• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I - SIAKAD STIKes DHB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I - SIAKAD STIKes DHB"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia, terhitung lebih dari 17,9 juta kematian pada tahun 2015, jumlah yang diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 23,6 juta pada tahun 2030. Diantara penyakit kardiovaskular tersebut Penyakit Acute Coronary Syndrome (ACS) menyumbang 43,8 % diikuti oleh Stroke 16,8 %, Gagal Jantung 9,0 %, Tekanan Darah Tinggi 9,4 %, penyakit pada arteri 3,1 %, dan penyakit kardiovaskular lainnya 17,9 % (AHA, 2018). Di Negara berkembang kematian akibat penyakit kardiovaskuler 7,4 juta kematian (42,3%) yang disebabkan oleh Penyakit Acute Coronary Syndrome dan 6,7 juta (38,3%) Stroke (Depkes RI, 2017).

Hasil Survei Sample Registration System (SRS) pada 2014 di Indonesia menunjukkan, Acute Coronary Syndrome menjadi penyebab kematian tertinggi pada semua umur yaitu sebesar 12,9%. Prevalensi ACS di Indonesia berdasarkan Riskesdas tahun 2013 sebesar 1,5%. Menurut kelompok umur, ACS paling banyak terjadi pada kelompok umur 65-74 tahun (3,6%) diikuti kelompok umur 75 tahun ke atas (3,2%), kelompok umur 55- 64 tahun (2,1%) dan kelompok umur 35-44 tahun (1,3%). Jumlah penderita penyakit ACS di Indonesia terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 160.812 orang (0,5%). Berdasarkan jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, sedangkan berdasarkan umur, penyakit ACS lebih banyak terkena pada usia kelompok umur 45-54 tahun,

(2)

55-64 tahun dan 65-74 tahun. (Depkes, 2013).

Penyakit Acute Coronary Syndrome merupakan penyakit akibat arteriosklerosis (pengerasan pembuluh darah nadi) yang dikenal sebagai atherosklerosis, yaitu terjadinya penyempitan pembuluh darah karena atheroma dan plaque (Djohan, 2014). Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan manifestasi klinik dari fase kritis penyakit jantung koroner (Hewins K. , 2014).

Menurut Overbaugh (2009) Acute Coronary Syndrome adalah suatu kondisi terbentuknya plak aterosklerotik di dalam arteri koroner yang menyebabkan penurunan aliran darah sehingga suplai oksigen ke jantung menjadi berkurang.

Menurunnya aliran darah koroner akan menyebabkan iskemia miokardium. Suplai oksigen yang berhenti dalam waktu kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis atau infark miokard (PERKI 2015). Kanel, Hari, Schmid, Saner dan Begre (2011) mengemukakan bahwa infark miokard merupakan suatu kejadian yang mengancam jiwa yang dapat menimbulkan stress, takut akan kematian dan kecacatan.

Pada Acute Coronary Syndrome terdapat kondisi fisik yang mengalami masalah berupa serangan akut dan sesak nafas, nyeri dada, mual, muntah dan berkeringat, intoleransi aktivitas dan gangguan seksual (Joob & Wiwanitkit, 2013;

Rosidawati, Ibrahim, & Nuraeni, 2015). Sedangkan secara psikologis penderita Acute Coronary Syndrome akan mudah mengalami cemas dan depresi (Gustad, Laugsand, Janszky, Dalen, & Bjerkeset, 2014). Selain mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis, Acute Coronary Syndrome (ACS) akan berdampak pada aspek spiritual. Seseorang ketika sakit akan mengalami kurangnya koordinasi antara

(3)

pikiran, tubuh dan ruh dalam menghadapi emosi, stres, penyakit fisik atau kematian dan akan berusaha menjaga keimanan mereka terhadap nilai-nilai dan keyakinan dalam menghadapi penyakit (Perry, 2010). Penurunan atau hilangnya kesejahteraan spiritual ditandai dengan adanya tanda-tanda kebingungan mental (convusion), kecemasan, depresi dan kehilangan makna hidup (Khademvatani et al. 2015).

