BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada suatu lingkungan masyarakat di dalamnya selalu terdapat kegiatan usaha dalam pasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik berupa barang dan/atau jasa.1 Individu yang menjadi bagian dari masyarakat akan secara alamiah terbagi menjadi pelaku usaha dan pembeli pada suatu pasar pelaku usaha.
Kegiatan usaha pada pasar ini dilakukan berdasarkan prinsip ekonomi, dimana kegiatan usaha baik yang sejenis maupun berbeda menjadi medium untuk memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. 2
Dunia usaha merupakan suatu dunia yang tidak dapat berdiri sendiri.
Banyak aspek dari berbagai macam dunia lainnya yang turut terlibat baik langsung maupun tidak langsung dengan dunia usaha ini. Keterkaitan tersebut kadang kala tidak memberikan prioritas atas dunia usaha, yang pada akhirnya membuat dunia usaha harus tunduk dan mengikuti rambu-rambu yang ada dan
1 Dalam pengertian dasar, pasar adalah tempat di mana penjual dan pembeli bertemu untuk saling melakukan pertukaran atas barang dan jasa. Lihat Philip Kotlerdan Gary Amstrong, Prinsip- prinsip Pemasaran,terj. Imam Nurmawan, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1997, hal. 226.
2 Pasar merupakan tempat atau keadaan yang mempertemukan antara permintaan (pembeli) atau penawaran (penjual) untuk setiap jenis barang, jasa atau sumber daya. Pembeli meliputi konsumen yang membutuhkan barang dan jasa, sedangkan bagi industry membutuhkan tenaga kerja, modal dan barang baku produksi baik untuk memproduksi barang maupun jasa. Penjual termasuk juga untuk industry menawarkan hasil produk atau jasa yang diminta oleh pembeli;
pekerja menjual tenaga dan keahliannya, pemilik lahan menyewakan atau menjual asetnya, sedangkan pemilik modal menawarkan pembagian keuntungan dari kegiatan bisnis tertentu. Lihat Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 6.
seringkali bahkan mengutamakan dunia usaha sehingga mengabaikan aturan- aturan yang ada.3
Pada prinsipnya, setiap orang berhak menjual atau membeli barang atau jasa
“apa”, “dengan siapa”, “berapa banyak”, serta “bagaimana cara” produksi, inilah yang disebut dengan ekonomi pasar. Sejalan dengan itu, perilaku dan struktur pasar terkadang tidak dapat diprediksi sehingga tidak jarang pelaku usaha melakukan kecurangan, pembatasan yang menyebabkan sebagian atau beberapa pihak mengalami kerugian. Menurut Mustafa Kamal Rokan, secara makro, saat ini kecenderungan banyak negara menganut pasar bebas, di mana pelaku usaha
“secara bebas” dapat memenuhi kebutuhan konsumen dengan memberikan produk yang beragam sekaligus efisien. Kebebasan pasar dalam sistem ini tidak jarang membuat pelaku melakukan perbuatan (behaviour) yang membentuk struktur pasar (market structure) yang bersifat monopolistik atau oligopolistik.
Pembentukan struktur pasar (market structure) yang bersifat monopolistik atau oligopolistik merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.4
Perubahan pada struktur pasar kemudian memincu munculnya perbuatan dan perjanjian yang tidak sesuai dengan persaingan usaha yang sehat. Hal ini tentunya menimbulkan polemik bukan hanya pada hal perekonomian negara tetapi juga terhadap penegakan hukum persaingan usaha dalam suatu negara.5
3 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, Cetakan Kedua, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 1.
4 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 1.
