• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II - Repository UNISBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II - Repository UNISBA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “perjanjian (kontrak) adalah suatu perbuatan yang dengannya satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih. 6. Menurut teori ini, kesepakatan (toesteming) terjadi apabila pihak yang menerima tawaran menyatakan menerima tawaran tersebut. Jadi, dari sudut pandang penerima, yaitu ketika dia menurunkan penanya untuk menyatakan penerimaan, maka kesepakatan sudah selesai.

Bisa jadi meskipun dikirimkan namun tidak diketahui pihak yang menawarkan teori tersebut, juga sangat teoritis dengan asumsi kesepakatan terjadi secara otomatis. Teori pengetahuan menyatakan bahwa suatu perjanjian terjadi bila pihak yang menawarkan mengetahui akseptasinya, namun akseptasinya belum diterima (tidak diketahui secara langsung). Menurut teori ini, evaluasi terjadi ketika pihak yang menawarkan menerima tanggapan langsung dari pihak lawan.

Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, barang-barang yang menjadi pokok suatu kontrak haruslah tertentu, atau setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya. Pasal 1334 ayat 1 KUH Perdata Belanda sebelumnya mengatur bahwa barang-barang yang hanya ada pada waktu yang akan datang juga dapat menjadi obyek suatu perjanjian. Perjanjian tersebut dapat diakhiri oleh pengadilan atas permintaan pihak yang tidak cakap atau dengan sukarela menyetujuinya.

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata, suatu perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan atas persetujuan para pihak yang membuatnya.

Rukun Nikah

Keduanya mengandung makna yang berbeda, yaitu keselarasan merupakan sesuatu yang ada dalam diri alam dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya. Kondisi tersebut berkaitan dengan keselarasan dalam arti kondisi yang berlaku pada setiap unsur yang membentuk keselarasan tersebut. Ada pula kondisi yang berdiri sendiri dalam arti tidak menjadi kriteria unsur keselarasan. 17.

Syarat Nikah

Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Dengan mencermati Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kini terlihat jelas asas-asas hukum perkawinan, misalnya asas bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Terbukti Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai badan hukum asli telah menunjukkan formatnya yang selalu bertumpu pada asas-asas hukum bangsa Indonesia. Pasal pembuka UU Perkawinan menjadi pintu gerbang yang akan membimbing siapa pun yang mendengarkannya agar sadar sejak dini, bahwa jika mencermati pasal-pasal berikut ini, unsur keagamaan akan selalu menjadi intisarinya.20.

Apabila terdapat perbedaan pendapat di antara orang-orang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2), (3), dan (4) atau salah satu atau lebih orang tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan negeri harus hak tempat tinggal orang yang hendak melangsungkan perkawinan bertindak memberi izin perkawinan itu. Setelah Mahkamah terlebih dahulu mendengarkan orang yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2), (3) dan (4) itu sendiri. Berdasarkan pasal 6 undang-undang no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, syarat-syarat dilangsungkannya suatu perkawinan adalah hal-hal yang harus dipenuhi apabila suatu perkawinan akan dilangsungkan.

Pengaturan harta perkawinan diatur lebih lanjut dalam Pasal 35 sampai 37 UU Perkawinan no. 1 Tahun 1974. Oleh karena itu, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. tidak dapat dipisahkan sebagai syarat sahnya perkawinan. Menurut Pasal 36 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa dalam kaitannya dengan harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

Pengertian Pasal 29 yang dimaksudkan untuk keperluan pembuatan akad nikah mempunyai persamaan makna. Hal ini diatur sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu: “Pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak dengan kesepakatan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai Pencatat Perkawinan, setelah itu berlaku juga terhadap pihak ketiga yang bersangkutan” Konsep perjanjian perkawinan pada awalnya berasal dari hukum perdata Barat yaitu KUH Perdata, namun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah mempunyainya.

Suatu perkawinan tidak dapat sah apabila akad nikahnya melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Waktu Akad Menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, akad nikah dilakukan pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Kedua belah pihak dapat, dengan persetujuan bersama, membuat perjanjian tertulis yang akan disahkan melalui perkawinan. petugas, setelah itu isinya juga berlaku untuk para pihak, pihak ketiga terjebak. Undang-undang tentang perkawinan ini belum mengatur secara lengkap karena masih terdapat cacat-cacat di dalamnya, hal ini ditunjukkan dalam Pasal 29 ayat (4), yaitu: “Selama perkawinan itu dilangsungkan, perjanjian itu tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua-duanya. pihak untuk mengubahnya dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.28.

Undang-undang telah menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian perkawinan, kecuali peraturan menyatakan ada pengecualian. Dalam Pasal 29 Undang-undang Perkawinan, kedua belah pihak, pada saat atau sebelum perkawinan, dengan kesepakatan bersama dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh pencatat perkawinan, yang setelah itu berlaku juga bagi pihak ketiga yang bersangkutan. Dari ketentuan Pasal 29 Ayat yang menyatakan bahwa “perjanjian perkawinan itu sah sejak perkawinan itu dilangsungkan” dapat disimpulkan bahwa penyusunan dan pengesahan perjanjian perkawinan itu harus dilakukan oleh pencatat perkawinan sebelum perjanjian perkawinan itu dilangsungkan. tempat. yang dilakukan antara kedua mempelai 30 dalam perkembangannya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi no 69/2015 memperluas pengertian perjanjian perkawinan menurut Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan dimana pembuatan perjanjian perkawinan tidak hanya dapat dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan. tapi bisa dilakukan saat pernikahan. 30Ibid, hal.34.

Maksud dibuatnya akad nikah adalah untuk mengatur akibat-akibat hukum perkawinan terhadap harta benda suami-istri, sehingga ketentuan-ketentuan yang mempunyai tujuan selain yang diperbolehkan oleh undang-undang adalah dilarang atau tidak diperbolehkan.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga tidak mengatur tentang adanya perkawinan beda agama, apalagi pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah