BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum internasional (international law) atau hukum internasional publik (public international law) merupakan istilah yang lebih populer digunakan saat ini dibandingkan istilah hukum bangsa-bangsa (law of nations), hukum antar negara (Inter state law). Dua istilah terakhir ini ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan.1
Berbicara mengenai hukum internasional tidak terlepas dari subjek hukum internasional. Subjek hukum internasional pada umunya merupakan beberapa entitas yang di berikan hak dan kewajiban oleh hukum internasional itu sendiri. Subjek hukum internasional secara singkat dapat di katakan sebagai pemegang atau pendukung hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Konsekuensi dari pengertian ini adalah bahwa subjek hukum internasional tidak sekedar negara. Subjek hukum adalah entitas yang memiliki personalitas hukum. Dengan memiliki personalitas hukum maka subjek hukum dapat menjalankan fungsinya sebagai subjek hukum.2
Dalam pengertian umum, pemberontakan adalah penolakan terhadap otoritas yang sah. Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari
1Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), hlm. 2.
2Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung:
Refika Aditama, 2006), hlm. 104.
pembangkangan sipil (civil disobedience) hingga kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada. Istilah ini sering pula digunakan untuk merujuk pada perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang berkuasa, tapi dapat pula merujuk pada gerakan perlawanan tanpa kekerasan.
Personalitas hukum menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh subjek hukum. Keberagaman subjek hukum internasional akan menjadikan pengertian personalitas hukum menjadi tidak absolut. Hal ini karena personalitas hukum itu sendiri akan mengikuti pengakuan yang di berikan oleh masing-masing instrumen hukum. Selain itu, personalitas hukum memberikan kewenangan untuk mengajukan klaim di Mahkamah Internasional, menikmati hak, menjalankan kewajiban, berpartisipasi dalam pembentukan hukum internasional, ikut serta dalam hukum internasional, hanya negara sebagai satu-satunya entitas yang di pandang sebagai subjek hukum internasional. Namun, setelah adanya Perang dunia II, pelaku-pelaku dalam pergaulan internasional tidak hanya di monopoli oleh negara.
Subjek-subjek hukum internasional yang baru seperti organisasi internasional, regional, atau bahkan individu pada akhirnya di akui sebagai subjek hukum internasional selain negara.3
Dalam subjek hukum internasional ada kelompok yang di namakan pemberontak. Itu pun terbagi dalam dua kategori, yakni insurgent dan belligerent.
Kata Insurgencymerujuk pada tindakan-tindakan pemberontak, kerusuhan, ataupun tindakan makar yang dilakukan oleh warga negara suatu negara terhadap
3Ibid, hlm. 103.
pemerintahan negaranya. Di lain sisi belligerent memiliki makna yang sama tetapi dalam tingkatan yang berbeda, belligerent lebih mengarah kepada perang sipil dengan kondisi yang hampir sama kuat dan hampir menyerupai perang antar negara.4 Jika dalam suatu negara terjadi pemberontakan yang telah memecah belah kesatuan nasional serta efektifitas pemerintahan, maka negara-negara ketiga akan berada dalam posisi yang sulit, terutama untuk melindungi berbagai kepentinganya di negara tersebut. Dalam keadaan inilah sistem pengakuan belligerency lahir.5
Kaum belligerency adalah kaum pemberontak yang sudah mencapai tingkatan yang kuat dan mapan, baik secara politik, organisasi, militer, dan telah tampak sebagai suatu kesatuan politik yang mandiri. Kemandirian kelompok semacam ini tidak hanya berlaku ke dalam, tetapi juga keluar, dengan pengertian bahwa dalam batas-batas tertentu dia sudah mampu menampakan diri pada tingkat internasional atas eksistensinya.6 Kaum belligerency berbeda dengan organisasi pembebasan.Kaum belligerency pada hakekatnya muncul sebagai masalah yang semula adalah masalah dalam negeri suatu negara. Misalnya, pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam suatu negara yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Pemberontakan bersenjata ini di maklumi sebagai masalah dalam negeri suatu negara. Oleh sebab itu maka penyelesaiannya diserahkan sepenuhnya
4 L., Oppenheim, International Law- A treatise, Vol.17th edn, London: Longmans, Green &
Co., 1952, e-book. hlm. 284-253.
5Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2003), hlm. 79.