5 Perilaku penjual dan pembeli di pasar dipengaruhi oleh struktur pasar yang dihadapi penjual dan pembeli. Dimensi struktur pasar yang mempengaruhi perilaku penjual dan pembeli adalah:
Persaingan usaha tidak sehat adalah tindakan yang bersifat menghalangi atau mencegah persaingan. Tindakan seperti ini digunakan oleh pelaku usaha yang ingin memegang posisi monopoli degan mencegah calon pesaing atau menyingkirkan pesaing secara tidak wajar. Bagi sebagian pelaku usaha persaingan sering dianggap sebagai sesuatu hal yang negatif, kurang menguntungkan, karena dalam persaingan itu ada beberapa unsur yang perlu direbut dan dipertahankan seperti pangsa pasar, konsumen, harga dan sebagainya. Jika banyak pelaku usaha yang terlibat dalam proses persaingan maka keuntungan bagi pelaku usaha itu semakin berkurang.6
Terdapat banyak istilah yang dapat digunakan untuk bidang hukum ini selain istilah hukum persaingan usaha (competition law), yaitu hukum anti monopoli (antimonopoly law) dan hukum antitrust. Istilah hukum persaingan usaha dipandang paling tepat, dan memang sesuai dengan substansi ketentuan UU No.5/1999 yang mencakup pengaturan anti monopoli dan persaingan usaha dengan segala aspeknya yang terkait.7 Hukum persaingan usaha juga harus mampu mengakomodir pembuktian dari kejahatan yang dilakukan lewat
1. Jumlah dan luas distribusi penjual di pasar 2. Jenis produk apakah homogen atau heterogen 3. Kemampuan penjual untuk mempengaruhi pasar
4. Pengetahuan penjual dan pembeli akan pasar yang dihadapinya 5. Mudah tidaknya perusahaan untuk keluar masuk pasar.
Beberapa dimensi pasar tersebut mengakibatkan adanya tipe-tipe pasar tertentu, yaitu pasar persaingan sempurna, pasar monopoli, pasar persaingan monopolistik, pasar oligopoli. Lihat Sri Adi Ningsih dan YB. Kadarusman, Teori Ekonomi Mikro, BPFE, Yogyakarta, 2008, hal. 101.
6 Mohammad Taufik Makarao, dan Suharsil, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hal. 52.
7 Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 1.
perbuatan maupun perjanjian yang merusak iklim persaingan dalam pasar salah satunya adalah kartel.8
Pengaturan terhadap kartel di Indonesia terdapat dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU No.5/1999) bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Kartel adalah perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pesaingnya dalam pasar oligopoli yang tujuan utamanya adalah untuk mencari profit/laba secara berlebihan. Perjanjian atau kesepakatan kartel antara lain penetapan harga, pembatasan produksi, alokasi pangsa pasar, alokasi konsumen, pembagian wilayah, pengaturan keuntungan dan bahkan sampai pengaturan tender. Unsur kunci dalam investigasi kartel adalah pembuktian adanya kesepakatan tersebut. 9
Namun pembuktian kesepakatan itu kemudian menjadi sulit. Hal ini disebabkan karena kesepakatan atau perjanjian antara pelaku usaha pesaing yang menjadi bukti esensial dan signifikan biasanya disembunyikan dengan cara
8 Suatu kartel terjadi apabila suatu kelompok perusahaan dalam suatu industri tertentu yang seharusnya bersaing satu sama lain, tetapi mereka setuju untuk melakukan koordinasi kegiatannya dengan mengatur produksi, pembagian wilayah, kolusi tender dan kegiatan-kegiatan anti persaingan lainya, sehingga mereka dapat menaikkan harga dan memperoleh keuntungan di atas harga yang kompetitif. Lihat Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Tentang Kartel.
9 http://www.kppu.go.id/id/sulitnya-membuktikan-praktik-kartel/, diakses pada 22 September 2019, pukul 16.00 WIB.
tertentu. Undang-Undang Persaingan Usaha sendiri menyatakan bahwa perjanjian tidak perlu dalam bentuk tertulis, sebagaimana juga diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Oleh sebab itu pembuktian akan adanya perjanjian (apalagi yang tidak tertulis) haruslah mampu didukung oleh adanya fakta, bukti dan keyakinan yang kuat dan rasional sebelum mengambil atau menjatuhkan putusan bahwa kartel telah terjadi. Di samping itu ada beberapa hal lain yang penting yang perlu diperhatikan yaitu: karakter dari suatu industri atau bisnis yang mempunyai beberapa faktor yang membedakannya dengan industri atau bisnis lainnya, misalnya ada kemungkinan untuk efisiensi haruslah dibutuhkan kolaborasi atau kerjasama, tetapi dengan batasan yang jelas dan tujuan yang dapat dibenarkan.10
Di Indonesia, praktik kartel sulit untuk ditelusuri khususnya dalam aspek pembuktiannya. Kesulitan yang dialami para otoritas penegak hukum persaingan usaha ini kemudian bermuara pada penggunaan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) sebagai bukti bahwa suatu tindakan kartel telah terjadi.
