• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercermin pada UUD tahun 1945 pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum1. Maka segala urusan harus diselesaikan secara hukum. Hukum mengatur kehidupan manusia sejak berada dalam kandungan sampai meninggal dunia.

Bahkan kehendak terakhir dari seseorang yang telah meninggal dunia masih diatur oleh hukum. Hukum mengatur semua aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan lain sebagainya).2 Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip Negara.3

Berbicara mengenai kejahatan maka terdapat komponen-komponen yang mempunyai hubungan yang erat dan saling mempengaruhi yakni perbuatan atau tingkah laku jahat, pelaku kejahatan maupun korban kejahatan.

Menurut Arief Gosita “ kejahatan adalah suatu interaksi karena adanya interelasi yang ada dan saling mempengaruhi“.4 Sedangkan Mannheim

1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat (3).

2 Riduan Syahrani. 2012. Rangkuman Intisari Ilmu hokum. Jakarta, hal.195

3 Ruslan Renggong. 2014. .Hukum Acara Pidana. Cetakan ke- 1. Jakarta, hal.230

4Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hal.48

(2)

menyatakan bahwa “ kejahatan mengandung variabilitas dan dinamika serta bertalian dengan perbuatan dan tingkah laku (baik aktif maupun pasif) yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu“.5

Dengan perkataan lain kejahatan yang terjadi perlu dibarengi dengan bagaimana penanggulangan kejahatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan.

Dalam kaitan itu, maka perlu dipahami bahwa penanggulangan kejahatan dalam arti preventif, represif maupun kuratif harus diarahkan pada usaha mencapai tujuan jangka pendek, yakni berupa pencegahan, tujuan jangka menengah berupa resosialisasi dan usaha jangka panjang berupa perlindungan masyarakat.6

Khusus mengenai Lembaga Pemasyarakatan, bertujuan untuk mengadakan pembinaan narapidana dengan maksud agar binaan tersebut dapat bermanfaat setelah menjalani pidana dalam rangka sebagai bekal untuk menjalani hidup di masyarakat. Selain itu tujuan pembinaan adalah menginsyafkan terpidana agar tidak lagi melakukan kejahatan agar ia menjadi anggota masyarakat yang berguna.7

5J.E. Sahetapy dan Mardjono Reksodiputro, Parodos Dalam Kriminologi, Surabaya, 1982, hal 4.

6Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 1997.

7Saharjo, Pohon Beringin Pengayoman, Percetakan Rumah Pengayoman Sukamiskin, Bandung, 1984, hal 1.

(3)

Berkaitan dengan pemidanaan, maka sanksi pidana terhadap seseorang seringkali membawa kerugian berupa stigmatisasi terhadap narapidana. Karena suatu kejahatan seseorang resmi dipidana sehingga ia kehilangan pekerjaan, dijauhi dalam lingkungan masyarakat, bahkan apabila seseorang yang telah dibebaskan itu melamar pekerjaan maka ia sering ditolak sebagai akibat dari stigmatisasi tersebut.8

Sedangkan, hukum juga merupakan seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan untuk ketentraman dan kedamaian di dalam masyarakat.9 Hukum juga diperlukan untuk mengantisipasi penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat misalnya munculnya tindak pidana yang menyebabkan terganggunya kenyamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.

Setiap orang dalam pergaulan di dalam masyarakat harus memperhatikan dan melaksanakan (menaati hukum) peraturan hukum, agar tercipta kehidupan yang tertib dan tenteram. Ketika terjadi pelanggaran terhadap peraturan hukum yang berlaku, maka peraturan yang dilanggar itu harus ditegakkan. Namun dalam masyarakat negara modern, penegakkan hukum itu diorganisir sedemikian rupa, sehingga orang yang menjadi korban atau menderita kerugian akibat pelanggaran hukum tidak menyelesaikan dengan cara sendiri, tetapi dengan cara tertentu menurut ketentuan yang

8Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal 5.