6 Jawahir, Op. Cit, hlm. 125.
kepada yang bersangkutan. Negara lain yang membantu kaum pemberontak akan dipandang sebagai intervensi yang tidak dibenarkan dalam hukum internasional.7
Pengakuan atau penerimaan atas eksistensi kaum pemberontak dalam suatu negara seringkali didasarkan atas pertimbangan politik subjektif dari negara-negara yang memberikan pengakuan. Misalnya jika kaum pemberontak dalam suatu negara memiliki aspirasi politik yang sesuai dengan negara yang mengakui itu atau jika negara yang mengakui itu tidak bersahabat dengan pemerintah negara dimana pemberontakan terjadi, maka negara itu memberikan dukungan dan pengakuannya kepada kaum pemberontak. Sama halnya dengan organisasi pembebasan atau bangsa yang sedang berjuang, suatu kelompok dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai kaum belligerency dengan memenuhi kriteria tertentu. Kriteria atau ukuran ini muncul karena pemberontakan bersenjata yang terjadi dalam suatu negara memiliki tingkat kekuatan yang berbeda-beda.8
Pengakuan atas belligerent yang dilakukan oleh negara asal belligerent sangat jarang dilakukan dalam prakteknya, ketidakinginan untuk mengakui tentu beralasan, biasanya negara akan mengusahakan semaksimal mungkin untuk mengehentikan pemberontakan yang terjadi sebaik yang dapat dilakukan negara tersebut. Pengakuan yang dilakukan oleh negara asal belligerent cenderung dilakukan dalam kondisi dimana terdapat desakan internasional untuk melakukanya ataupun karena pemberontakan yang terjadi telah masuk kedalam fase dimana kekuatan negara
7I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm.
82.
8Ibid.
dengan pemberontak telah dalam posisi seimbang dan tidak mungkin lagi negara untuk menutupi konflik yang terjadi. Pengakuan atas belligerent dalam kondisi tertentu terkadang sengaja dilakukan oleh negara jika memang negara secara umum melihat adanya keuntungan untuk melakukan pengakuan.9
Campur tangan negara ketiga pun tidak terlepas atas pengakuan kaum belligerent. Jika pengakuan atas belligerent dialakukan oleh negara ketiga ataupun negara asal pemberontak, kondisi konflik yang terjadi akan sama dengan konflik antar negara.10 Tidak jarang konflik yang terjadi merembet hingga ke wilayah negara yang tidak memiliki kepentingan atas konflik. Negara yang tidak memiliki kepentingan atau tidak terlibat dalam dalam konflik di sebut sebagai negara netral, mengingat jika pengakuan atas belligerent telah dilakukan dan konfidisi konflik sama dengan kondisi konflik antar negara maka secara hukum penerapan bagi negara yang tidak terlibat dalam konflik adalah negara netral yang oleh hukum internasioanal diatur secara cukup jelas. Tetapi dalam kondisi tertentu jika pengakuan atas pemberontak tidak pernah terjadi dan negara ketiga terkhusus negara yang memiliki perbatasan langsung dengan negara yang memiliki pemberontak merasa terganggu ataupun diminta oleh negara dalam konflik untuk membantu maka negara ketiga dapat melakukan perlawanan terhadap pemberontak. Perlakuan yang dilakukan oleh negara ketigapun akan sama dengan negara asal pemberontak, dengan menganggap
9McDougal Myres S. dan Reisman W. M., International Law Essays, New York: The foundation Press Inc., 1981, e-book, hlm. 523.
10Rashi Gupta, Recognition of Insurgents and Belligerent Organisation in Internasional Law,
hlm. 2. Terdapat dalam https://www.academia.edu/22539329/
Title_Recognition_Of_Insurgents_And_Belligerent_Organisations_In_International_Law_1?auto=do wnload, diakses pada 17 Maret 2019.
bahwa pelaku pemberontak adalah tindakan melawan hukum dan di anggap sebagai kriminal, yang menjadi unik adalah bahwa pihak ketiga dalam konflik boleh untuk membantu negara dalam konflik tetapi tidak boleh membantu pihak pemberontak.11
Belligerent secara hukum internasional tidak di atur secara jelas tetapi pengakuan suatu kelompok belligerent dapat memiliki arti bahwa kelompok ini telah di akui dengan segala haknya, tidak di anggap sebagai kriminal melainkan kelompok yang mencari keadilan ataupun menentukan nasibnya sendiri.12 Pengaturan mengenai belligerent biasanya diatur secara khusus dalam hukum di setiap negara-negara serta akan selalu di kaitkan dengan tindakan separatis, karena pada dasarnya sebuah tindakan separatis adalah tindakan yang membahayakan eksitensi negara itu sendiri.