Perdebatan yang selalu muncul adalah apakah bukti tidak langsung (circumstantial evidence) dapat dijadikan alat untuk membuktikan pelanggaran kartel.
Secara umum praktik kartel dilakukan secara tertutup yakni melalui perjanjian secara diam-diam (tacit), misalnya melalui kesepakatan lisan atau tertulis dalam media rapat asosiasi dagang atau sebatas melalui pesan elektronik.
Di sisi lain, keterbatasan kewenangan KPPU dalam melakukan penggeledahan
10 Marcia Stephanie, Skripsi: Analisa Yuridis Atas Penggunaan Circumstantial evidence Dalam Kasus Kartel Oleh KPPU, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hal. 3-4.
dan penyitaan dokumen juga merupakan faktor lain penyebab sulitnya kartel dibongkar. Akibatnya, KPPU sering mengalami kesulitan memperoleh data praktik bisnis ilegal ini, karena pelaku usaha cenderung tidak kooperatif untuk memberikan data.11
Pada awal implementasi Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut dengan KPPU) yang menjadi pengawas pelaksanaan hukum persaingan usaha yang sehat di Indonesia menemukan 2 (dua) kasus kartel, yaitu Penetapan Harga Tarif Bus Kota oleh Organisasi Transportasi Darat (Organda)12 dan Penetapan Harga Tarif Pesawat oleh Indonesia National Carrier Association (INACA).13 Pada awalnya, Organda dan INACA mengatakan bahwa tindakan mereka sesuai dengan Peraturan Pemerintah, namun proses investigasi membuktikan bahwa tindakan penetapan harga tersebut melanggar UU No.5/1999.
Dalam hal pembuktian perbuatan dan perjanjian yang dilarang oleh ketentuan UU No.5/1999 alat bukti yang dapat digunakan tercantum dalam ketentuan Pasal 42 yang menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) alat bukti pemeriksaan yang diakui dan dapat digunakan oleh KPPU, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, petunjuk, keterangan pelaku usaha.
11 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Dalam Teori dan Praktik serta Penegakan hukumnya, Cetakan Pertama, Kencana, Jakarta, hal. 189.
12 http://www.kppu.go.id/docs/Putusan/putusan_buskota.pdf, diakses pada 22 September 2019 pukul 16.00 WIB.
13 http://www.kppu.go.id/docs/Putusan/putusan_25_2009.pdf diakses pada 22 September 2019 pukul 16.00 WIB.
Pada ketentuan UU No. 5/1999, Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Tentang Kartel, dan Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak terdapat pemisahan terkait dengan alat bukti dengan memisahkan keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen serta keterangan pelaku usaha sebagai bukti langsung (direct evidence) dan petunjuk sebagai bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Pembagian alat bukti dalam UU No. 5/1999 merupakan bentuk interpretasi lanjutan dari alat bukti pokok yang diakui dalam KUHAP.14 Keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, serta keterangan pelaku usaha kemudian digolongkan dalam bukti langsung (direct evidence) sedangkan alat bukti petunjuk digolongkan sebagai bukti tidak langsung (circumstantial evidence).
Walaupun demikian tidak ada pembagian alat bukti yang secara jelas maupun parameter baku dari penggunaan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) disebutkan dalam UU No.5/1999 maupun peraturan pelaksananya.
Sehingga dalam pelaksanaannya alat bukti petunjuk sebagai suatu bukti tidak langsung (circumstantial evidence) tidak dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti tanpa adanya bukti langsung (direct evidence) berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, serta keterangan pelaku usaha. Selain itu
14 Petunjuk hanya merupakan dasar yang dapat digunakan oleh hakim untuk menganggap sesuatu kenyataan sebagai alat bukti, atau dengan perkataan lain petunjuk itu bukan merupakan suatu alat bukti, seperti keterangan saksi yang secara tegas mengatakan tentang terjadinya suatu kenyataan, melainkan ia hanya merupakan suatu dasar pembuktian belaka, yakni dari dasar pembuktian mana kemudian hakim dapat menganggap suatu kenyataan itu sebagai terbukti, misalnya karena adanya kesamaan antara kenyataan tersebut dengan kenyataan yang dipermasalahkan. Lihat P.A.F. Laminatang, Pembahasan KUHAP menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 430.