9 Yulies Tiena Masriani. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Cetakan ke-1. Jakarta, hal. 7

(4)

berlaku. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kekacauan justru timbul karena masing-masing anggota masyarakat bertindak menurut caranya sendiri.

Aparat penegak hukum yang berkaitan dalam proses penegakkan hukum tidak selalu sama untuk setiap jenis pelanggaran hukum, yang menimbulkan berbagai macam perkara tersebut. Dalam proses penyelesaian perkara pidana untuk menegakkan hukum pidana, aparat penegak hukum yang terkait dalam kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Instansi-instansi penegak hukum ini kendati pun mempunyai tujuan yang sama, namun satu sama lain berdiri sendiri, dan mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban masing-masing.10 Sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan terkhusus narapidana wanita Pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan terkhusus pada narapidana wanita. Serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Dari beberapa kemungkinan yang terjadi tersebut maka pemerintah mengubah peran menjadi Lembaga Pemasyarakatan, artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatan serta kegiatan sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga, disamping lamanya menjalani hukuman itu. Lembaga ini meskipun tidak terkait langsung dalam penegakkan hukum, tetapi berperan besar dalam menciptakan ketertiban masyarakat dalam kehidupan hukum. Lembaga pemasyarakatan merupakan akhir dari proses peradilan pidana di Indonesia.

10 Ruslan R,op. cit. hal.195

(5)

Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk mencapai tujuan pembinaan bagi warga binaan terkhusus narapidana wanita melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi agar warga binaan dapat diterima di tengah-tengah masyarakat dan tidak mengulang kesalahannya. Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan, maka partisipasi bukan hanya datang dari petugas Pemasyarakatan, tetapi ikut sertaan masyarakat dan dukungan dari keluarga, karena narapidana itu sendiri harus memiliki prinsip-prinsip pembinaan yaitu diri sendiri, keluarga, masyarakat dan petugas pemerintah (Pembinaan warga binaan terkhusus warga binaan narapidana wanita dilakukan secara terus menerus sejak warga binaan masuk dalam Lembaga Pemasyarakatan). Dalam pembinaan warga binaan dikembangkan keadaan jasmani, rohani serta kemasyarakatannya dan dibutuhkan pula elemen-elemen yang berkaitan untuk mendukung keberhasilan dalam pembinaan. Elemen-elemen tersebut adalah lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pengembangan semua segi kehidupan warga binaan dan tenaga-tenaga pembinaan Pembina yang cukup cakap dan penuh dengan rasa pengabdian.11

Lembaga pemasyarakatan sebagai sub sistem yang paling akhir yang langsung berhadapan dengan narapidana untuk melaksanakan pembinaan, mempunyai posisi dalam mewujudkan tujuan akhir dalam sistem Peradilan Pidana. Sistem peradilan pidana ( criminal justice sistem ) dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai

11 Jurnal Administrasi Publik,Desember 2016.

(6)

mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.

Lembaga pemasyarakatan diharapkan mampu merealisasikan tujuan akhir sistem Peradilan Pidana yaitu Resosialisasi pelaku tindak pidana, mencegah timbulnya kejahatan, dan kesejahteraan sosial. Wanita dikatakan sebagai “tiang negara” dewasa ini telah menjadi suatu hal yang banyak diperbincangkan.

Dahulu sebelum berkembang masa emansipasi, wanita dianggap hanya bisa melakukan pekerjaan rumah tangga dan selayaknya menempati posisi strategis dalam bidang pekerjaan, begitu pula anggapan masyarakat luas yang mengatakan bahwa tidak layak seorang wanita melakukan pekerjaan laki-laki dan berbuat kesalahan seperti laki-laki, sehingga ketika mendengar kata

“penjara” atau lembaga pemasyarakatan maka terlintas dalam pikiran adalah seorang laki-laki dewasa yang sedang dihukum dengan masa kurungan tertentu.

Seiring berjalannya waktu, setelah konsep emansipasi yang diartikan sebagai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan berkembang, mulai banyak konsep kesetaraan yang dibuat, misalnya pemimpin perusahaan-perusahaan besar bahkan hingga pemimpin negara telah lumrah ditempati oleh perempuan.