Hal ini tentu berlaku bagi negara dengan berbagai kemampuan tanpa terkecuali negara adidaya sekalipun. Kemunculan separatis di dalam tubuh negara akan memiliki dampak walaupun hanya dalam skala regional jika dibiarkan akan menjadi masalah yang berkepanjangan.13
Belligerent cenderung memiliki potensi besar untuk menimbulkan adanya perang sipil. Hal ini tentu sangat di antisipasi oleh setiap negara. Karena dengan timbulnya perang sipil akan menjadikan masalah semakin rumit dan akan menjadi tak terkendali. Bahkan dalam sejarah Amerika Serikat yang hamper terpecah menjadi 2
11Ibid, hlm. 5.
12Sefriani, Op Cit., hlm. 178.
13Ibid, hlm. 182.
(dua) antara Amerika Serikat dengan Union.14 Serta keberhasilan gemilang dari kaum Bolshevik melawan pemerintahan monarki kekaisaran Russia yang mengakibatkan kekaisaran Russia dengan Uni Soviet sebagai negara komunis pertama. Keadaan yang sama tidak jauh berbeda dengan kondisi di timur tengah terutama di Iraq dan Syria, kedua negara ini memiliki masalah yang sama dengan ekskalasi yang berbeda. Yang dimana kedua negara ini jatuh dalam perang sipil yang tidak berkesudahan hingga sekarang.15
Perang sipil yang terjadi di Iraq dan Syria di satu sisi memberikan keuntungan tersendiri bagi ISIS, dengan pecahnya kosentrasi kedua negara memberikan keleluasan lebih bagi ISIS untuk memperluas pengaruhnya di kedua wilayah negara ini. Perang yang terjadi terutama di Syria memberikan efek yang besar tidak hanya dalam lingkup nasional tetapi juga untuk kawasan internasional. Pengakuan secara internasional bukannya tidak memiliki manfaat, pengakuan internasional memberikan kejelasaan baik status maupun hak yang akan dimiliki. Pengakuan ini sendiri pun tidak harus terpatok pada pengakuan atas pembentukan negara baru karna dengan kondisi yang dimiliki oleh ISIS pengakuan yang paling menguntukan untuk ISIS adalah:16
1. Pengakuan sebagai negara baru 2. Pengakuan sebagai belligerent
14 James Ford, Rhobes. History of The United States From the Compromise of 1850 to the McKinley-Bryan Campaign of 1896, Volume III (1920), Norwood Press, e-book, hlm. 167.
15Fawas A. Gerges, ISIS: A History, Princeton University Press, 2016, e-book, hlm. 3.
16Statement by The President on ISIS, terdapat pada https://obamawhitehouse.archives.gov/
the-press-office/2014/09/10 statement-president. isis-1, diakses pada 11 Maret 2019.
3. Pengakuan sebagai pemerintahan baru.
Dengan adanya intervensi secara internasional tidak serta merta menyebabkan selesainya perang tetapi malah semakin memperparah keadaan yang ada. Karena keseimbangan kawasan sendiri menjadi tercampur aduk tidak beraturan dan sulit untuk di prediksi. Dengan adanya pihak negara, kelompok separatis, ISIS, serta intervensi internasional keadaan menjadi tidak mudah bagi setiap pihak untuk menentukan lawan ataupun kawan.17
ISIS sebagai fenomena internasional dalam hal ini menjadi suatu hal yang baru, yang dimana terdapat kelompok dengan kemampuan militer yang setara dengan dengan negara, dengan pendudukan wilayah yang melewati batas negara yang sah, memiliki penduduk dalam wilayah yang di kuasai, serta organisasi terstruktur dan militer yang terorganisir. Mengikuti hukum dan kebiasaan yang ada di dalam pergaulan internasional akan memberikan keuntungan bagi ISIS tersendiri.
ISIS merupakan subjek hukum internasional, namun ISIS tidak masuk dalam kelompok negara walaupun ISIS mendeklarasikan sebagai sebuah negara Islam.