bukti tidak langsung (circumstantial evidence) mempunya kelemahan karena alat bukti ini tidak selalu mampu menjelaskan secara spesifik dan terang mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha.15 Bukti tidak langsung (circumstantial evidence) dalam praktik telah dianggap sebagai kategori alat bukti petunjuk.16 Penggunaan alat bukti ini juga masih kerap menimbulkan perdebatan baik dikalangan akademisi, lawyer, praktik hukum dan penegak hukum karena dinilai tidak relevan untuk digunakan dalam sudut pandang normatif.17
Terutama ini menjadi masalah ketika penggunaan bukti tidak langsung (indirect evindence), sebagai alat bukti petunjuk, tidak disertai dengan alat bukti lainnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 42 UU No.5/1999. Hal ini dikarenakan pada hakikatnya alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya alat bukti lainnya.18 Alat bukti petunjuk baru akan hadir ketika terdapat alat bukti lain berupa bukti langsung (direct evidence) sebagaimana ditentukan dalam UU No.5/1999 yang saling berkorelasi.
Selain itu terkait dengan ketentuan jumlah alat bukti, Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Tentang Kartel justru menentukan bahwa untuk membuktikan telah terjadi kartel dalam suatu industri,
15 Circumstantial evidence terbagi lagi menjadi dua, yakni bukti komunikasi yang membuktikan adanya komunikasi dan/atau pertemuan antara pelaku kartel namun tidak menjelaskan mengenai substansi yang dibicarakan, dan bukti ekonomi seperti halnya perilaku pelaku usaha di pasar dan bukti ekonomi struktural. Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal. 191-192.
16 Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal. 164.
17 Menurut Hikmahanto Juwana dalam buku Susanti Adi Nugroho mengatakan bahwa circumstantial evidence bukan merupakan alat bukti yang sah dan bertentangan dengan Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat/dokumen, petunjuk, dan keterangan pelaku usaha. Alat bukti berupa petunjuk tidak sama dengan circumstantial evidence.
Jika dipaksanakan tentu tidak sesuai dengan due procces of law. Baca Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal. 608.
18 Anrihal Rona Fajari, Penggunaan Economic Evidence Sebagai Alat Bukti Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 2, No. 2, Maret 2018, hal. 257- 260.
KPPU harus berupaya memperoleh satu atau lebih alat bukti. Ini berarti dengan satu alat bukti saja Majelis Komisi dapat menyatakan pelaku usaha telah bersalah melakukan kartel. Sedangkan pada Pasal 1 Angka 13 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, bukti yang cukup adalah pemenuhan sekurang- kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah.
Fakta ini kemudian secara tidak langsung menjadi bukti bahwa sejauh ini KPPU belum konsisten dalam penggunaan alat bukti yang digunakan pada pembuktian kartel. Selain itu keberadaan aspek fleksibilitas dari KPPU dalam penggunaan alat bukti yang ada dan dapat digunakan pada pembuktian kartel yang melanggar ketentuan UU No.5/1999 masih dipertanyakan. Hal ini dapat dibuktikan melalui beberapa putusan KPPU yang dibatalkan oleh Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA) akibat penggunaan bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Beberapa Putusan KPPU yang menggunakan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) dan dibatalkan oleh PN dan atau MA diantaranya adalah Putusan KPPU tentang kartel bahan bakar penumpang (No.
25/2009)19, Putusan KPPU No. 24 Tahun 2009 tentang kartel minyak goreng (No.
24/2009)20, dan Putusan KPPU tentang Kartel Obat Hipertensi (No. 17/2010).21 Namun demikian terdapat beberapa putusan KPPU yang menggunakan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) dan hal ini menunjukan bahwa
19 http://www.kppu.go.id/docs/Putusan/putusan_25_2009.pdf, diakses pada 8 Oktober 2019 pukul 16.00 WIB.
20http://www.kppu.go.id/docs/Putusan/putusan_24_2009_upload_16_juni_2010.pdf, diakses pada 8 Oktober 2019 pukul 16.00 WIB.
21 http://www.kppu.go.id/docs/Putusan/putusan_17_2010_farmasi.pdf, diakses pada 8 Oktober 2019 pukul 16.00 WIB.