Dalam bidang kriminalitas, kesalahan-kesalahan yang dilakukan seorang laki- laki dewasa bisa juga dilakukan seorang perempuan, misalnya membunuh, merampok, hingga korupsi.12 Wanita Indonesia adalah bagian yang tak terpisahkan dan menempati posisi yang sangat signifikan dalam kehidupan.Wanita Indonesia apakah sebagai ibu, istri, anak, semuanya

12 Jurnal, Puti Halimah, Dessy Hasanah, Hery Wibowo, Pola Pembinaan Narapidana Wanita oleh Lembaga pemasyarakatan dalam Perspektif Pekerjaan Sosial, hal.320-321.

(7)

memberikan kontribusi yang tak dapat disepelekan. Sayangnya penghargaan terhadap wanita Indonesia sering tidak sepadan dengan pengorbanannya.

Kedudukan wanita dalam sistem sosial, budaya, politik, hingga pun seringkali tidak sepadan dan setara dengan laki-laki. Isu wanita saat ini banyak didengar realita yang terjadi mengikuti arus perkembangan zaman dengan trennya gaya maupun moral yang dilihat dari mata kepala sendiri, remaja wanita saat ini yang mulai beranjak dewasa mulai mengikuti lingkungan sekitarnya. Bukan cuman anak remaja, akan tetapi semua wanita biasa terjerat kasus ( dipidana ) akibat pengunaan sosial media yang tidak berhati-hati, aduk mulut ( perkelahian ) dan lain sebagainya yang biasa menjeret wanita dalam kasus hukum yang biasa dikatakan sebagai narapidana, ketika hakim sudah mengetuk palu maka tersangka, terdakwa menjadi terpidana. Kejahatan dapat dilakukan oleh siapa saja baik pria,wanita maupun anak-anak dengan berbagai latar belakang. Disinilah peran-peran petugas lembaga pemasyarakatan dibutuhkan untuk membimbing para narapidana agar tidak kembali mengulangi perbuatan yang sama, maka peran aktif petugas pemasyarakatan sangatlah dibutuhkan bagi para narapidana terkhusus narapidana wanita agar tidak menjadi residivis, mereka kembali ke masyarakat agar menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya dan diterima oleh masyarakat. Tujuan diberikan pemidanaan adalah salah satu bagian dari rehabilitasi watak dan perilaku para narapidana, selama mengalami hukumannya narapidana mendapatkan bimbingan dan didikan yang berdasarkan pancasila. Narapidana akan kembali ke masyarakat sebagai warga negara yang berguna dan sebisa mungkin tidak

(8)

terbelakang. Dalam pelaksanaan pembinaan perilaku narapidana di lembaga pemasyarakatan memiliki tantangan bagi petugas karena berbeda tindak pindana yang dilakukan oleh narapidana wanita, mereka memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk menjadikan cita-cita pemasyarakatan sebagai perwujudan keadilan dan pengadilan.

Secara garis besar tugas pemidanaan ada dua faktor yaitu : pemberian hukuman dan pemberian pembinaan. Artinya di dalam suatu pemberian pembinaan tersirat suatu pemberian hukuman, sistem pemasyarakatan yang baik tidak meninggalkan kedua unsur tersebut. Berangkat dari uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagamana pelaksaan pembinaan narapidana wanita yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan maka yang penulis angkat dalam penulisan skripsi ini dengan judul; “Analisis Yuridis Tentang Pemenuhan Hak kesehatan Warga Binaan Perempuan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Ambon.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : “bagaimanakah Pemenuhan Hak kesehatan Warga Binaan Perempuan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Ambon C. Tujuan Penulisan

1. Menganalisis tentang Pemenuhan Hak kesehatan Warga Binaan Perempuan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Ambon

(9)

2. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura

D. Kegunaan Penulisan

1. Untuk mengetahui Pemenuhan Hak kesehatan Warga Binaan Perempuan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Ambon

