pola konsumsi, sadar gizi maupun mutu pelayanan dan kesehatan gizi. Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, gizi yang baik dapat menurunkan jumlah kesakitan, kecacatan dan kematian. Dari hasil gambaran status gizi balita di Indonesia menurut Riskesdas (2013), yang dilihat dari penghitungan (BB/U)

(4)

yaitu 19,6 % yang terdiri dari 5,7 % gizi buruk dan 13,9 % gizi kurang. Jika dibandingkan dengan tahun 2007 dengan angka 18,4 % dan pada tahun 2010 17,9 % terlihat menurun.

Perubahan angka kejadian gizi buruk pada tahun 2007 yaitu 5,4 %, tahun 2010 yaitu 4,9

%, dan tahun 2013 yaitu 5,7 %. Sedangkan angka kejadian gizi kurang naik sebesar 0,9 % dari tahun 2007 dan 2013. Sedangkan di Jawa Barat terdapat 683,927 jiwa yaitu sekitar 15,7

% anak yang terkena gizi buruk dan kurang (Rikesdas, 2013).

Menurut data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota Bandung tahun 2018 terdapat 7986 jiwa yang mengalami gizi kurang dan terdapat 3 wilayah terbesar yang anak balita nya mengalami gizi buruk ataupun gizi kurang yaitu wilayah Kecamatan Bandung Kidul, Kecamatan Cibiru dan Kecamatan Kiaracondong (Dinas Kesehatan Kota Bandung, 2018). Peneliti melakukan survey ke wilayah Kecamatan Cibiru yang terdapat 3 puskesmas yaitu UPT Puskesmas Cibiru, UPT Puskesmas Cilengkrang dan UPT Puskesmas Cipadung. Masing-masing puskesmas memiliki daftar balita yang terkena gizi buruk ataupun gizi kurang. Dengan hasil UPT Puskesmas Cibiru 13 balita, UPT Puskesmas Cilengkrang 1 balita dan UPT Puskesmas Cipadung 104 balita (Annonim, 2019).

Pada semua masalah gizi, terdapat dua faktor langsung yang menjadi penyebab gizi kurang pada balita, yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling berhubungan. Sebagai contoh, balita yang tidak mendapat cukup makanan bergizi memiliki daya tahan tubuh yang rendah terhadap penyakit sehingga mudah terserang infeksi.

Sebaliknya, penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dapat

(5)

mengakibatkan asupan gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik sehingga dapat terjadinya gizi buruk. Mencegah terjadinya infeksi juga dapat mengurangi kejadian gizi kurang dan gizi buruk (Setyawati & Hartini, 2018). Penyebab langsung dari balita yang mengalami kekurangan energi protein yang menyebabkan status gizi balita buruk dan kurang yaitu penyakit infeksi, konsumsi makanan, kebutuhan energi protein, tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua, tingkat pendapatan dan pekerjaan orangtua, besar anggota keluarga, jarak kelahiran, pola pemberian MP-ASI, pola asuh, dan anak tidak mau makan (Adriyani & Wiratmaja, 2012).

Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok usia, bahkan masalah gizi pada suatu kelompok umur tertentu akan mempengaruhi status gizi pada periode siklus kehidupan berikutnya (intergenerational impact). Faktor yang mempengaruhi memburuknya keadaan gizi, yaitu pelayanan kesehatan yang tidak memadai, anak menderita penyakit infeksi, pola asuh, konsumsi makanan yang kurang dan akhirnya berdampak pada kematian (Aritonang, 2013). Menurut Azwar (2004) dalam Aritonang (2013), gizi buruk mempengaruhi banyak faktor yang saling berkaitan yang secara langsung dipengaruhi oleh anak yang tidak cukup mendapat makanan, anak yang tidak mendapat asuhan gizi yang memadai, anak menderita penyakit infeksi (Aritonang, 2013)

Kekurangan gizi disebabkan beberapa faktor baik didalam maupun diluar masalah kesehatan, mulai dari asupan makanan yang tidak cukup, penyakit infeksi, sanitasi, hingga faktor ekonomi. Secara langsung disebabkan oleh dua hal, yaitu asupan gizi yang tidak adekuat dan penyakit infeksi. Sedangkan asupan gizi yang kurang dan penyakit infeksi