KPPU tidak konsisten, dengan adanya perbedaan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 294 K/Pdt.Sus/2012 Tahun 2012 antara Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU) vs PT Pfizer Indonesia tentang Kartel Obat Hipertensi dimana majelis hakim kasasi menolak penggunaan bukti tidak langsung (circumstantial evidence)22 sedangkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 221 K/Pdt.Sus-KPPU/2016 Tahun 2016 antara PT Bridgestone Tire Indonesia, dkk vs Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU) tentang Kartel Ban majelis hakim menerima penggunaan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) yang dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim tidak dimuat dasar hukum tentang diterimanya bukti tidak langsung (circumstantial evidence) sebagai alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 serta tidak pula memuat pertimbangan hukum tentang prinsip pembuktian yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam memutus pelanggaran atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.23
Dalam mengungkap suatu perbuatan kartel perlu diketahui parameter baku dari penggunaan alat bukti yang digunakan khususnya bukti tidak langsung (circumstantial evidence) oleh KPPU berupa unsur-unsur apa saja yang harus dipenuhi sebelum bukti tidak langsung (circumstantial evidence) dapat menjadi alat bukti maupun penjelasan bahwa bukti tidak langsung (circumstantial evidence) harus disandingkan dengan jenis alat bukti apa agar dapat diakui secara
22https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/e8bf3ccbadea24f1dfe3aaa4bce4833e, diakses pada 5 Oktober 2019 pukul 16.00 WIB.
23https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/ab9d7a55d988324692cf5f22c8d35b01, diakses pada 5 Oktober 2019 pukul 16.00 WIB.
hukum sehingga muncul kepastian hukum dari pemeriksaan dugaan praktik kartel di Indonesia.
Namun apakah pendekatan metode bukti tidak langsung (circumstantial evidence) sejauh ini dalam mengungkap fakta-fakta hukum secara objektif sudah mampu menciptakan suatu putusan KPPU yang berkeadilan? Sehingga yang menjadi pertanyaan besar adalah, bagaimana kedudukan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) dalam tatanan hukum persaingan usaha Indonesia?
Dengan ini penting dibahas mengenai konsistensi KPPU dalam penggunaan bukti tidak langsung dalam pembuktian kartel, apakah penggunaannya selama ini tepat, serta bagaimana standar baku dari alat bukti yang membuat penggunaan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) masih dipertanyakan. Selain itu juga apakah hukum persaingan usaha Indonesia sudah cukup apabila dibandingkan dengan penerapan hukum persaingan usaha di Amerika Serikat sebagai negara best practice dari hukum persaingan usaha yang sehat? Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini. Atas dasar itulah kemudian penelitian ini diberi judul “Kedudukan Alat Bukti Tidak Langsung dalam Pemeriksaan Dugaan Praktik Kartel (Studi Komparatif Hukum Persaingan Usaha Indonesia dengan United States Antitrust Law)”
B. Identifikasi Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini akan memfokuskan diri untuk menjawab pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan alat bukti tidak langsung (circumstantial evidence) pada pembuktian dugaan praktik kartel dalam tatanan hukum persaingan usaha Indonesia dan Amerika Serikat?
2. Bagaimana perbandingan praktik penerapan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) pada pembuktian dugaan praktik kartel dalam hukum persaingan usaha Indonesia dengan Antitrust Law di Amerika Serikat?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah dan rumusan masalah, adapun penelitian ini mempunyai tujuan umum dan khusus, yaitu:
1. Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran dan menambah pengetahuan mengenai kedudukan alat bukti tidak langsung (circumstantial evidence) pada pembuktian dugaan praktik kartel dalam tatanan hukum persaingan usaha Indonesia dan Amerika Serikat serta perbandingan praktik penerapan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) pada pembuktian dugaan praktik kartel dalam hukum persaingan usaha Indonesia dengan Antitrust Law di Amerika Serikat.
2. Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum tersebut, penulis merumuskan tujuan khusus dari penelitian ini di antaranya adalah untuk :
a. Mengetahui kedudukan alat bukti tidak langsung (circumstantial evidence) pada pembuktian dugaan praktik kartel dalam tatanan hukum persaingan usaha Indonesia dan Amerika Serikat.
b. Mengetahui perbandingan praktik penerapan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) pada pembuktian dugaan praktik kartel dalam hukum persaingan usaha Indonesia dengan Antitrust Law di Amerika Serikat.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya bagi pengembangan pengetahuan dan wawasan penulis tentang ilmu hukum persaingan usaha, juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para peneliti yang akan meneliti topik yang berkaitan, terutama pada sisi informasi, karakteristik termasuk masalah-masalah yang belum mendapatkan analisis yang fokus.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat secara umum, sekaligus solusi yang ditawarkan kepada pihak yang berkepentingan yaitu lembaga atau instansi sebagai masukan serta upaya
implementasi temuan teoretik dalam upaya penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia.