Menurut MA. Halm (2009) pada pasien dengan serangan jantung prevalensi kecemasan 70% sampai 80%. Sedangkan depresi ringan sampai berat dialami oleh 62,1% penderita Penyakit Jantung Koroner (Lismawaty, Nuraeni, & Rapiah, 2015 In Mirwanti & Nuraeni, 2016).

Kesejahteraan spiritual diperoleh dengan menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan, keyakinan dan hubungan dengan diri sendiri dan orang lain (Perry, 2010). Opatz (1986) dalam Eksi Halil (2016) mendefinisikan Kesejahteraan Spiritual sebagai suatu keinginan untuk mencari makna dan tujuan hidup keberadaan seseorang, kebiasaan mempertanyakan segala sesuatu, dan pemahaman terhadap hal-hal abstrak yang tidak dapat dijelaskan atau dipahami dengan mudah.

Kesejahteraan spiritual memiliki dua dimensi, vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal merupakan hubungan manusia dengan Tuhan dan dimensi horisontal menggambarkan hubungan positif individu dengan yang lain (Mauk, 2004).

Peningkatan Kesejahteraan Spiritual pada pasien ACS dapat membantu pasien mengatasi penyakitnya, menemukan makna hidupnya dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Jahani, 2014). Penelitian Mirwanti dan Nuraeni (2016) di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung menunjukkan bahwa semakin tinggi kesejahteraan spiritual pasien dengan penyakit Acute Coronary Syndrome maka semakin rendah

(4)

tingkat depresi pasien tersebut. Peningkatan Kesejahteraan Spiritual pada pasien ACS dapat membantu pasien mengatasi penyakitnya, menemukan makna hidupnya dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Jahani, 2014).

Prioritas tindakan perawatan pada pasien Acute Coronary Syndrome tidak hanya berfokus pada mengatasi masalah fisik tetapi harus mempertimbangkan masalah psikologis dan spiritual. Keperawatan yang holistik harus memperhatikan semua aspek dari tiap individu (Ya Lie Ku, 2017). Dalam beberapa dekade dan beberapa tahun kebelakang Kesejahteraan Spiritual telah diakui menjadi sebuah dimensi penting dari kehidupan individu dan kelompok oleh para ahli kesehatan (Omidvari S, 2008). Dukungan spiritual merupakan aspek penting dalam perawatan holistik dan keselamatan pasien dapat dicapai dengan memberikan perawatan sesuai bio-psiko, sosial dan kebutuhan spiritual pasien (Baldacchino, 2015).

Penilaian yang tepat terhadap kebutuhan spiritual pasien akan meningkatkan pelayanan perawatan yang efektif. Intervensi sederhana yang dapat dilakukan dengan mendengarkan keluhan pasien, menekankan pentingnya menyeimbangkan kebutuhan rohani, pikiran dan tubuh dapat membantu pasien dalam proses penyembuhan (Abuatiq, 2015). Perawat harus lebih meningkatkan intervensi spiritual dengan membimbing doa, memberikan arahan dengan teknik distraksi untuk mempercepat proses penyembuhan dan mengurangi ketakutan akan kematian pasien (Rahmawati, Wihastuti, & Rachmawati, 2018).

Salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk membantu pasien dalam meningkatkan kesejahteraan spiritual adalah spiritual care (El Noor, 2012).