2. Memberikan sumbangan pikiran bagi penegak hukum khusus petugas Lembaga Pemasyarakatan dalam hal Pemenuhan Hak kesehatan Warga Binaan Perempuan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Ambon

E. Kerangka Teori

Keseimbangan atau harmoni dalam masyarakat adalah keadaan yang diidam-idamkan oleh setiap masyarakat. Dengan adanya keseimbangan dalam masyarakat dimaksud sebagai suatu keadaan dimana lembaga-lembaga dalam masyarakat yang pokok dari masyarakat benar-benar berfungsi dan saling mengisi. Dalam keadaan demikian, individu secara jasmani dan rohani menginginkan suatu ketentraman dan kesejahteraan, serta perlindungan terhadap haknya, oleh karena tidak ada pertentangan norma-norma dan nilai- nilai.

Menurut Husserl yang disadur oleh Sidik Sunaryo menyatakan bahwa cenderung untuk mengeleminasi dunia luar (dunia yang berada di luar diri) dan sebagai gantinya ia mengkonsentrasikan diri dalam kehidupan dari pengalaman seseorang dari suatu dunia yang membentuk pure concioussnes (kesadaran murni) yang mana di dalam suatu wujud sebagai refleksi dari ego. Sehingga

(10)

tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat adalah merupakan manifestasi pengalaman buruk seseorang atau masyarakat terhadap perilaku aparat penegak hukum yang tidak lagi menegakan keadilan dan hukum, tetapi pada pencapaian kepentingan mereka dan kepentingan kelompok lain yang berkuasa dalam birokrasi negara maupun dalam masyarakat13.

Salah satu asas dan prinsip yang mendasar dari upaya menegakan supremasi keadilan, adalah penegakan asas rule of law, menurut Santoso adalah sebagai berikut :

1. Supremasi hukum, yakni setiap tindakan negara harus dilandasi oleh hukum dan bukan berdasarkan pada diskresi.

2. Kepastian hukum, yakni kepastian yang erat terkait dengan butir di atas, juga menjadi syarat adanya jaminan bahwa suatu masalah diatur secara jelas tegas dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain.

3. Hukum yang responsif (hukum harus mampu menyerap aspirasi masyarakat luas dan mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat dan bukan dibuat untuk kepentingan segelincir elite) 4. Penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif adanya

sanksi, mekanisme untuk menjalankan sanksi, sumber daya manusia atau penegak hukum yang mempunyai integritas.

13 Sidik Sunaryo, “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana”, UMM Pres, Malang, 2004. hal 24

(11)

5. Keberadaan independensi lembaga-lembaga dalam hal ini lembaga pemasyarakatan yang juga sebagai salah satu syarat penting dalam mewujudkan rule of law.14

Berkaitan dengan pemikiran Saharjo, maka menjadi jelaslah bahwa orientarsi pemikiran konsep kepenjaraan yang pernah dikenal, berubah menjadi sistem pemasyarakatan, yang oleh Bambang Purnomo diartikan sebagai “suatu kegiatan atau perlakuan untuk mewujudkan upaya baru pelaksanaan pidana penjara dan perlakuan cara baru terhadap narapidana agar hasil pembinaan menjadi manusia, sesuai dengan gatro dan werdinya masyarakat atas dasar semangat pembaharuan pelaksanaan pidana penjara15.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Soedjono Dirdjosisworo, bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan narapidana yang didasarkan atas asas Pancasila, yang memandang narapidana sebagai makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat sekaligus.16

Dalam undang-undang Nomor. 12 Tahun 1995, Tentang Pemasyarakatan, menyebutkan ; “sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan

14 Sidik Sunaryo, Op-Cit, hal 41.

15 Bambang Purnnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1986, hal 186

16 Soedjono Dirdjosiseworo, Kisah Penjara-Penjara di Berbagai Negara, Alumni, Bandung, 1979, hal 147.

(12)

pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.