E. Kerangka Pemikiran 1. Pelaku Usaha
adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.24
2. Pangsa Pasar
adalah presentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam kalender tertentu.25
3. Pasar Bersangkutan
berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No. 5/1999, adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.
24 Pasal 1 angka 5 UU No.5/1999
25 Pasal 1 angka 13 UU No.5/1999
4. Pasar Dominan
berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Persaingan Usaha, adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
5. Kekuatan Pasar (Market Power)
Sebagaimana dimaksud dalam Black’s Law Dictionary, Market Power didefinisikan sebagai;
“Kemampuan untuk mengurangi output dan menaikkan harga di atas tingkat kompetitif - khususnya, di atas biaya marjinal - untuk jangka waktu yang berkelanjutan, dan untuk membuat keuntungan dengan demikian.”ِ
(The ability to reduce output and raise prices above the competitive level – specifically, above marginal cost – for a sustained period, and to make a profit by doing so).26
6. Persaingan Usaha Tidak Sehat
adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.27
26 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 8th ed., Thompson West, Boston, 2004, hal. 206.
27 Pasal 1 angka 6 UU No.5/1999
7. Praktek Monopoli
adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.28
8. Kartel
adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan di antara keduanya. Dengan kata lain, kartel (cartel) adalah kerja sama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan, dan harga serta untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu.29
9. Bukti Tidak Langsung (Circumstantial evidence)
adalah suatu bentuk bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan namun dapat digunakan sebagai pembuktian awal terhadap kondisi atau keadaan yang dapat dijadikan sebagai dugaan adanya perjanjian lisan atau praktik kartel.30
28 Pasal 1 angka 2 UU UU No.5/1999
29 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 105.
30 Udin Silalahi, Prosiding seminar eksaminasi putusan perkara No. 08/ KPPU-I/2014 (Dugaan pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 UU No. 5/1999 dalam industri ban, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Tanggerang, 2015, hal. 6.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum Yuridis Normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.31
Secara khusus penelitian ini akan membahas kepada kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang kemudian dibandingkan dengan aturan-aturan di suatu wilayah atau negara dengan aturan hukum pada wilayah atau negara lainnya. Ruang lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah terkait dengan kedudukan alat bukti tidak langsung (circumstantial evidence) dalam tatanan hukum persaingan usaha Indonesia serta perbandingan praktik penerapan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) dalam hukum persaingan usaha Indonesia dengan Antitrust Law di Amerika Serikat.
1. Metode Pendekatan
Penelitian hukum normatif ini menggunakan metode Pendekatan Perbandingan (Comparativie La/Comparative Approach), yaitu penelitian hukum yang mengacu kepada kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang kemudian dibandingkan dengan aturan-aturan di suatu wilayah atau negara dengan aturan hukum pada wilayah atau negara lainnya. Tujuan dilakukannya penelitian perbandingan
31 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hal. 13.
hukum adalah untuk mengetahui beberapa perbedaan juga persamaan hukum yang terkandung dalam beberapa wilayah hukum yang berbeda.32
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penulisan ini bersifat Deskriptif Analitis dimana penelitian ini berupaya menggambarkan, menguraikan dan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang hendak di ungkapkan.33 Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini, maka penelitian ini nantinya akan bersifat eksplanatoris yaitu merupakan hasil penelitian yang diharapkan mampu memberikan informasi secara lengkap dan jelas mengenai kedudukan alat bukti tidak langsung (circumstantial evidence) dalam tatanan hukum persaingan usaha Indonesia serta perbandingan praktik penerapan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) dalam hukum persaingan usaha Indonesia dengan Antitrust Law di Amerika Serikat secara komprehensif.
3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui Studi Pustaka untuk memperoleh Data Sekunder berupa bahan hukum primer dan hukum sekunder.