Mengapa demikian, menurut konvensi Montevideo 1993, syarat berdirinya sebuah negara harus memenuhi syarat memiliki rakyat, wilayah, pemerintahaan, kemampuan berhubungan dengan negara lain, serta pengakuan kedaulatan dari negara lain. ISIS mengklaim bahwa mereka memiliki rakyat, wilayah, dan pemerintahan. Akan tetapi ISIS tidak dapat berhubungan diplomatik dengan negara lain, apalagi untuk
17Resolusi Dewan Keamanan PBB, No. 2178, Tahun 2014, Perintah Intervensi dalam perang sipil Suriah dan perang melawan ISIS.
mendapatkan pengakuan kedaulatan dari negara lain. Sehingga, hal ini menggugurkan ISIS masuk kedalam kelompok negara. Lantas dimanakah ISIS, didalam subjek hukum internasional ada kelompok yang di namakan pemberontak. Itu pun terbagi kedalam dua (2) kategori, yakni insurgent dan belligerent. Sebagai subjek hukum internasional, ISIS termasuk kedalam kelompok belligerent. Dengan adanya pengakuan secara internasional, pergerakan ISIS sendiri akan menjadi lebih mudah untuk mencapai tujuan yang dicita-citainya.18 Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul:
Kedudukan Kelompok Bersenjata Islamic State of Iraq and Syria Dalam Perspektif Hukum Internasional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah Bagaimanakah Kedudukan Kelompok Bersenjata Islamic State of Iraq and Syria Dalam Perspektif Hukum Internasional ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengkaji dan mengetahui kedudukan kelompok bersenjata ISIS, dalam perspektif hukum internasional.
2. Sebagai salah satu persyaratan untuk penyelesaian studi pada fakultas hukum Universitas Pattimura.
18www.Business-law.binus.ac.id, di akses padal10 Maret 2019.
D. Manfaat Penelitian
Bertolak dari tujuan penulisan diatas maka, manfaat dari penelitian skripsi ini adalah :
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang baik di bidang hukum internasional dalam hal organisasi ISIS dalam perspektif hukum internasional.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dalam memberikan penjelasan mengenai organisasi ISIS sebagai kaum belligerensi menurut hukum internasional.
E. Kerangka Konseptual 1. Hukum Internasional
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional.Pada awalnya, hukum internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.
Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja
zaman dahulu. Hukum antar bangsa atau hukum antar negara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.19
Hukum internasional juga merupakan sistem hukum yang terintegritas secara horizontal. Satu negara atau organisasi internasional berelasi satu sama lain. Negara merupakan subjek hukum internasional dalam arti klasik dan telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional.20 Sebagai subjek hukum negara, negara memiliki personalitas internasional. Personalitas internasional dapat di defenisikan sebagai kemampuan untuk memiliki hak dan kewajiban internasional.Singkatnya, fakta bahwanegara memiliki personalitas internasional maka negara tunduk pada ketentuan hukum internasional.21 Adapun pengertian hukum internasional menurut Rebecca M..Wallace : Peraturan dan norma yang mengatur tindakan negara-negara dan kesatuan lain yang ada pada suatu saat diakui mempunyai kepribadian internasional dan individu, dalam hal hubungan satu dengan yang lainnya. Kesimpulannya, hukum internasional merupakan hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara dengan negara, subjek hukum bukan negara, atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.22
19 https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_internasional di akses pada 11 Maret 2019.
20Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Pustaka Utama Graffiti, Jakarta 1994, hlm. 82.
21Mirza Satria Buana, Hukum Internasional,Tteori dan Praktek, FH Unlam Press, Banjarmasin, 2007, hlm. 2.
22https://tesishukum.com/pengertian-hukum-internasional-menurut-para-ahli/, di akses pada 11 Maret 2019.
2. Belligerency
Yang dimaksud dengan belligerent adalah para pihak yang bersengketa dalam sebuah pertikaian bersenjata, dalam hal ini pihak yang bersengketa bisa siapa saja termasuk pemberontak (rebels). Pemberontak merupakan sekelompok orang yang melakukan pemberontakan (rebellion), dan dalam pengertian umum, pemberontakan adalah penolakan terhadap otoritas yang sah.23 Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari pembangkangan sipil hingga kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada.Istilah ini sering pula digunakan untuk merujuk pada perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang berkuasa, tapi dapat pula merujuk pada gerakan perlawanan tanpa kekerasan.