Spiritual Care adalah perawatan yang dilakukan seseorang yang berfokus pada

(5)

upaya untuk membantu menemukan harapan, ketahanan dan kekuatan batin pada saat sakit, cedera, transisi dan kehilangan (Kelly Ewan, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan Moeini tahun 2012 menunjukan adanya peningkatan kesejahteraan spiritual pada pasien penyakit jantung iskemik setelah dilakukan intervensi spiritualitas dengan kehadiran perawat disamping pasien, memfasilitasi kegiatan ibadah, terapi sentuhan, mendengarkan keluhan secara aktif dan memberikan jawaban atas setiap pertanyaan pasien. Temuan penelitian lain mengungkapkan bahwa mayoritas pasien (97,9%) di rumah sakit Teheran Iran mendapatkan manfaat dari kesejahteraan spiritual. Pasien yang diberikan intervensi spiritual care memiliki prognosis yang lebih baik, berkurang dari rasa cemas dan stress, serta meningkatkan koping (Abuatiq, 2014). Diantara intervensi yang bisa dilakukan dalam spiritual care adalah berdoa (Mauk, 2004). Berdoa merupakan salah satu praktik spiritual dan keagamaan yang dilakukan banyak orang (Kozier, 2010).

Menurut Smith et all (2012) berdoa merupakan praktek keagamaan atau spiritual yang dapat membangkitkan hubungan batin antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan Tuhan. Berdoa adalah aktivitas spiritual yang sering dilakukan oleh pasien, yang dapat memfasilitasi proses transisi kesehatan atau penyakit dan meningkatkan kesejahteraan spiritual (Esperandio & Ladd, 2015).

Berdoa adalah simbol keimanan, tanda ketundukkan seseorang kepada Tuhan (Allah) dan bukti keikhlasan (Abdurrazaq, 2016). Perintah berdoa dalam agama Islam tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an salah satunya dalam surat Al Mu’min ayat 60 :

َلاَق َو ْمُكﱡب َر

ْىِنوُعْدُا ْب ِجَتْسَأ

مُكَﻟ

(6)

yang artinya : “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”.

Banyak doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad kepada sahabatnya, diantaranya doa dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ahmad dan Ibnu Hibban (Fida, 2017), yaitu:

Artinya: Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan yang aku dapati dan aku hindari.

Hasil studi Saffari et al (2013) ditemukan bahwa intervensi spiritual dan religiusitas sangat signifikan terkait dengan kualitas hidup dan status kesehatan di antara pasien Muslim. Besharat (2018) dalam penelitiannya bahwa kesehatan spiritual atau kesejahteraan spiritual memediasi hubungan antara kekuatan-ego dan penyesuaian terhadap penyakit jantung. Untuk meningkatkan penyesuaian terhadap penyakit jantung membutuhkan lebih banyak peningkatan kesehatan spiritual serta kekuatan-ego pasien. Menurut Carvalho et all (2014) dalam studi literaturnya mengidentifikasi ada beberapa efek positif dari doa pada kesehatan yaitu mengurangi kecemasan dan meningkatkan pungsi fisik pasien. Spiritual care sangat penting diketahui oleh perawat karena spiritualitas dapat meningkatkan status kesehatan dan menerima penyakitnya (Perry, 2010).

Kebutuhan spiritual pasien di RSUP Dr. Hasan Sadikin sudah menjadi fokus perawatan seperti halnya kebutuhan biopsiko sejak tahun 2013 dengan dikeluarkannya Standar Operasional Prosedur Memberikan Dukungan Kebutuhan Spiritual Kepada Pasien dan dibentuknya team pelayanan bimbingan rohani pasien yang berjumlah 20 orang terdiri dari perawat dan profesi lain. Kegiatan dukungan

ُذ ْوُعَأ ﺎِﺑ

َو ِ ْدُق َر ِهِت ْن ِم ﺎَم ِّرَش ُد ِجَأ

ِذﺎَحُأ َو

ُر

(7)

spiritualitas yang diberikan oleh pemberi layanan bimbingan rohani pasien berupa bimbingan rohani pada pasien terminal, bimbingan ritual keagamaan, menekankan pasien agar tidak berputus asa, memotivasi pasien untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, memberikan bimbingan langsung seperti bertukar pikiran dan doa bersama (RSHS, 2014). Hasil wawancara dengan koordinator pelaksanaan spiritual care RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, awalnya dilakukan hanya berdasarkan permintaan dari pasien dan keluarga, saat ini sudah mulai dilakukan kunjungan ke ruang perawatan. Kegiatan spiritual care yang dilakukan saat kunjungan memberikan dukungan spiritual sepeti ikhlas dalam meghadapi penyakit, bimbingan rohani pada pasien terminal dan mendoakan pasien agar diberi kesembuhan.