(6)

secara tidak langsung disebabkan faktor kemiskinan dan ketersediaan pangan yang kurang, pola asuh yang kurang, kebersihan yang kurang baik dan pelayanan kesehatan belum maksimal. Beberapa faktor yang memengaruhi gizi kurang di Indonesia, antara lain masih tingginya kemiskinan, rendahnya kesehatan lingkungan, melemahnya partisipasi masyarakat, terbatasnya aksesbilitas pangan pada tingkat keluarga miskin, masih tingginya penyakit infeksi, belum memadainya pola asuh ibu dan rendahnya akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan dasar (KemenkesRI, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian Putri, Sulastri dan Lestari (2015), faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi anak balita di wilayah kerja Puskesmas Nanggolo Padang.

Status gizi pada masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Kondisi sosial ekonomi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi status gizi. Bila kondisi sosial ekonomi baik maka status gizi diharapkan semakin baik. Status gizi anak balita akan berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi keluarga (orang tua), berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p < 0,05 pada faktor tingkat pendidikan ibu (p=0,022), jenis pekerjaan ibu (p=0,000), pendapatan keluarga (p=0,012), jumlah anak (p=0,008) dan pola asuh ibu (p=0,000) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu, jenis pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, jumlah anak dan pola asuh ibu dengan status gizi anak balita. Sedangkan pada faktor tingkat pengetahuan ibu tidak dapat dinilai hubungannya karena tidak dapat dilakukan uji statistik (Putri, Sulastri &

Lestari, 2015).

(7)

Hasil penelitian Ratufelan, Zainuddin dan Junaid (2018), hubungan pola makan, ekonomi keluarga dan riwayat infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Benu Benua Padang terdapat 55 responden yang memiliki status gizi bermasalah. Analisis menggunakan uji chi-square pola makan diperoleh nilai µ value = 0,423

≥ dari α=0,05 sehingga hipotesis nol diterima dan tidak ada hubungan antara pola makan dan status gizi kurang, hasil uji chi-square ekonomi keluarga diperoleh nilai µ value=0,443

≥ α=0,05 sehingga hipotesis nol diterima dan tidak ada hubungan antara status ekonomi keluarga dengan status gizi kurang dan hasil uji cji-square riwayat infeksi diperoleh nilai µ value=0,003 ≤ α=0,05 sehingga hipotesis nol ditolak dan adanya hubungan antara riwayat infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita (Ratufelan, Zainuddin & Junaid, 2018).

Hasil penelitian Oktavia, Widajanti dan Aruben (2017), faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi buruk pada balita di Kota Semarang dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1). Terdapat hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan tingkat kecukupan energi dan protein balita dengan presentase sebanyak 65%

kurang pengetahuan, 30% cukup dan 5% baik, (2). Tidak adanya hubungan antara pendidikan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan protein balita dengan hasil 60%

sekolah dasar 40% menengah, (3). Terdapat hubungan antara status ekonomi keluarga dengan tingkat kecukupan energi dan protein dengan nilai 55% balita gizi buruk, dengan hasil persentase 60% keluarga miskin dan 40% tidak miskin, (4). Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein balita dengan status gizi balita dengan hasil 85%

balita gizi buruk yang mengalami kekurangan energy dan protein, (5). Terdapat hubungan antara penyakit infeksi dengan status gizi balita dengan hasil 90% menderita penyakit

(8)

ISPA, dan (6). Tidak terdapat hubungan antara riwayat BBLR dengan status gizi balita dengan hasil 50% tidak memiliki riwayat BBLR dan 50% memiliki riwayat BBLR (Oktavia, Widajanti & Aruben 2017).

Hasil Penelitian Pratiwi, Masrul dan Yerizel (2016), tentang hubungan pola asuh ibu dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Belimbing Kota Padang, terdapat hasil penelitian menunjukkan bahwa 84,7% balita memiliki status gizi normal dan 15,3%

balita memiliki status gizi kurang. Berdasarkan pola asuh makan terbanyak pada kategori sedang yaitu 40,5%, berdasarkan pola asuh kesehatan terbanyak pada kategori baik sebanyak 44,8% dan pola asuh psikososial terbanyak pada kategori sedang sebanyak 78,5%. Terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh makan dan pola asuh kesehatan dengan status gizi (p=0,014; p=0,006). Pola asuh psikososial tidak terdapat adanya hubungan signifikan dengan status gizi (p=0,842). Kesimpulan studi ini menyarankan kepada ibu-ibu agar memperhatikan asupan makan serta perawatan kesehatan anak. Ibu juga seharusnya membawa anak secara rutin ke posyandu atau pelayanan kesehatan terdekat.