Di dalam surat Keputusan kepala direktorat Pemasyarakatan Nomor K.P. 10/3/7 tanggal 8 februari 1965 mengenai system pemasyarakatan ini menjelaskan bahwa :

Pemasyarakatan adalah suatu proses the rapitic, dimana warga binaan pada waktu masuk lembaga pemasyarakatan berada dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan yang negatif dengan masyarakat. Sejauh itu warga binaan lalu mengalami pembinaan yang tidak lepas dari unsur – unsur lain dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya narapidana dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu keutuhan dan keserasian (keharmonisan) hidup dan penghidupan tersembuhkan dari segi – segi yang merugikan (negatif).

Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran- pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan yang sejak lebih dari 30 (tiga puluh tahun) yang lalu dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan.

Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana oleh kerena itu, penegakannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya, yang

(13)

sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan dan kehilafan, sehingga dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya dan tidak mengulanginya.

Konsepsi pemasyarakatan merupakan suatu pilihan pembaharuan pelaksanaan pidana penjara, yang penyelenggaraannya memerlukan dukungan dari komponen-komponen sistem, yaitu;

1. Komponen manusia selaku petugas hukum, narapidana dan masyarakat,

2. Komponen pembinaan yang tersusun secara manual,

3. Komponen pembinaan perundang-undangan pidana penjara yang merupakan faktor yang mempengaruhi proses pemasyarakatan.

Terkait dengan hal tersebut, maka di dalam proses pelaksanaan sistem pemasyarakatan, dikenal beberapa komponen sistem pendukung dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan, yakni;

1. Komponen narapidana,

2. Komponen penegak hukum sebagai alat negara beserta masyarakat, 3. Komponen lingkungan hidup sosial dengan segala aspeknya.

Di dalam konteks penyelenggaraan sistem peradilan pidana, baik Polisi, Jaksa, maupun Hakim dan juga petugas pemasyarakatan (lembaga koreksi), dituntut untuk mampu memberikan makna bagi penerapan aturan hukum pidana, sehingga hasil yang diharapkan secara efisien dan efektif dapatlah tercapai dan memberikan masukan bagi usaha penegakan hukum itu sendiri.

(14)

Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman, merupakan tempat untuk mencapai tujuan, melalui pendidikan rehabilitasi, reintegrasi. Sejalan dengan peran lembaga pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila petugas pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan warga binaan pemasyarakatan dalam undang-undang ditetapkan sebagai pejabat fungsional penegak hukum.

Sistem pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Dalam sistem pemasyarakatan, narapidana berhak mendapat pembinaan rohani dan jasmani, serta dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar, baik keluarga maupun pihak lain, memperoleh informasi, pendidikan dan sebagainya. Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik mengadakan kerja sama dengan petugas pemasyarakatan dalam bentuk pembinaan yang dilakukan sesuai cara dan sistem pembinaan yang ingin dicapai, maupun dengan sikap bersedia menerima kembali warga binaan pemasyarakatan untuk kembali dalam lingkungan masyarakat.

Seperti kita ketahui pelaku kejahatan adalah mereka yang melakukan tindakan yang maka tindakan tersebut harus memenuhi unsur yang dapat dikatakan juga, bahwa seseorang merupakan pembuat atau pelaku dari suatu

(15)

perbuatan yang dapat dihukum. Bilamana tindakannya memenuhi semua unsur yang disebut dalam perumusan perbuatan yang dapat dihukum.17

Dalam suatu kejahatan tentunya terdapat dua pihak yang terlibat yakni korban kejahatan (penerima kejahatan) dan pelaku kejahatan (pembuat kejahatan) yang mana keduanya merupakan subjek hukum. Kejahatan yang dilakukan tersebut harus dipertanggung jawabkan oleh pelaku kejahatan.