Istilah yang digunakan dalam forum internasional tentang pemberontak sangat beragam antara lain “kesatuan non negara”, “kelompok subversif”,
“gerombolan penduduk sipil bersenjata”, “kelompok perlawanan bersenjata”,
“pasukan gerilya”, “pemberontak” (rebel : tingkatnya lebih rendah, sedangkan insurection : tingkatnya lebih tinggi). Walaupun menyandang predikat yang sangat beragam, namun terdapat kesamaan-kesamaan yang pada hakikatnya merupakan ciri khas dari gerakan pemberontakan. Kesamaan tersebut adalah motivasi, pada umumnya motivasi gerakan pemberontakan adalah mengangkat
23 Sugono dan Dendy, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Kamus Pusat Bahasa Depdiknas, 2008,hlm. 188.
senjata melawan pemerintahan yang berdaulat atau berkeinginan untuk menggulingkan dan menggantikan pemerintahan yang resmi.24
Belligerency adalah kategori terakhir dari sebuah tantangan bagi pemerintah mapan, yang diakui oleh hukum kebiasaan internasional, dan menyiratkan adanya konflik yang lebih serius daripada insurgency atau tindakan pemberontakan apapun. Belligerency juga merupakan konsep yang lebih jelas didefenisikan dalam hukum internasional daripada kategori konflik lainnya.
Pengakuan belligerency secara langsung meresikan hak dan kewajiban semua pihakdalam sebuah perang. Namun, kondisi tertentu perlu diperjelas agar terjadi konflik bisa mencapai status melawan belligerent. Syarat pengkuan belligerent meliputi, sebagai berikut:25
a. Terorganisir secara rapi dan teratur dibawah kepempinan yang jelas.
b. Harus memiliki, dan menggunakan tanda pengenal yang jelas yang dapat menunjukan identitasnya.
c. Harus sudah menguasai secara efektif sebagian wilayah sehinga wilayah tersebut benar-benar telah berada di bawah kekuasaanya.
d. Harus mendapatakan dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya.26
24 Permanasari, Arlina, Analisis Yuridis Status Hukum Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Menurut Huum Humaniter, Jurnal Hukum Humaniter. 3 (4): 782-829, 2007, hlm. 799.
25Sefriani, Op Cit.,hlm.179.
26R.P., Dhokaliacivil wars and International Law, ‘’The Indian society of internasional law.219, 1971, hlm. 228.
3. ISIS
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Islamic State of Iraq and Levant (ISIL), atau Daesh beberapa nama tersebut tetap mengacu pada kelompok yang sama.27 Muncul di timur tengah pada musim semi 2014, dimulai dengan keberhasilan merebut kota mosul, Iraq.28 Dengan keberhasilan ini ISIS memproklamasikan diri sebagai sebuah negara dengan segala klainya.ISIS memproklamasikan diri sebagai negara dengan bentuk negara Theokrasi.29
Propaganda ISIS dilancarkan melalui berbagai macam instrumen media sosial.Melalui propaganda tersebut ISIS mampu menarik simpati umat Islam dari berbagai negara untuk melakukan jihad sehingga ISIS bukan sekedar gerakan lokal di Irak dan Suriah, namun telah menjadi gerakan transnasional.
Perkembangan ISIS menjadi gerakan transnasional tidak terlepas dari kemampuannya menggunakan teknologi informasi dan komunikasi via internet dengan efektif.30 Alasan tersebut menjadi logis untuk menjelaskan mengapa gerakan semacam ISIS banyak berkembang di negara-negara yang dilanda konflik atau negara gagal. ISIS diibaratkan sebagai virus yang berkembang biak
27 Fawas A Gerges, Ibid.,hlm. 3.
28Ibid., hlm. 2.
29Theokrasi merupakan bentuk negara yang menjadikan agama sebagai inti sekaligus dasar negara. Dikutip dari, Thomson Gale, Defenisi Of Theocrary, terdapat dalam http://www.encyclopedia.com/social-sceinces-and-govenment/political-science-terms-and-concepts- 96, diakses pada 11 maret 2019.
30 J. M. Berger, 2014, “How ISIS Games Twitter,” [online] http://www.theatlantic.com/
international/archive/2014/06 /isis-iraq-twitter-social-mediastrategy/372856/diakses pada 11 maret 2019.
dalam tubuh Negara karena kerusakan dan kelemahan sektor ekonomi, politik, dan militer, baik disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal.31
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah dan tinjauan dari penelitian ini, maka metode yang di gunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif.