Berdasarkan hasil penelitian Baga (2018), tentang hubungan status ekonomi keluarga dengan status gizi balita di posyandu V desa Kletek wilayah kerja Puskesmas Tambun Sidoarjo, dengan menggunakan uji korelasi rank spearman a = 0,05 adanya hubungan sedang antara status sosial ekonomi keluarga dengan status gizi p = 0.000 (Baga, 2018). Hasil penelitian Momot, Kandou dan Malonda (2018), tentang hubungan antara status sosial ekonomi dengan status gizi di desa Telelu Kecamatan Dimembe Kabupaten

(9)

Minahasa Utara, yaitu dengan menggunakan uji statistik fisher’s exact pekerjaan ibu (0,204), pendapatan keluarga (0,710) dan jumlah anggota keluarga (0,669) tidak berhubungan dengan status gizi balita menurut BB/U dan pendidikan ibu (0,048) adanya hubungan antara pendidikan ibu dengan status gizi balita menurut BB/U (Momat, Kandou &

Malonda, 2018).

Hasil penelitian Riyadi, Martianto, Hastusi, Damayanti dan Murtilaksono (2011), tentang faktor-faktoryang mempengaruhi status gizi anak balita di Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur, bahwa di desa Sekon kebutuhan makan dan pemberian ASI berhubungan positif dengan status gizi, pendidikan ibu yang tinggi meningkatkan pengetahuan gizi serta praktek gizi dan kesehatan., sedangkan di desa Banain terdapat faktor sanitasi lingkungan rumah (r=0,347) dan perilaku ibu (r-0,322) yang berhubungan dengan status gizi dan di desa Tokbesi perilaku hidup sehat anak dan pengetahuan orangtua harus menjadi perhatian dan perlu ditingkatkan agar kemudian diikuti oleh perilaku gizi (Riyadi, Martianto, Hastusi, Damayanti & Murtilaksono, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian Fakhrurijal, Darmono dan Basuki (2012), analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada balita di posyandu mawar RW 05 Kelurahan Wonodri yaitu pendidikan orangtua mayoritas berpendidikan SMA. Pelayanan kesehatan yang didapat yaitu berupa penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan dan panjang badan, penyuluhan, pemberian makanan tambahan dan sumplemen vitamin A, sedangkan untuk imunisasi, KIA (kesehatan ibu dan anak), KB, pengobatan balita dan MTBS tidak ada di pelayanan posyandu. Adanya hubungan sedang antara konsumsi

(10)

makana dengan status gizi (0,000) dan tidak adanya hubungan yang signifikan antara penyakit diare(0,106) dan ISPA (0,669) dengan status gizi (Fakhrurijal, Darmono & Basuki, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian Ma’rifat (2010), analisis hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi anak balita dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan yang memiliki hubungan yang signifikan dengan jarak yaitu (r=0,020 p=0,000) dan waktu tempuh (r=0,060 p=0,014) serta hubungan dengan lama pendidikan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan (r=0,304 p=0,000). Adanya hubungan antara faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan penimbangan (p=0,082), penyuluhan (0,066) dan pemberian makanan tambahan (PMT) (p=0,051) (Ma’rifat, 2010).

Berdasarkan data diatas peneliti sangat tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Cipadung yang merupakan prevalensi tertinggi di daerah Kecamatan Cibiru yang mengalami gizi kurang pada balita. Hasil studi pendahuluan pada tanggal 27 mei 2019 terhadap 10 responden terdapat 4 balita yang memiliki status gizi kurang ataupun gizi buruk karena faktor infeksi penyakit seperti pneumonia karena memiliki riwayat Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), penyakit jantung bawaan dan cerebral palcy sejak lahir dan Tuberkulosis Paru (TB paru) dikarenakan lingkungan rumah yang padat dan kurangnya pencahayaan. Sisanya yaitu 4 balita karena kurangnya pengetahuan orang tua tentang pola asuh anak yang baik dengan pemberian makananan atau nutrisi yang baik pada balita dan masalah ekonomi atau karna pendapatan orang tua yang kurang turut mempengaruhi status gizi, 1 balita karna pola asuh