Berdasarkan data dari bagian rekam medik pasien Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung bulan Januari 2018 – Agustus 2018 jumlah pasien dengan ACS sebanyak 222 orang dari total seluruh pasien penyakit jantung yang dirawat yaitu sebanyak 526 orang. Hasil studi pendahuluan di Unit Perawatan Intensif Jantung (CICU) setelah dilakukan wawancara pada 10 orang pasien ACS didapatkan data 5 orang pasien tidak mengetahui tujuan dan makna hidup, merasa terbebani dengan penyakitnya,kadang-kadang merasa ada kekosongan dalam pikiran merasa jauh dari Allah, 3 orang cemas akan terjadinya serangan ulang, dan 2 orang pasien mengatakan tidak menemukan jalan keluar dari permasalahan. Dalam kondisi seperti itu, pasien membutuhkan dukungan spiritualitas dari perawat. Dukungan spiritual yang diberikan oleh perawat diruangan berupa mengingatkan waktu sholat dan memberikan motivasi pada pasien untuk selalu sabar dan berdoa. Tetapi

(8)

pelaksanaannya belum maksimal karena ketidaktersediaannya referensi atau panduan seperti buku panduan beribadah untuk orang yang sakit serta Standar Operasional secara spesifik sebagai dasar dalam memberikan perawatan spiritual seperti standar operasional cara membantu pasien berwudhu atau tayamum dan cara membantu pasien melakukan ritual keagamaan atau spiritualitas lainnya seperti berdoa.

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian Pengaruh Spiritual Care: Berdoa Secara IslamTerhadap Kesejahteraan Spiritual Pada Pasien Acute Coronary Syndrome di Instalansi Pelayanan Jantung Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Moeni (2012) adalah adanya perbedaan budaya antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Iran dan intervensi yang dipakai “berdoa”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah Spiritual Care mempengaruhi kesejahteraan spiritual pada pasien Acute Coronary Syndrome ? ”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh spiritual care terhadap kesejahteraan spiritual pasien ACS.

(9)

2. Tujuan Khusus

Secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi karakteristik responden.

b. Mengidentifikasi rerata kesejahteraan spiritual pada pasien ACS sebelum dilakukan intervensi spiritual care.

c. Mengidentifikasi rerata kesejahteraan spiritual pada pasien ACS setelah dilakukan intervensi spiritual care.

d. Mengidentifikasi pengaruh spiritual care terhadap kesejahteraan spiritual pada pasien ACS

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang pengaruh spiritual care dan sebagai informasi awal untuk membuat standar operasional dalam pelaksanaan intervensi berdoa di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

2. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu keperawatan sebagai bahan pertimbangan pada proses pembuatan kurikulum tentang kompetensi spiritual care yang harus dimiliki oleh mahasiswa keperawatan, sehingga mahasiswa tidak hanya berkompeten dalam pemenuhan bio–psiko tetapi juga berkompeten dalam pemenuhan spiritual pasien.

3. Bagi penelitian keperawatan untuk memberikan dasar pengetahuan tentang spiritual care terhadap peningkatan spiritual wellbeing atau kesejahteraan spiritual, sebagai bahan pengembangan ilmu keperawatan holistik.

(10)

E. Ruang Lingkup Penelitian

Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan rancangan pretest dan posttest pada satu kelompok. Sampel penelitian pasien ACS yang dirawat di ruang CICU, HCCU dan Aglonema sesuai dengan kriteria inklusi yang sudah ditetapkan dengan jumlah sesuai penghitungan sampel. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei tahun 2019 di Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

11.15-12.00 Perlombaan Paduan Suara dan perlombaan pembacaan teks Proklamasi Hari Kedua Kamis, 17 Agustus 2023