Kejahatan sebagai suatu tindak pidana (delik) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.18

Dengan perkataan lain pidana yang dijatuhkan dan harus dijalani oleh pelaku tindak pidana merupakan bagian pembinaan terhadap narapidana yang terbagi atas 4 (empat) tahap yakni :

1. Tahap pertama, dimana setiap narapidana yang masuk lembaga pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala perihal dirinya, termasuk sebab-sebab ia melakukan pelanggaran, keluarganya, korban, lingkungannya. Tahap ini dikenal dengan tahap orientasi;

2. Tahap kedua, jika proses pembinaan terhadap narapidana telah berlangsung selama sepertiga dari masa pidananya, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dengan menggunakan tingkat pengawasan medium security. Tahap ini disebut tahap pembinaan.

9.Moeljatno, Hukum Pidana ( Delik-Delik Percobaan, Delik-Delik Penyertaan), Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal 3.

18 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal 159.

(16)

3. Tahap ketiga, yakni tahap proses narapidana yang telah mencapai seperdua masa pidananya, dewan pembina pemasyarakatan akan mempertimbangkan keadaan-keadaan narapidana tersebut. Jika menurut dewan pembina pemasyarakatan, narapidana telah mencapai kemajuan baik fisik maupun mental, maka dapat diberikan asimilasi dengan masyarakat luas, dan tetap dibawa pengawasan dan bimbingan dari petugas lembaga pemasyarakatan. Tahap ini disebut dengan tahap asimilasi.

4. Tahap keempat, jika proses pembinaannya telah mencapai dua pertiga dari masa pidananya, maka sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan, kepada narapidana tersebut diberikan pembebasan bersyarat, yakni meliputi pembinaan diluar lembaga pemasyarakatan. Tahap ini disebut dengan tahap integrasi19

Mencermati prinsip-prinsip pemasyarakatan dengan tahap-tahap pembinaan yang harus dilalui oleh seorang warga binaan maka terlihat bahwa salah satu pentahapan yakni integrasi merupakan bagian dari sistem pemasyarakatan yang dianut oleh lembaga pemasyarakatan dalam rangka memanusiakan manusia.

19Saroso, Sistem Pemasyarakatan, Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan, BPHN, Binacipta, 1975, hal 61-66.

(17)

Seseorang yang dijatuhi pidana haruslah dapat dibuktikan dengan proses yang telah dilaluinya melalui mekanisme peradilan pidana. Oleh karena itu tindak pidana haruslah memenuhi unsur-unsur yang terdiri dari:

1. Unsur Objektif, yaitu suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman.

2. Unsur Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang.

Dengan terjadinya kejahatan dalam masyarakat maka dilain pihak muncul pula usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan. Menurut Pelenkahu usaha pencegahan kejahatan berarti antara lain mengadakan usaha perubahan yang positif. Sehubungan dengan pelaku kejahatan, kita harus melakukan perubahan secara positif. Kita harus merubah lingkungan dengan mengurangi hal-hal yang mendukung perbuatan kejahatan itu ada dan menambah resiko yang dikandung pada suatu perbuatan kejahatan.20

Pencegahan kejahatan dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu:21 1. Pendekatan Penal (hukum pidana) yaitu pendekatan yang dititik

beratkan pada sifat represif.

2. Pendekatan Non Penal (non Hukum Pidana) yaitu pendekatan yang dititik beratkan pada sifat preventif.

20 Pelenkahu, Masalah Kejahatan dan Penanggulangannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 28.

21J.D. Pasalbessy, Bahan Kuliah Kebijakan Kriminal, Ambon, 2003.

(18)

Penerapan hukum pidana biasanya merupakan pencegahan melalui sanksi sedangkan penerapan di luar hukum pidana dilakukan melalui cara-cara seperti diadakannya bimbingan, penyuluhan, mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kejahatan dan lain-lain.