(11)

orang tua yang salah sering memberikan makanan atau snack yang disukai anak jika anak rewel sehingga kurangnya asupan makanan yang baik dan 1 balita karena pola asuh dan memiliki riwayat diare dan demam tinggi sebelumnya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “ gambaran faktor - faktor yang berhubungan dengan status gizi kurang- buruk usia 2-5 tahun di wilayah kerja UPT Puskesmas Cipadung ?”

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui “gambaran faktor - faktor yang berhubungan dengan status gizi kurang-buruk usia 2-5 tahun di wilayah kerja UPT Puskesmas Cipadung ”

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi status gizi kurang dan buruk anak usia 2-5 tahun di wilayah kerja UPT Puskesmas Cipadung,

2. Mengidentifikasi faktor sosial ekonomi dengan status gizi balita di wilayah kerja UPT Puskesmas Cipadung.

3. Mengidentifikasi faktor penyakit infeksi dengan status gizi balita di wilayah kerja UPT Puskesmas Cipadung,

4. Mengidentifikasi faktor pengetahuan orang tua dengan status gizi balita di wilayah kerja UPT Puskesmas Cipadung,

(12)

5. Mengidentifikasi faktor pola asuhan gizi dengan status gizi balita di wilayah kerja UPT Puskesmas Cipadung,

6. Mengidentifikasi faktor sanitasi lingkungan dengan status gizi balita di wilayah kerja UPT Puskesmas Cipadung,

7. Mengidentifikasi faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi balita di wilayah kerja UPT Puskesmas Cipadung,

1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan manfaat penelitian, maka diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut : 1.4.1. Manfaat Teoritis

Sebagai bahan pertimbangan pihak Universitas khsusunya Ilmu Keperawatan untuk pengembangan ilmu dan teori keperawatan anak terutama tentang faktor- faktor yang mempengaruhi status gizi kurang ataupun buruk pada anak balita berdasarkan perhitungan antropometri

1.4.2. Manfaat Praktis 1. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan bagi peneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita dan permasalahan yang terdapat di masyarakat serta dapat mengaplikasikan pada kehidupan sehari-hari.

2. Bagi Orang Tua Balita

(13)

Memberikan masukan kepada keluarga agar memperhatikan pentingnya gizi bagi anak balita dan untuk mempertahankan tumbuh kembang balita secara optimal sehingga status gizi anak terpenuhi dengan baik.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Menjadi bahan referensi bagi praktisi kesehatan selanjutnya sehingga dapat menjadi langkah awal untuk memberikan pendidikan ataupun promosi kesehatan pada masyarakat khususnya kepada keluarga tentang gizi seimbang anak sehingga keluarga dapat memperhatikan gizi yang baik untuk anaknya.

Referensi

Dokumen terkait

Pola asuh, pola makan yang kurang baik dan penyakit infeksi pada balita dimungkinkan dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gizi

Menurut UNICEF (1998) terdapat berbagai penyebab timbulnya masalah gizi pada balita yaitu : , sebagai penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi, dan ,

Apabila konsumsi gizi makanan pada seseorang tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh maka akan terjadi kesalahan gizi yang mencakup kelebihan dan kekurangan zat

Penyakit infeksi, pengetahuan ibu tentang gizi dan konsumsi energi dan protein yang defisit merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada anak balita di Puskesmas

Faktor yang dapat mempengaruhi status gizi pada balita adalah asupan makanan pada anak dan penyakit infeksi yang merupakan penyebab langsung, sedangkan penyebab

Beberapa penyebab yang mempengaruhi kebutuhan ibu akan zat gizi tidak terpenuhi yaitu disebabkan karena asupan makanan yang kurang dan penyakit infeksi, ibu

Menurut Depkes RI (1997) dalam Mastari (2009), faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi pada balita adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi

Oleh sebab itu, penulis memilih judul “Hubungan tingkat pengetahuan ibu balita, pola asuh gizi, kualitas MP-ASI serta tingkat konsumsi energi dan protein balita dengan Status Gizi