Metode penelitian hukum normtif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Sumber data yang utama dalam penelitian hukum normatif adalah data kepustakaan.32
2. Tipe penelitian
Penulis dalam penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif analitis, yaitu suatu cara untuk membuat gambaran dan analisis berupa gejala dan situasi yang menjadi bagian permasalahan yang diteliti. Dalam tipe penelitian deskriptif analitis ini, penulis mencoba memberikan gambaran mengenai kedudukan kelompok bersenjata Islamic State Of Iraq And Syria dalam perspektif hukum internasional.
31Trias Kuncahyono, “Genesis ISIS dan Demonstrative Effect‟ di Indonesia,” dalam Komaruddin Hidayat (ed.), Kontroversi Khilafah, hal. 231; Azyumardi Azra, “Khilafah dan Indonesia:
Relevansi dan Reperkusi.
32 H.Halim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.16-19.
3. Pendekatan Masalah
Di dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan.
Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Macam-macam pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah33:
1. Pendekatan undang-undang (statute approach);
2. Pendekatan kasus (case approach);
3. Pendekatan historis (historical approach);
4. Pendekatan komparatif (comparative approach);
5. Pendekatan konseptual (conseptual approach).
Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan kepada pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual.
4. Sumber Bahan Hukum
Di dalam kepustakaan hukum, sumber datanya disebut bahan hukum.Bahan hukum adalah segala sesuatu yang dapat dipakai atau diperlukan untuk tujuan menganalisis hukum yang berlaku. Bahan pustaka yang dipergunakan oleh penulis, yakni34:
a) Bahan Hukum Primer: bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat.
Bahan hukum primer itu, meliputi Norma atau kaidah dasar; Peraturan perundang-undangan, Yurisprudensi dan Traktat.
33 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Prenamedia Group, 2005), hlm.133.
34 H. Halim HS dan Erlies Septiana Nurbani ,Op.cit. hlm 16-19.
b) Bahan Hukum Sekunder: bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Seperti, misalnya naskah akademis, rancangan undang-undang, hasil penelitian ahli hukum, dan lain lain.
c) Bahan Hukum Tersier: bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti misalnya kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. Kamus yang sering dirujuk oleh peneliti hukum, meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris dan Black’s Law Dictionary.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik kepustakaan (literature research), yang ditujukan untuk memperoleh bahan- bahan. Dan informasi-informasi sekunder yang diperlukan dan relevan dengan penelitian, yang bersumber dari buku-buku, media massa, jurnal serta sumber- sumber informasi lainnya seperti data-data yang terdokumentasi melalui situs- situs internet yang relevan
6. Analisa Bahan Hukum
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tujuan kepustakaan yang bersumber dari buku-buku dan literatur lain. Data yang diperoleh penulis akan dianalisa secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif, yaitu menganalisis data yang diperoleh berdasarkan aturan hukumnya serta untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mengarahkan analisis dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka sistematika penulisan diuraikan sebagai berikut :
Bab I merupakan bab Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang yang menguraikan latar belakang dari permasalahan yang diangkat penulis dalam penulisan ini serta hal-hal yang menjadi dasar dari permasalahan yang ada, kemudian Rumusan Masalah,Tujuan Penulisan dan kegunaan, Kerangka Teoritis, dan Metode Penulisan selanjutnya diengkapi sistematika penelitian yang digunakan dalam penulisan ini.
Bab II Tinjauan Pustaka tentang tinjauan pustaka yang berisi tentang Konsep Dasar Hukum Internasional, Kedudukan Subjek Hukum Internasional dalam Hukum Internasional, Pengakuan Recognition dalam Hukum Internasional dan Islamic State Iraq and Syria (ISIS). Bab III Hasil Dan Pembahasan Menguraikan tentang Hasil dan Pembahasan yang berisi Perkembangan Islamic State Iraq and Syria (ISIS) dan Kedudukan Islamic State Iraq and Syria (ISIS) dalam Hukum Internasional Sedangkan Bab IV Penutup Merupakan Bab penutup dari penelitian ini yang bersisikan uraian tentang Kesimpulan, Saran dan Daftar Pustaka.