Menurut Sudarto, hukum pidana tidak mampu menanggulangi kejahatan selama ini karena kejahatan merupakan persoalan sosial yang jauh dari persoalan hukum.22 Hal tersebut senada dengan pandangan Filipo Gratica bahwa pelaku kejahatan pada umumnya tidak perlu menggunakan pidana, sebab pidana merupakan peninggalan kebiadaban masa lalu yang harus dihindari dan pidana merupakan perlakuan yang bersifat kejam.23

F. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan Undang-Undang (Statue Approach), karena, yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian24. Dan untuk melengkapi, dipergunakan data non hukum yang diperoleh lewat litaratur yang terkait dengan substasi penulisan.

2. Tipe Penelitian

22 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hal 11.(selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I)

23 Ibid., hal 12.

24 Jhony, Ibrahim Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan kedua, Bayumedia Publishing, Malang, Januari 2006 .

(19)

Penelitian adalah penelitian yang bersifat deskriptif. Bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antar suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.25

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, Johny Ibrahim membagi pendekatan dalam penelitian hukum menjadi 7 macam yaitu26:

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) 2. Pendekatan Konsep (conceptual approach)

3. Pendekatan Analitis (analytical approach)

4. Pendekatan Perbandingan (comparative approach) 5. Pendekatan Historis (historical approach)

6. Pendekatan Filsafat (philosophical approach) 7. Pendekatan Kasus (case approach)

Peter Mahmud Marzuki, mengemukakan pendapatnya mengenai pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.27

Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.28

3. Sumber Bahan Hukum

25 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 Hal. 197.

26 Ibid, Jhony, Ibrahim

27 Peter Mahmud, Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, Juni 2007

28 Ibid,

(20)

a. Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari :

1. Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

3. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP 4. Undang - Undang Nomor : 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan b. Bahan Sekunder

1. Bahan atau pendapat pakar hukum, jurnal-jurnal hukum, para pakar hukum

2. Buku-buku hukum (text book), internet dengan menyebutkan situsnya.

c. Bahan Hukum Tertier

Kamus-kamus hukum dan ensiklopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan kamus dan ensioklopedi hukum ke dalam bahan hukum tersier)

4. Teknik pengumpulan Data

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, penelitian ini lebih menitikberatkan pada pendekatan yuridis-normatif di mana sumber utamanya adalah bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum baik peraturan perundang-undagan maupun bahan pustaka, selanjutnya disusun secara sistematis.

5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

(21)

Untuk dapat melakukan pengolahan dan analisa data yang diperoleh dari penelitian penelitian kepustakaan akan diolah dan dianalisa secara deskriptif kualitatif yaitu penyusunan, pengkatagorian data dalam pola atau tema,interpretasi, pemahaman makna dengan mengaitkan ketentuan yang berlaku dengan kondisi masyarakat kemudian disajikan secara sistematis.

Analisa dapat dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara sistematis dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu29.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan terdiri Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Kegunaan Penulisan, Kerangka Teori, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

29 Soejono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Press, Jakarta,1982 Hal.137

Referensi

Dokumen terkait

berkaitan dengan konsep gender dalam Islam dan pemikiran tokoh yang menjadi. objek

Dalam jurnal peran agama terhadap penyesuaian diri narapidana di lembaga pemasyarakatan yang ditulis oleh Silawaty & Ramdhan (2007) menyimpulkan hasil

Untuk pengangkutan makanan pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I A Anak Tanjung Gusta belum memenuhi syarat kesehatan karena dalam pengangkutan makanan, tempat makanan

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan mengenai tugas dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan Anak yang berkaitan dengan pembinaan anak didik pemasyarakatan yang

pengembangan program diklat dimaksudkan untuk mewujudkan ketercapaian visi BBPPKS Bandung yaitu mewujudkan BBPPKS Bandung sebagai lembaga terdepan dalam pengembangan kualitas

Keberadaan dewan yang tersebar yang dalam mekanisme tata kelola perusahaan yang baik mewakili prinsip akuntabilitas dan independensi pembuatan keputusan. Keputusan yang

Terkait pembinaan terhadap Narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan, dalam pelaksanaan tugasnya Hakim Wasmat memiliki peran juga didalamnya sebagaimana tercantum dalam

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan akurasi candlestick untuk digunakan dalam menganalisis