Data sekunder yang digunakan mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, tesis, disertasi, makalah, artikel
32 Soerjono Soekanto, dkk, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hal. 11-13.
33 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal 101.
maupun jurnal. Data sekunder ini digunakan untuk mencari landasan teori dalam penelitian. Data sekunder terdiri dari: 34
a. Bahan hukum primer
Yaitu bahan hukum yang mengikat dengan fokus utama berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah hukum persaingan usaha dan beberapa putusan dari KPPU yang terkait dan relevan dengan penelitian ini.
b. Bahan hukum sekunder
Yaitu bahan hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer antara lain berupa tulisan atau pendapat para ahli yang dimuat dalam buku- buku, majalah, surat kabar maupun buletin, serta bahan-bahan tertulis lainnya yang mendukung penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier
Yaitu bahan hukum yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lainnya.
Di samping penelitian kepustakaan/studi dokumen menggunakan Data Sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier juga menggunakan alat pengumpul data berupa studi dokumen dan wawancara dengan narasumber dengan latar belakang akademisi yang memiliki lingkup keahlian di bidang persaingan usaha, komisioner lembaga
34 Soerjono Soekanto, Ibid., hal. 11-12.
otoritas pengawasan persaingan usaha, dan organisasi pelaku usaha yang memiliki pengetahuan terkait persaingan usaha. Pertimbangan dipilihnya ketiga latar belakang narasumber tersebut adalah untuk mendukung data kepustakaan yang digunakan.
4. Metode Analisis
Dalam menganalisis data kajian yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan penulis, maka digunakan analisis Normatif Kualitatif.35 Metode analisis data secara khusus menggunakan metode konstruksi hukum dengan menggunakan analogi yang menggunakan peraturan yang khusus dijadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang dan disimpulkan dari ketentuan yang umum itu peristiwa khusus, tetapi peristiwa itu mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur oleh undang-undang itu.36
Kerangka analisis data yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan sebuah proses penyelidikan terhadap pemahaman masalah sosial atau kemanusiaan berdasarkan bangunan gambar yang rumit dan menyeluruh (holistik), dibentuk dengan kata-kata, melaporkan secara rinci pandangan dari para informan, dan melakukannya dalam keadaan yang alamiah.37
35 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Rineksa Cipta, Jakarta, 2002, hal 9.
36 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal. 161- 162.
37 Bandingkan dengan metode kuantitatif yang menyelidiki masalah sosial atau kemanusiaan berdasarkan pengujian teori yang tersusun dari variabel-variabel, diukur oleh angka-angka, dan dianalisa dengan prosedur statistika, dalam rangka menentukan apakah generalisasi dari sebuah teori itu benar. Lihat, John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches, Thousand Oaks, Sage Publications, California, 1994, hal. 1-2.
Semua data disusun dan disajikan secara sistematis, kemudian dianalisis dalam bentuk kata-kata dan memakai metode penemuan hukum yang terdiri dari penafsiran hukum dan kontruksi hukum. Cara tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.38
G. Lokasi Penelitian
Terhadap penelitian ini dilakukan penelitian melalui 3 (tiga) macam lokasi untuk pengumpulan data di beberapa lokasi untuk memperoleh data yang diperlukan antara lain :
a. Library Research
Melakukan kegiatan untuk menghimpun informasi yang diperoleh dari buku-buku, karya ilmiah, jurnal, tesis, disertasi dan sumber lainnya yang relevan dengan topik atau masalah yang menjadi objek penelitian. Peneliti melakukan library research tersebut di :
1) Perpustakaan Utama Universitas Islam Bandung, Jalan Tamansari Nomor 1, Bandung.
2) Perpustakaan Pascasarjana Universitas Islam Bandung Jl. Purnawarman No. 41, Bandung.
b. Online Research
38 Aburhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal 61.
Kegiatan dimana penelitian dapat mengumpulkan data via internet dengan mengunjungi berbagai situ web. Situs web tersebut diantaranya ialah jaringan informasi dan dokumentasi hukum, berita online dan berbagai situs lainnya yang dapat dipercaya serta sesuai dengan objek penelitian peneliti.
c. Wawancara
Kegiatan langsung berupa wawancara dengan narasumber dengan latar belakang akademisi yang memiliki lingkup keahlian di bidang persaingan usaha, komisioner lembaga otoritas pengawasan persaingan usaha, dan organisasi pelaku usaha yang memiliki pengetahuan terkait persaingan usaha. Pertimbangan dipilihnya ketiga latar belakang narasumber tersebut adalah untuk mendukung data kepustakaan yang digunakan.